Lima tahun berlalu ... "Honey, apakah tak ada negara lain yang lebih dekat?" tanya Arvy ketika Vanilla bersikeras ingin melahirkan di Sidney--hanya karena ingin anaknya yang kedua dinamai dengan nama Sidney.Dan kali ini anak mereka kembali berjenis kelamin perempuan."Kau keberatan menemaniku? Aku tak butuh ditemani jika kau tak mau, Sayang," jawab Vanilla dengan santai."Oh my God ... Tentu saja aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di saat kau sedang hamil," sahut Arvy."Kandunganku sudah delapan bulan dan sebentar lagi aku tak bisa ke mana pun lagi naik pesawat jika tak sekarang. Jadi aku akan berangkat dulu ke Australia agar tak mengganggu pekerjaanmu. London akan bersamaku," kata Vanilla sembari memakai serealnya."Kau membuatku berada di posisi yang sulit, Honey," jawab Arvy.Vanilla melihat ke arah Arvy."Apakah aku hamil setiap tahun? Aku tak ingin merepotkanmu sama sekali, Sayang. Aku bisa pergi sendiri dan dulu aku juga sendirian ketika hamil London. Kau bahkan tak meneman
Dalam redupnya cahaya lampu di ruang kerjanya, Vanilla Baker terus menggebu-gebu mengetik di laptopnya. Walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, semangat kerjanya belum padam. Wajahnya yang penuh dedikasi terpancar meski lelah mulai menghampiri. Raut wajah Vanilla mencerminkan ketekunan seorang profesional yang berkomitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Pekik ketidakpuasan dari jam dinding tak mampu menghentikan langkahnya. Setumpuk dokumen berserakan di sekitarnya, namun dia tak gentar. Malam ini adalah batas waktu yang harus dihormati untuk menyelesaikan tugasnya. Ponselnya berdering, mengingatkannya tentang waktu yang terus berlalu. Vanilla mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanan melibatkan pikirannya dalam setiap kata yang dituliskannya. Besok adalah meeting penting dengan atasan dan petinggi perusahaan. Kepuasan dan prestasinya menjadi taruhannya. Meski lelah, Vanilla terus menari dengan jari-jarinya di atas keyboard, menciptakan sebuah kary
Beberapa waktu kemudian, orang yang berada di bangku kemudi langsung dikeluarkan dari mobil setelah melewati proses evakuasi yang cukup sulit. Dan orang itu bernama Arvy Ergon Wilson. Vanilla mengetahuinya setelah petugas medis melihat tanda pengenalnya. Tubuhnya di angkat ke ambulans dan Vanilla ikut menemani di sebelahnya sampai tiba di rumah sakit. Takdir mempertemukan Vanilla dengan kejadian yang tak terduga ini, membuatnya menyadari bahwa malam itu membawa dua peristiwa pahit yang mendalam ke dalam hidupnya. Dalam tangisannya, dia memahami betapa rapuhnya kehidupan, di mana sebuah malam bisa merubah segalanya. * * Seorang wanita muda tampak mengangkat telepon dari sang ibu di saat dirinya masih berada di villa untuk berbulan madu. Ya, wanita itu tak lain adalah adik dari Arvy yang berprofesi sebagai seorang dokter di Spanyol, dan kebetulan kini dia sedang menjalani momen bulan madunya di kota asalnya. Glow dan Blaze, suaminya, sudah seminggu berada di vila dan ma
Operasi sudah berlangsung beberapa jam dan membuat ketiga orang yang menunggunya di luar tampak makin panik karena operasi tak kunjung selesai. Tak berapa lama, Glow — adik Arvy— pun datang bersama sang suami — Blaze. "Apa kata Dokter, Mom?" Wajah Glow terlihat khawatir. "Arvy masih dioperasi," jawab Izzy yang kemudian memeluk Glow. "Tenanglah, tak akan terjadi apa-apa pada kakak. Dia sangat kuat, Mom.” Glow berusaha menguatkan sang Mommy. Lalu Blaze melihat ke arah Vanilla. "Siapa kau?" Hal itu membuat Glow menoleh juga pada Vanilla. Vanilla tampak kembali merasa bersalah lagi atas hal ini. Kemudian Izzi menceritakan kejadiannya dan apa yang membuat Vanilla berada di sini. Glow mendekati Vanilla yang tampak masih ketakutan dan gemetar. "Hei, tak apa-apa. Ini adalah kecelakaan dan takdir. Berdoa saja kakakku baik-baik saja.” Glow memegang tangan Vanilla yang gemetar. Vanilla melihat ke arah Glow dan meminta maaf padanya dengan menahan tangisnya. Glow tak menyalahkan Vanilla u
Arvy tampak terdiam dan Izzy menggenggam tangannya dengan erat sembari terus menguatkannya. “Jangan khawatir. Kau masih akan bisa melihat, Arvy. Percayalah pada Mommy.” Izzy menenangkan suasana hati Arvy yang begitu buruk saat ini. Arvy tak menjawab apa pun dan Vanilla tak berani bersuara sedikit pun. Glow menyarankan agar untuk sementara mereka tak bicara soal Vanilla pada Arvy sampai suasana hati sang kakak membaik mengingat Arvy cukup emosional. “Aku ingin sendirian dan segera keluar dari sini.” Arvy terlihat begitu frustasi dan sikapnya sangat dingin. Glow mulai mendekati Arvy. “Kakak harus dirawat di sini sampai kondisi kepala kakak membaik.” “Aku ingin pulang dan dokter bisa datang ke mansionku!” bentak Arvy. “Hei, jangan membentak istriku!” Blaze iku marah ketika sang istri dibentak seperti itu. Glow mencubit tangan Blaze agar diam dan tak bicara sembarangan pada Arvy. “Dia tetap saja menyebalkan,” bisik Blaze. “Honey, diamlah!” Glow berbisik sambil membelalakkan matany
Setelah cukup lama membujuk Arvy, Izzy pun akhirnya pulang dan meninggalkan Vanilla di sana. Arvy masih bersikap buruk pada Vanilla karena dia menganggap Vanilla seakan memiliki tujuan tertentu dengan memaksa tinggal di sana meskipun Arvy tak mempermasalahkan lagi tentang kecelakaan itu. "Kau ingin makan di sini atau di ruang makan?" Vanilla bertanya dengan suara halusnya yang tenang. Arvy tak menjawab dan hanya duduk di depan pintu balkon yang terbuka. "Baiklah, aku akan ambilkan makananmu ke sini saja," kata Vanilla lagi. Arvy tetap diam dan dia sangat muak mendengar suara Vanilla. Lalu Vanilla keluar dari kamar dan menuju ruang makan. "Sialan!!" umpat Arvy kesal. Tak lama kemudian, Vanilla kembali ke kamar Arvy dengan membawa nampan berisi makanan dan jus buah. Vanilla meletakkan makanan itu di meja yang ada di depan Arvy. "Aku akan menyuapimu.” Vanilla mulai menyendokkan sup lalu mengarahkannya ke mulut Arvy. Arvy yang melihat bayangan itu, langsung menepis tangan Vanil
Seminggu berlalu dan tiap hari Marcel mengunjungi Arvy di mansionnya. Sebenarnya Marcel tinggal di Eropa sekarang dan selama dia berada di Amerika, dia sebisa mungkin mengunjungi Arvy.Tapi di balik itu, ternyata Marcel tertarik pada Vanilla dan mereka akan mengobrol beberapa menit di beranda depan sebelum Marcel pergi dari mansion.Ya, selama itu pula Vanilla mulai mengenal sosok Marcel yang menurutnya sangat baik dan sama sekali tak sombong meskipun kini dia adalah seorang CEO sebuah perusahaan ternama di Eropa.Hingga suatu saat, Arvy mengetahui hal itu dan membuat dirinya begitu kesal pada Vanilla. Dia menganggap Vanilla sengaja menggoda Marcel yang tiap hari mengunjunginya.Kala itu ponsel Marcel tertinggal di sofa dan Arvy mengambil dan menyimpannya dan pelayan yang ada di dekat sana mengatakan sesuatu padanya bahwa Marcel masih ada di depan halaman mansion."Kalau begitu aku yang akan memberikannya pada Tuan Marcel, Tuan," kata Pelayan."Besok saja, dia pasti sudah pulang.” "T
Arvy tertawa getir mendengar hal itu."Kau memilih wanita itu daripada persahabatan kita, Marcel? Oh my God ... Wanita ini benar-benar racun.”"Arvy!!" bentak Marcel."STOP!! Marcel pulanglah karena aku tak akan ke mana-mana. Aku akan selalu di sini.” Vanilla tak ingin ini menjadi semakin rumit dan membuat kemarahan Arvy semakin menjadi."Kau tak diperlakukan baik olehnya, Vanilla. Lalu mengapa kau bertahan di sini? Aku memang sahabatnya, tapi aku tak akan mendukungnya jika dia berlaku kasar padamu atau siapa pun tanpa alasan yang jelas," sahut Marcel dengan logikanya.Lalu Arvy kembali berjalan dan meninggalkan mereka berdua.Vanilla masih mengikutinya di samping meskipun sudah dibujuk oleh Marcel."Aku kecewa padamu, Arvy. Ini bukan Arvy yang kukenal.” Marcel tak suka melihat kekasaran Arvy pada Vanilla."Marcel, please, pulanglah. Jangan membuatnya semakin rumit. Aku mohon.” Vanilla memohon dengan suara lirih dan pandangan yang takut.Marcel tak bisa melakukan apa pun karena Vanill