Seminggu berlalu dan tiap hari Marcel mengunjungi Arvy di mansionnya. Sebenarnya Marcel tinggal di Eropa sekarang dan selama dia berada di Amerika, dia sebisa mungkin mengunjungi Arvy.Tapi di balik itu, ternyata Marcel tertarik pada Vanilla dan mereka akan mengobrol beberapa menit di beranda depan sebelum Marcel pergi dari mansion.Ya, selama itu pula Vanilla mulai mengenal sosok Marcel yang menurutnya sangat baik dan sama sekali tak sombong meskipun kini dia adalah seorang CEO sebuah perusahaan ternama di Eropa.Hingga suatu saat, Arvy mengetahui hal itu dan membuat dirinya begitu kesal pada Vanilla. Dia menganggap Vanilla sengaja menggoda Marcel yang tiap hari mengunjunginya.Kala itu ponsel Marcel tertinggal di sofa dan Arvy mengambil dan menyimpannya dan pelayan yang ada di dekat sana mengatakan sesuatu padanya bahwa Marcel masih ada di depan halaman mansion."Kalau begitu aku yang akan memberikannya pada Tuan Marcel, Tuan," kata Pelayan."Besok saja, dia pasti sudah pulang.” "T
Arvy tertawa getir mendengar hal itu."Kau memilih wanita itu daripada persahabatan kita, Marcel? Oh my God ... Wanita ini benar-benar racun.”"Arvy!!" bentak Marcel."STOP!! Marcel pulanglah karena aku tak akan ke mana-mana. Aku akan selalu di sini.” Vanilla tak ingin ini menjadi semakin rumit dan membuat kemarahan Arvy semakin menjadi."Kau tak diperlakukan baik olehnya, Vanilla. Lalu mengapa kau bertahan di sini? Aku memang sahabatnya, tapi aku tak akan mendukungnya jika dia berlaku kasar padamu atau siapa pun tanpa alasan yang jelas," sahut Marcel dengan logikanya.Lalu Arvy kembali berjalan dan meninggalkan mereka berdua.Vanilla masih mengikutinya di samping meskipun sudah dibujuk oleh Marcel."Aku kecewa padamu, Arvy. Ini bukan Arvy yang kukenal.” Marcel tak suka melihat kekasaran Arvy pada Vanilla."Marcel, please, pulanglah. Jangan membuatnya semakin rumit. Aku mohon.” Vanilla memohon dengan suara lirih dan pandangan yang takut.Marcel tak bisa melakukan apa pun karena Vanill
Setelah menata baju dan barang, Vanilla menuju ke arah dapur dan dia lupa bahwa satu pelayannya belum tiba untuk mengantarkan bahan makanannya.Vanilla kemudian menunggu pelayan di depan pintu depan Villa dan tak lama kemudian pria tua itu pun datang.“Thank God,” gumam Vanilla karena pria itu datang tepat waktu.Vanilla harus cepat memasak karena jam makan Arvy akan tiba setengah jam lagi. Vanilla akan memasak makanan sederhana namun tetap lezat dan enak karena Arvy pasti akan mencari celah salah dari Vanilla lagi.*Setengah jam kemudian, Vanilla menghidangkan makanan di meja makan yang terhubung dengan balkon.“Makanan sudah siap.” Vanilla memberitahu Arvy yang tampaknya sedang mendengarkan berita dari ponselnya.“Di mana Pelayan?” tanya Arvy.“Tak ada Pelayan di sini dan hanya aku saja yang akan melayanimu,” papar Vanilla.“Siapa kau berani mengatur di villaku?” Arvy mulai marah dan tak suka dengan apa yang diputuskan oleh Vanilla tanpa sepengetahuannya.Vanilla tak menjawab apa
Malam pun menjelang, setelah makan malam Arvy tetap akan duduk di depan balkon. Karena angin mulai sedikit dingin, Vanilla mengambil selimut dan memasangkannya ke tubuh Arvy. Tapi sayang Arvy membuang selimut itu dan memilih kembali ke dalam villa lalu menuju dapur. Vanilla tetap mengikutinya dari belakang.Karena meraba-raba beberapa lemari, akhirnya Vanilla menawarkan bantuannya untuk mencari barang yang dicari oleh Arvy.“Kau ingin mencari apa? Aku akan mengambilkannya.” Vanilla menawarkan bantuannya.Arvy tak menjawab lalu dia berjongkok dan membuka pintu lemari bawah. Pria itu meraba ke dalamnya dan mengambil satu botol wine.“Kau sedang mengkonsumsi obat rutin, jadi lebih baik tak minum wine dulu. Itu tak baik untuk kesehatanmu,” kata Vanilla mengingatkan.“Obat itu tak akan membuat mataku kembali melihat, bukan? Diamlah dan jangan campuri urusanku.” Arvy tak peduli, lalu membuka botol wine itu dan berjalan lagi ke arah balkon.“Dokter bilang, ini hanya keadaan sementara karen
Ketakutan dan sakit yang tak terbayangkan melanda dirinya saat Arvy semakin kejam padanya. Setiap serangan yang dia terima terasa seperti pukulan yang melukai tidak hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya yang hancur.Meskipun tubuh Vanilla rapuh, kekuatan dalam dirinya yang tersisa mendorongnya untuk bertahan. Dia mencoba menangkup wajah Arvy dan menbuatnya tersadar, meskipun Arvy dalam keadaan yang sudah mabuk. Setiap tarikan nafasnya penuh dengan rasa sakit yang tak terlupakan.“Arvy, apakah ini akan membuatmu puas jika menyakitiku? Apakah dendammu akan terbalaskan jika melakukan ini padaku?” “Ya, kau merusak tubuhku, jadi aku harus merusakmu!” geram Arvy.“Baiklah, lakukan semaumu,” jawab Vanilla lirih dan hal itu membuat Arvy semakin tak terkendali.Vanilla menganggap bahwa ini semua mungkin sebagai balasan untuknya yang telah membuat Arvy buta.Hingga akhirnya Vanilla tak lagi melawan dan membiarkan Arvy menyentuhnya hingga pria itu bisa menuntaskan semua hasrat dan dendamnya menj
Arvy, juga tak kalah bimbangnya. Dia masih punya hati, namun rasa benci membutakan mata hatinya juga hingga dia merasa tak ingin berurusan dengan Vanilla.Arvy berharap Vanilla tak sampai hamil agar mereka tak terikat selamanya karena hadirnya seorang anak.Namun, tanpa disangka, percakapan itu didengar oleh Izzy dan Aiden, orang tua Arvy yang memang sedang ingin mengunjungi sang putra yang tiba-tiba pergi ke villa.“Apa-apaan ini? Arv, apa yang kau lakukan pada Vanilla?” bentak Izzy dengan wajah marah.Vanilla tentu saja kaget dengan kemunculan Izzy dan Aiden yang begitu tiba-tiba di ambang pintu.Izzy masuk ke dalam dengan langkah kemarahan. Lalu tangannya mengangkat ke atas dan terdengar bunyi tamparan yang keras di pipi Arvy.PLAKVanilla kaget dengan tindakan Izzy pada Arvy. Namun, dia tak berani ikut campur dalam pertikaian itu meskipun ada andil di dalamnya.“Ya, aku memang brengsek, Mom. Aku melakukan hal bejat, dan mommy boleh menghukum apa pun padaku.” Arvy tampak pasrah den
Hari-hari dilalui keduanya hingga pada suatu saat, Arvy terjauh di tangga beranda halaman belakang dan membuat kepalanya terbentur keras bahkan sampai berdarah.Vanilla begitu panik karena dia merasa bersalah tak menjaga Arvy dengan baik. Vanilla panik dan menyuruh pelayan untuk menelepon Dokter.Vanilla membawa Arvy yang masih bisa berdiri dan berjalan ke arah sofa di dekat pintu beranda."Apakah sakit?" tanya Vanilla sembari menahan darah di kepala bagian kanan Arvy.Arvy tak menjawab seperti biasanya. Lalu Vanilla menyuruh pelayan untuk mengambil peralatan medis sementara sembari menunggu Dokter datang.Vanilla melihat darah sudah berhenti mengalir. Wanita itu membersihkan lukanya dan melihat goresan yang pendek di kepala bagian kanan Arvy."Maaf, aku tak menjagamu dengan benar.” Vanilla meniup kepala Arvy yang terluka sembari mengusapkan alkohol ke sekitar luka itu agar tak infeksi.Lalu Vanilla memeriksa kepala Arvy bagian kiri dan juga tangan serta kakinya. Dia takut ada luka la
CEKLEKVanilla membuka pintunya dan Dokter dan pelayan ada di depannya.Dokter itu melihat ke arah Vanilla dan tersenyum padanya. Tampaknya Dokter yang datang kali ini berbeda dengan Dokter biasanya karena Dokternya cukup muda dan lumayan tampan.“Masuklah, Dokter,” ucap Vanilla dengan ramah dan Dokter itu pun masuk ke dalam. Arvy sudah ada di ranjangnya dan menyandar di sandaran ranjang.Dokter itu membuka plester dan memeriksa lukanya.“Pertolongan pertama yang anda lakukan sangat tepat, Nona. Darahnya sudah berhenti dan aku hanya tinggal menjahit lukanya saja.” Dokter itu tersenyum pada Vanilla.Vanilla hanya mengangguk saja dan melihat ke arah luka di kepala kanan Arvy.Arvy sama sekali tak berekspresi ketika Dokter itu mulai menyuntikkan obat bius dan menjahit luka Arvy beberapa menit kemudian.Vanilla sedikit meringis melihat hal itu meskipun bukan dia yang terluka. Tak lama kemudian, Dokter pun selesai menjahit luka dan menutup kembali luka di kepala Arvy.Vanilla akhirnya bis
Lima tahun berlalu ... "Honey, apakah tak ada negara lain yang lebih dekat?" tanya Arvy ketika Vanilla bersikeras ingin melahirkan di Sidney--hanya karena ingin anaknya yang kedua dinamai dengan nama Sidney.Dan kali ini anak mereka kembali berjenis kelamin perempuan."Kau keberatan menemaniku? Aku tak butuh ditemani jika kau tak mau, Sayang," jawab Vanilla dengan santai."Oh my God ... Tentu saja aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di saat kau sedang hamil," sahut Arvy."Kandunganku sudah delapan bulan dan sebentar lagi aku tak bisa ke mana pun lagi naik pesawat jika tak sekarang. Jadi aku akan berangkat dulu ke Australia agar tak mengganggu pekerjaanmu. London akan bersamaku," kata Vanilla sembari memakai serealnya."Kau membuatku berada di posisi yang sulit, Honey," jawab Arvy.Vanilla melihat ke arah Arvy."Apakah aku hamil setiap tahun? Aku tak ingin merepotkanmu sama sekali, Sayang. Aku bisa pergi sendiri dan dulu aku juga sendirian ketika hamil London. Kau bahkan tak meneman
Vanilla menghela panjang napasnya dan merasakan ketulusan dari ucapan Arvy.“Tidak, ini semua karena salahku.”“Jangan membahas hal itu lagi, oke?” kata Arvy dan Vanilla mengangguk.Arvy tak ingin melihat ke belakang dan hanya ingin menjalani masa depan yang indah bersama Vanilla dan juga London.Baru saja Arvy ingin kembali memagut bibir Vanilla, namun suara tangis London terdengar dari sebelah kamar.“Ups sorry,” kata Vanilla dan berbalik pergi mendatangi sang buah hati.Arvy menghela nafasnya dan menuju ke kamar London. Arvy melihat mata London kini sudah terbuka lebar.Arvy mengambil alih gendongan Vanilla dan menggendong London.“Hei, kau ingin tidur bersama Daddy?” Arvy menciumi wajah lucu London dan membawa putrinya itu ke kamarnya.Vanilla mengikuti langkah Arvy di belakangnya.“Aku akan mandi dulu,” kata Vanilla.“Hmm, aku akan menjaga London,” sahut Arvy yang tampaknya kegiatan ranjangnya terjeda iklan karena London.**Setengah jam kemudian, Vanilla keluar dari kamar man
ArvanArvy membuka matanya ketika dia mendengar suara tangis London dari kamar sebelah. Pria itu kemudian membuka matanya dan tak melihat Vanilla di sampingnya. Arvy berpikir mungkin Vanilla sudah berada di kamar putri mereka.Lalu Arvy beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar London sembari mengusap wajahnya yang masih tampak mengantuk dan matanya berat untuk terbuka. Namun, Arvy tak melihat Vanilla di sana. Pria itu kemudian mengambil London dari box bayinya dan menggendongnya.Seperti biasa, London akan langsung tenang jika Arvy menggendong dan mengayunnya pelan. London tampak menutup matanya lagi dan sepertinya tadi Vanilla sudah menyusui London karena bibir bayi kecil itu tampak basah.Setelah London tertidur kembali, Arvy kembali meletakkan putrinya ke dalam box bayinya dan menyelimutinya lalu menciumnya.Arvy kemudian keluar dari kamar dan mencari keberadaan Vanilla. Pria itu berjalan ke arah dapur dan melihat Vanilla sedang meminum obat karena di meja yang ada depannya
TOKTOKTOKPintu kamar mandi terketuk dari luar dan bisa dipastikan itu adalah Arvy.Vanilla menggigit gigit bibirnya sendiri dan masih mondar mandir di dalam kamar mandi dengan menggunakan pakaian dalamnya saja."Vanilla? Kau di dalam?" tanya Arvy dari luar pintu."Ya," jawab Vanilla dan tubuhnya semakin gelisah."Oke," sahut Arvy dan tak mengetuk pintunya lagi.Beberapa detik kemudian, Vanilla memutuskan untuk keluar karena dia sudah tak tahan lagi. Dia memilih untuk menuntaskannya bersama Arvy daripada berendam di dalam bathtub yang terisi air dingin.CEKLEKVanilla keluar dengan menggunakan handuk saja yang terlilit di dadanya. Vanilla melihat Arvy tampak sudah membuka bajunya dan membuat gairah Vanilla semakin tinggi dan tak tertahankan lagi. Ya, mungkin hanya dengan cara ini semuanya bisa dimulai tanpa ragu oleh Vanilla daripada memulainya dengan cara normal karena dia pasti akan sangat malu jika harus memulainya terlebih dulu.Vanilla menghampiri Arvy dan memegang tangannya.
Keesokan harinya, Izzy datang ke mansion Vanilla setelah sebelumnya dia menemui Arvy di perusahaannya. Izzy mulai mengetahui dan mencerna masalah yang sebenarnya terjadi di antara Arvy dan Vanilla setelah Arvy menjelaskan hubungannya dengan Vanilla yang semakin membaik namun hanya seperti teman atau sahabat saja--tidak lebih.Dan kali ini Izzy akan campur tangan. Sebelum menuju ke mansion, tadi Izzy menyempatkan pergi ke sebuah rumah sakit di mana teman Glow memberikan obat pada Izzy atas perintah Glow tadi sore.Setelah itu, Izzy pun pergi ke mansion Arvy untuk bertemu Vanilla dan cucu tunggalnya--London.Setibanya di sana, Izzy langsung menemui Vanilla yang ternyata sedang makan malam sendirian."Mom?" ucap Vanilla ketika melihat Izzy tiba di mansionnya secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan."Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu?" tanya Izzy dan mencium pipi sang menantu."Aku sangat baik. Mommy tak bilang akan kemari," jawab Vanilla yang kemudian berdiri."Duduklah, ayo kita makan bersa
Dengan langkah pelan setelah seharian bekerja, Arvy memasuki mansion megah yang selalu menunggu kedatangannya. Bangunan tersebut seolah menyambutnya dengan hangat, tetapi hatinya hanya memiliki ruang untuk dua wanita yang berarti segalanya baginya yaitu putrinya, London, dan istrinya, Vanilla.Tanpa ragu, Arvy mengarahkan langkahnya menuju kamar kecil yang didekorasi dengan beragam warna pastel. Di dalamnya, bayi kecil London tengah tertidur dengan wajah yang tak terbantahkan cantiknya. Wajah lucunya yang menawan dan bibirnya yang lembut mencairkan hati Arvy setiap kali dia melihatnya."Selalu membuatku merindukanmu, Honey," gumam Arvy berbisik dan kemudian menciumnya perlahan. Setiap hari dia meluangkan waktu setiap hari untuk bersama London, meyakinkan dirinya bahwa dia adalah ayah yang baik bagi sang putri.Kehidupan Arvy selalu berputar dalam lingkaran dua wanita ini, meskipun hubungannya dengan Vanilla belum seperti pasangan suami-istri biasa. Meskipun sudah dua bulan sejak pern
"It's oke. Biar aku yang memegangnya. Maaf, tadi bibi mengatakan padaku bahwa kau mencariku dan itulah mengapa aku masuk kemari karena aku berpikir kau sedang membutuhkan bantuanku," jawab Arvy tanpa mengalihkan pandangannya."Arvy, bisakah kau keluar dulu?" ucap Vanilla yang akhirnya duduk agar tubuhnya tertutupi oleh tubuh gemol London yang digendong di depannya."Kau tak membutuhkan bantuanku?" tanya Arvy."Aku akan membersihkan tubuhku dan London di bawah shower dulu lalu aku akan memanggilmu," jawab Vanilla."Baiklah," jawab Arvy dengan santai meskipun sebenarnya kini darahnya berdesir cepat karena melihat tubuh polos Vanilla yang sebenarnya masih tertutupi oleh London.Tapi meskipun begitu, Arvy bisa melihat dengan jelas lekuk tubuh Vanilla yang bagaikan gitar spanyol itu.Arvy kemudian keluar dari kamar mandi dan menunggu di balik pintu."Damn!" gumamnya tanpa bersuara dan hanya menggerakkan bibirnya saja.Tak sekali ini saja Arvy dibuat pening oleh hal-hal seperti ini karena m
“Terima kasih,” ucap Vanilla ketika dia melihat Arvy baru memasuki kamar yang kini resmi menjadi kamar mereka berdua.Arvy melihat ke arah Vanilla di balik temaramnya lampu kamar karena London sudah tidur dengan nyenyak di box bayinya.“Hmm, kau belum tidur?” tanya Arvy sedikit berbisik karena takut mengganggu tidur London.“Aku baru menyusui London dan aku ingin menemui Mommy dulu sebentar lagi. Apakah mereka sudah pulang?” tanya Vanilla.“Ya, mereka baru saja pulang dan besok mereka akan kembali kemari,” jawab Arvy menghampiri Vanilla.Arvy kemudian mengecup bibir Vanilla.“Tidurlah, aku tahu kau sangat lelah,” kata Arvy sembari mengusap pipi Vanilla dengan lembut.Vanilla menatap mata Arvy yang kini sangat berbeda jauh dengan ketika mereka pertama kali saling mengenal.“Kau boleh memintanya kapan pun padaku,” kata Vanilla dengan tulus karena dia tak pernah mempermainkan sebuah hubungan. Dan Arvy tahu dengan apa yang dimaksud oleh Vanilla.Arvy menatap lekat netra cantik itu lalu me
Arvy menggenggam tangan Vanilla dengan hati yang penuh cinta. "Vanilla," katanya dengan lembut, "Aku tahu kau khawatir tentang pernikahan ini. Tapi aku ingin kita memulai hidup bersama dengan awal yang indah. Aku ingin semua orang tahu bagaimana kita akan menjadi keluarga yang luar biasa untuk London."Vanilla menatap mata Arvy, ekspresinya mencerminkan kebingungan. "Tapi, Arvy, London masih sangat kecil. Dia masih membutuhkanku setiap saat. Aku takut pernikahan besar ini akan membuatku terlalu sibuk dan membuat London kehilangan perhatian dariku," sahut Vanilla.Arvy mencium tangan Vanilla dengan lembut. "Kau tahu, aku dan keluargaku selalu mendukungmu. Dan mereka akan membantu kita," jawab Arvy."Aku tetap ingin pernikahan yang sederahan, Arvy," ucap Vanilla."Baiklah, kita bisa membuat pernikahan ini sesederhana yang kau inginkan. Yang terpenting adalah kita bersama, dan kita merayakan kebahagiaan kita. Jadi kita akan menikah di catatan sipil saja, hanya dengan keluarga dan te