TOKTOKTOKPintu kamar mandi terketuk dari luar dan bisa dipastikan itu adalah Arvy.Vanilla menggigit gigit bibirnya sendiri dan masih mondar mandir di dalam kamar mandi dengan menggunakan pakaian dalamnya saja."Vanilla? Kau di dalam?" tanya Arvy dari luar pintu."Ya," jawab Vanilla dan tubuhnya semakin gelisah."Oke," sahut Arvy dan tak mengetuk pintunya lagi.Beberapa detik kemudian, Vanilla memutuskan untuk keluar karena dia sudah tak tahan lagi. Dia memilih untuk menuntaskannya bersama Arvy daripada berendam di dalam bathtub yang terisi air dingin.CEKLEKVanilla keluar dengan menggunakan handuk saja yang terlilit di dadanya. Vanilla melihat Arvy tampak sudah membuka bajunya dan membuat gairah Vanilla semakin tinggi dan tak tertahankan lagi. Ya, mungkin hanya dengan cara ini semuanya bisa dimulai tanpa ragu oleh Vanilla daripada memulainya dengan cara normal karena dia pasti akan sangat malu jika harus memulainya terlebih dulu.Vanilla menghampiri Arvy dan memegang tangannya.
ArvanArvy membuka matanya ketika dia mendengar suara tangis London dari kamar sebelah. Pria itu kemudian membuka matanya dan tak melihat Vanilla di sampingnya. Arvy berpikir mungkin Vanilla sudah berada di kamar putri mereka.Lalu Arvy beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar London sembari mengusap wajahnya yang masih tampak mengantuk dan matanya berat untuk terbuka. Namun, Arvy tak melihat Vanilla di sana. Pria itu kemudian mengambil London dari box bayinya dan menggendongnya.Seperti biasa, London akan langsung tenang jika Arvy menggendong dan mengayunnya pelan. London tampak menutup matanya lagi dan sepertinya tadi Vanilla sudah menyusui London karena bibir bayi kecil itu tampak basah.Setelah London tertidur kembali, Arvy kembali meletakkan putrinya ke dalam box bayinya dan menyelimutinya lalu menciumnya.Arvy kemudian keluar dari kamar dan mencari keberadaan Vanilla. Pria itu berjalan ke arah dapur dan melihat Vanilla sedang meminum obat karena di meja yang ada depannya
Vanilla menghela panjang napasnya dan merasakan ketulusan dari ucapan Arvy.“Tidak, ini semua karena salahku.”“Jangan membahas hal itu lagi, oke?” kata Arvy dan Vanilla mengangguk.Arvy tak ingin melihat ke belakang dan hanya ingin menjalani masa depan yang indah bersama Vanilla dan juga London.Baru saja Arvy ingin kembali memagut bibir Vanilla, namun suara tangis London terdengar dari sebelah kamar.“Ups sorry,” kata Vanilla dan berbalik pergi mendatangi sang buah hati.Arvy menghela nafasnya dan menuju ke kamar London. Arvy melihat mata London kini sudah terbuka lebar.Arvy mengambil alih gendongan Vanilla dan menggendong London.“Hei, kau ingin tidur bersama Daddy?” Arvy menciumi wajah lucu London dan membawa putrinya itu ke kamarnya.Vanilla mengikuti langkah Arvy di belakangnya.“Aku akan mandi dulu,” kata Vanilla.“Hmm, aku akan menjaga London,” sahut Arvy yang tampaknya kegiatan ranjangnya terjeda iklan karena London.**Setengah jam kemudian, Vanilla keluar dari kamar man
Lima tahun berlalu ... "Honey, apakah tak ada negara lain yang lebih dekat?" tanya Arvy ketika Vanilla bersikeras ingin melahirkan di Sidney--hanya karena ingin anaknya yang kedua dinamai dengan nama Sidney.Dan kali ini anak mereka kembali berjenis kelamin perempuan."Kau keberatan menemaniku? Aku tak butuh ditemani jika kau tak mau, Sayang," jawab Vanilla dengan santai."Oh my God ... Tentu saja aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di saat kau sedang hamil," sahut Arvy."Kandunganku sudah delapan bulan dan sebentar lagi aku tak bisa ke mana pun lagi naik pesawat jika tak sekarang. Jadi aku akan berangkat dulu ke Australia agar tak mengganggu pekerjaanmu. London akan bersamaku," kata Vanilla sembari memakai serealnya."Kau membuatku berada di posisi yang sulit, Honey," jawab Arvy.Vanilla melihat ke arah Arvy."Apakah aku hamil setiap tahun? Aku tak ingin merepotkanmu sama sekali, Sayang. Aku bisa pergi sendiri dan dulu aku juga sendirian ketika hamil London. Kau bahkan tak meneman
Dalam redupnya cahaya lampu di ruang kerjanya, Vanilla Baker terus menggebu-gebu mengetik di laptopnya. Walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, semangat kerjanya belum padam. Wajahnya yang penuh dedikasi terpancar meski lelah mulai menghampiri. Raut wajah Vanilla mencerminkan ketekunan seorang profesional yang berkomitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Pekik ketidakpuasan dari jam dinding tak mampu menghentikan langkahnya. Setumpuk dokumen berserakan di sekitarnya, namun dia tak gentar. Malam ini adalah batas waktu yang harus dihormati untuk menyelesaikan tugasnya. Ponselnya berdering, mengingatkannya tentang waktu yang terus berlalu. Vanilla mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanan melibatkan pikirannya dalam setiap kata yang dituliskannya. Besok adalah meeting penting dengan atasan dan petinggi perusahaan. Kepuasan dan prestasinya menjadi taruhannya. Meski lelah, Vanilla terus menari dengan jari-jarinya di atas keyboard, menciptakan sebuah kary
Beberapa waktu kemudian, orang yang berada di bangku kemudi langsung dikeluarkan dari mobil setelah melewati proses evakuasi yang cukup sulit. Dan orang itu bernama Arvy Ergon Wilson. Vanilla mengetahuinya setelah petugas medis melihat tanda pengenalnya. Tubuhnya di angkat ke ambulans dan Vanilla ikut menemani di sebelahnya sampai tiba di rumah sakit. Takdir mempertemukan Vanilla dengan kejadian yang tak terduga ini, membuatnya menyadari bahwa malam itu membawa dua peristiwa pahit yang mendalam ke dalam hidupnya. Dalam tangisannya, dia memahami betapa rapuhnya kehidupan, di mana sebuah malam bisa merubah segalanya. * * Seorang wanita muda tampak mengangkat telepon dari sang ibu di saat dirinya masih berada di villa untuk berbulan madu. Ya, wanita itu tak lain adalah adik dari Arvy yang berprofesi sebagai seorang dokter di Spanyol, dan kebetulan kini dia sedang menjalani momen bulan madunya di kota asalnya. Glow dan Blaze, suaminya, sudah seminggu berada di vila dan ma
Operasi sudah berlangsung beberapa jam dan membuat ketiga orang yang menunggunya di luar tampak makin panik karena operasi tak kunjung selesai. Tak berapa lama, Glow — adik Arvy— pun datang bersama sang suami — Blaze. "Apa kata Dokter, Mom?" Wajah Glow terlihat khawatir. "Arvy masih dioperasi," jawab Izzy yang kemudian memeluk Glow. "Tenanglah, tak akan terjadi apa-apa pada kakak. Dia sangat kuat, Mom.” Glow berusaha menguatkan sang Mommy. Lalu Blaze melihat ke arah Vanilla. "Siapa kau?" Hal itu membuat Glow menoleh juga pada Vanilla. Vanilla tampak kembali merasa bersalah lagi atas hal ini. Kemudian Izzi menceritakan kejadiannya dan apa yang membuat Vanilla berada di sini. Glow mendekati Vanilla yang tampak masih ketakutan dan gemetar. "Hei, tak apa-apa. Ini adalah kecelakaan dan takdir. Berdoa saja kakakku baik-baik saja.” Glow memegang tangan Vanilla yang gemetar. Vanilla melihat ke arah Glow dan meminta maaf padanya dengan menahan tangisnya. Glow tak menyalahkan Vanilla u
Arvy tampak terdiam dan Izzy menggenggam tangannya dengan erat sembari terus menguatkannya. “Jangan khawatir. Kau masih akan bisa melihat, Arvy. Percayalah pada Mommy.” Izzy menenangkan suasana hati Arvy yang begitu buruk saat ini. Arvy tak menjawab apa pun dan Vanilla tak berani bersuara sedikit pun. Glow menyarankan agar untuk sementara mereka tak bicara soal Vanilla pada Arvy sampai suasana hati sang kakak membaik mengingat Arvy cukup emosional. “Aku ingin sendirian dan segera keluar dari sini.” Arvy terlihat begitu frustasi dan sikapnya sangat dingin. Glow mulai mendekati Arvy. “Kakak harus dirawat di sini sampai kondisi kepala kakak membaik.” “Aku ingin pulang dan dokter bisa datang ke mansionku!” bentak Arvy. “Hei, jangan membentak istriku!” Blaze iku marah ketika sang istri dibentak seperti itu. Glow mencubit tangan Blaze agar diam dan tak bicara sembarangan pada Arvy. “Dia tetap saja menyebalkan,” bisik Blaze. “Honey, diamlah!” Glow berbisik sambil membelalakkan matany