Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 28: Konflik Kecil Berdampak Besar

Share

Bab 28: Konflik Kecil Berdampak Besar

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-22 16:45:26

Langit Jakarta menjelang sore tampak kelabu, pertanda hujan mungkin akan turun kapan saja. Angin berembus pelan, membawa hawa lembap yang semakin menegaskan firasat itu. Di dalam mobil yang melaju mulus di tengah hiruk-pikuk ibu kota, suasana justru terasa jauh dari nyaman.

Laksha duduk di kursi pengemudi, jemarinya mencengkeram setir sedikit lebih erat dari biasanya. Rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalan, tetapi Amara tahu pikirannya sedang melayang entah ke mana.

Di sebelahnya, Amara bersedekap, menatap ke luar jendela dengan bibir mengerucut. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, menggantung di udara seperti awan yang menahan hujan.

Semua ini berawal dari obrolan yang—seharusnya—biasa saja saat makan siang tadi.

Mereka memilih sebuah restoran mewah di kawasan SCBD, tempat yang dipilih Laksha untuk membicarakan beberapa agenda penting terkait pernikahan kontrak mereka.

Restoran itu begitu elegan—lampu gantung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 29: Pelajaran Baru

    Denting peralatan makan terdengar lembut di ruang makan keluarga Wijanarko. Meja panjang dari kayu mahoni mengilap tertata sempurna dengan piring porselen beraksen emas dan gelas kristal yang memantulkan cahaya hangat dari lampu gantung mewah di atasnya.Di sekelilingnya, ruangan terasa begitu megah dan berkelas—sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari apa yang selama ini Amara kenal. Ia duduk tegak di salah satu kursi dengan punggung lurus, berusaha menyesuaikan diri dengan atmosfer yang terasa asing dan kaku. Aroma makanan yang harum memenuhi udara, tetapi alih-alih merasa nyaman, ia justru merasa seperti tamu yang tidak diundang di tempat ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko duduk anggun, seperti seorang ratu di singgasananya. Wajahnya tanpa cela, senyumnya tipis namun penuh perhitungan, dan sorot matanya tajam, seolah tengah menimbang dan menilai. "Pegang garpunya sedikit lebih ringan," ujar Indira akhirnya. Suaranya lembut

    Last Updated : 2025-02-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 30: Laksha yang Terduga

    Sorot lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel mewah itu, menciptakan refleksi cahaya yang menari lembut di permukaan marmer mengilap. Suasana dipenuhi gemerincing gelas sampanye, tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir seperti arus sungai yang tenang.Para tamu berseliweran dalam balutan busana terbaik mereka—gaun-gaun berkilauan yang jatuh anggun hingga lantai, jas mahal yang tersetrika sempurna, serta percakapan yang bergulir dengan elegansi khas kalangan elite. Di tengah gemerlap itu, Amara berdiri di sisi Laksha. Punggungnya tegak, dagunya sedikit terangkat—postur yang telah Indira ajarkan dengan telaten selama berbulan-bulan.Gaun biru tua yang ia kenakan tidak semewah milik tamu-tamu lain, tetapi cukup elegan untuk membantunya melebur tanpa terlihat mencolok. Di sebelahnya, Laksha berdiri dengan caranya yang khas—tenang, percaya diri, dan tanpa perlu berusaha pun, aura kewibawaannya memanca

    Last Updated : 2025-02-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 31: Hari Tanpa Batas

    Hujan masih setia menyelimuti pagi dengan ritme lembutnya, membentuk simfoni yang mengalun di atas atap rumah megah tempat Amara kini tinggal. Udara basah membawa serta aroma tanah yang khas, menelusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Langit tetap kelabu, enggan memberi ruang bagi matahari untuk menampakkan diri.Di ruang keluarga yang luas dan hangat, Amara duduk di ujung sofa, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Di tangannya, secangkir teh mengepulkan asap tipis, aromanya samar bercampur dengan hangatnya api perapian yang menyala tenang di sudut ruangan.Ia sudah mencoba menyibukkan diri sejak tadi—membaca buku, menggulir ponsel, bahkan sempat merapikan rak di kamarnya—tapi tetap saja, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: ia terjebak di rumah bersama Laksha.Suara langkah mendekat dari belakang, diikuti oleh suara yang terlalu akrab di telinganya."Kenapa melamun?"Amara menoleh sedikit. Laksha berdiri di amba

    Last Updated : 2025-02-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 32: Tembok yang Retak

    Hujan masih menari di atas atap, meninggalkan jejak-jejak air yang berkilauan di kaca jendela. Rintiknya jatuh berulang, menciptakan irama samar yang berbaur dengan keheningan dalam rumah.Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik kehangatan yang baru saja tercipta di dapur. Namun, di sini—di antara dua mangkuk ramen yang mengepul dan percakapan yang masih menggantung—ada sesuatu yang berubah.Sesuatu yang lebih lembut dari sekadar kesepakatan bisnis, lebih nyata daripada status istri kontrak yang membatasi mereka.Amara mengaduk ramen dalam mangkuknya, memperhatikan uap yang perlahan melayang sebelum menghilang. Suara Laksha barusan masih terngiang di kepalanya, menggantung di udara seakan menunggu jawaban."Banyak hal tentang aku yang nggak kamu tahu."Ia mengangkat wajahnya, menemukan sepasang mata Laksha yang tetap terarah padanya. Tatapan itu tidak lagi dipenuhi gurauan atau sarkasme seperti biasa

    Last Updated : 2025-02-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 33: Pengganggu dari Masa Lalu

    Udara pagi masih menggantungkan sisa-sisa dinginnya ketika Amara melangkah ke ruang makan. Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela, masih terhalang selimut tipis kabut yang melayang rendah.Di dalam rumah, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi mentega yang perlahan meleleh di atas roti panggang, membawa kehangatan samar di antara udara yang masih enggan beranjak dari sisa-sisa malam. Amara mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk yang masih bertengger di kelopak matanya. Ia menarik kursi di seberang Laksha dan duduk, mengamati pria itu dalam diam.Laksha sudah lebih dulu di sana—duduk dengan punggung tegak, satu tangan melingkari cangkir kopi, sementara tangan lainnya mencengkeram ponselnya erat-erat. Ekspresinya berbeda pagi ini.Bukan dingin dan tak terbaca seperti biasa, tapi juga bukan santai seperti tadi malam, saat pria itu tanpa canggung memasakkan ramen untuknya. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik so

    Last Updated : 2025-02-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 34: Kisah yang Belum Selesai

    Kedai kopi itu dipenuhi aroma robusta yang pekat, bercampur dengan suara gemerincing gelas dan dentingan sendok yang beradu dengan piring kecil. Dari balik jendela besar, gerimis halus masih turun, membasahi trotoar yang memantulkan cahaya lampu jalan.Senja belum sepenuhnya tiba, tapi langit kelabu membuat suasana terasa lebih murung dari seharusnya.Di sudut ruangan, Laksha duduk diam. Punggungnya tegak, satu tangan menggenggam cangkir espresso yang sudah mulai dingin. Sesekali, ia mengamati cairan hitam di dalamnya, seolah ada sesuatu di sana yang bisa memberinya jawaban.Di hadapannya, Lidya tersenyum tipis. Bibir merahnya melengkung dengan sempurna, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ada ketenangan di wajahnya, tapi matanya menyimpan cerita yang belum selesai.“Sudah lama, ya?” Suaranya terdengar ringan, tapi sorot matanya berbicara lebih dari sekadar nostalgia.Laksha hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendel

    Last Updated : 2025-02-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 35: Awal dari Sebuah Perubahan

    Langit sore mulai meredup, perlahan berubah menjadi semburat jingga keemasan yang lembut. Cahaya senja menerobos melalui jendela besar ruang keluarga, memantulkan bayangan samar di lantai marmer yang dingin.Udara masih membawa jejak kelembapan dari hujan siang tadi, menyebarkan aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan wangi teh yang masih mengepul di meja.Laksha berjalan santai keluar dari ruang kerjanya. Jas dan dasi sudah ia lepas sejak tadi, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia menghela napas perlahan, mencoba mengurai pikiran yang masih dipenuhi sisa bayangan pertemuannya dengan Lidya.Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa pikirannya kini tak lagi terpaku pada wanita itu.Matanya langsung tertuju pada sosok Amara yang duduk bersila di sofa. Hoodie kebesaran membungkus tubuhnya, sementara celana santainya tampak kusut, seakan menegaskan bahwa ia benar-benar tenggelam dalam kenyamanan rumah.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 36: Makan Malam yang Kaku

    Langit Jakarta semakin gelap ketika mobil hitam mengilap itu meluncur melewati gerbang besar rumah keluarga Wijanarko. Di dalamnya, Amara duduk di samping Laksha, kedua tangannya mengepal erat di atas pangkuan.Sejak mereka meninggalkan apartemen, perutnya terasa menciut, seolah ada simpul tak kasatmata yang mengencang setiap kali ia mengingat tujuan mereka malam ini. Kini, saat roda mobil berdecit halus di atas jalan berbatu menuju mansion, ia merasakan keringat dingin mulai menggenang di telapak tangannya. “Kamu tegang,” suara Laksha memecah keheningan. Amara menoleh, mendapati pria di sampingnya yang tampak nyaris terlalu santai dalam balutan kemeja hitam dengan kancing atas yang sengaja dibiarkan terbuka.Sikapnya tenang, tanpa beban, seolah makan malam ini hanyalah formalitas biasa—bukan sebuah pertemuan yang bisa menentukan bagaimana keluarganya akan memandang Amara. “Tentu saja,&rdqu

    Last Updated : 2025-02-26

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 92: Di Antara Rindu dan Luka

    Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 91: Sebelum Semuanya Terlambat

    Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 90: Bayangan di Permukaan Kaca

    Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 89: Sisa Hujan di Hati

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 88: Di Bawah Rinai Hujan

    Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.Kemana dia pergi?Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.Jika ia ingin menghilang, ke mana?Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 87: Jejak yang Tertinggal

    Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen dengan ritme yang seolah menggema di dalam dadanya. Langit di luar kelabu pekat, serupa kanvas kusam yang mencerminkan benang kusut dalam kepalanya.Udara membawa aroma aspal basah dan samar-samar dingin yang merayapi kulit, tetapi Laksha nyaris tak menyadarinya.Ia terduduk di atas sofa, satu tangan menopang dahinya, sementara tangan lain menggenggam gelas kristal berisi bourbon yang tak tersentuh. Cairan keemasan itu berpendar redup di bawah cahaya lampu, tetapi tak ada daya tariknya malam ini.Ruangan ini... terlalu luas. Terlalu sunyi.Dulu, selalu ada suara langkah kecil yang tergesa-gesa di pagi hari, gemerisik sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyelusup dari dapur. Selalu ada dengusan kesal atau lirikan tajam yang mengiringi candaan sarkastisnya.Selalu ada suara Amara.Selalu ada Amara.Sekarang? Kosong.Laksha menghela napas panjang, pundaknya tu

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 86: Ketika Kata Tal Lagi Bermakna

    Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 85: Persimpangan yang Tak Terlihat

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 84: Tembok yang Hampir Runtuh

    Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status