Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 30: Laksha yang Terduga

Share

Bab 30: Laksha yang Terduga

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-23 16:51:59

Sorot lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel mewah itu, menciptakan refleksi cahaya yang menari lembut di permukaan marmer mengilap. Suasana dipenuhi gemerincing gelas sampanye, tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir seperti arus sungai yang tenang.

Para tamu berseliweran dalam balutan busana terbaik mereka—gaun-gaun berkilauan yang jatuh anggun hingga lantai, jas mahal yang tersetrika sempurna, serta percakapan yang bergulir dengan elegansi khas kalangan elite.  

Di tengah gemerlap itu, Amara berdiri di sisi Laksha. Punggungnya tegak, dagunya sedikit terangkat—postur yang telah Indira ajarkan dengan telaten selama berbulan-bulan.

Gaun biru tua yang ia kenakan tidak semewah milik tamu-tamu lain, tetapi cukup elegan untuk membantunya melebur tanpa terlihat mencolok.  

Di sebelahnya, Laksha berdiri dengan caranya yang khas—tenang, percaya diri, dan tanpa perlu berusaha pun, aura kewibawaannya memanca

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 31: Hari Tanpa Batas

    Hujan masih setia menyelimuti pagi dengan ritme lembutnya, membentuk simfoni yang mengalun di atas atap rumah megah tempat Amara kini tinggal. Udara basah membawa serta aroma tanah yang khas, menelusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Langit tetap kelabu, enggan memberi ruang bagi matahari untuk menampakkan diri.Di ruang keluarga yang luas dan hangat, Amara duduk di ujung sofa, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Di tangannya, secangkir teh mengepulkan asap tipis, aromanya samar bercampur dengan hangatnya api perapian yang menyala tenang di sudut ruangan.Ia sudah mencoba menyibukkan diri sejak tadi—membaca buku, menggulir ponsel, bahkan sempat merapikan rak di kamarnya—tapi tetap saja, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: ia terjebak di rumah bersama Laksha.Suara langkah mendekat dari belakang, diikuti oleh suara yang terlalu akrab di telinganya."Kenapa melamun?"Amara menoleh sedikit. Laksha berdiri di amba

    Last Updated : 2025-02-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 32: Tembok yang Retak

    Hujan masih menari di atas atap, meninggalkan jejak-jejak air yang berkilauan di kaca jendela. Rintiknya jatuh berulang, menciptakan irama samar yang berbaur dengan keheningan dalam rumah.Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik kehangatan yang baru saja tercipta di dapur. Namun, di sini—di antara dua mangkuk ramen yang mengepul dan percakapan yang masih menggantung—ada sesuatu yang berubah.Sesuatu yang lebih lembut dari sekadar kesepakatan bisnis, lebih nyata daripada status istri kontrak yang membatasi mereka.Amara mengaduk ramen dalam mangkuknya, memperhatikan uap yang perlahan melayang sebelum menghilang. Suara Laksha barusan masih terngiang di kepalanya, menggantung di udara seakan menunggu jawaban."Banyak hal tentang aku yang nggak kamu tahu."Ia mengangkat wajahnya, menemukan sepasang mata Laksha yang tetap terarah padanya. Tatapan itu tidak lagi dipenuhi gurauan atau sarkasme seperti biasa

    Last Updated : 2025-02-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 33: Pengganggu dari Masa Lalu

    Udara pagi masih menggantungkan sisa-sisa dinginnya ketika Amara melangkah ke ruang makan. Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus jendela, masih terhalang selimut tipis kabut yang melayang rendah.Di dalam rumah, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi mentega yang perlahan meleleh di atas roti panggang, membawa kehangatan samar di antara udara yang masih enggan beranjak dari sisa-sisa malam. Amara mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk yang masih bertengger di kelopak matanya. Ia menarik kursi di seberang Laksha dan duduk, mengamati pria itu dalam diam.Laksha sudah lebih dulu di sana—duduk dengan punggung tegak, satu tangan melingkari cangkir kopi, sementara tangan lainnya mencengkeram ponselnya erat-erat. Ekspresinya berbeda pagi ini.Bukan dingin dan tak terbaca seperti biasa, tapi juga bukan santai seperti tadi malam, saat pria itu tanpa canggung memasakkan ramen untuknya. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik so

    Last Updated : 2025-02-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 34: Kisah yang Belum Selesai

    Kedai kopi itu dipenuhi aroma robusta yang pekat, bercampur dengan suara gemerincing gelas dan dentingan sendok yang beradu dengan piring kecil. Dari balik jendela besar, gerimis halus masih turun, membasahi trotoar yang memantulkan cahaya lampu jalan.Senja belum sepenuhnya tiba, tapi langit kelabu membuat suasana terasa lebih murung dari seharusnya.Di sudut ruangan, Laksha duduk diam. Punggungnya tegak, satu tangan menggenggam cangkir espresso yang sudah mulai dingin. Sesekali, ia mengamati cairan hitam di dalamnya, seolah ada sesuatu di sana yang bisa memberinya jawaban.Di hadapannya, Lidya tersenyum tipis. Bibir merahnya melengkung dengan sempurna, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ada ketenangan di wajahnya, tapi matanya menyimpan cerita yang belum selesai.“Sudah lama, ya?” Suaranya terdengar ringan, tapi sorot matanya berbicara lebih dari sekadar nostalgia.Laksha hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendel

    Last Updated : 2025-02-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 35: Awal dari Sebuah Perubahan

    Langit sore mulai meredup, perlahan berubah menjadi semburat jingga keemasan yang lembut. Cahaya senja menerobos melalui jendela besar ruang keluarga, memantulkan bayangan samar di lantai marmer yang dingin.Udara masih membawa jejak kelembapan dari hujan siang tadi, menyebarkan aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan wangi teh yang masih mengepul di meja.Laksha berjalan santai keluar dari ruang kerjanya. Jas dan dasi sudah ia lepas sejak tadi, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia menghela napas perlahan, mencoba mengurai pikiran yang masih dipenuhi sisa bayangan pertemuannya dengan Lidya.Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa pikirannya kini tak lagi terpaku pada wanita itu.Matanya langsung tertuju pada sosok Amara yang duduk bersila di sofa. Hoodie kebesaran membungkus tubuhnya, sementara celana santainya tampak kusut, seakan menegaskan bahwa ia benar-benar tenggelam dalam kenyamanan rumah.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 36: Makan Malam yang Kaku

    Langit Jakarta semakin gelap ketika mobil hitam mengilap itu meluncur melewati gerbang besar rumah keluarga Wijanarko. Di dalamnya, Amara duduk di samping Laksha, kedua tangannya mengepal erat di atas pangkuan.Sejak mereka meninggalkan apartemen, perutnya terasa menciut, seolah ada simpul tak kasatmata yang mengencang setiap kali ia mengingat tujuan mereka malam ini. Kini, saat roda mobil berdecit halus di atas jalan berbatu menuju mansion, ia merasakan keringat dingin mulai menggenang di telapak tangannya. “Kamu tegang,” suara Laksha memecah keheningan. Amara menoleh, mendapati pria di sampingnya yang tampak nyaris terlalu santai dalam balutan kemeja hitam dengan kancing atas yang sengaja dibiarkan terbuka.Sikapnya tenang, tanpa beban, seolah makan malam ini hanyalah formalitas biasa—bukan sebuah pertemuan yang bisa menentukan bagaimana keluarganya akan memandang Amara. “Tentu saja,&rdqu

    Last Updated : 2025-02-26
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 37: Perasaan Menyendiri

    "Kau mencintainya?"Suapan pertama Amara tertahan di ujung sendok. Jari-jarinya mencengkeram gagangnya sedikit lebih erat, namun ekspresi wajahnya tetap tenang—atau setidaknya, ia berusaha untuk terlihat begitu.Lidya tersenyum tipis, menikmati setiap detik keheningan yang menggantung di antara mereka. Indira, yang duduk tak jauh, melirik sekilas ke arah putranya, seakan ingin tahu bagaimana Laksha akan bereaksi terhadap pertanyaan itu.Amara menarik napas dalam, menenangkan dadanya sebelum menjawab. "Aku menikah dengannya. Tentu saja aku mencintainya."Jawaban itu terdengar sederhana, tapi atmosfer di meja makan tetap terasa berat. Aditya, dengan pandangan tajamnya, menatap menantunya lama—seolah mencari retakan di balik kata-kata yang diucapkannya."Kau tahu," katanya akhirnya, jari-jarinya mengaduk anggur dalam gelasnya dengan gerakan malas. "Sebelum menikah denganmu, Laksha hampir menikahi Lidya."Amara sudah tahu itu. Sudah

    Last Updated : 2025-02-27
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 38: Tekanan yang Tak Terucap

    Amara melangkah perlahan menyusuri koridor panjang rumah keluarga Wijanarko, setiap jejak tumitnya menekan marmer dingin yang mengilap.Udara malam menyelinap masuk dari jendela-jendela tinggi, membawa kesegaran yang seharusnya menenangkan, tapi tak cukup meredakan ketegangan yang menggumpal di dadanya.Makan malam tadi terasa seperti duduk di atas ranjau darat. Setiap gerakan, setiap kata, seolah ditimbang dan diawasi dengan saksama. Aditya Wijanarko jelas meragukannya, sementara Lidya tampak menikmati situasi itu dengan tatapan penuh arti.Dan Laksha… pria itu hanya duduk diam, tidak berusaha membelanya, tidak mengulurkan tangan untuk meredakan tekanan yang Amara rasakan.Amara mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya, berusaha menekan ketidaknyamanan yang merayap di benaknya. Ia tahu sejak awal bahwa menjadi bagian dari keluarga ini tidak akan mudah.Namun, ia tidak mengira bebannya akan seberat ini—terasa di setiap lirikan penuh peni

    Last Updated : 2025-02-27

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 134: Jika Aku Pergi, Akankah Kau Menahanku?

    Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 133: Meninggalkan Puncak, Membangun Akar

    Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 132: Saat Ibu Menentang Raja di Rumahnya Sendiri

    Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 131: Menantang Takdir Keluarga Wijanarko

    Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 130: Menggenggam Bara di Tangan Musuh

    Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 129: Langkah Terakhir Lidya

    Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 128: Menggenggammu di Bawah Langit Jakarta

    Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 127: Melawan Garis Takdir

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 126: Tanpa Syarat, Tanpa Kebohongan

    Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status