"Kau mencintainya?"
Suapan pertama Amara tertahan di ujung sendok. Jari-jarinya mencengkeram gagangnya sedikit lebih erat, namun ekspresi wajahnya tetap tenang—atau setidaknya, ia berusaha untuk terlihat begitu.
Lidya tersenyum tipis, menikmati setiap detik keheningan yang menggantung di antara mereka. Indira, yang duduk tak jauh, melirik sekilas ke arah putranya, seakan ingin tahu bagaimana Laksha akan bereaksi terhadap pertanyaan itu.
Amara menarik napas dalam, menenangkan dadanya sebelum menjawab. "Aku menikah dengannya. Tentu saja aku mencintainya."
Jawaban itu terdengar sederhana, tapi atmosfer di meja makan tetap terasa berat. Aditya, dengan pandangan tajamnya, menatap menantunya lama—seolah mencari retakan di balik kata-kata yang diucapkannya.
"Kau tahu," katanya akhirnya, jari-jarinya mengaduk anggur dalam gelasnya dengan gerakan malas. "Sebelum menikah denganmu, Laksha hampir menikahi Lidya."
Amara sudah tahu itu. Sudah
Amara melangkah perlahan menyusuri koridor panjang rumah keluarga Wijanarko, setiap jejak tumitnya menekan marmer dingin yang mengilap.Udara malam menyelinap masuk dari jendela-jendela tinggi, membawa kesegaran yang seharusnya menenangkan, tapi tak cukup meredakan ketegangan yang menggumpal di dadanya.Makan malam tadi terasa seperti duduk di atas ranjau darat. Setiap gerakan, setiap kata, seolah ditimbang dan diawasi dengan saksama. Aditya Wijanarko jelas meragukannya, sementara Lidya tampak menikmati situasi itu dengan tatapan penuh arti.Dan Laksha… pria itu hanya duduk diam, tidak berusaha membelanya, tidak mengulurkan tangan untuk meredakan tekanan yang Amara rasakan.Amara mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya, berusaha menekan ketidaknyamanan yang merayap di benaknya. Ia tahu sejak awal bahwa menjadi bagian dari keluarga ini tidak akan mudah.Namun, ia tidak mengira bebannya akan seberat ini—terasa di setiap lirikan penuh peni
Amara menatap pantulan dirinya di cermin kamar, jemarinya meremas ujung gaun satin yang membalut tubuhnya dengan anggun. Malam ini, keluarga Wijanarko mengadakan acara makan malam eksklusif bersama beberapa rekan bisnis penting, dan ia—sebagai istri Laksha—harus hadir.Setidaknya, itu yang tertulis dalam kontrak mereka.Tapi sejak percakapannya dengan Indira semalam, ada sesuatu yang berubah. Cara ia memandang semua ini tak lagi sama. Selama ini, ia menganggap dirinya satu-satunya pihak yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta ini. Namun kini, perlahan, sebuah kenyataan lain merayapi pikirannya.Bahwa Laksha juga terperangkap.Di balik sikapnya yang dingin, arogan, dan tak tergoyahkan, ada beban yang selama ini ia tanggung seorang diri. Beban yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya."Sudah siap?"Suara itu membuat Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu, m
Amara menatap gelas anggur di tangannya, memperhatikan bagaimana cahaya lampu kristal di atas meja memantulkan warna merah pekat ke permukaan kaca.Di sekelilingnya, suara percakapan bercampur dengan dentingan perak dan porselen, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang bertolak belakang dengan dinginnya pikirannya.Lidya.Wanita itu memainkan permainannya dengan sempurna. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada provokasi terang-terangan—hanya sindiran halus yang terselip dalam percakapan, seakan ia hanya berbicara santai tanpa maksud apa pun.Tapi Amara tahu lebih baik. Lidya ingin menunjukkan bahwa dirinya masih ada, bahwa kehadirannya bukan sekadar bayang-bayang masa lalu. Seolah-olah Amara hanyalah gangguan kecil yang bisa diabaikan.Dan yang lebih mengganggu—Laksha membiarkannya terjadi.Duduk di sampingnya, pria itu tampak santai, seakan tidak menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Ia berbicara dengan
Rumah keluarga Wijanarko terasa lebih seperti monumen daripada tempat tinggal. Dinding-dindingnya tinggi, lorong-lorongnya luas dan dingin, setiap langkah bergema di keheningan, menciptakan ilusi seolah-olah bangunan ini bernafas dalam keasingan.Di malam hari, kesunyian itu semakin mencekam, menekan Amara dari segala sisi, membuatnya merasa seperti seorang penyusup di dunia yang bukan miliknya. Setelah perdebatan singkat dengan Laksha di balkon, dadanya masih terasa sesak. Ia tidak ingin kembali ke kamarnya terlalu cepat, tidak ingin mengurung dirinya dalam ruang yang semakin menyempitkan pikirannya.Maka, ia membiarkan langkah-langkahnya mengembara, menelusuri lorong-lorong panjang yang diterangi cahaya temaram dari lampu-lampu gantung. Udara malam yang menyusup dari celah jendela besar menambah kesan hampa yang menggantung di udara. Sampai akhirnya, ia berhenti di depan sebuah pintu. Kayu mahoni gelap membingkai pintu itu, t
"Laksha…" Suara Amara lebih lembut kali ini, hampir seperti bisikan yang enggan mengusik.Laksha mengusap wajahnya, jari-jarinya bergerak perlahan, seolah mencoba menghapus sesuatu yang tak kasatmata—bayangan kenangan yang baru saja menyelinap kembali. Matanya menerawang ke kejauhan, tapi Amara tahu, bukan ruangan ini yang ia lihat."Radit lebih muda dariku delapan tahun," suaranya datar, tapi ada sesuatu di sana—keletihan, mungkin juga penyesalan. "Dia… berbeda dariku. Lebih ceria, lebih banyak bicara. Dia anak yang mudah disayangi siapa saja."Amara tetap diam, membiarkan kata-kata itu mengalir dengan ritme yang Laksha tentukan sendiri."Suatu hari, kami seharusnya pergi liburan keluarga ke luar negeri. Tapi aku… aku sedang kesal dengan Ayah, jadi aku menolak ikut." Ia tertawa kecil, hambar, tanpa kebahagiaan. "Aku bahkan bilang Radit juga tidak usah ikut, karena itu hanya perjalanan membosankan."Sekilas, sorot m
Hujan baru saja reda, menyisakan jejak aroma tanah basah yang samar-samar merayap di udara. Butiran air masih menggelayut di ujung dedaunan, berkilauan dalam cahaya senja yang tertahan di balik gumpalan awan kelabu.Udara terasa sejuk, tetapi kesunyian yang menggantung di dalam rumah justru membawa hawa yang berbeda—hampa.Amara menghela napas pelan, jemarinya sibuk merapikan meja makan yang bahkan sejak tadi tetap rapi. Rumah ini terlalu luas untuk hanya dirinya seorang. Sejak pagi, Laksha tenggelam dalam pekerjaannya—seperti biasa.Dan kini, yang terdengar hanyalah dengung samar dari jarum jam yang terus berdetak, mengingatkannya betapa lambat waktu berlalu.Ting-tong.Suara bel pintu memecah keheningan. Amara mengernyit, keningnya berlipat dalam kebingungan. Tidak ada yang pernah datang ke rumah ini tanpa pemberitahuan. Dengan sedikit ragu, ia mengelap tangannya pada celemek, lalu berjalan menuju pintu.Jantungnya berdetak sed
Hujan masih turun di luar, merayapi trotoar dan aspal dengan jejak gemerlap dari lampu-lampu kota. Jalanan yang basah memantulkan warna-warna kendaraan yang berlalu, menciptakan bias cahaya di jendela kaca besar kafe.Seolah dunia di luar bukan lagi sekadar kenyataan, melainkan lukisan abstrak yang hidup—terus bergerak, berubah, tanpa bisa ditebak arahnya. Di dalam, suasana terasa hangat, nyaris melindungi dari dinginnya malam yang merayap lewat celah pintu. Aroma kopi yang kaya bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven, mengisi udara dengan keakraban yang sulit dijelaskan.Percakapan para pengunjung terdengar samar, menjadi latar musik yang mengiringi pertemuan dua orang yang telah lama terpisah oleh waktu. Amara membiarkan jemarinya melingkari cangkir porselen, merasakan kehangatannya meresap perlahan ke kulit. Ia mengangkat sedikit bahu, menyandarkan punggung ke kursi, tetapi tatapannya tetap terarah pada pria
Hujan telah lama reda, tapi jejaknya masih tersisa di udara malam yang dingin. Butiran lembap menempel di kaca jendela mobil, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Jalanan basah berkilauan di bawah sinar kuning samar, menciptakan bayangan-bayangan yang seolah bergerak mengikuti laju kendaraan. Sepanjang perjalanan, Laksha tidak mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya, diamnya membawa dominasi, sebuah keheningan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Bukan sekadar sikap acuh, melainkan sesuatu yang lebih berat—sesuatu yang bersembunyi di balik garis rahangnya yang mengeras dan genggaman tangannya yang terlalu erat pada setir. Amara meliriknya sekilas. Wajah pria itu diterangi lampu jalan yang bergantian menyapu kabin, menciptakan kontras tajam di garis ekspresinya. Tatapannya lurus ke depan, tapi ada ketegangan yang terselip di sana. Ia sedang berpikir, atau lebih tepatnya, bergulat dengan pikiran
Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih
Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja