Home / Thriller / Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani / Bab 1 (Sepasang Kaki Tanpa Badan)

Share

Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani
Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani
Author: Rochy Mario Djafis

Bab 1 (Sepasang Kaki Tanpa Badan)

last update Last Updated: 2022-12-24 14:03:54

Tim Bang Ochi

______________

______________

Mereka tiba di Dusun Jati, Desa Timbanuh, Lombok Timur sekitar pukul 08.15 WITA. Bang Ochi, Unyil, Rendy, Luris, dan Dini segera mengurus simaksi di Pos Pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani.

Hujan turun cukup lebat disertai kabut tipis-tipis semakin menyamarkan suasana desa. Hampir di setiap sudut tampak sepi karena sebagian warga masih meringkuk kedinginan. Suhu udara di desa ini bisa menyentuh angka 15° celcius di pagi hari.

Sembari menunggu hujan reda, Unyil mengeluarkan trangia, bermaksud memasak air untuk menghangatkan tubuh dan suasana.

"Bang Ochi, ayo ngopi dulu sambil nunggu hujan reda." Unyil menawarkan sambil tangannya mengeluarkan gelas dan tumbler penyimpan air dari dalam carrier. Uap napas tampak jelas berembus saat ia berbicara.

"Ok, boleh. Saya beli pisang goreng dulu sebentar di sebelah biar lebih pas rasanya kita ngobrol," jawab Bang Ochi menerima tawaran itu.

Rasa kopi yang sedikit terasa pahit ditemani pisang goreng yang rasanya manis memang pasangan yang pas untuk menghangatkan pagi yang dingin dan berkabut.

Saat sedang asik mengobrol dan menyeruput kopi, deru hujan perlahan mereda, menyisakan sedikit gerimis yang masih membersamai. Mereka pun mulai membereskan semua peralatan dan bersiap untuk memulai pendakian. Berdasarkan kesepakatan, Bang Ochi dipilih menjadi tim leader. Jadi, dialah yang harus berjalan paling depan untuk memimpin pendakian itu.

Rinjani memang terkenal sangat indah, setiap jalur memiliki daya tarik tersendiri dengan pemandangan-pemandangan menakjubkan di banyak titik dan tentu ada banyak hal mistis yang masih melekat menyelimutinya. Ada banyak cerita-cerita, legenda, dan mitos yang berkembang di sebagian masyarakat Lombok tentang gunung ini, tetapi sebenarnya itu tak lebih dari sekedar takhayul yang menjadi bunga-bunga rinjani yang membuat gunung ini tampak semakin indah dan menantang.

Baru dua puluh lima menit berjalan, hujan kembali mengguyur, jalan setapak yang mereka lalui menjadi berlumpur dan licin. Bahkan, sesekali mereka tampak terpeleset menapaki setiap pijakan. Beruntung, mereka tak sampai tersungkur.

“Hati-hati guys, licin,” ucap Bang Ochi mengingatkan.

Terpleset hingga jatuh, bisa saja membuat kaki terkilir atau bahkan lebih parah. Dalam kegiatan alam bebas, tak boleh meremehkan medan.

Suasana Jalur Selatan Rinjani memang agak sepi karena hanya sedikit pendaki yang melewati jalur itu. Hutan Timbanuh yang masih perawan membuat jalur tak begitu jelas terlihat di beberapa titik, bahkan banyak pendaki tersasar karena salah mengambil jalur. Jalur lintasan hewan seringkali menipu para pendaki.

Jalur ini bukanlah jalur pendakian menuju puncak tertinggi Rinjani, melainkan hanya sampai di Pelawangan Timbanuh atau puncak Jalur Selatan. Namun, pemandangan dari jalur ini adalah yang terindah dengan pemandangan Gunung Baru Jari dan Danau Segara Anak di dalam cekungan kawah Gunung Rinjani Purba. Di sebelah kanan, ada pemandangan puncak tertinggi Rinjani dengan jalur memanjang serupa tangga yang akan membawa pendaki menembus langit dibalik gulungan awan.

Jalur di bagian selatan gunung ini memiliki hutan yang sangat rapat, tak jarang pendaki tersesat di jalur ini. Ada banyak cerita bahwa mereka menemukan hal-hal aneh semacam di hutan Aokigahara yang misterius di Jepang.

Saat melewati hutan, ada banyak suara pekikan khas diiringi suara gonggongan anjing pemburu di kejauhan. Suara itu berasal dari sekelompok warga yang sedang melakukan perburuan babi hutan atau rusa.

Setelah tiba di Pos I, gerimis perlahan menghilang, tetapi angin dari arah selatan berembus cukup kencang membawa kabut dingin menusuk tulang. Angin benar-benar membuat kuku dan bibir mereka membiru.

Tiba-tiba, Dini, salah satu perempuan dalam tim itu mengalami kedinginan hebat, bibirnya membiru, tangannya mengepal kuat, dan kaku.

Mengingat keadaan Dini yang tidak mungkin untuk terus berjalan, sebagai tim leader, Bang Ochi memutuskan agar tim menghentikan perjalanan dan mendirikan tenda di Pos 1.

"Unyil, tolong ambil air dan masak ya,” suruh Bang Ochi agar dapat segera diminumkan ke Dini.

“Iya, Bang,” jawab Unyil. Segera ia menuju sumber mata air yang tak jauh dari posisi mereka berada.

“Ren, tolong bangun tenda dan Luris tolong baluri tangan dan kakinya dengan minyak kayu putih, ya,” lanjut Bang Ochi agar Dini segera mendapat pertolongan pertama.

Bang Ochi segera mencari ranting-ranting dan dahan pohon untuk membuat perapian, tetapi semua tampak basah. Hujan disertai angin yang kencang membuat tubuh mereka terpapar suhu dingin cukup lama dan membuat tubuh Dini tak bisa memproduksi panas dengan maksimal.

“Bang, kira-kira Dini kenapa, ni?" tanya Rendy kepada Bang Ochi.

Kondisi Dini cukup membuat mereka khawatir karena bibir dan kukunya membiru.

“Kayanya gejala hipotermia,” jawab Bang Ochi.

“Hipotermia? Apa tu, Bang? Tumben denger,” sela Unyil.

“Hipotermia itu, kondisi saat mekanisme tubuhmu nggak mampu mengatasi tekanan suhu dingin,” jelas Bang Ochi.

Dalam kondisi terparah penderita hipotermia akan cenderung melakukan hal-hal yang tidak rasional seperti melihat sesuatu, berbicara sendiri, hingga melepas pakaiannya karena seakan merasa kepanasan. Padahal, suhu tubuh penderita jauh turun drastis hingga ke titik fatal. Kasus semacam itu disebut paradoxical undressing. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1996, di mana enam orang pendaki ditemukan tak bernyawa dengan kondisi tidak mengenakan pakaian di sekitar Batu Ceper Rinjani.

Bang Ochi mencoba membuat perapian dengan ranting dan dahan yang didapat, walau semua tampak dalam keadaan basah setelah diguyur hujan. Berkali-kali mencoba, ranting dan dahan tak kunjung menyala. Akhirnya, ia mencoba mencari bambu yang sudah menguning, lalu dikuliti dan diserut dengan pisau lipat sehingga menjadi serat-serat tipis yang mudah terbakar. Api pun siap.

Tak lama, angin semakin membawa awan kelabu ke atas kepala mereka. Gerimis kembali turun. Untuk mencegah keadaan bertambah buruk, mereka mengamankan Dini ke dalam tenda dan memasang flysheet untuk mengatapi perapian agar tetap menyala.

"Ris, kamu buka bajumu, ya, dan peluk Dini supaya panas tubuhmu ngalir ke dia, ni pakai sleeping bag punyaku!" perintah Bang Ochi dari luar tenda.

"Baik, Bang," sahut Luris.

Suhu di luar sangat dingin. Situasi saat itu memaksa mereka untuk sepakat agar berkemah di Pos I.

Menjelang pukul enam sore hujan mereda dan awan kelabu yang sedari tadi menaungi mulai bergeser ke arah tenggara.

Langit di ufuk barat pun menjingga. Gradasi warna putih, kelabu, dan jingga terang terlukis indah di jauh sana. Lalu, seiring detik terus merangkak, perlahan warna senja berubah remang, kemudian gelap.

Kabut tipis perlahan mulai turun menyelimuti, lalu semakin menebal, bahkan cahaya headlamp mereka hanya mampu menembus kabut sejauh sekitar sepuluh meter saja.

Magrib, kondisi Dini membaik dan sudah dapat diajak bicara. Bang Ochi menawarkan ia teh manis dan dua keping biskuit untuk memulihkan fisiknya.

"Ren, Nyil, kita masak, ya," ajak Bang Ochi.

Saat asyik memasak, tiba-tiba dari kejauhan, persis dari dalam semak-semak, terdengar suara seekor anak kucing mengeong. Awalnya, mereka tak menaruh curiga pada suara itu. Namun, semakin lama, suara itu terdengar kian dekat, lalu suaranya terdengar sangat jelas berada di balik pohon besar yang sudah setengah terbakar akibat kebakaran hutan sebulan sebelumnya.

"Kok, ada suara anak kucing ya, Bang?" tanya Unyil.

"Namanya juga alam bebas, Nyil. Kucing juga bebas, dong, maen kemana aja. Kan, ibu bapaknya juga pergi cari makan," jawab Bang Ochi dengan nada bercanda.

"Eh, mana ada kucing di ketinggian lebih dari seribu meter gini ... di hutan lagi. Lagian, kucing hutan, kan, bukan hewan endemik sini, Bang," Rendy menyela dengan nada serius.

Semakin lama, suara anak kucing itu terdengar semakin nyaring dan jumlahnya pun semakin banyak. Awalnya, ada satu suara anak kucing, kemudian dua, lalu seketika terdengar suara mengeong dari banyak arah.

Begitu banyak suara anak kucing yang tak lazim, membuat mereka bergidik ngeri. Tak hanya itu, suaranya pun berpindah-pindah dengan cepat.

Karena penasaran, Bang Ochi melangkah ke arah pohon besar yang tampak berlubang karena terbakar. Ia bermaksud memeriksa suara anak kucing itu. Dengan sedikit ragu, ia mencoba menengok ke belakang pohon, tetapi tak ditemukan apa-apa selain lubang kosong yang menghitam pada bagian banir.

Suara anak kucing itu berpindah ke balik semak yang ada di seberang pohon. Sontak, hal itu membuat Bang Ochi tampak bingung. Saat ia mencoba memeriksa kembali ke balik semak-semak, suara itu berpindah lagi ke titik yang lain. Ia pun terdiam sambil mencoba mengarahkan cahaya senter ke arah gelapnya hutan. Saat cahaya itu mengarah kembali ke arah pohon yang terbakar, seketika ia terperanjat tanpa alasan yang jelas.

Bang Ochi mundur beberapa langkah, lalu menoleh ke arah teman-temannya. Napasnya begitu cepat dan dadanya tampak kembang kempis.

"Kenapa, Bang, kok, kaget gitu? Ini nggak apa-apa, kan?" tanya Luris kepada Bang Ochi. Raut wajahnya tampak cemas.

"Nggak apa-apa, kok. Kan, cuma suara anak kucing, masa takut? Kecil, tinggal lempar,

ya, ilang, he-he," jawab Bang Ochi sambil terkekeh. Ia berusaha menyembunyikan apa yang Ia lihat agar suasana tidak berubah panik dan mencekam.

Setelah menjawab pertanyaan Luris, beberapa kali Bang Ochi merapal kalimat istigfar.

Di seberang, Unyil memperhatikan, lalu bertanya, "Abang kenapa?"

"Nyil, tolong jangan ributin. Ini magrib ... sebenarnya, ada sesuatu yang aku lihat!"

"Apa?"

Mata sang leader itu menyapu ke beberapa sudut hutan seakan sedang memastikan sesuatu, lalu dengan nada pelan ia memberitahu Unyil, "Nyil, ada sepasang kaki ... kakinya cuma sebetis ... putus! Dia jalan jinjit ke tengah hutan sana."

"Astagfirullah." Unyil segera kembali ke kumpulan timnya.

***

Saat mereka makan malam, perlahan embusan angin membawa aroma busuk dari balik batu besar yang biasa dijadikan sebagai tempat peletakan sesaji oleh orang-orang yang mencari ilmu hitam.

"Kok bau bangke, Bang?" tanya Dini. Wajahnya memerah karena hendak memuntahkan apa yang ada dalam mulutnya.

Bau itu membuat mereka mual, busuknya sangat menusuk rongga hidung. Tak kuat dengan bau itu, akhirnya, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam tenda masing-masing. Mereka pun hanya makan malam dengan roti tawar yang diolesi selai strawberry.

Pukul 23.15 WITA, Unyil membangunkan Bang Ochi yang meringkuk di sampingnya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh seniornya itu karena ketakutan.

"Ada apa sih, Nyil?" tanya Bang Ochi dengan nada sedikit kesal.

"Bang, takut aku, ni. Abang dengar ndak? Ada suara perempuan nyanyi sambil main air tu di luar." Unyil mengadu.

Bang Ochi duduk, mencoba menangkap suara itu.

"Eh, iya, Nyil." Bang Ochi pun membangunkan Rendy dan langsung mencoba merekam nanyian itu.

Aku bukak lalo nyawe

Turun roh nyawe …

Silaq dateng seraq nyawe …

Turun gunung nangis sedekaq nyawe.

Lirik demi lirik berbahasa Sasak didendangkan oleh suara perempuan itu sambil memainkan gemericik air yang jatuh dari pancuran tempat pendaki biasa mengambil air.

Lirik tersebut memiliki arti,

Saya buka pergi nyawa

Turun roh nyawa …

Silahkan datang serahkan nyawa …

Turun gunung menangis sedekah nyawa.

Setiap lirik nyanyian aneh itu sungguh membuat mereka bergidik ngeri. Tak ada satu pun dari mereka yang pernah mendengar itu sebelumnya.

Ssrrk! Ssrrk! Ssrrkk!

Tiba-tiba, terdengar suara langkah mendekat ke arah tenda mereka. Seperti suara ranting patah terinjak dan anak kucing kembali terdengar mengeong.

"Bang, kayak ada yang nyakarin tenda kami dari luar. Ih, takut, Bang." Suara Luris terdengar khawatir dari tenda sebelah.

Bang Ochi segera mengambil pisau lipat yang terselip di kantung carrier, ia memutuskan keluar bersama Unyil dan Rendy untuk memastikan keadaan agar tetap baik-baik saja.

Baru saja keluar, tiba-tiba Unyil terperanjat. Tampak seekor monyet hitam besar duduk di atas tenda yang di dalamnya ada Dini dan Luris. Ukuran monyet itu sangat tak wajar, sehingga membuat tenda menjadi miring, tak kuat menahan beban. Ia menggeram ke arah Bang Ochi dan kawan-kawan dengan menampakkan barisan giginya yang tajam. Makhluk itu menggertak, lalu kabur ke arah rerimbunan semak.

Akhirnya, demi keamanan dari binatang-binatang liar, mereka sepakat untuk berjaga dan membuat api unggun yang lebih besar. Tak ada di antara mereka yang kembali tidur, kecuali Dini yang memang harus memulihkan kondisi. Hingga pukul lima pagi, mereka hanya sibuk menjaga api agar tidak padam sambil memasak air.

Api adalah kehidupan saat gelap menyelimuti di alam bebas. Tak ada api, maka nyawa terancam!

*****

Related chapters

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 2 (Leader Yang Terjatuh Dari Tebing)

    __________________________________Minggu. Jalur Selatan Rinjani.Waktu menunjukkan pukul 07.00 WITA. Asap api unggun yang menyala dari semalam masih membumbung, memayungipagi. Padang edelweiss memenuhi setiap sudut mata memandang. Kilau sinar matahari pagi tertampung pada bulir embun yang menggantung, terlihat indah pada jaring laba-laba yang terajut memikat. Kupu-kupu beterbangan, ia tak berkata, tetapi mampu memikat hati dan mata. Benar-benar pagi yang sempurna.Setelah semua anggota tim terbangun dan sarapan, mereka fokus mengatur rencana agar sampai di Pelawangan Jalur Selatan sebelum gelap. Tak lupa, mereka mengisi jeriken-jeriken kosong dengan air untuk persediaan selama dalam perjalanan. Pukul 09.00 WITA, mereka berangkat menuju pelawangan. Sesekali, mereka mengayunkan tajamnya pisau tramontina untuk memotong semak yang menghalangi jalan. Sebelum tiba di Pelawangan Jalur Selatan, ada dua pos yang akan mereka lewati yaitu Pos 2 dan Pos 3 Cemara Rompes.Jalur menuju Pos 3 me

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 3 (Ikan Besar Berbulu Ijuk)

    Tim Bang Ron________________________ Danau Segara Anak Rinjani.Sekitar lima kilometer dari Pelawangan Jalur Selatan. Tim ekspedisi terdiri dari delapan orang pendaki, yaitu Bang Ron, Diah, Zahra, Jeko, Opik, Ibnu, Alit, dan Fadly.Waktu menunjukkan pukul 05.55 WITA. Udara lembap, dingin, dan berkabut. Langit kian lengang manakala cahaya ribuan bintang yang tadinya berserakan, tersapu sinar mentari yang angkuh. Barisan pohon cemara, tak pernah bosan mendengar bisikan angin yang membasah. Rantingnya menari-nari mengikuti arah angin. Di atas batu hitam yang dingin, Diah duduk sambil melihat para pendaki yang sedang asik memancing di pagi buta. Di hadapannya, ada danau membentang seluas mata memandang bernama Danau Segara Anak. Danau ini memiliki luas sekitar 11.3 kilometer persegi dan berbatasan langsung dengan tebing kawah Rinjani. Danau berair jernih ini, berada di dalam cekungan kaldera yang terbentuk sejak letusan Rinjani Purba atau Samalas pada tahun 1257 Masehi. Di sisi timu

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 4 (Leader Hilang Tertelan Jurang Berselimut Awan)

    __________________________"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil. Sepi. Tak ada jawaban. Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik. "Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu."Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron. Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas. "Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!""

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 5 (Dua Perempuan Yang Terancam)

    Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi____________________________Bang Ron terjatuh.Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras. Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran."Apa itu?" tanya diah pada Zahra.Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron."Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak be

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 6 (Ternyata Mereka Bukan Manusia)

    ____________________________Hujan reda. Unyil bersedia menemani Jeko dan Opik turun ke pintu hutan."Udah siap, Bang?" tanya Unyil kepada Jeko sambil memeriksa cahaya headlamp yang akan ia pakai."Iya, Bang. Kami udah siap," jawab Jeko yakin. Setelah berdoa bersama, Unyil pun menuntun Jeko dan Opik turun ke pintu hutan. "Terus, kita harus bagaimana, Bang?" tanya Rendy pada Bang Ochi."Kita tetap di sini, tenaga kita pasti dibutuhkan saat evakuasi nanti," balas Bang Ochi.***Dalam perjalanan turun, Unyil memimpin dengan yakin. Suara burung hantu dan ayam hutan menemani perjalanan mereka. Padang rumput yang luas, dengan sabar mereka lewati walau serasa tak berujung."Sebenarnya, ini kali pertama juga saya mendaki lewat jalur selatan, Bang Jek, tapi jalurnya sudah diberi stringline sama tim kami," kata Unyil "Tapi, Abang ingat dan tahu, 'kan?" tanya Opik memastikan."Innsyaallah tahu." Unyil terus menuntun mereka melewati padang edelweiss hingga sampai di Pos 3 Cemara Rompes pada

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 7 (Gubuk di Hutan)

    Unyil terbangun karena gigitan semut api pada kelopak matanya. Segera ia mengusap bagian wajah yang tergigit sambil sedikit meringis. Perlahan, gigitan itu tampak meninggalkan bekas berbentuk bulat dan tebal. Waktu menunjukkan pukul 07.14 WITA. Sinar mentari pagi menembus celah hutan tua dengan pepohonan tinggi menjulang. Warna kekuningan mulai meninggi membawa hangat menghidupkan.Di kejauhan, di bawah gunung sana, embun mulai terhangatkan, lalu menguap dan menjadikan bentangan alam terselimuti warna putih tipis. Di hadapan Unyil, abu sisa pembakaran kayu semalam masih terasa sedikit hangat. Asap tipis masih sedikit terlihat mengudara. "Ah, mungkin masih ada baranya, ni." Unyil mengangkat sebatang kayu yang masih sedikit berasap, lalu meniup ujung kayu yang tampak tertutup abu itu dengan napas panjang dan pelan. Ia harus segera membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. "Pik, Bang Jek, udah jam tujuh lewat, nih. Bangun, biar cepet kita bisa sarapan, terus turun.""Mmh, eh, Bang

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 8 (Tulang Yang Rontok)

    Pukul 06.00 WITA, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan setelah sebelumnya sarapan hanya dengan seduhan air gula aren.Karena penasaran, Unyil mencoba kembali ke gubuk tempat mereka bertemu orang asing semalam. Namun, apa yang ia lihat pagi itu benar-benar di luar nalar.Dipan tempat mereka duduk semalam lenyap tak berbekas dan tungku tempat Opik memasak juga sepertinya telah cukup lama tidak digunakan sebagai tempat perapian. Tak ada tanda-tanda pernah dipakai semalam."Loh, kok ... bukannya kita di sini semalam, Bang Nyil?" Opik keheranan sambil melihat sekeliling."Ayo, kita pergi, Pik. Kita pergi dari sini!"Mereka kembali memapah Jeko yang semakin tampak pucat. Kakinya mulai mengering, tetapi area sekitar luka semakin membengkak.Langkah demi langkah kecil, mereka susuri medan menurun dengan rintangan akar pepohonan menyulitkan langkah. Sesekali, kaki yang lemas dan menggantung itu terantuk, membuat Jeko meringis berkali-kali. Dengan sabar, mereka be

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 9 (Tidur di Tebing)

    Tubuh Bang Ron beberapa kali menghantam tebing cadas. Tubuh tak berdaya itu meluncur deras di atas tanah miring, lalu jatuh kembali dan hilang tertelan jurang jalur selatan yang mulai tersamar remang magrib berselimut kabut. Semua terjadi begitu cepat.Alit segera melepas carrier yang menempel di punggungnya, lalu mencoba menuruni tebing dengan hati-hati. Di belakangnya, Ibnu dan Fadly membuntuti."Hati-hati, awas kalian terpeleset!" kata Alit mengingatkan sambil mencari pijakan yang aman dari batuan lepas."Lit, kalau kita turun, Diah sama Zahra, gimana? Mereka masih di atas sana." Fadly tampak khawatir dengan kondisi dua teman perempuannya itu."Sepertinya, mereka aman di atas. Udah, biarin aja mereka nunggu di sana sementara, daripada bahaya kalau ikut. Diah sama Zahra kayaknya tau harus ngapain," jawab Ibnu mengira-ngira.Gelap semakin mengambil alih situasi. Perjalanan menuju dasar jurang bisa memakan waktu hingga dua jam. Namun, dalam kondisi gelap dan medan yang belum dikuasai,

    Last Updated : 2022-12-27

Latest chapter

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 67 (Detik-Detik Gempa di Puncak)

    Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 66 (Mereka Tak Kembali)

    #PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 65 (Guncangan Dahsyat)

    #PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 64 (Mata Yang Menyembul Dari Danau)

    #PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 63 (Siapa Di Tengah Danau?)

    Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 62 (Bumi Berguncang)

    #PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 61 (Rasa Yang Menusuk!)

    #PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 60 (Mengalah Demi Dia)

    _____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 59 (Summit)

    ________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status