Home / Thriller / Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani / Bab 3 (Ikan Besar Berbulu Ijuk)

Share

Bab 3 (Ikan Besar Berbulu Ijuk)

last update Last Updated: 2022-12-24 14:11:51

Tim Bang Ron

____________

____________

Danau Segara Anak Rinjani.

Sekitar lima kilometer dari Pelawangan Jalur Selatan. Tim ekspedisi terdiri dari delapan orang pendaki, yaitu Bang Ron, Diah, Zahra, Jeko, Opik, Ibnu, Alit, dan Fadly.

Waktu menunjukkan pukul 05.55 WITA. Udara lembap, dingin, dan berkabut. Langit kian lengang manakala cahaya ribuan bintang yang tadinya berserakan, tersapu sinar mentari yang angkuh.

Barisan pohon cemara, tak pernah bosan mendengar bisikan angin yang membasah. Rantingnya menari-nari mengikuti arah angin.

Di atas batu hitam yang dingin, Diah duduk sambil melihat para pendaki yang sedang asik memancing di pagi buta. Di hadapannya, ada danau membentang seluas mata memandang bernama Danau Segara Anak. Danau ini memiliki luas sekitar 11.3 kilometer persegi dan berbatasan langsung dengan tebing kawah Rinjani. Danau berair jernih ini, berada di dalam cekungan kaldera yang terbentuk sejak letusan Rinjani Purba atau Samalas pada tahun 1257 Masehi.

Di sisi timur, persis di bawah pohon cemara, terlihat bocah sedang memancing. Sementara itu, ayahnya asyik memungut ikan yang menepi karena kadar belerang yang tinggi. Di hadapannya, ikan-ikan karper dan mujair seolah berlindung pada rerumputan yang terendam. Saat pagi, banyak ikan menepi menghindari racun belerang yang larut dari arah Gunung Baru Jari.

Ikan-ikan di Danau Segara Anak, telah beranak pinak sejak tahun 1996. Saat itu, Presiden Soeharto beserta rombongan melakukan pelepasan puluhan ribu bibit ikan ke danau tersebut. Ikan-ikan itu beradaptasi dan menolak untuk punah hingga kini.

Di atas permukaan air danau, uap air serupa awan tipis menari-nari bersama angin, mengangkasa, lalu hilang.

Di seberang sana, sesekali suara gemuruh terdengar dari longsoran batu di dalam kawah Gunung Baru Jari. Suara-suara mengerikan itu seakan memberi pertanda.

Sedikit ke arah tenggara, pucuk Rinjani mulai tampak menguning terpapar cahaya matahari. Puncak yang mungkin saja masih membeku kedinginan.

"Mari ngopi, Mbak Diah." Tiba-tiba, Bang Ron menawarkan sambil tangannya lincah mengaduk cairan hitam itu di dalam gelas plastik bermotif polka dot.

Tentu saja Diah menerima tawaran itu dengan senyum terindahnya.

Selalu saja, hangatnya kopi mampu melebur kebekuan.

"Kita start pukul sembilan teng, ya, Mbak. Sesuai kesepakatan kita bersama tim semalam. Jadi, nanti kita akan lewati jalur ini, melipir lewat tebing di atas danau," kata Bang Ron membuka obrolan sambil menunjukkan jalur pulang melalui jalur selatan. Sebagai anggota tim yang paling berpengalaman, ia ditunjuk sebagai leader.

"Kira-kira, butuh berapa lama dari camping ground ke kaki Gunung Baru Jari?" Diah bertanya dengan penuh penasaran sambil menyeruput kopi hitam buatan Bang Ron.

"Kalau lancar, kita bisa tiba di sana sekitar dua jam," jawab Bang Ron dengan pasti.

"Siplah, Bang." Diah menimpali, walaupun sebenarnya ada keraguan dalam hatinya.

"Untuk sekedar info aja, jadi jalur selatan ini sangat ekstrim. Jalurnya bukan nanjak lagi, tapi ini tebing yang berdiri tegak!" kata Bang Ron. Ia kembali menunjuk jalur serupa tembok raksasa yang tegak berdiri menjulang itu. "Jalur ini bukan jalur resmi, tapi dapat memangkas waktu tempuh kita agar lebih cepat sampai di Lombok Timur," lanjut Bang Ron.

Dari kejauhan, seolah tak ada jalur. Hanya ada tebing menjulang puluhan bahkan ratusan meter tingginya. Tampak mengerikan.

Melihat itu, ada rasa ngilu yang Diah rasakan pada kakinya saat membayangkan trek yang sangat ekstrem untuk dilalui.

"Selamat pagi, Rinjani yang cantik," ucap Jeko saat baru saja terbangun. Ia mengusap wajah sejenak, lalu tangan kanannya segera meluncur menuju kopi.

"Stop! Tolong ... tolong banget, cuci muka, wudhu, dan sholat subuh, baru ngopi!" ucap Diah ketus menyingkirkan tangan Jeko.

"Hee, kesiangan aku." Jeko cengengesan.

Pukul 07.00 WITA, semua anggota tim sudah terbangun. Kemudian, mereka membagi tugas.

Diah dan Zahra bertugas memasak dan menyiapkan sarapan untuk tim. Mereka mengolah ikan hasil memancing semalam dan tak lupa ikan asin yang mereka beli di Pasar Aikmel.

Aroma ikan asin yang digoreng menyatu dengan aroma tajam sambal terasi yang diberi perasan jeruk limau. Baunya menguar memenuhi danau dan merangsek masuk ke dalam tenda para pendaki.

Jeko, Alit, Ibnu, dan Fadly bertugas mengambil air ke sumber mata air di dekat Aiq Kalak --tempat permandian air panas-- yang berjarak sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Opik dan anggota tim yang tersisa, membereskan tenda agar segera bisa start setelah sarapan.

Setelah menu sarapan siap, semua anggota tim ekspedisi duduk melingkar di depan menu sarapan yang tersedia.

Ikan karper, ikan asin, telur dadar, mie rebus, dan sambal terasi benar-benar menggugah selera. Para atlit makan pun beraksi.

Tiap bulir nasi dieksekusi hingga ke sudut-sudut terjauh dari jangkauan, bahkan ke balik sendok.

Pendakian itu benar-benar mengajarkan mereka arti persahabatan, kebersamaan, dan keterbatasan di saat makanan sedikit, tetapi harus cukup untuk semua orang.

Setelah sarapan selesai, waktu masih menunjukkan pukul 8.15 WITA. Lagi, kopi tak ingin ketinggalan untuk dinikmati sebelum berangkat menjajal jalur selatan.

Sembari menyeruput kopi, Bang Ron memimpin briefing untuk mengatur skenario pendakian pulang melalui jalur selatan.

"Jadi, mohon perhatikan baik-baik, air sangat berharga karena beberapa jam ke depan, kita tidak punya sumber air bersih sebelum sampai di bawah kaki Baru Jari. Jadi, tolong manajemen air diperhatikan karena jarak cukup jauh," saran dari Bang Ron kepada tim.

Tim ekspedisi khusyuk mendengar.

"Kita akan berjalan melipir dari pinggir danau hingga kaki Gunung Baru Jari. Kemudian, kita istirahat di sana untuk makan siang. Selesai makan siang, baru kita lanjutkan lagi perjalanan, dan mohon agar mata tetap awas karena trek ini berupa tebing. Kita akan berjalan menyamping, berpegangan pada tebing dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam sebelum sampai di Pelawangan Jalur Selatan. Dengan catatan tidak ada kendala," tutup Bang Ron.

***

Diah memasang sepatu trekking dengan penuh ragu. Diamankannya satu botol besar air minum di sisi carriernya untuk persediaan di jalan.

Setelah pukul 09.07 WITA, tim siap berangkat. Mereka berjalan melintasi padang ilalang ditemani suara burung dan suara katak yang sedang bercinta. Dikelilingi tebing serupa dinding raksasa yang terkelupas, pendakian itu sangat menantang dan berkesan.

Tiba-tiba, mendung menyandera langit yang tadinya biru. Hujan kini menderu.

"Wah, Bang, tebingnya agak licin. Apa kita masih harus lanjut?" Suara Opik yang berada di posisi paling belakang.

"Nggak apa-apa, terus aja!" jawab Bang Ron mantap.

Perlahan, mereka meniti jalur tebing yang berjarak satu meter di atas permukaan air danau yang dalam dan berwarna kecokelatan. Keruh pekat akibat belerang yang larut.

Jari-jari tangan mereka berpegangan pada rekahan tebing yang terbentuk pada abad ke-13 lalu.

Saat berpegangan pada sebuah celah berlubang seukuran bola kasti, tangan Diah tak sengaja menyentuh tangan yang lain. Terasa dingin dan kurus seperti ranting, tetapi bergerak. Sontak ia terkejut dan melepaskan pegangan hingga tercebur ke danau beserta tas carrier-nya.

Tiba-tiba, di dalam air danau yang keruh dan dingin, betisnya tersenggol sesuatu yang bergerak, besar, dan terasa kasar. Tampak air danau itu bergolak karena sesuatu yang besar bergerak di dalamnya.

Dengan wajah pucat Diah meminta tolong ke rekan-rekannya. "Tolongin, Bang ... ada yang sentuh kaki saya," teriaknya karena panik.

"Pegang ini." Opik menjulurkan tongkatnya sambil menertawai Diah yang masih berusaha keluar dari air.

Akhirnya, Diah dapat menepi dengan selamat.

Setelah mereka tiba di Gunung Baru Jari, langit kembali membiru. Saat tim beristirahat, Bang Ron berpesan agar jangan panik ketika ada masalah apapun.

"Teman-teman, kegiatan alam bebas itu bahaya, rumah sakit jauh." Sambil bercanda, ia menasehati anggota tim yang dibawanya. "Jalur ini sepi, ketika ada sesuatu terjadi dan kita panik, maka keadaan justru akan memburuk. Panik itu sumber segala masalah di alam bebas," lanjut Bang Ron.

Mendengar perkataan Bang Ron, Diah berusaha menenangkan diri.

Setelah mereka selesai mendengar masukan dan nasihat Bang Ron, mereka makan siang di bawah teduhnya cemara gunung hingga pukul 14.00 WITA.

Pemandangan kaki gunung Baru Jari serupa hamparan lautan pasir yang luas dengan bongkahan-bongkahan batu setinggi gedung tiga lantai. Serupa kapal yang berlabuh.

Semua anggota tim menyantap makan siang yang telah disajikan Diah dan Zahra, kecuali Bang Ron.

"Mari bang, kita makan dulu," ajak Zahra kepada Bang Ron yang asik mengisap rokok sambil memandang arah danau.

"Woles aja, Mbak. Masih kenyang, aku cukup ngopi aja, yang penting ada rokok, amaaan." Bang Ron menolak sambil tersenyum.

"Ayolah, Bang, biar samaan."

"Ntar aja sekalian di pelawangan," lanjut Bang Ron.

Setelah selesai istirahat dan makan siang, tim kembali melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba, Opik berjalan ke tepian danau. Ia kencing di belakang batu pipih besar, tempat di mana para penghayat kepercayaan menaruh sesaji sebelum dilarung ke danau. Selain itu, entah apa yang ia lakukan di sana.

Selesai menuntaskan hajatnya, tak sengaja Opik melihat seorang kakek tua yang sedang memancing sambil melirik-lirik ke arahnya. Tampak jelas barisan tulang dada yang kurus dan perut yang sangat ramping dari laki-laki tua itu.

Opik penasaran, lalu mencoba menyapa dengan nada ramah. Kakek itu hanya diam dengan raut wajah datar. Tatapan tajamnya menimbulkan kesan tak suka pada Opik.

Baru saja mendekat beberapa langkah, tak sengaja Opik melihat hasil pancingan si kakek. Seketika ia terperanjat melihat ikan tangkapan yang menggelepar di tepi danau. Tubuh ikan yang ditumbuhi bulu serupa ijuk itu diikat dengan tali tambang.

Sekuat tenaga, Opik berlari menuju teman-temannya. Namun, kakek misterius itu terus saja membuntuti dengan menyeret salah satu kakinya yang kurus kering dan bengkok. Ia benar-benar marah dan memburu Opik.

Opik berlari tunggang langgang, wajahnya memucat. Ia segera meminta tim agar bergegas pergi dari tempat itu.

"Ayo teman-teman ... Bang Ron, ayo." Bibir Opik pucat pasi.

"Elu kenapa, Pik?" tanya Zahra.

"Ayo, cepat kita pergi dari sini. Tu kakek dapat ikan segede gaban, berbulu!" Dengan nafas memburu ia bercerita.

"Jangan becanda gitu, sialan kamu, Pik!" Ibnu tampak kesal.

Seketika, ada aura keganjilan yang mereka rasakan. Alam tiba-tiba menjadi sunyi. Samar-samar, dari arah tempat opik buang air kecil, terdengar suara orang terbatuk dengan suara yang sangat dalam.

"Kurang ajar kamu!" Suara berat terdengar dari balik batu.

*****

Related chapters

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 4 (Leader Hilang Tertelan Jurang Berselimut Awan)

    __________________________"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil. Sepi. Tak ada jawaban. Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik. "Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu."Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron. Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas. "Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!""

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 5 (Dua Perempuan Yang Terancam)

    Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi____________________________Bang Ron terjatuh.Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras. Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran."Apa itu?" tanya diah pada Zahra.Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron."Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak be

    Last Updated : 2022-12-24
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 6 (Ternyata Mereka Bukan Manusia)

    ____________________________Hujan reda. Unyil bersedia menemani Jeko dan Opik turun ke pintu hutan."Udah siap, Bang?" tanya Unyil kepada Jeko sambil memeriksa cahaya headlamp yang akan ia pakai."Iya, Bang. Kami udah siap," jawab Jeko yakin. Setelah berdoa bersama, Unyil pun menuntun Jeko dan Opik turun ke pintu hutan. "Terus, kita harus bagaimana, Bang?" tanya Rendy pada Bang Ochi."Kita tetap di sini, tenaga kita pasti dibutuhkan saat evakuasi nanti," balas Bang Ochi.***Dalam perjalanan turun, Unyil memimpin dengan yakin. Suara burung hantu dan ayam hutan menemani perjalanan mereka. Padang rumput yang luas, dengan sabar mereka lewati walau serasa tak berujung."Sebenarnya, ini kali pertama juga saya mendaki lewat jalur selatan, Bang Jek, tapi jalurnya sudah diberi stringline sama tim kami," kata Unyil "Tapi, Abang ingat dan tahu, 'kan?" tanya Opik memastikan."Innsyaallah tahu." Unyil terus menuntun mereka melewati padang edelweiss hingga sampai di Pos 3 Cemara Rompes pada

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 7 (Gubuk di Hutan)

    Unyil terbangun karena gigitan semut api pada kelopak matanya. Segera ia mengusap bagian wajah yang tergigit sambil sedikit meringis. Perlahan, gigitan itu tampak meninggalkan bekas berbentuk bulat dan tebal. Waktu menunjukkan pukul 07.14 WITA. Sinar mentari pagi menembus celah hutan tua dengan pepohonan tinggi menjulang. Warna kekuningan mulai meninggi membawa hangat menghidupkan.Di kejauhan, di bawah gunung sana, embun mulai terhangatkan, lalu menguap dan menjadikan bentangan alam terselimuti warna putih tipis. Di hadapan Unyil, abu sisa pembakaran kayu semalam masih terasa sedikit hangat. Asap tipis masih sedikit terlihat mengudara. "Ah, mungkin masih ada baranya, ni." Unyil mengangkat sebatang kayu yang masih sedikit berasap, lalu meniup ujung kayu yang tampak tertutup abu itu dengan napas panjang dan pelan. Ia harus segera membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. "Pik, Bang Jek, udah jam tujuh lewat, nih. Bangun, biar cepet kita bisa sarapan, terus turun.""Mmh, eh, Bang

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 8 (Tulang Yang Rontok)

    Pukul 06.00 WITA, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan setelah sebelumnya sarapan hanya dengan seduhan air gula aren.Karena penasaran, Unyil mencoba kembali ke gubuk tempat mereka bertemu orang asing semalam. Namun, apa yang ia lihat pagi itu benar-benar di luar nalar.Dipan tempat mereka duduk semalam lenyap tak berbekas dan tungku tempat Opik memasak juga sepertinya telah cukup lama tidak digunakan sebagai tempat perapian. Tak ada tanda-tanda pernah dipakai semalam."Loh, kok ... bukannya kita di sini semalam, Bang Nyil?" Opik keheranan sambil melihat sekeliling."Ayo, kita pergi, Pik. Kita pergi dari sini!"Mereka kembali memapah Jeko yang semakin tampak pucat. Kakinya mulai mengering, tetapi area sekitar luka semakin membengkak.Langkah demi langkah kecil, mereka susuri medan menurun dengan rintangan akar pepohonan menyulitkan langkah. Sesekali, kaki yang lemas dan menggantung itu terantuk, membuat Jeko meringis berkali-kali. Dengan sabar, mereka be

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 9 (Tidur di Tebing)

    Tubuh Bang Ron beberapa kali menghantam tebing cadas. Tubuh tak berdaya itu meluncur deras di atas tanah miring, lalu jatuh kembali dan hilang tertelan jurang jalur selatan yang mulai tersamar remang magrib berselimut kabut. Semua terjadi begitu cepat.Alit segera melepas carrier yang menempel di punggungnya, lalu mencoba menuruni tebing dengan hati-hati. Di belakangnya, Ibnu dan Fadly membuntuti."Hati-hati, awas kalian terpeleset!" kata Alit mengingatkan sambil mencari pijakan yang aman dari batuan lepas."Lit, kalau kita turun, Diah sama Zahra, gimana? Mereka masih di atas sana." Fadly tampak khawatir dengan kondisi dua teman perempuannya itu."Sepertinya, mereka aman di atas. Udah, biarin aja mereka nunggu di sana sementara, daripada bahaya kalau ikut. Diah sama Zahra kayaknya tau harus ngapain," jawab Ibnu mengira-ngira.Gelap semakin mengambil alih situasi. Perjalanan menuju dasar jurang bisa memakan waktu hingga dua jam. Namun, dalam kondisi gelap dan medan yang belum dikuasai,

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 10 (Tubuh Bang Ron)

    Ilalang dan rumput liar masih merunduk, di ujungnya tampak bulir air menggantung memantulkan cahaya matahari. Tebing cadas yang tadinya terasa dingin saat tersentuh, kini mulai terhangatkan, lalu tampak berasap karena basah semalam mulai menguap."Teman-teman, kita tunggu matahari meninggi dulu, baru kita turun. Sekarang tebing dan jalur pasti masih licin karena hujan semalam. Kita jangan ambil resiko." Alit sebagai orang yang lebih tua mengambil alih posisi tim leader. Kini, ia bertanggung jawab atas teman-temannya.Sesaat sebelum beranjak menuruni tebing, tiba-tiba Zahra terdiam. Ia merasakan pusing saat pandangannya menghadap langsung ke arah kedalaman kawah gunung. Ia tertunduk dengan kedua tangan memegang lutut."Ra, kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Diah memastikan keadaan Zahra yang masih tampak pucat."Saya pusing, Mbak!" Zahra duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tebing. Wajahnya memerah karena hendak muntah."Pegangin, pegangin! Mungkin dia kena AMS. Kita harus cepat turun!"

    Last Updated : 2022-12-27
  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 11 (Siapa Yang Mandi di Danau itu?)

    Perlahan, warna senja tumpah pada awan yang menggantung di bawah kolong langit yang masih biru, seolah mengumandangkan matahari akan segera berpamitan. Menyisakan lelah dan hati yang gundah serta semangat yang hampir patah.Pada permukaan danau, anak-anak belibis mengiringi induknya berenang ke kiri, ke kanan, dan sesekali menyelam memburu ikan-ikan kecil di danau yang mulai tersamar kabut. Perlahan gelap mulai melingkupi kawah Rinjani, menyembunyikan pucuk-pucuk cemara yang lentik, bersamaan dengan itu, bau anyir jenazah yang tampak melebam mulai tercium. Jenazah Bang Ron sudah sehari terkapar di atas batu dengan separuh badan tak tersangga. Wajahnya menghadap ke arah alit dan Fadly. Hanya selembar jas hujan yang menutupi tubuhnya. Alit dan Fadly tak berani memindahkan jenazah itu ke tempat yang datar. Tubuhnya yang besar agak terhimpit di antara batu besar dan pangkal pohon. Tak bisa berbuat apa-apa, mereka kembali ke tempat Ibnu dibaringkan."Teman-teman, kita harus camp dekat je

    Last Updated : 2022-12-27

Latest chapter

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 67 (Detik-Detik Gempa di Puncak)

    Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 66 (Mereka Tak Kembali)

    #PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 65 (Guncangan Dahsyat)

    #PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 64 (Mata Yang Menyembul Dari Danau)

    #PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 63 (Siapa Di Tengah Danau?)

    Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 62 (Bumi Berguncang)

    #PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 61 (Rasa Yang Menusuk!)

    #PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 60 (Mengalah Demi Dia)

    _____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 59 (Summit)

    ________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."

DMCA.com Protection Status