Home / Thriller / Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani / Bab 4 (Leader Hilang Tertelan Jurang Berselimut Awan)

Share

Bab 4 (Leader Hilang Tertelan Jurang Berselimut Awan)

Author: Rochy Mario Djafis
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

_____________

_____________

"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil.

Sepi. Tak ada jawaban.

Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik.

"Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.

Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu.

"Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron.

Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas.

"Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!"

"Baik, Bang, kami ngerti. Maaf, ya." Zahra menimpali.

"Memisahkan diri dari tim saat berada di alam bebas yang masih asing adalah tindakan yang kurang tepat dan ceroboh! Mau buang air kecil pun, harus ada yang menemani. Sudah banyak orang yang hilang karena meremehkan sesuatu yang sederhana. Harusnya itu bisa jadi pelajaran!" tegas Bang Ron.

Satu per satu anggota Tim Bang Ron mulai menapakkan kaki pada tanjakan pertama yang relatif aman. Jalur tebing sudah di depan mata. Mereka menatap takjub melihat tebing serupa tembok raksasa menghadang di depan.

"Wah, ternyata jalurnya nggak sesulit Gunung Semeru, ya. Bahkan, Raung jauh lebih ekstrim, deh, kayaknya dibandingkan jalur selatan ini," kata Jeko meremehkan jalur pendakian yang relatif aman.

Bang Ron tak merespon perkataan Jeko. Ia fokus menjalankan tugasnya sebagai leader, terus berjalan menuntun timnya melintasi jalur dengan pohon cemara tumbuh menempel di atas tebing.

Semakin mendaki, medan yang dilalui semakin menanjak dan curam. Dua jam sudah mereka berjalan menyusuri jalur sempit yang mengikuti kontur tebing dengan kemiringan 80 derajat.

"Ini serius jalurnya begini terus, Bang," tanya Jeko kepada Bang Ron. Ia menyandarkan punggungnya pada tebing karena lelah.

"Iya, lebih ekstrim gunung mana?" tanya Bang Ron menyindir agar mereka tidak lagi meremehkan alam di mana pun dan kapan pun.

Setelah membalas ucapan Jeko, tiba-tiba, raut wajah Bang Ron berubah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan seakan memastikan jalur yang telah dilalui. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Dua jam sudah mereka menyusuri jalur tebing, memanjat batu besar, dan berjalan menyamping, tetapi timnya belum juga tiba di letter Z.

Untuk melepas lelah, mereka beristirahat di tengah jalur yang berbatasan langsung dengan jurang sedalam puluhan meter. Bang Ron terlihat mulai letih, terlebih ia belum makan siang hingga menjelang sore, sedangkan perjalanan itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Keringat membasahi kaos yang dipakainya.

Hari sudah mulai sore, matahari semakin tergelincir di ufuk barat sana. Perkiraan Bang Ron meleset. Tebing yang biasa dilewati paling lama dua setengah jam, kini terasa panjang dan melelahkan. Mereka belum juga sampai di letter Z, jalur tebing zig-zag yang harus dilewati dengan cara memanjat dan tangan harus berpegangan kuat.

"Biskuit, Abang." Zahra menyodorkan dua keping biskuit kepada Bang Ron sebelum melanjutkan perjalanan.

***

Pukul 18.05 WITA, Bang Ron dan timnya tiba di tebing letter Z. Kini, mereka harus memanjat satu persatu di bawah remang magrib yang dingin dan berkabut. Letter Z merupakan satu-satunya jalur yang harus dilewati pendaki untuk bisa sampai di Pelawangan Jalur Selatan.

"Ayo, semua siapkan headlamp," perintah Bang Ron karena hari mulai redup dan angin dingin berembus cukup kencang.

Pemandangan dari letter Z ke arah danau sungguh membuat ngilu. Untuk melihat jalur yang ada di bawah pun, pandangan mata serasa berayun. Sedikit saja salah langkah, maka batu-batu tajam siap menyapa dan mengantar para pendaki ke alam baka.

"Perhatikan baik-baik, ya, ini jalurnya zig-zag. Tangan wajib berpegangan pada tebing dan jangan melihat ke bawah, nanti pusing." Bang Ron memberi arahan. Ia tampak terburu-buru karena hari semakin merangkak menuju gelap. "Miringkan badan agak menempel ke arah tebing untuk mengurangi beban tas carrier kalian. Kalau kalian tidak yakin, lepas aja carrier-nya dan estafetkan ke atas," lanjut Bang Ron.

Setelah semua mengerti apa yang diarahkan, Bang Ron memanjat terlebih dulu untuk memberi contoh.

Kondisi Bang Ron sudah benar-benar letih, perutnya kosong cukup lama. Keringat dingin mengucur deras dan kedua telapak tangannya juga mulai basah. Ia mencoba berjalan menyamping ke arah kanan menanjak sekitar tujuh meter, kemudian ia harus menyeberang ke arah kiri lima meter.

Diah dan Zahra membuntuti Bang Ron, lalu diikuti Opik serta Jeko. Paling akhir, ada Alit, Fadly, dan Ibnu. Mereka mulai memanjat sesuai arahan Bang Ron.

Awalnya, semua berjalan lancar, tetapi karena perut yang tak terisi, lelah, letih, dan ditambah terpaan angin dingin cukup lama membelai tubuh, Bang Ron mulai tak fokus. Ia berhalusinasi dan tampak berbicara dengan sesuatu yang tak dilihat oleh anggota tim lainnya.

Bang Ron berbicara seakan ada seseorang yang mengarahkannya untuk terus memanjat tebing ke arah kanan.

"Oh, ini pijakannya ... oh, iya," ucap Bang Ron berbicara, seakan-akan lawan bicaranya ada di hadapannya.

Suasana semakin remang. Tiba-tiba, terlihat cahaya lampu yang cukup terang menyorot ke arah tim Bang Ron dari arah Pelawangan Jalur Selatan. Cahaya dari atas itu seperti memberi bantuan penerangan.

Bang Ron terus memanjat agak jauh ke kanan melewati jalur. Diah terdiam, mencoba mengingat-ingat arahan sebelum memanjat.

"Bang, bukannya kata Abang kita harus ke kiri?" teriak Diah. Ia merasa Bang Ron hilang fokus.

Langkah Bang Ron terhenti setelah tersadar oleh teriakan Diah yang mengingatkannya. Ia pun diam tak bergerak setelah menyadari pijakannya terlampau jauh keluar dari jalur yang semestinya. Karena sangat curam dan berbahaya, sang leader tak yakin untuk kembali dan berharap seseorang mempunyai ide untuk membantunya.

"Bantuin, pake apa saja yang ada. Tangan saya licin!" ucap Bang Ron panik.

Kaki Bang Ron hanya berpijak pada batu tebing seujung sepatu gunung. Jemarinya semakin basah oleh keringat dan tak kuat memegang rekahan tebing dengan dua ujung jari.

"Gimana caranya, Bang?!" Alit tak kalah panik.

"Cepat, carrier-nya narik badan saya!"

"Ya Allah, Bang, kita harus gimana?" Fadly sangat bingung dan tak mampu berpikir jernih karena berkejaran dengan waktu.

"Cepat! Jari saya nggak kuat. Licin ... mulai geser!" Bang Ron tak mampu berbuat apa-apa. Carrier di punggungnya semakin membebani tubuhnya yang berusaha menempel pada tebing.

Bang Ron mencoba membuang tas carrier dari punggungnya, tetapi karena lekukan batu pegangan menjadi sangat licin oleh keringat, nahas sang leader ikut terjatuh bersama carrier-nya.

"Ya Allah!"

Panggilan nama Tuhan itu mengiringi tubuh Bang Ron yang terjatuh.

Sontak semua orang yang melihat kejadian itu berteriak histeris, panik, dan terkejut bukan kepalang. Bang Ron yang paling berpengalaman dalam pendakian itu terjatuh. Tubuhnya menghantam batu besar yang berada tak jauh di bawah. Timnya dapat melihat sesuatu membersit dari kepalanya yang terbentur. Carrier berat yang masih menempel di punggungnya kembali menyeret tubuh tak berdaya itu di atas tanah miring. Gravitasi menariknya untuk terus terjun. Bang Ron kembali terjatuh dan hilang tertelan jurang yang tertutup awan tebal. Ia terjatuh dari ketinggian lebih dari seratus meter ke dasar kawah Rinjani.

Pendakian itu seolah menjadi bukti bahwa standar keamanan wajiblah dipatuhi. Bahkan, seorang yang berpengalaman pun dapat menjadi mangsa alam liar jika tak memperhatikan kondisi fisik dan asupan. Otak tak akan mampu berpikir logis tanpa perut terisi logistik.

Bahaya dari dalam diri dan faktor eksternal tak lelah mengintai jiwa-jiwa yang lengah!

*****

Related chapters

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 5 (Dua Perempuan Yang Terancam)

    Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi____________________________Bang Ron terjatuh.Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras. Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran."Apa itu?" tanya diah pada Zahra.Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron."Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak be

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 6 (Ternyata Mereka Bukan Manusia)

    ____________________________Hujan reda. Unyil bersedia menemani Jeko dan Opik turun ke pintu hutan."Udah siap, Bang?" tanya Unyil kepada Jeko sambil memeriksa cahaya headlamp yang akan ia pakai."Iya, Bang. Kami udah siap," jawab Jeko yakin. Setelah berdoa bersama, Unyil pun menuntun Jeko dan Opik turun ke pintu hutan. "Terus, kita harus bagaimana, Bang?" tanya Rendy pada Bang Ochi."Kita tetap di sini, tenaga kita pasti dibutuhkan saat evakuasi nanti," balas Bang Ochi.***Dalam perjalanan turun, Unyil memimpin dengan yakin. Suara burung hantu dan ayam hutan menemani perjalanan mereka. Padang rumput yang luas, dengan sabar mereka lewati walau serasa tak berujung."Sebenarnya, ini kali pertama juga saya mendaki lewat jalur selatan, Bang Jek, tapi jalurnya sudah diberi stringline sama tim kami," kata Unyil "Tapi, Abang ingat dan tahu, 'kan?" tanya Opik memastikan."Innsyaallah tahu." Unyil terus menuntun mereka melewati padang edelweiss hingga sampai di Pos 3 Cemara Rompes pada

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 7 (Gubuk di Hutan)

    Unyil terbangun karena gigitan semut api pada kelopak matanya. Segera ia mengusap bagian wajah yang tergigit sambil sedikit meringis. Perlahan, gigitan itu tampak meninggalkan bekas berbentuk bulat dan tebal. Waktu menunjukkan pukul 07.14 WITA. Sinar mentari pagi menembus celah hutan tua dengan pepohonan tinggi menjulang. Warna kekuningan mulai meninggi membawa hangat menghidupkan.Di kejauhan, di bawah gunung sana, embun mulai terhangatkan, lalu menguap dan menjadikan bentangan alam terselimuti warna putih tipis. Di hadapan Unyil, abu sisa pembakaran kayu semalam masih terasa sedikit hangat. Asap tipis masih sedikit terlihat mengudara. "Ah, mungkin masih ada baranya, ni." Unyil mengangkat sebatang kayu yang masih sedikit berasap, lalu meniup ujung kayu yang tampak tertutup abu itu dengan napas panjang dan pelan. Ia harus segera membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. "Pik, Bang Jek, udah jam tujuh lewat, nih. Bangun, biar cepet kita bisa sarapan, terus turun.""Mmh, eh, Bang

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 8 (Tulang Yang Rontok)

    Pukul 06.00 WITA, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan setelah sebelumnya sarapan hanya dengan seduhan air gula aren.Karena penasaran, Unyil mencoba kembali ke gubuk tempat mereka bertemu orang asing semalam. Namun, apa yang ia lihat pagi itu benar-benar di luar nalar.Dipan tempat mereka duduk semalam lenyap tak berbekas dan tungku tempat Opik memasak juga sepertinya telah cukup lama tidak digunakan sebagai tempat perapian. Tak ada tanda-tanda pernah dipakai semalam."Loh, kok ... bukannya kita di sini semalam, Bang Nyil?" Opik keheranan sambil melihat sekeliling."Ayo, kita pergi, Pik. Kita pergi dari sini!"Mereka kembali memapah Jeko yang semakin tampak pucat. Kakinya mulai mengering, tetapi area sekitar luka semakin membengkak.Langkah demi langkah kecil, mereka susuri medan menurun dengan rintangan akar pepohonan menyulitkan langkah. Sesekali, kaki yang lemas dan menggantung itu terantuk, membuat Jeko meringis berkali-kali. Dengan sabar, mereka be

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 9 (Tidur di Tebing)

    Tubuh Bang Ron beberapa kali menghantam tebing cadas. Tubuh tak berdaya itu meluncur deras di atas tanah miring, lalu jatuh kembali dan hilang tertelan jurang jalur selatan yang mulai tersamar remang magrib berselimut kabut. Semua terjadi begitu cepat.Alit segera melepas carrier yang menempel di punggungnya, lalu mencoba menuruni tebing dengan hati-hati. Di belakangnya, Ibnu dan Fadly membuntuti."Hati-hati, awas kalian terpeleset!" kata Alit mengingatkan sambil mencari pijakan yang aman dari batuan lepas."Lit, kalau kita turun, Diah sama Zahra, gimana? Mereka masih di atas sana." Fadly tampak khawatir dengan kondisi dua teman perempuannya itu."Sepertinya, mereka aman di atas. Udah, biarin aja mereka nunggu di sana sementara, daripada bahaya kalau ikut. Diah sama Zahra kayaknya tau harus ngapain," jawab Ibnu mengira-ngira.Gelap semakin mengambil alih situasi. Perjalanan menuju dasar jurang bisa memakan waktu hingga dua jam. Namun, dalam kondisi gelap dan medan yang belum dikuasai,

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 10 (Tubuh Bang Ron)

    Ilalang dan rumput liar masih merunduk, di ujungnya tampak bulir air menggantung memantulkan cahaya matahari. Tebing cadas yang tadinya terasa dingin saat tersentuh, kini mulai terhangatkan, lalu tampak berasap karena basah semalam mulai menguap."Teman-teman, kita tunggu matahari meninggi dulu, baru kita turun. Sekarang tebing dan jalur pasti masih licin karena hujan semalam. Kita jangan ambil resiko." Alit sebagai orang yang lebih tua mengambil alih posisi tim leader. Kini, ia bertanggung jawab atas teman-temannya.Sesaat sebelum beranjak menuruni tebing, tiba-tiba Zahra terdiam. Ia merasakan pusing saat pandangannya menghadap langsung ke arah kedalaman kawah gunung. Ia tertunduk dengan kedua tangan memegang lutut."Ra, kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Diah memastikan keadaan Zahra yang masih tampak pucat."Saya pusing, Mbak!" Zahra duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tebing. Wajahnya memerah karena hendak muntah."Pegangin, pegangin! Mungkin dia kena AMS. Kita harus cepat turun!"

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 11 (Siapa Yang Mandi di Danau itu?)

    Perlahan, warna senja tumpah pada awan yang menggantung di bawah kolong langit yang masih biru, seolah mengumandangkan matahari akan segera berpamitan. Menyisakan lelah dan hati yang gundah serta semangat yang hampir patah.Pada permukaan danau, anak-anak belibis mengiringi induknya berenang ke kiri, ke kanan, dan sesekali menyelam memburu ikan-ikan kecil di danau yang mulai tersamar kabut. Perlahan gelap mulai melingkupi kawah Rinjani, menyembunyikan pucuk-pucuk cemara yang lentik, bersamaan dengan itu, bau anyir jenazah yang tampak melebam mulai tercium. Jenazah Bang Ron sudah sehari terkapar di atas batu dengan separuh badan tak tersangga. Wajahnya menghadap ke arah alit dan Fadly. Hanya selembar jas hujan yang menutupi tubuhnya. Alit dan Fadly tak berani memindahkan jenazah itu ke tempat yang datar. Tubuhnya yang besar agak terhimpit di antara batu besar dan pangkal pohon. Tak bisa berbuat apa-apa, mereka kembali ke tempat Ibnu dibaringkan."Teman-teman, kita harus camp dekat je

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 12 (Kepala Yang Bergerak)

    PENDAKIAN JALUR SELATAN RINJANIPART 12__________________________Ibnu berlari menjauh setelah mendorong Fadly. Sementara Alit berusaha membantu Fadly agar segera keluar dari danau yang mulai beriak dengan aneh."Cepet naik!" Alit mengulurkan tangan.Fadly segera meraih uluran tangan Alit dan dari danau. "S i a l a n, k u b a l a s kau!"Fadly bermaksud membalas perlakuan Ibnu yang telah membahayakannya. Sejak jatuhnya Bang Ron, Ibnu memang sempat berkali-kali adu mulut dengan Fadly."Ibnu! Ibnu, keluar kamu!" teriak Fadly sambil berjalan cepat menuju tenda.Diah dan Zahra hanya melongo keheranan dengan apa yang terjadi."Fadly, sabar ... sudah, kita ngomong sama Ibnu baik-baik!" ucap Alit mencoba menenangkan Fadly yang sudah terlanjur emosi.Dengan kasar Fadly membuka resleting tenda. "Keluar kamu, b e r e n g s e k! Sini h a d a p i saya!""Ini kenapa?" teriak Diah melihat Fadly menyeret Ibnu keluar dari tenda dengan kasar."Biar k u h a b i s i saja sekalian orang ini! Dasar p e

Latest chapter

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 67 (Detik-Detik Gempa di Puncak)

    Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 66 (Mereka Tak Kembali)

    #PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 65 (Guncangan Dahsyat)

    #PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 64 (Mata Yang Menyembul Dari Danau)

    #PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 63 (Siapa Di Tengah Danau?)

    Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 62 (Bumi Berguncang)

    #PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 61 (Rasa Yang Menusuk!)

    #PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 60 (Mengalah Demi Dia)

    _____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.

  • Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani   Bab 59 (Summit)

    ________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."

DMCA.com Protection Status