Lokasi yang dikunjungi pertama oleh Tony cs adalah Taman Sari. Karena Emma baru pertama kali datang ke lokai wisata itu, tentu saja dia takjub. Dia melihat semua bangunan yang ada di tempat itu dengan mata berbinar. Rasanya seperti diseret ke puluhan tahun yang lalu.Sementarai itu, seperti biasa, sambil berjalan Tony asyik memotret objek yang ada di Taman sari. Saking asyiknya, dia sampai terlihat berjongkok beberapa kali untuk mengambil gambar.“Daripada kamu fotoin tembok mending fotoin aku,” kata Emma. Dia menepuk pundak Tony.“Boleh,” katanya. Sama Jake dan Ethan saja sekalian.Emma lalu memanggil Jake dan Ethan. Mereka bertiga lalu pose bersama. Emma di tengah sementara Jake dan Ethan di sisi kirinya. Saat Jake merangkul pundaknya di pose kedua, Emma agak canggung. Tony menyadari itu dan ada yang bergejolak di dadanya. Dia berusaha untuk mengabaikan itu lalu melakukan satu jepretan.“Aku juga mau foto bareng kalian deh,” kata Tony. Dia lalu meminta tolong seseorang yang lewat di
Emma menyandarkan kepalanya di pundak Tony yang duduk di sampingnya. Air matanya keluar lagi. Dia lalu berusaha mengendalikan diri karena tak ingin merepotkan Tony. Dengan kedua telapak tangannya dia mengusap pipi kanan dan kirinya.“Kita nggak jadi keluar deh kalo gitu,” kata Tony. Biar aku telfon Jake dan Ethan.“Jangan dong,” kata Emma. Masak cuma gara-gara aku kalian nggak jadi keluar. Ayo kita keluar.“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Tony.Emma menggeleng. Dia lalu bangkit. “Aku mau ganti baju dulu,” katanya. Dia lalu mengambil baju ganti dari tasnya lalu berjalan ke kamar mandi.“Kenapa?” tanya Tony saat melihat Emma ragu-ragu melangkah mendekati kamar mandi.Tony lalu berjalan mendekati Emma. “Kamu masih takut?” tanyanya, “apa perlu aku temenin kamu ke dalem?”Emma teratwa. “Enggak lah. Keenakan kamu,” katanya. Dia lalu masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.Tony lantas terbahak.***Sabrina melihat layar ponselnya seperti orang linglung. Dia mengirim chat pada Jake beberap
Sabrina berdiri sambil melihat sekeliling. Dia memperhatikan satu demi satu mahasiswa yang sekiranya cocok dia jadikan target.“Aku baru inget aku ada kenalan mahasiswa yang suka belajar juga kayak Emma,” kat Desy.Sabrina membelalakkan mata. “Serius?” tanyanya.Desy mengangguk. “Dulu dia teman SMA-ku satu angkatan,” katanya, “namanya Indra.” “Yaudah sih ayo kita cariin dia,” kata Anne.“Biasanya dia sering nongkrong di perpustakaan,” kata Desy.Mereka bertiga lalu berjalan menuju perpustakaan.Gedung perpustakaan yang terdiri dari dua lantai itu sedang ramai-ramainya ketika Sabrina dan dua temannya sampai di sana.“Biar cepet nyarinya kita pencar saja gimana?” usul Sabrina.Anne dan Desy kompak mengangguk. “Oke,” kata Desy.“Aku ke atas ya,” kata Sabrina.“Eh, bentar-bentar, kamu tau orangnya kayak gimana nggak?” tanya Desy.Sabrina menggeleng. Dia lalu tertawa.“Nyelonong aja,” kata Desy. Dia lalu membuka akun Instagramnya dan menunjukkan akun Instagram Indra.Sabrina mengamati fo
Jake melihat Emma duduk sendiri saat dia datang bersama Ethan di kantin. Dengan langkah-langkah lebar, dia lalu menghampiri gadis itu.“Tumben sendirian, Tony mana?” tanya Jake setelah meletakkan pesanannya di meja.“Oh dia katanya tadi mau ke toilet sih,” kata Emma.“Aku nggak apa-apa kan join?” tanya Jake.“Nggak apa-apa kok. Kenapa sih tanya segala? Biasanya juga kita bareng-bareng,” kata Emma.Sebenarnya, Jake juga tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja dia merasa canggung. Sejak dia berpacaran dengan Sabrina, dia merasa ada jarak anatara dirinya dengan Emma. Semuanya tak lagi sama seperti sebelum dia berpacaran dengan Sabrina.“By the way, Sabrina udah nggak pernah ganggu kamu?” tanya Jake. Dia mengambil sepotong kentang goreng lalu dia masukkan ke mulut.“Selama beberapa hari ini belum. Nggak tahu besok-besok,” kata Emma.“Eh, udah rame aja nih!” Tony baru datang sambil membawa pesanannya. Dia lalu menarik kursi yang ada di samping Emma dan duduk.“Eh iya, Tony, aku keinget sesuatu
“Emangnya kenapa aku harus takut sama kamu, Sabrina?” kata Emma, “kamu pikir kamu presiden?”Mendemgar ucapan Emma, Sabrina terpancing emosi. Dia lalu menggerakkan tangan kanannya, berusaha memukul Emma. Namun belum sampai niatnya terpenuhi, Emma berhasil mencekal tangannya. Gadis itu melotot dan menyeringai. Cengkeramannya di tangan Sabrina sangat kuat.Sabrina berusaha menarik tangannya tapi gagal. Melihat itu Emma tertawa. Dia lalu memutar pergelangan tangan Sabrina hingga tulang gadis itu berbunyi. Emma lalu tertawa.“Emma! Apa yang kamu lakukan?!” kata Anne. Dia lalu berusaha melepas tangan Emma dari tangan Sabrina.“Emma lepaskan tanganmu. Kamu nggak lihat apa Sabrina kesakitan?” kata Desy.Emma tak menjawab, dia malah tertawa. Semakin lama, wajahnya semakin pucat dan matanya semakin melotot.“Anne, kamu cari bantuan gih,” kata Desy.Anne menuruti Desy. Dia berlari lalu memanggil beberapa mashasiswa. Dia lalu kembali dengan empat orang mahasiswa. Empat orang mahasiswa itu berusa
Seperti janji yang Tony, Jake dan Ethan ucapkan saat istirahat siang mereka mengikuti Emma ke perpustakaan untuk bertemu Indra. Mereka mengawasi dari jauh. Sepertinya memang Indra dan Emma sedang membahas tenteng materi perkuliahaan. Mereka terlihat sangat serius sekali.“Guys, menurut lo kenapa ya cowok itu tiba-tiba ngedeketin Emma?” tanya Tony. Pandangannya terfokus ke Emma dan Indra.“Kan udah kelihatan itu mereka diskusiin tentang mata kuliah. Mungkin ada materi ynang Indra kurang paham. Karena Emma anaknya terkenal cukup rajin, jadi dia ngedeketin Emma deh,” sahut Ethan.“Tau kamu semua cowok yang ngedeketin dia kamu curigain kamu cuma sahabatnya bukan bapaknya,” kata Jake.“Justru karena aku sahabatnya makanya aku protektif sama dia,” sahut Tony cepat, “aku nggak mau dia diapa-apain sama cowok playboy, cowok buaya dan cowok-cowok prik lainnya.”“Kamu nyindir aku?!” sahut Jake, nada suaranya meninggi.“Nggak, kalo nggak merasa ya nggak usah kesindir sih,” sahut Tony.Ethan lalu
Emma sebenarnya sedang mengerjakan tugasnya di kamar. Dia terlihat fokus sekali menatap layar laptop. Namun fokusnya teralihkan saat ponselnya berbunti. Dia mengerutkan kening karena ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Meski dengan ragu, akhirnya Emma mengangkat telfonnya.“Halo ... siapa ya?” tanya Emma saat dia menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, Emma, ini aku Desy. Kamu bisa tolong aku nggak? Aku lagi butuh bantuan urgent banget.”Emma mengerutkan kening. Bantuan? Kalau urgent sekali kenapa Desy tak meminta tolong pada kedua temannya dan malah meminta tolong padanya?“Emma? Kamu denger aku kan?” ulang Desy.“I ... Iya. denger,” kata Emma.“Jadi kamu bisa tolong aku nggak?” kata Desy,“Emangnya kamu mau minta tolong apa?” tanya Emma.“Aku lagi di jalan dan kena copet. Motor aku kehabisan bensin juga. Kamu bisa dateng ke sini nggak?” tanya Desy.“Memang kamu lagi di mana?” tanya Emma.“Aku nggak tau ini di mana. Aku shareloc aja kamu ya,” kata Desy.“Boleh ... boleh,” kata Emma
Emma sebenarnya sedang mengerjakan tugasnya di kamar. Dia terlihat fokus sekali menatap layar laptop. Namun fokusnya teralihkan saat ponselnya berbunti. Dia mengerutkan kening karena ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Meski dengan ragu, akhirnya Emma mengangkat telfonnya.“Halo ... siapa ya?” tanya Emma saat dia menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, Emma, ini aku Desy. Kamu bisa tolong aku nggak? Aku lagi butuh bantuan urgent banget.”Emma mengerutkan kening. Bantuan? Kalau urgent sekali kenapa Desy tak meminta tolong pada kedua temannya dan malah meminta tolong padanya?“Emma? Kamu denger aku kan?” ulang Desy.“I ... Iya. denger,” kata Emma.“Jadi kamu bisa tolong aku nggak?” kata Desy,“Emangnya kamu mau minta tolong apa?” tanya Emma.“Aku lagi di jalan dan kena copet. Motor aku kehabisan bensin juga. Kamu bisa dateng ke sini nggak?” tanya Desy.“Memang kamu lagi di mana?” tanya Emma.“Aku nggak tau ini di mana. Aku shareloc aja kamu ya,” kata Desy.“Boleh ... boleh,” kata Emma
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala