Seperti janji yang Tony, Jake dan Ethan ucapkan saat istirahat siang mereka mengikuti Emma ke perpustakaan untuk bertemu Indra. Mereka mengawasi dari jauh. Sepertinya memang Indra dan Emma sedang membahas tenteng materi perkuliahaan. Mereka terlihat sangat serius sekali.“Guys, menurut lo kenapa ya cowok itu tiba-tiba ngedeketin Emma?” tanya Tony. Pandangannya terfokus ke Emma dan Indra.“Kan udah kelihatan itu mereka diskusiin tentang mata kuliah. Mungkin ada materi ynang Indra kurang paham. Karena Emma anaknya terkenal cukup rajin, jadi dia ngedeketin Emma deh,” sahut Ethan.“Tau kamu semua cowok yang ngedeketin dia kamu curigain kamu cuma sahabatnya bukan bapaknya,” kata Jake.“Justru karena aku sahabatnya makanya aku protektif sama dia,” sahut Tony cepat, “aku nggak mau dia diapa-apain sama cowok playboy, cowok buaya dan cowok-cowok prik lainnya.”“Kamu nyindir aku?!” sahut Jake, nada suaranya meninggi.“Nggak, kalo nggak merasa ya nggak usah kesindir sih,” sahut Tony.Ethan lalu
Emma sebenarnya sedang mengerjakan tugasnya di kamar. Dia terlihat fokus sekali menatap layar laptop. Namun fokusnya teralihkan saat ponselnya berbunti. Dia mengerutkan kening karena ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Meski dengan ragu, akhirnya Emma mengangkat telfonnya.“Halo ... siapa ya?” tanya Emma saat dia menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, Emma, ini aku Desy. Kamu bisa tolong aku nggak? Aku lagi butuh bantuan urgent banget.”Emma mengerutkan kening. Bantuan? Kalau urgent sekali kenapa Desy tak meminta tolong pada kedua temannya dan malah meminta tolong padanya?“Emma? Kamu denger aku kan?” ulang Desy.“I ... Iya. denger,” kata Emma.“Jadi kamu bisa tolong aku nggak?” kata Desy,“Emangnya kamu mau minta tolong apa?” tanya Emma.“Aku lagi di jalan dan kena copet. Motor aku kehabisan bensin juga. Kamu bisa dateng ke sini nggak?” tanya Desy.“Memang kamu lagi di mana?” tanya Emma.“Aku nggak tau ini di mana. Aku shareloc aja kamu ya,” kata Desy.“Boleh ... boleh,” kata Emma
Emma sebenarnya sedang mengerjakan tugasnya di kamar. Dia terlihat fokus sekali menatap layar laptop. Namun fokusnya teralihkan saat ponselnya berbunti. Dia mengerutkan kening karena ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Meski dengan ragu, akhirnya Emma mengangkat telfonnya.“Halo ... siapa ya?” tanya Emma saat dia menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, Emma, ini aku Desy. Kamu bisa tolong aku nggak? Aku lagi butuh bantuan urgent banget.”Emma mengerutkan kening. Bantuan? Kalau urgent sekali kenapa Desy tak meminta tolong pada kedua temannya dan malah meminta tolong padanya?“Emma? Kamu denger aku kan?” ulang Desy.“I ... Iya. denger,” kata Emma.“Jadi kamu bisa tolong aku nggak?” kata Desy,“Emangnya kamu mau minta tolong apa?” tanya Emma.“Aku lagi di jalan dan kena copet. Motor aku kehabisan bensin juga. Kamu bisa dateng ke sini nggak?” tanya Desy.“Memang kamu lagi di mana?” tanya Emma.“Aku nggak tau ini di mana. Aku shareloc aja kamu ya,” kata Desy.“Boleh ... boleh,” kata Emma
Emma membuka maatanya perlahan. Saat matanya terbuka sepenuhnya, dia melihat, Desy yang juga baru terbangun. Gadis itu terbaring di sampingnya.“Kita ada di mana?” tanya Emma. Dia lalu menatap sekeliling. Dia membelalakkan mata saat mengetahui jam menunjukkan pukul dua dini hari.“Ini rumah Sabrina sih,” kata Desy. Dia lalu bangkit duduk.“Hah? Kenapa kita bisa ada di sini? Aku harus pulang,” kata Emma. Dia lalu bergegas turun dari ranjang.Desy menahan Emma. “Kamu mau naik apa?” tanyanya, “nggak ada taksi jam segini.”Emma lalu terdiam dan merengung. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa ada di rumah Sabrina? Apa semua yang terjadi merupakan rencana gadis itu?“Bentar, aku telfon Sabrina biar dia ke sini. Soalnya aku juga nggak tahu kita kenapa dan gimana bisa ada di sini? Kan aku juga habis pingsan sama kayak kamu,” kata Desy.Desy lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menelepon Sabrina.Sabrina datang dalam hitung
Tony melihat lagi video Emma dengan teliti. Walaupun setiap kali melihat video itu dadanya sakit, dia memaksakan diri karena dia ingin tahu siapa pemeran laki-laki di video itu. Dia harus membongkar semua drama ini. Dia yakin Emma tidak akan melakukan hal itu dengan sengaja.“Aku nggak yakin Emma ngelakuin ini dengan sengaja,” kata Tony, “mustahil. Aku gandeng tangannya aja dia risih dn langsung dilepasin, apalagi sampe kayak gini.”Jake yang duduk di samping Tony berdecak. Mereka mana peduli Emma ngelakuin itu dengan sengaja atau enggak, Tony? Yang mereka tau yang ada di video itu Emma dan seorang cowok. Ya udah,” katanya.Tony mengerutkan kening. Kamu nggak pengen tau gitu siapa yang ngerekam video ini dan yang nyebarin video ini?” tanya Tony pada Jake. Dia heran mengapa Jake terlihat santai sekali.“Ya pengen lah. Malah aku udah bisa nebak itu pelakunya siapa,” kata Jake.“Siapa?” sahut Ethan yang sedang berusaha membuka toples berisi keripik kentang.“Sabrina lah. Siapa lagi,” sah
“Kata Tante Lily, Emma maih belum bisa diganggu,” sahut Tony.Jake menghembuskan napas kasar. “Keadaanya masih parah banget ya?” tanyanya.“Dia masih suka ngamuk-ngamuk karena mahluk astral itu jadi lebih mudah nguasain dia kalo dia sedih,” sahut Tony.Ethan mengambil pisau dan mengupas buah belimbing yang dia ambil dari halaman rumah. “By the way, kita jadi menginterogasi Indra nggak nih?” tanyanya sambil mengupas.“Boleh,” sahut Tony, “kapan? Yang pasti nggak bisa sekarang karena aku nggak tau rumahnya.”“Besok di kampus?” tanya Jake.“Iya, deal gitu aja deh,” sahut Ethan.Jake lalu beralih pada Tony yang tampak melamun. “Kamu gimana? Setuju nggak kita nyamperin Indra besok di kampus?” tanya Jake.“Bentar deh, kok aku yakin banget ya, ini ada hubungannya sama Sabrina,” kata Tony. Pikirannya tampak menerawang.“Iya, aku juga tau kalo Sabrina selama ini suka musuhin Emma. Tapi kan, di video itu sama sekali nggak ada Sabrina. Kamu jangan aneh-aneh lah jatohnya fitnah,” sahut ethan.“Iy
Tony, Ethan dan Jake berjalan menuju ruagan rektor dengan perasaan waswas. Mereka bertihga sama-sama tahu kalau mereka akan ditanyai tentan Emma. Saat sampai di ruang rektor pikiran mereka bertiga semakin kacau.“Perasaanku nggak enak nih, Jake,” kata Ethan.“Aku juga,” sahut Jake, “tapi yaudah sih. Kita sudah nyampe di sini juga. Masak mau balik lagi. Entar kalo ditanya-tanya, jawab sebisa kita aja.”“Permisi!” kata Tony sambil mengetuk pintu.Bu Martha mengalihkan pandangan dari kertas-kertas yang ada di mejanya ke arah pintu. Wanita berkaca mata itu lalu tersenyum ramah. “Eh kalian,” katanya, “masuk-masuk.”Tony, Ethan dan Jake lalu masuk ke ruangan Bu Martha. Tony yang duduk, sementara Ethan dan Jake berdiri.“Aduh, maaf ya, dua yang lainnya jadi berdiri. Apa saya panggilin petugas biar diambilin kursi dulu?” kata Bu Marta.“Oh, tidak perlu, Bu. Tidak apa-apa,” sahut Jake.“Baik, jadi maksud saya memanggil kalian datang ke sini adalah untuk menanyakan tentang Emma,” kata Bu Marta,
Lily membuka pintu rumahnya saat mendengar papan kayu itu diketuk dari luar. Dia tersenyum setelah membuka pintu dan melihat Bu Marta berdiri di hadapannya.“Selamat malam,” sapa Bu Marta.“Selamat malam, “ balas Lily. Dia lalu mempersilakan rektor tersebut untuk masuk dan duduk.“Sebentar, saya panggilkan suami saya, Bu. Nanti kita ngobrol bersama,” kata Lily.Yang datang ke ruang tamu lebih dulu Robin. Dia menyalami Bu Marta. Lily datang sepuluh menit kemudian dengan membawa naman berisi tiga gelas jus.“Maaf, seadanya, Bu,” kata Lily saat meletakkan gelas ke meja.“Ah, merepotkan saja,” kata Bu Marta.Lily tertawa kecil. “Tidak apa-apa, Bu,” katanya. Dia lalu duduk di sebelah Robin.“Begini, Bu Lily dan Pak Robin, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menanyakan tentang Emma,” kata Bu Marta memulai pembicaraan.“Silakan, Bu, segala informasi yang Anda butuhkan pasti akan kami jawab,” sahut Robin.“Tersebarnya video Emma di kampus membuat kita semua sangat terkejut dan sangat
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala