Tony, Ethan dan Jake berjalan menuju ruagan rektor dengan perasaan waswas. Mereka bertihga sama-sama tahu kalau mereka akan ditanyai tentan Emma. Saat sampai di ruang rektor pikiran mereka bertiga semakin kacau.“Perasaanku nggak enak nih, Jake,” kata Ethan.“Aku juga,” sahut Jake, “tapi yaudah sih. Kita sudah nyampe di sini juga. Masak mau balik lagi. Entar kalo ditanya-tanya, jawab sebisa kita aja.”“Permisi!” kata Tony sambil mengetuk pintu.Bu Martha mengalihkan pandangan dari kertas-kertas yang ada di mejanya ke arah pintu. Wanita berkaca mata itu lalu tersenyum ramah. “Eh kalian,” katanya, “masuk-masuk.”Tony, Ethan dan Jake lalu masuk ke ruangan Bu Martha. Tony yang duduk, sementara Ethan dan Jake berdiri.“Aduh, maaf ya, dua yang lainnya jadi berdiri. Apa saya panggilin petugas biar diambilin kursi dulu?” kata Bu Marta.“Oh, tidak perlu, Bu. Tidak apa-apa,” sahut Jake.“Baik, jadi maksud saya memanggil kalian datang ke sini adalah untuk menanyakan tentang Emma,” kata Bu Marta,
Lily membuka pintu rumahnya saat mendengar papan kayu itu diketuk dari luar. Dia tersenyum setelah membuka pintu dan melihat Bu Marta berdiri di hadapannya.“Selamat malam,” sapa Bu Marta.“Selamat malam, “ balas Lily. Dia lalu mempersilakan rektor tersebut untuk masuk dan duduk.“Sebentar, saya panggilkan suami saya, Bu. Nanti kita ngobrol bersama,” kata Lily.Yang datang ke ruang tamu lebih dulu Robin. Dia menyalami Bu Marta. Lily datang sepuluh menit kemudian dengan membawa naman berisi tiga gelas jus.“Maaf, seadanya, Bu,” kata Lily saat meletakkan gelas ke meja.“Ah, merepotkan saja,” kata Bu Marta.Lily tertawa kecil. “Tidak apa-apa, Bu,” katanya. Dia lalu duduk di sebelah Robin.“Begini, Bu Lily dan Pak Robin, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menanyakan tentang Emma,” kata Bu Marta memulai pembicaraan.“Silakan, Bu, segala informasi yang Anda butuhkan pasti akan kami jawab,” sahut Robin.“Tersebarnya video Emma di kampus membuat kita semua sangat terkejut dan sangat
“Kalau Bu Marta tidak keberatan, bisa nggak kita ke kediaman anak itu lain waktu?” kata Lily setelah menyimpan nomor telepon, “kalau melalui telepon saja kok rasanya kurang afdol.”Bu Marta mengangguk. “Boleh ... boleh,” katanya, “kalau weekend saya mungkin bisa.”“Baik, terima kasih, Bu,” kata Lily.Bu Marta mengangguk lagi. “Saya kira cukup sampai di sini dulu, Bu lily, Pak Robin,” kata Bu Marta sambil menatap Lily dan Robin bergantian, “lain kali, kalau saya ada pertanyaan lagi tentang Emma, semoga kalian tidak keberatan kalau saya datang lagi.”“Oh, tentu saja tidak, Bu,” kata Lily.Setelah saling bersalaman, Lily dan Robin lalu mengantar Bu Lily hingga ke pagar rumah.***Jake menghampiri ibunya di ruang kerja. Wanita yang kesehariannya sibuk dengan profesinya sebagai fashion designer itu tampak fokus menatap layar laptop. Dia baru menoleh ke pintu setelah Jake mengetuk papan kayu itu untuk yang ketiga kali sambil memanggil namanya.“Eh, Jake, ada apa kamu malam-malam gini nyampe
Lily membawa semangkuk kolak labu kuning kesukaan Emma. Dia berharap anak gadisnya itu mau makan. Namun setelah tiba di kamar Emma, anak gadisnya itu hanya mau makan sebanyak empat sendok. Tak sampai separuh isi mangkuk dimakannya. Lili menghembuskan napas panjang. Dia lalu meletakkan mangkuknya ke atas nakas.“Emma, makan dong, kalo kamu nggak makan, nanti kamu sakit,” kata Lily. Dia menyibakkan rambut Emma yang menutupi pipi.Anak gadisnya itu jarang mau mengurus penampilannya belakangan ini. Jangankan menyisir rambut, mandi saja kalau tidak dipaksa Lily ke kamar mandi dia tidak akan menyentuh air.“Emma, Ibu mau bicara sama kamu,” kata Lily. Dia mengarahkan wajah Emma padanya.Emma menatap Lily, tapi dia tak bersuara.“Emma, kamu bener selama ini nggak punya pacar?” tanya LilyEmma menggeleng. Dia lalu mengalihkan pandangannya dari Lily yang duduk di tepi ranjang ke tengah-tengah lagi. Pandangannya kosong.“Gimana? Dia mau makan?” tanya Robin yang baru saja masuk ke kamar Emma.Lil
Merasa tak puas dengan hasil pembicaraannya dengan Ethan, Jake lalu mendatangi Tony untuk berdiskusi. Keesokan harinya, ketika tiba di kampus, dia lalu mendatangi Tony di kelasnya.“Hei, Tony, aku mau ngomong sama kamu,” kata Jake setelah duduk pada kursi yang ada di depan meja Tony.“Ngomong apa? Ngomong aja,” kata Tony.“Aku curiga sama Sabrina,” kata Jake, “nggak tau kenapa aku yakin banget kejadian di video itu dibikin pas Emma nginep dan pingsan di rumah Sabrina.”Tony mengangguk-angguk. “Aku juga mikir gitu,” katanya, “malah aku yakin banget nget kalo cowok yang ada di video itu Indra.”“Kamu setuju nggak kalo kita interogasi Emma?” tanya Jake.“Setuju aja sih. Tapi apa dia mau ngaku?” tanya Tony.“Sumpah, Sabrina licik banget,” kata Jake.“Kalo kita tanya temennya aja gimana?” usul Tony.Jake mengerutkan kening. “Maksud kamu si Anne sama Desy?” tanya Jake.Tony mengangguk.“Emangnya kapan mereka pernah keliatan nggak bareng Sabrina?” tanya Jake.Tony tertawa. “Kamu mau nggak be
Tony tak menyerah meski kelihatannya Desy mulai tak nyaman. Dia terus berusaha mengorek keterangan dari gadis itu.“Kalo boleh tahu, kecopetannya di daerah mana?” tanya Tony.“Aku lupa, Tony,” kata Desy, “kamu ngeselin deh lama-lama.” Dia lalu bangkit dan mengajak Anne pergi.Tony menghembuskan napas panjang. “Sial!” umpatnya. Dia lalu mencari Jake.Tony menemukan Jake di taman kampus. Dia sedang duduk berdua dengan Sabrina di sana. Dari kejauhan, Sabrina tampak mengobrol dengan antusias. Wajah gadis itu kelihatan berseri-seri. Sementara itu, Jake lebih banyak diam. Dia hanya menjadi pendengar.“Jake, cabut yuk,” kata Tony ketika langkahnya terhenti di depan kursi taman tempat Jake dan Sabrina duduk.Jake lalu berdiri.“Eh, tunggu dulu. Tony, kamu mau ajak Jake ke mana?!” kata Sabrina. Dia lalu berjalan cepat menyusul Tony dan Jake.Tak ingin Sabrina menyusul, Jake dan Tony lalu berlari dengan sangat cepat. Mereka tertawa lepas saat melihat Sabrina, yang berusaha menyusul, terjatuh.*
Tanpa diduga, dalam hitungan detik Emma berteriak. Dia mengobrak-abrik seprai. Tak cukup sampai di situ, dia melempar-lempar bantal dan guling ke segala arah. Melihat itu, tentu saja Lily tak tinggal diam. Dia berusaha memegangi tangan Emma. Dengan gesit, Tony melakukan hal yang sama. Dia beruaha memegangi Emma.Namun untuk membuat Emma berhenti tentunya tak mudah itu. gadis itu terus berontak meski telah ada Lily dan Tony yang memegangi tangannya. Gadis itu baru bisa dikendalikan saat Jake ikut memegangi kakinya. Secara bertahap tenaganya berkurang dan tubuhnya melemas.“Maaf ya. Kalian semua jadi ikut repot,” kata Lily.“Nggak apa-apa, Tante,” kata Jake.***Karena sudah mendapatkan lokasi pertemuan Emma dan Desy, Tony cs pun tak membuang-buang waktu. Keesokan harinya setelah pulang dari kampus mereka mendatangi lokasi itu. Rupanya di lokasi itu cukup sepi. Setelah berjalan sekitar limaratus meter, mereka baru menemukan kios penjual bensin eceran.“Kayaknya mereka mampir beli bensin
“Bukannya kamu bilang sudah nelfon orangtuanya Sabrina dan mereka bilang kalau mereka tidak akan mengizinkan anak laki-laki masuk ke rumah mereka tanpa pengawasan?” tanya Robin.Lily mengangguk. Dia lalu menghembuskan napas panjang. Dia semakin bingung. Ketakutannya tentang Emma yang memiliki kekasih secara diam-diam muncul lagi. Tapi kalaupun iya, kapan mereka merekam video itu? Selama ini Emma sama sekali tidak pernah keluar rumah sampai menginap kecuali malam itu. Dan tentunya saat sedang rekreasi ke luar kota. Apakah Emma merekam itu saat pergi rekreasi keluar kota? Tapi bukannya Tony selalu bersama gadis itu dan mengawasi gadis itu?Untuk lebih meyakinkan diri, Lily lalu mengeluarkan ponsel Emma dari tasnya. Dia mengecek lagi ponsel Emma. Dia melihat seluruh chat WhatsApp Emma. Dia juga mengecek akun sosial media anak itu. Seluruh foto dan video juga tak lepas dari pengecekannya. Namun, Lily tak menemui satu pun pertanda kalau Emma memiliki teman spesial laki-laki.***Jake mense