Emma:Aku sudah tau. Dia nggak pernah berubah. Nggak di kampus, nggak di luar kampus, kerjannya cari masalah aja.Tony mengetik balasan dalam hitungan detik.Anthony:Biar aku baled dia untuk kamu.“Jake boleh aku minta kentang goreng kamu?” tanya Tony setelah meletakkan ponselnya.Jake mengangguk. “Boleh ... boleh,” katanya.Tony lalu mengambil kentang goreng yang ada di hadapan Jake. Tangannya melewati Sabrina. Dia sengaja mengambil saos sangat banyak. Saat mau menarik tangannya, dia menjatuhkan saosnya di atas rok Sabrina yang duduk di sampingnya.“Tony, kamu apa-apaan sih!” omel Sabrina, “kamu sengaja ya!”“Maaf, aku nggak sengaja,” kata Tony.Jake yang tahu maksud Tony, Diam saja. Dia malah tersenyum geli melihat Sabrina mengomel-ngomel.“Hah, kamu ini sama saja kayak temenmu si Emma itu!” kata Sabrina, “nyebelin!” dia lalu berdiri dan berjalan meninggalkan meja.Di toilet, Sabrina bertemu dengan Emma. Gadis itu hendak berjalan keluar dari toilet. Karena kesal, dia sengaja menyen
Tiwi mampir ke rumah Tony sore setelah dia pulang dari kampus. Gadis itu datang untuk menceritakan apa yang dia lakukan di hutan tempo hari. Setelah memarkirkan mobil tak jauh dari pagar rumah Tony. Tiwi lalu berjalan melewati halaman rumah karena pagarnya tidak dikunci.Setibanya di depan pintu, Tiwi menekan bel. Setelah dua kali menekan bel. Sofia keluar dari balik pintu.Wanita itu terlihat sedikit kaget saat melihat Tiwi. “Eh, kamu temannya Tony?” tanya Sofia.Sofia mengangguk.“Oh, masuk ... masuk,” sahut Sofia. Dia tersenyum semringah, “Tony lagi ada di ruang tengah menonton televisi. Sebentar Tante panggilin ya.”Sofia mengangguk lagi. “Iya, Tante,” balasnya. Dia lalu duduk.Tony muncul beberapa menit kemudian. “Hei, kok dadakan aja ke sini nggak ngabarin dulu?” kata Tony sambil berjalan menuju sofa. Dia lalu duduk di sofa dekat sofa panjang yang diduduki Tiwi.“Aku balik dari kampus terus kepikiran mampir,” sahut Tiwi, “yaudah aku mampir.”Tony mengangguk-angguk. “Oh gitu,” ba
Emma mendengar bisikan di telinganya.“Coba gores tanganmu.”Semakin Emma memperhatikan pisau yang ada di tangan kanannya itu, bisikan itu semakin jelas.“Ayo ... gores tanganmu.”Emma membayangkan ujung pisau yang lancip itu mengenai ujung jarinya. Lalu dalam hitungan detik, dia benar-benar melakukan itu. Dia menempelkan ujung pisau yang lancip di ujung jarinya. Setelah itu, dia lalu menggores bagian pisau yang tajam ke jari telunjuknya.Emma melakukan itu beberapa kali sampai jari telunjuknya mengeluarkan darah segar. Tak cukup hanya melukai satu jari, Emma juga melakukan itu ke jari-jari tangan kirinya yang lain. Meski darah mengalir dari jari-jari tangannya yang terluka, Emma tak merasakan sakit sama sekali. Dia malah seperti orang kecanduan melakukan itu.“Emma, kamu ngapain?!”Itu suara Tony. Laki-laki itu berusaha merebut pisau dari tangan kanan Emma.Namun Emma tak menyerahkan pisaunya begitu saja. Dia berusaha melawan Tony. Piau di tangan kanannya dia cengkeram semakin kuat.
Tiwi pergi ke hutan lagi. Kali ini, dia datang bersama Tony. Seperti biasa, untuk memanggil mahluk astral itu, Tiwi harus berkonsentrasi. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, mahluk astral yang dia nantikan tampak di hadapannya.“Hai, aku datang lagi,” kata Tiwi.Dua mahluk astral di depannya tak bereaksi apa-apa. Mereka hanya diam sambil menatap Tiwi dengan ekspresi kaku.“Gimana kesepakatan kita?” tanya Tiwi.“Kesepakatan apa?” tanya Lala.“Aku memberi Dion mainan baru dan jangan ganggu Emma,” kata Tiwi.Dion menggeleng. Sementara Lala tertawa.“Pergi,” kata Lala usai tawa melengkingnya reda, “jangan ganggu aku.”“Nggak sebelum kalian menyetujui kesepakatannya,” kata Tiwi.Lala tak membalas Tiwi. Dia lalu berjalan melewati gadis itu. “Mau ke mana kamu?” tanya Tiwi.Rupanya Lala merasuki Tony. Dalam hitungan menit, Robin matanya melotot. Dia menyeringai lalu berusaha mencekik Tiwi.“Keluar,” usir Tiwi.Seolah tak mendengar kata-kata Tiwi. Mahluk astral yang ada di tubuh Tony terus beru
Setelah membersihkan diri dan membuang tissuenya, Desy lalu mengambil pakaian dalamnya yang berserakan di lantai dan memakainya. Dia lalu mengambil ponselnya yang ada di nakas. Sembari duduk di tepi ranjang, dia mengecek lagi saldo yang masuk ke rekeningnya. Dia lalu tersenyum melihat jumlah jumlah saldo itu.Kadang, Desy ingin terbebas dari belenggu yang membuatnya merasa kotor. Tapi dia butuh uangnya. Kalau tidak, dia tidak akan bisa tampil sepadan dengan Sabrina.Desy tersenyum miris ketika mengingat penyebab dia mulai terjun ke dunia gelap yang sekarang ditekuninya. Saat itu Desy masih duduk di bangku kelas satu SMA. Dia baru kenal Sabrina dan langsung akrab dengan gadis itu. namun seiring kedekatannya dengan Sabrina, Desy merasa terintimidasi. Gadis itu selalu mendominasi dalam banyak hal. Terutama dari segi penampilan.Semua barang bermerk yang melekat di tubuh Sabrina membuat Desy merasa kesenjangan antara dia dan gadis itu terasa mencolok. Rasa terancam yang muncul pada diriny
Sabrina membelalakkan mata. “Eh, Sa ... Sayang, aku ....” Sabrina gelagapan. Dia tidak tahu harus berbicara apa.“Apa?” sahut Jake, “selama ini aku percaya sama kamu ya. Tapi diem ...diem kamu kayak gini? Jalan sama cowok lain!”“Aku ... aku bisa jelasin kok,” kata Sabrina. Dia menyentuh lengan Jake.“Nggak perlu!” kata Jake, “aku nggak buta.“Sayang, kamu jangan marah-marah dulu dong,” kata Sabrina, “aku bisa jelasin semuanya.”Jake menunjuk wajah Sabrina. “Kamu denger baik-baik ya, aku nggak suka dikhianatin!” katanya, “kamu udah nginjek-injek harga diri aku dan aku nggak sudi diperlakukan kayak gitu. Mulai sekarang kita putus!”Jake lalu berjalan keluar kafe. Dia tak mempedulikan Sabrina yang berjalan cepat mengejarnya.Sementara itu, melihat Jake sudah keluar, Ethan juga ikut keluar. Dia memakai tutup hoodienya lalu berjalan cepat. Dia keluar melalui pintu yang berbeda dengan Jake. Seperti yang sudah direncanakan, mereka betemu di parkiran.“Sabrina nggak ngikutin kamu?” tanya Eth
Emma tak melihat apa pun saat dia menoleh ke belakang. Dia lalu berbalik hingga tubuhnya sepenuhnya membelakangi kaca. Dia tetap tak melihat apa-apa. Emma lalu berbalik dan menghadap cermin lagi. Dia menjerit keras-keras saat di cermin dia melihat bayangan mahluk astral itu berdiri tepat di sampingnya.Emma lalu berlari dan berusaha mencari pintu kamar mandi dalam kegelapan. Setelah menemukan pintu, dia membuka handlenya lalu keluar kamar mandi. Dengan cepat, Emma keluar juga dari kamar. Dia lalu menuju kamar orangtuanya.Setelah mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali, pintu pun terbuka. Robin yang pertama kali muncul di balik pintu. Laki-laki itu terlihat masih sangat mengantuk.“Mahluk astral itu ... dia menggangguku,” kata Emma.Lily menyusul. “Ada apa, Nak?” tanyanya.“Mahluk astral itu mengangguku, Bu,” kata Emma. Dia lalu menghambur ke pelukan Lily.“Apa yang dilakukannya?” tanya Lily setelah Emma melepaskan pelukannya.Emma lalu menceritakan kejadian yang ada di kamar mandi saat d
Beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikan meja tempat Jake cs duduk pun membelalak. Mungkin mereka tak menyangka ada yang berani memperlakukan Sabrina seperti itu. Sebagian yang lain tertawa puas.Sontak keadaan itu membuat Sabrina merasa dipermalukan. Dia lalu mengajak kedua temannya pergi.Setelah Sabrina meninggalkan kantin, Ethan mengangkat kedua telapak tangannya, mengajak Jake tos. “Keren kamu, Bro,” katanya setelah bertos dengan Jake, “aku nggak nyangka kamu bakal ngelakuin itu. di luar ekspektasi banget.”Jake tertawa. “Satu-satunya cara bikin anak orang kayak begitu pergi ya dengan bikin dia malu,” kata Jake setelah tawanya reda.“Sumpah reaksi dia lucu banget,” kata Emma, “baru kali ini aku ngelihat dia dipermaluin kayak gitu.”***Sabrina mencak-mencak setibanya di kelas. Dia sampai menendang-nendang tempat sampah yang diletakkan di depan pintu.“Sialan!” omel Sabrina.“Minggir kamu!” omelnya pada anak yang menghalangi jalannya.Sabrina menghembuskan napas kasar s
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala