Tiwi mampir ke rumah Tony sore setelah dia pulang dari kampus. Gadis itu datang untuk menceritakan apa yang dia lakukan di hutan tempo hari. Setelah memarkirkan mobil tak jauh dari pagar rumah Tony. Tiwi lalu berjalan melewati halaman rumah karena pagarnya tidak dikunci.Setibanya di depan pintu, Tiwi menekan bel. Setelah dua kali menekan bel. Sofia keluar dari balik pintu.Wanita itu terlihat sedikit kaget saat melihat Tiwi. “Eh, kamu temannya Tony?” tanya Sofia.Sofia mengangguk.“Oh, masuk ... masuk,” sahut Sofia. Dia tersenyum semringah, “Tony lagi ada di ruang tengah menonton televisi. Sebentar Tante panggilin ya.”Sofia mengangguk lagi. “Iya, Tante,” balasnya. Dia lalu duduk.Tony muncul beberapa menit kemudian. “Hei, kok dadakan aja ke sini nggak ngabarin dulu?” kata Tony sambil berjalan menuju sofa. Dia lalu duduk di sofa dekat sofa panjang yang diduduki Tiwi.“Aku balik dari kampus terus kepikiran mampir,” sahut Tiwi, “yaudah aku mampir.”Tony mengangguk-angguk. “Oh gitu,” ba
Emma mendengar bisikan di telinganya.“Coba gores tanganmu.”Semakin Emma memperhatikan pisau yang ada di tangan kanannya itu, bisikan itu semakin jelas.“Ayo ... gores tanganmu.”Emma membayangkan ujung pisau yang lancip itu mengenai ujung jarinya. Lalu dalam hitungan detik, dia benar-benar melakukan itu. Dia menempelkan ujung pisau yang lancip di ujung jarinya. Setelah itu, dia lalu menggores bagian pisau yang tajam ke jari telunjuknya.Emma melakukan itu beberapa kali sampai jari telunjuknya mengeluarkan darah segar. Tak cukup hanya melukai satu jari, Emma juga melakukan itu ke jari-jari tangan kirinya yang lain. Meski darah mengalir dari jari-jari tangannya yang terluka, Emma tak merasakan sakit sama sekali. Dia malah seperti orang kecanduan melakukan itu.“Emma, kamu ngapain?!”Itu suara Tony. Laki-laki itu berusaha merebut pisau dari tangan kanan Emma.Namun Emma tak menyerahkan pisaunya begitu saja. Dia berusaha melawan Tony. Piau di tangan kanannya dia cengkeram semakin kuat.
Tiwi pergi ke hutan lagi. Kali ini, dia datang bersama Tony. Seperti biasa, untuk memanggil mahluk astral itu, Tiwi harus berkonsentrasi. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, mahluk astral yang dia nantikan tampak di hadapannya.“Hai, aku datang lagi,” kata Tiwi.Dua mahluk astral di depannya tak bereaksi apa-apa. Mereka hanya diam sambil menatap Tiwi dengan ekspresi kaku.“Gimana kesepakatan kita?” tanya Tiwi.“Kesepakatan apa?” tanya Lala.“Aku memberi Dion mainan baru dan jangan ganggu Emma,” kata Tiwi.Dion menggeleng. Sementara Lala tertawa.“Pergi,” kata Lala usai tawa melengkingnya reda, “jangan ganggu aku.”“Nggak sebelum kalian menyetujui kesepakatannya,” kata Tiwi.Lala tak membalas Tiwi. Dia lalu berjalan melewati gadis itu. “Mau ke mana kamu?” tanya Tiwi.Rupanya Lala merasuki Tony. Dalam hitungan menit, Robin matanya melotot. Dia menyeringai lalu berusaha mencekik Tiwi.“Keluar,” usir Tiwi.Seolah tak mendengar kata-kata Tiwi. Mahluk astral yang ada di tubuh Tony terus beru
Setelah membersihkan diri dan membuang tissuenya, Desy lalu mengambil pakaian dalamnya yang berserakan di lantai dan memakainya. Dia lalu mengambil ponselnya yang ada di nakas. Sembari duduk di tepi ranjang, dia mengecek lagi saldo yang masuk ke rekeningnya. Dia lalu tersenyum melihat jumlah jumlah saldo itu.Kadang, Desy ingin terbebas dari belenggu yang membuatnya merasa kotor. Tapi dia butuh uangnya. Kalau tidak, dia tidak akan bisa tampil sepadan dengan Sabrina.Desy tersenyum miris ketika mengingat penyebab dia mulai terjun ke dunia gelap yang sekarang ditekuninya. Saat itu Desy masih duduk di bangku kelas satu SMA. Dia baru kenal Sabrina dan langsung akrab dengan gadis itu. namun seiring kedekatannya dengan Sabrina, Desy merasa terintimidasi. Gadis itu selalu mendominasi dalam banyak hal. Terutama dari segi penampilan.Semua barang bermerk yang melekat di tubuh Sabrina membuat Desy merasa kesenjangan antara dia dan gadis itu terasa mencolok. Rasa terancam yang muncul pada diriny
Sabrina membelalakkan mata. “Eh, Sa ... Sayang, aku ....” Sabrina gelagapan. Dia tidak tahu harus berbicara apa.“Apa?” sahut Jake, “selama ini aku percaya sama kamu ya. Tapi diem ...diem kamu kayak gini? Jalan sama cowok lain!”“Aku ... aku bisa jelasin kok,” kata Sabrina. Dia menyentuh lengan Jake.“Nggak perlu!” kata Jake, “aku nggak buta.“Sayang, kamu jangan marah-marah dulu dong,” kata Sabrina, “aku bisa jelasin semuanya.”Jake menunjuk wajah Sabrina. “Kamu denger baik-baik ya, aku nggak suka dikhianatin!” katanya, “kamu udah nginjek-injek harga diri aku dan aku nggak sudi diperlakukan kayak gitu. Mulai sekarang kita putus!”Jake lalu berjalan keluar kafe. Dia tak mempedulikan Sabrina yang berjalan cepat mengejarnya.Sementara itu, melihat Jake sudah keluar, Ethan juga ikut keluar. Dia memakai tutup hoodienya lalu berjalan cepat. Dia keluar melalui pintu yang berbeda dengan Jake. Seperti yang sudah direncanakan, mereka betemu di parkiran.“Sabrina nggak ngikutin kamu?” tanya Eth
Emma tak melihat apa pun saat dia menoleh ke belakang. Dia lalu berbalik hingga tubuhnya sepenuhnya membelakangi kaca. Dia tetap tak melihat apa-apa. Emma lalu berbalik dan menghadap cermin lagi. Dia menjerit keras-keras saat di cermin dia melihat bayangan mahluk astral itu berdiri tepat di sampingnya.Emma lalu berlari dan berusaha mencari pintu kamar mandi dalam kegelapan. Setelah menemukan pintu, dia membuka handlenya lalu keluar kamar mandi. Dengan cepat, Emma keluar juga dari kamar. Dia lalu menuju kamar orangtuanya.Setelah mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali, pintu pun terbuka. Robin yang pertama kali muncul di balik pintu. Laki-laki itu terlihat masih sangat mengantuk.“Mahluk astral itu ... dia menggangguku,” kata Emma.Lily menyusul. “Ada apa, Nak?” tanyanya.“Mahluk astral itu mengangguku, Bu,” kata Emma. Dia lalu menghambur ke pelukan Lily.“Apa yang dilakukannya?” tanya Lily setelah Emma melepaskan pelukannya.Emma lalu menceritakan kejadian yang ada di kamar mandi saat d
Beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikan meja tempat Jake cs duduk pun membelalak. Mungkin mereka tak menyangka ada yang berani memperlakukan Sabrina seperti itu. Sebagian yang lain tertawa puas.Sontak keadaan itu membuat Sabrina merasa dipermalukan. Dia lalu mengajak kedua temannya pergi.Setelah Sabrina meninggalkan kantin, Ethan mengangkat kedua telapak tangannya, mengajak Jake tos. “Keren kamu, Bro,” katanya setelah bertos dengan Jake, “aku nggak nyangka kamu bakal ngelakuin itu. di luar ekspektasi banget.”Jake tertawa. “Satu-satunya cara bikin anak orang kayak begitu pergi ya dengan bikin dia malu,” kata Jake setelah tawanya reda.“Sumpah reaksi dia lucu banget,” kata Emma, “baru kali ini aku ngelihat dia dipermaluin kayak gitu.”***Sabrina mencak-mencak setibanya di kelas. Dia sampai menendang-nendang tempat sampah yang diletakkan di depan pintu.“Sialan!” omel Sabrina.“Minggir kamu!” omelnya pada anak yang menghalangi jalannya.Sabrina menghembuskan napas kasar s
Tak tinggal diam, Desy lalu menarik Emma. “Hentikan, Emma,” katanya.Namun Emma tetap tidak mau berhenti. Tangannya terus mencekik Anne sementara dia menyeringai pada Desy.“Sabrina bantuin aku narik Emma,” kata Desy.Sabrina mengangguk. Dia lalu ikut membantu menarik Emma.Dalam waktu sekitar sepuluh menit, Sabrina dan Desy berhasil menarik Emma dan membuat gadis itu melepaskan cengkeramannya di leher Anne. Mereka bertiga lalu berjalan cepat meninggalkan Emma sebelum Emma berhasil mengejar mereka.Tak lama kemudian, Tony, Jake dan Ethan datang. Mereka saling pandang ketika bersisipan dengan Sabrina dan kedua temannya yang berlari-lari kecil.“Aku yakin mereka pasti habis ribut sama Emma,” kata Tony. Dia mempercepat langkahnya.Tony cs menghentikan langkahnya saat melihat Emma di samping ruang perpustakaan. Gadis itu terduduk dengan kaki memanjang.“Emma, ada apa?” kata Tony. Dia berjongkok.“Tadi aku habis diserang sama Sabrina cs,” kata Emma. Suaranya lemah dan tubuhnya tampak lemas