Karena hari ini weekend, seharusnya Jake bisa bersenang-senang di rumahnya. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Saat sedang asyik bermain basket bersama Ethan, asisten rumah tangga-nya memberi tahu kalau di depan ada Sabrina yang sedang menunggunya.“Sial, ngapain lagi sih itu anak,” kata Jake. Dia lalu melemparkan bola basket yang ada di tangannya ke lantai dengan keras.Ethan tertawa melihatnya. “Selamat menikmati pertemuan dengan nenek sihir,” katanya.Tak terima, Jake lalu menyeret Ethan.“Eh ... eh, ngapain sih kamu?” tanya Ethan.Jake tertawa. “Temenin aku. Aku nggak mau ketemu sama nenek sihir sendirian,” katanya dengan masih sedikit tertawa.Sabrina rupanya ada di teras rumah. Gadis itu datang sendirian. Dua dayangnya tidak ada.“Ada apa kamu ke sini?” tanya Jake. Dia tidak duduk dan hanya berdiri saja agak jauh dari Sabrina. Dia ingin Sabrina tahu bahwa kedatangannya tidak diinginkan.Sabrina bangkit lalu tersenyum. “Aku ... aku mau minta maaf,” katanya.Jake mengerutkan kenin
Jake dan Ethan tertawa lalu saling bertos setelah mobil Sabrina tak terlihat lagi dari pandangan mereka.“Aku dari tadi nahan ketawa tau!” kata Ethan.“Kamu pikir aku enggak juga,” sahut Jake.“Lucu banget ngelihat Sabrina yang biasanya tampangnya angkuh dan sok iye jadi kayak orang goblok gitu!” sahut Ethan. Dia lalu terbahak.***Sabrina tak langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, dia menghentikan mobilnya lalu melakukan panggilan video pada Desy dan Anne.“Kenapa tampang kamu kusut banget gitu?” tanya Desy ketika wajahnya muncul di layar. Dia lalu terbahak.“Aku lagi nggak mood,” sahut Sabrina.“Nggak mood kenapa?” tanya Anne. Gadis itu kelihatannya sedang makan karena dia tampak sedang sibuk mengupas sesuatu.Sabrina lalu menceritakan semua yang terjadi padanya sejak dia datang ke rumah Jake sampai dia harus terpaksa meminta maaf pada Emma dan orang tuanya.Desy dan Anne tertawa bersamaan setelah mendengar Sabrina bercerita. Namun, dalam hitungan detik, Anne segera menutup
“By the way, mahluk astral itu masih ganggu kamu?” tanya Tony.Emma tersenyum miris. Dia lalu mengangguk. “Sekitar dua hari yang lalu aku baru aja mimpi buruk,” sahut Emma.“Mimpi buruk gimana?” tanya Tony.“Aku mimpi lagi di hutan. Terus ada di rumah tua. Pas aku datengin ternyata ada dua orang itu,” kata Emma.“Coba entar aku meditasi lagi,” kata Tony.“Nggak usah,” sahut Emma, buru-buru, “ngapain sih? Aku nggak mau ya kalo sampe kamu ngorbanin keselamatan kamu.”Tony tertawa. “Kamu tuh kayak sama siapa aja sih,” katanya, “aku kan teman kamu. Nggak apa-apa dong kalo aku mau bantuin kamu.”“Nggak!” bantah Emma, “awas ya!”Tony tertawa lagi. Dia hanya bercanda. Karena kalaupun dia akan melakukan meditasi lagi, dia tak akan pernah bilang-bilang pada Emma.***Jake duduk di teras markas. Dia sedang memakan buah yang tadi dia petik. Sementara itu, Ethan ada di atas pohon belimbing. Dia menikmati semilir angin dari sana sambil sedikit-sedikit memejamkan mata.“Ethan, turun kenapa sih. Aku
Lily mengangguk. “Aku nggak tahu gimana jadinya kalau kamu nggak ke dapur? Karena aku bener-bener nggak bisa mengendalikan diriku,” kata Lily.Lily lantas berpaling pada Emma. “Sekali lagi maafkan Ibu ya, Nak,” katanya.Emma menganguk. Dia lalu tersenyum.***Sabrina tampak gelisah. Dia terlihat santai duduk di kursi taman, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Dia bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk mengambil hati Jake.“Guys, kalo aku ngasih kado ke Jake, enaknya kasih apaan ya?” kata Sabrina. Pandangannya menerawang. Tangan kanannya memilin rambut.“Kalo kamu yang suka Jake aja tanya kita, kita tanya siapa?” sahut Desy.“Tau itu, kamu kan yang suka sama dia. Harusnya kamu yang lebih banyak tahu tentang dia,” sahut Anne.Desy berdecak. “Emang ya nanyain sesuatu ke kalian tuh dari dulu nggak pernah ada gunanya,” katanya.Sabrina lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana piyama. Dia lalu membuka aplikasi Instagram. Dia ingin men-stalk Instagram Jake. Siapa tahu, da
Sofia terbangun karena dia merasa haus. Dia lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Sekembalinya dari dapur, dia baru menyadari kalau pintu ruangan yang biasa dipakai meditasi terbuka sedikit. Dia membelalakkan mata saat menyadari kalau kunci ruangan itu menempel di pintu.Sofia buru-buru membuka pintu, karena firasatnya buruk. Dia terkejut bukan main saat melihat Tony terbaring tak sadarkan diri di tengah ruangan.“Tony ... bangun, Nak,” katanya sambil menepuk-nepuk pipi Tony dengan pelan. Tapi Tony tak juga bangun.Sofia lalu bangkit. Dia berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah-langkah cepat. Dia harus segera membangunkan Jeremy.Setibanya di kamar, Sofia segera membangungkan Jeremy. Dia mengguncang-guncang tubuh suaminya itu.“Jeremy, bangun!” katanya.Jeremy membuka mata perlahan. Dia lalu bangkit. “Ada apa?” tanyanya.“Tony ..., “ kata Sofia.“Tony kenapa?” sahut Jeremy. Dia turun dari ranjang.“Tony pingsan di ruang meditasi,” katanya.Keduanya lalu keluar dari ka
Setelah Sabrina dan dua temannya pergi, Jake fokus lagi pada Emma. “Emma, kendalikan diri kamu,” katanya. Dia terus mengendalikan tubuh Emma yang terus berusaha berontak dan melepaskan diri.Emma berhasil mengendalikan diri setelah sekitar sepuluh menit tubuhnya ditahan oleh Jake. Gadis itu lalu merosot dan terkulai lemas di lantai.“Emma, kamu nggak apa-apa?” tanya Jake.Emma tak menyahut. Dia hanya mengangguk lemah.Jake lalu mengambil minuman Emma lalu diberikan pada gadis itu. Setelah itu, dia membantu Emma duduk di kursi lagi.“Kamu kenapa sih tadi pake nahan Emma? Harusnya biarin aja wajah dia biar dicakar sekalian biar nggak sok iye,” kata Ethan sambil menyendok basonya.“Aku juga pengennya gitu. Tapi aku nggak mau ada keributan berlarut-larut. Lagian nanti kalo misalnya ada yang manggil dosen gimana? Entar Emma juga kena hukuman,” sahut Jake.Emma mengangguk pelan. “Bener apa kata Jake, Ethan,” sahutnya, “by the way, maaf ya. Karena aku, kalian jadi pusat perhatian.”Jake meli
Laki-laki yang saat ini terbaring di ranjang itu tadi sudah menikmati tubuh Desy. Ya, sekitar jam sembilan malam lalu, laki-laki itu sudah menyerang Desy tanpa ampun, hingga membuat Desy lemas tak berdaya karena melakukan pelepasan berkali-kali. Saat laki-laki itu akhirnya tertidur, Desy pikir laki-laki itu sudah puas. Ternyata tidak, sekitar jam tiga dini hari laki-laki itu bangun lagi.“Kenapa?” tanya Desy saat dia dibangunkan oleh laki-laki berkumis tipis itu.Laki-laki itu tertawa kecil. “Kamu tadi minta sampel sabu ya?” katanya.Desy mengangguk. “Iya,” jawabnya, “kenapa?”“Bisa nggak aku minta lagi sebagai imbalannya?” kata laki-laki itu.Desy membelalakkan mata. Yang benar saja. Dia masih mengantuk. Dan lagi pula, dia sudah membersihkan diri dan memakai pakaiannya lagi dengan lengkap.“Nggak ah,” sahut Desy, “kamu nggak lihat apa aku udah pakai baju lengkap gini?!”“Ya tinggal dibuka lagi apa susahnya sih?” sahut laki-laki di sampingnya itu.Desy tak menyahut. Kadang pelanggan y
Di kantin kampus, saat makan siang, Sabrina marah-marah karena Desy tak masuk kuliah. Dia kesal karena gadis itu mengingkari janjinya.“Udah dong, Sabrina, jangan cemberut terus,” kata Anne. Gadis itu bingung kalau melihat Sabrina memburuk suasana hatinya seperti sekarang. Selain itu, dia lelah menghadapi Sabrina yang uring-uringan.“Gimana aku nggak kesel? Desy tuh nggak nepatin janjinya. Dia bilang mau kasih samplenya ke kita. Tapi mana?” katanya, “kalau nggak punya bilang nggak punya saja nggak apa-apa sebenernya. Bukannya malah kabur.”“Kamu nggak coba telfon dia?” tanya Anne sambil memotong basonya.“Udah, tadi pagi. Tapi nggak direspon,” baals Sabrina. Dia mengaduk-aduk jusnya dengan kasar.“Coba deh telfon lagi. Barangkali dia mau ngerespon,” kata Anne.Sabrina lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja. Dia lalu mencari nomor Desy di kontaknya dan menelepon gadis itu. Dia menghembuskan napas lega setelah akhirnya mendengar suara Desy dari seberang.“Ka
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala