Di sebuah kota yang dipenuhi dengan kebisingan dan banyaknya kesibukan, tinggal lah sepasang suami istri di sebuah kontrakan yang tidak begitu luas, bersama seorang anak yang baru berusia tiga tahun.
Suara tangis seorang bocah membangunkan Bima, pria berusia dua puluh lima tahun yang menikah dengan Elisa, dan dikaruniai seorang putri bernama Gendhis."Arrrghhh! Apa-apaan si ini, kenapa berisik sekali, apa tidak tahu kalau aku baru aja mau tidur!"Suara Bima memecah gendeng telinga Elisa yang mendengar, pun rasanya sangat geram, karena setiap hari suaminya bersikap seperti itu. Pulang pagi lalu tidur sampai siang hari, tak ia pikirkan jika istri dan anaknya butuh makan dan susu.Elisa masuk ke kamar dan melemparkan bantal tepat di wajah suaminya, merasa geram lantaran masih asik memejamkan mata sementara peran suami di luar sana sudah sibuk mencari nafkah."Mas, bangun kamu Mas! Beras di dapur itu sudah habis, tidak ada stok bahan yang bisa aku olah menjadi makanan, Gendhis nangis karena dia butuh susu, tapi susunya juga udah habis, kamu mikir dong, Mas!" pekik Elisa marah.Bima yang mendengar pun terusik, lalu bangkit dengan menajamkan tatapan matanya pada istri dan anaknya itu."Hei Elisa, apa kau pikir mencari kerjaan itu gampang, SUSAH! Apalagi aku nggak punya ijazah buat ngelamar pekerjaan," runtuk pria itu tak kalah marah."Ya tapi setidaknya kamu usaha dong Mas, banyak kok pekerjaan yang nggak menggunakan ijazah, setidaknya kamu keluar dari rumah ini dengan niat cari kerja," sahut Elisa kesal."Ya udah, iya, aku akan pergi mencari kerja!" sergah Bima akhirnya mengalah.Langkahnya mulai ia ayunkan menuju jalan raya yang dipadati dengan kendaraan roda empat dan roda dua, sesekali Bima melayangkan tendangan ke udara sangking kesalnya ia dengan hidupnya, sejak menikah dengan Elisa secara terpaksa karena ia telah menghamili wanita itu terlebih dahulu, lalu merantau ke kota, membuat pria itu tidak memiliki persiapan menyambut si buah hati, di tambah lagi dengan kepasrahan nya selama ini, yang menuntut Elisa agar meminta kedua orang tuanya mengirimkan uang untuk kebutuhan sehari-hari.Di Sini Ada Lowongan PekerjaanBima terhenti di sebuah klup yang di depannya terulis kalimat harapan baginya untuk melamar pekerjaan, gegas pria itu masuk setelah cukup jauh menempuh perjalanan dari kontrakan. Pria itu bertemu dengan seorang waitress yang tak sengaja melintasinya."Mbak, apa benar di sini ada lowongan pekerjaan?" tanya Bima antusias."Oh, sepertinya ada Mas, tapi lebih baik Mas saya antar ke pemilik klup ini saja, ya," ucap wanita itu setelah cukup lama termenung menatap ketampanan pria yang sedang mengajaknya bicara itu.Ya, Bima memang sosok pria yang sangat tampan, memiliki tinggi badan 180cm dan berat badan 70kg, dengan rambut yang sedikit panjang, memiliki lesung pipi dan juga gigi taring yang membuat wajah itu semakin manis."Baik Mbak, terima kasih." jawab Bima singkat lalu mengusap kedua tangannya yang berkeringat.Kini ia sudah berada di ruangan besar pemilik kafe tersebut, setelah dipersilahkan masuk, Bima nampak berdiri dengan tegap menunggu kursi goyang itu mengarah padanya, dan tak lama kemudian, sosok wanita yang sedang menghisap rokok pun muncul dari balik kursi.Wanita tersebut bernama Jolien, ia mempersilahkan Bima duduk dan menatap wajahnya dengan tatapan hangat, sungguh tampan! Ia mengulas senyum lalu menghisap kembali rokok yang masih terjepit di kedua jemarinya, tak lama kemudian asap yang keluar dari mulut wanita itu ia tiupkan ke wajah Bima, sehingga membuat pria tersebut tersedak dan terbatuk-batuk."Apa kau tidak suka rokok?" tanya Jolien menatap kasihan ketika wajah Bima berubah menjadi merah."Tidak Bu, saya tidak merokok," ucap pria tampan itu memberitahu."Sayang sekali, kalau kau tidak suka dengan bau asap rokok atau dalam arti tidak merokok, maka kau tidak bisa bekerja di tempat ini," seru wanita itu membuang muka."T-tapi Bu, saya mohon berikan saya kesempatan, saya sudah berjalan cukup jauh dari rumah saya, mencari pekerjaan yang tidak perlu menggunakan ijazah, saya mohon bantu saya," pinta Bima merengek memohon pada wanita itu.Jolien pun bangkit, lalu duduk di meja, berhadapan langsung dengan Bima yang saat itu hanya mampu menelan saliva, memperhatikan kecantikan dan kemolekan tubuh wanita yang sengaja membuka sedikit paha ke arahnya."Siapa namamu pemuda tampan?" tanya Jolien mendekatkan wajah."B-bima, Bu," lirih pria itu kikuk."Apa wajah ku ini sudah terlihat keriput sehingga kau memanggilku dengan sebutan, Ibu?" tanyanya lagi dengan raut wajah sedikit kesal."Panggil aku, Nona!" titahnya setelah beberapa saat kemudian."B-baik Nona, aku Bima, usiaku dua puluh lima tahun, aku menginginkan pekerjaan, tolong berikan aku pekerjaan apa saja yang penting aku bisa mendapatkan uang, kalau perlu, menjadi pelayan aku mau." tegas Bima dengan panjang lebar, berharap jika wanita di hadapannya itu dapat mempertimbangkan niat untuk menerima nya.Jolien pun tertawa kecil, wanita berusia empat puluh lima tahun itu justru merasa gemas saat Bima terlihat sedang merengek di hadapannya, kembali menghisap rokok, lalu rokok itu ia berikan pada Bima."Hisap lah, ini nikmat!" titahnya yang sudah candu akan barang tersebut."B-baik, aku akan melakukan nya, tapi berikan dulu aku jawaban, apa kau menerima ku untuk bekerja di tempat ini?" Bima mulai memainkan rayuan cantiknya, dengan bersikap manja pada lawan bicara. Pria itu mengambil alih putung rokok dan menjepit nya ala orang-orang yang sudah biasa memegang benda itu."Salah satu syarat agar kau di terima, adalah menjadi seorang perokok, karena jika kau tidak menggunakan barang ini, sudah pasti kejantanan mu akan diragukan di tempat ini," bisik Jolien menatap penuh selidik, kedua matanya mulai memperhatikan Bima dari ujung rambut sampai ujung kaki."Oh, baik lah, aku akan melakukan jika ini salah satu syarat nya." jawab pria itu mantap, lalu mulai mendekatkan barang tersebut ke mulut, dan tak lama kemudian, ia menghisap dan mengeluarkannya dengan tenang, sehingga asap itu tidak sampai membuatnya tersedak dan terbatuk."Bagus, baiklah, aku akan menerima mu, kembali lah ke sini nanti malam, karena tugas mu melayani para tamu-tamu yang datang memesan sesuatu." jawab Jolien tersenyum ketika Bima sudah hampir menghabiskan satu batang rokok pemberiannya.Bima tersenyum senang, tentu saja ia akan kembali lagi ke tempat itu, karena hanya tempat itulah yang sepertinya mau menerima pekerja tanpa mengandalkan ijazah dan pengalaman, ia pamit lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Gegas ia kembali ke rumah, untuk memberitahukan pada Elisa bahwa ia sudah berhasil mendapatkan pekerjaan, tibanya di rumah, Bima harus melihat keadaan yang begitu menyedihkan lagi, dengan ruangan yang berantakan dan khas bayi menangis karena kelaparan."Gimna Mas, kamu udah dapet kerja belum? Kenapa kamu pulang jam segini!" protes Elisa saat menyadari bahwa suaminya telah kembali. "Udah, tapi aku butuh modal buat beli baju yang bagus-bagus, aku nggak mungkin kerja pakek baju gembel kayak gini. Elisa, apa bisa kamu membuat ruangan ini menjadi sedikit tenang, dan menghentikan tangisan anak kita, aku benar-benar lelah," celetuk Bima yang menarik kaos yang ia kenakan, pria itu juga menatap sinis ke arah Elisa yang justru mengerutkan kening kala mendengarnya. "Baju Bagus? Memangnya kamu bekerja sebagai apa Mas? Kenapa harus pakai baju bagus?" tanya Elisa penasaran. Tanpa mengindahkan permintaan suaminya yang kedua. "Aku dapat kerjaan di klup malam, Elisa. Dan salah satu syarat masuk ke sana ya berpenampilan menarik juga rapi, sekarang aku nggak mau tahu, kamu yang nyariin aku modalnya, kamu kan yang menyuruhku untuk kerja." celetuk pria itu menyerahkan semua tanggung jawab pada Elisa. Wanita yang berusia dua puluh tiga tahun itupun n
"A-apa ini maksudnya, Nona?" "Nikmatilah peran mu, aku menginginkan status lebih, bisa, kan?!" "Status? Status apa maksudnya?"Bima benar-benar tidak mengerti dengan percakapan yang baru saja ia dengar dari wanita bernama Joilen itu, namun Joilen justru tertawa menanggapi kebingungan pria yang begitu memikat hatinya. Gegas ia menarik pergelangan tangan Bima menuju pintu keluar, membawanya pergi ke sebuah mobil mewah yang terpakir dengan rapi. "Jalan Pak!"Titah wanita itu pada pria paruh baya yang sudah menjadi supir pribadi nya selama bertahun-tahun, lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan, membebaskan Bima untuk memilih apa saja yang ingin ia beli. Bima terhenti sejenak, menoleh ke arah Joilen yang saat itu membalas tatapannya."Ada apa?""Apa ini maksdnya Nona, kau tidak suka dengan penampilan ku malam ini? sehingga kau membawaku ke toko baju seperti ini?!""Malam ini ada acara penting, penampilan mu sudah cukup sempurna, tapi aku ingin malam ini kau
"Mas, bangun Mas.. Kita antar Gendhis ke dokter yuk, semalam dia kejang, aku takut kenapa-kenapa." "Alah, cuma sakit gitu aja kamu sibuk mau antar Gendhis ke dokter, biasanya juga kamu obatin di rumah. Elisa, jangan mentang-mentang kamu baru terima nafkah dari aku, terus kamu mau seenaknya pakai uang itu,""Astagfirullah Mas, bukannya kamu kerja nyari uang itu memang untuk kebutuhan rumah tangga kita? Lagi pula pilihan aku buat bawa Gendhis ke dokter bukan berarti aku nggak usaha sebelumnya, aku udah kompres dia, tapi ini udah hampir empat hari Mas,""Alah, alasan kamu aja, ya udah ayo."Bima nampak kesal dan tidak ikhlas ketika Elisa memaksanya untuk ikut mengantar ke dokter, namun Elisa tidak peduli, baginya Gendhis adalah tanggung jawab berdua yang harus Bima sadari, apalagi kehadiran Gendhis menjadi putusnya harapan bagi Elisa untuk mengejar cita-cita nya. Karena bujuk rayuan Bima lah, akhirnya Elisa melanggar batasan dan lahir lah gadis kecil yang mereka namai Gendhis Julianti.
"Oh Tuhan, kepalaku sepertinya mau copot karena memikirkan hal semalam, sampai jam segini pun aku tidak mampu memejamkan mataku."Pria itu nampak bergeming pada dirinya sendiri, rasanya begitu sulit untuk memutuskan, ingin rasanya menolak, tetapi ia membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk biaya pengobatan putrinya. Apalagi yang sepuluh juta pertama juga sudah ia ganti dengan sebuah pakaian mahal sebagai modal baginya dalam bekerja, dan sisa lainnya ia gunakan untuk biaya rumah sakit. Pergi ke dapur, berharap jika di sana ada sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang sedang kelaparan, sebuah mie instan tinggal satu bungkus saja, terpaksa Bima masak agar perutnya bisa terisi. Ting.... Sebuah pesan diterima oleh Bima, ia yang sedang menyantap makanannya harus mengalihkan pandangan sejenak untuk melihat pesan dari seseorang di ponsel jadulnya. [Aku menunggu mu di kafe bintang, datang lah. Jolien]Bima terdiam, nampaknya pria itu harus siap memberikan jawaban, karena Joilen menuntut
Tring.... Tring... Suara ponsel berdering, Bima langsung mengeluarkan ponsel barunya yang begitu terlihat mewah dan mengkilap, ponsel itu sudah terhubung langsung dengan Joelin sehingga membuat Bima akan selalu terikat kontrak perjanjian dengan wanita itu. Menatap ke arah Elisa, tentunya Bima harus bermain cantik, tidak mungkin mengangkat telpon dari kekasih simpanannya itu di hadapan istrinya, saat itu Elisa tengah tidur di kursi tunggu, sehingga membuat Bima merasa aman dan langsung melangkah jauh. [Halo, ada apa?] tanya pria itu sambil bersikap mencurigakan. [Loh, kok judes sekali si sayang, kau terpaksa ya menjawab telpon dariku] Joelin yang merasa sedikit tersentuh itupun merasa sedih. [Oh, maaf... Tidak, aku tidak terpaksa mengangkat telpon darimu, maafkan aku sayang. Gimana? Ada apa?] Bima pun menurunkan suara dan kembali bersikap seolah ia begitu mencintai Joelin. [Tidak ada, hanya saja aku merindukan mu. Ya, aku tah ini berlebihan, aku sendiri sudah berusaha menghilangk
"Mas, apa kamu serius mau mengambil tindakan kemoterapi untuk anak kita?" tanya Elisa memastikan, tatapannya berbinar seolah memiliki suatu harapan lain. "Iya, aku serius. Untuk apa aku bercanda," singkat Bima yang memantapkan keputusannya. "Baik lah, aku akan berusaha membantumu, Mas." telak Elisa yakin, jika keputusan yang sudah dipilih oleh suami adalah keputusan yang tepat. Bima mengerutkan kening, hatinya bertanya apa yang akan dilakukan oleh Elisa yang katanya ingin membantu, namun Bima lebih memilih diam dan tidak menanyainya, pria itu fokus pada ponselnya kembali dengan pikiran yang melalang buana. 'Setidaknya aku bisa mengandalkan ketampanan ku untuk ku jadikan uang, Elisa tidak perlu tahu dari mana aku akan mendapatkan uang.' batin pria itu nekat. Tepat pukul tujuh malam, Bima bangkit dari tempat duduknya, menyadari hal itu Elisa pun menanggapi sang suami. "Elisa, aku harus bekerja, dan malam ini jangan menungguku, mungkin aku akan mengambil jatah libur, agar aku bisa
"Bagaimana dengan malam ini, apa kamu menyukainya?" tanya Joelin setelah membawa Bima pergi makan-makan mewah. "Sangat terkesan sayang, aku menyukainya," ucap Bima mengulas senyum manis. "Jika kau selalu berhasil membuat hatiku bahagia, maka aku akan pastikan hidupmu seperti di surga," tandas Joelin menatap Bima buas. "Benarkah, aku sangat terharu sekali. Oh ya, apa malam ini aku akan mendapatkan gaji setelah aku menemanimu sampai jam segini?" tanya Bima mulai merayu, tentu saja ia tidak mau jika pekerjaannya itu sia-sia. "Tentu saja, aku akan membayar mu mahal, karena kau sudah sukses membuat teman-teman ku cemburu." jawabnya tanpa ragu. Lalu tak lama kemudian Joelin mengeluarkan segepok uang di dalam tasnya, dan memberikan pada Bima secara cuma-cuma. Pria itu tentu saja merasa sangat senang, meskipun ia harus menemani wanita tua itu sampai pagi menjelang. Mengucapkan terima kasih rupanya tidak cukup bagi Joelin yang mulai meminta lebih, wanita itu memejamkan kedua matanya dan
"Kalau Joelin bisa mendapatkan pria setampan Bima, harusnya aku juga bisa mendapatkan hal yang sama." Tiba-tiba Indah mengulas senyum kala menatap wajah tampan yang terpasang di foto profil WA Bima, diam-diam wanita itu memiliki niat ingin mendekati Bima, dan tidak memperdulikan jika pria itu sebenarnya milik temannya sendiri. Siang itu, kembali Indah mengirimkan sebuah pesan pada Bima, dan saat itu Bima baru saja menikmati waktu santainya setelah beberapa jam istirahat, perut yang terasa begitu lapar membuat pria itu harus bangun dan membuat sarapan pagi, sementara Elisa sendiri masih berada di rumah sakit. [Bima, apa kau sudah bangun? Bagaimana kalau siang ini kita makan di luar. Tenang, soal biaya biar aku yang nanggung.] Pesan itupun langsung tercentang biru, dan tawaran dari Indah membua Bima tiba-tiba mengulas senyum lalu bangkit dari tempat duduknya. "Kebetulan banget, aku memang lagi laper. Dan karena Elisa sibuk di rumah sakit, dia sampai lupa bahwa ada aku yang h
Elisa melangkah dengan semangat baru, di mana ia memberikan senyuman terbaiknya saat memasuki wilayah kantor, dengan memakai dress berwarna hitam, dan hills berwarna senada ia pun dengan percaya diri mengayunkan kedua kakinya. Tak hanya karyawan, bahkan Elisa membagikan senyumannya pada semua pekerja di kantor itu, mulai OB dan OG yang ia temui di jalanan menuju ruangannya, beberapa menit sudah berlalu, kini wanita tersebut membuka pintu ruangan setelah menoleh ke ruangan Hendy, namun rupanya pria itu belum datang. "Salamat pagi, semoga hari ini tetap semangat sampai sore." Begitu lah cara Elisa membahagiakan diri, mengucapkan kalimat positif saat ia memasuki ruangannya, tak lama setelah itu ia pun menutup kembali pintu dan berjalan menuju tempat duduk. Saat tiba di sana, Elisa dikejutkan dengan kehadiran setangkai bunga mawar yang masih segar, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mulai ingat jika dirinya sedang berada di ruangan sendiri. "Eh, ini bunga siapa, kok ada di m
"Elisa, tunggu!"Sebuah suara menghentikan langkah kaki Elisa yang sengaja pergi dari tempat itu, karena ia mengenali suara yang memanggilnya beberapa detik yang lalu, akhirnya ia pun memutar tubuh lalu berhadapan langsung dengan Bima. Sebuah senyuman diberikan oleh Bima pada saat melihat wajah cantik Elisa yang telah berubah, wanita tersebut nampak sangat terurus setelah mereka resmi berpisah. "Ada apa Mas?" tanya Elisa menegur Bima yang terpaku dalam diam. "Emm, Elisa ... Kamu apa kabar? Lama kita tidak berjumpa," sapa Bima mengulas senyum salah tingkah. "Kabarku baik." jawab Elisa singkat. Bima yang tak mendapatkan senyuman penuh cinta seperti yang selalu Elisa berikan dulu, membuat pria itu menyadari jika wanita yang kini berada di hadapannya sudah bukan Elisa yang ia kenal, hingga membuatnya terlihat bingung akan membuka pembicaraan seperti apa. Meskipun tak dapat dipungkiri jika sebenarnya Bima sangat merindukan Elisa. "Emm, Elisa, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Bim
"Sayang, lebih baik sekarang kamu ke kantornya Hendy, bawa makan siang kek, atau segelas kopi, Mama pikir dia akan senang dan kebiakanmu akan terkesan di hatinya," usul Karin, wanita itu tidak hanya sudah jatuh hati pada Hendy, tetapi ada niat lain yang terselubung di hatinya. "Emangnya nggak papa ya Ma, seorang perempuan mendatangi laki-laki? Kayaknya kurang pantas, Ma," ucap Dewi yang merasa keberatan. "Sayang, kesempatan emas seperti ini jangan dilewatkan, nggak perlu takut atau gengsi, lagi pula keluarga Hendy itu udah seneng banget sama kamu, tinggal kamu taklukin hatinya Hendy," sahut Karin meyakinkan. "Ya udah, aku harus bawa apa, Ma." jawab wanita itu akhirnya setuju. Senyum pun terpancar, dengan semangat Karin mengajak Dewi pergi ke dapur, lalu mengajaknya untuk mengolah beberapa menu masakan yang akan ia bawa ke kantor, dan setelah selesai, Karin pun meminta Dewi untuk berdandan. Hampir menghabiskan waktu satu jam, kini Dewi sudah berpenampilan sangat cantik d
"Untuk apa aku bersedih Hen, semua sudah hancur, kehilangan suami tidak sebanding dengan kehilangan seorang anak, aku bisa melewati masa sulit di saat aku kehilangan anakku, dan sekarang aku yakin, jika aku juga pasti akan bisa melewati masa sulit saat kehilangan suami," ucap wanita itu dengan tegarnya. "Kamu memang hebat Elisa, tidak salah Tuhan memilihmu untuk menerima ujian seperti, karena Tuhan tahu, kau sangat kuat dan berhati besar." tandas Hendy memberikan pujian. Elisa hanya mengulas senyum kecil kala mendengar segelintir pujian yang diucapkan tulus dari Hendy, seorang pria yang sudah menemaninya sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apapun. Wanita itu kini meminta Hendy untuk mengantarkannya ke rumah, ia ingin istirahat setelah melewati hari-hari yang cukup panjang nan melelahkan itu. ***Tibanya di rumah, Hendy sama sekali tidak menyadari jika di rumah mewah milik kedua orang tuanya itu sudah hadir seorang tamu yang sejak tadi menunggu kedatangannya, d
Langkah kaki Bima kini tiba di rumah yang selama ini ia banggakan, di mana dulu ia yakin bahwa rumah itu akan mengantarkan kebahagiaan baginya pada pernikahannya dengan Elisa. Sampai ia lupa bahwa wanita yang ia nikahi tiga tahun yang lalu bukan lah wanita yang menggila akan harta dan kemewahan. "Bima, dari mana saja kamu?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan menghentikan langkah kaki pria itu, menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah menegurnya, siapa lagi kalau bukan Margaret. "Aku sedang mencari keberadaan Elisa Ma, dan aku berhasil menemukan dia tadi," ucap Bima mengulas senyum, pria itu bahkan lupa bahwa saat ini ia sedang berbicara dengan siapa. "Oh ya, lalu apa katanya?" tanya Margaret basa basi. "Aku ingin mengajaknya Elisa pulang, tapi Elisa tidak mau, aku juga sebenarnya ingin tahu di mana tempat tinggalnya, tapi Elisa juga menyembunyikannya dariku, bahkan Elisa bilang kalau dia sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan." papar Bima merasa sangat kecewa.
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng
"Oh, jadi kamu memilih duduk di sini daripada menemani aku makan di dalam tadi," hardik Angga mengeratkan gigi gerahamnya dengan kuat. Pria itu menarik paksa pergelangan tangan Joylien hendak membawanya masuk ke mobil. "Auww Mas, sakit!" pekik wanita itu berusaha berlepas diri. Membuat Angga terlihat semakin geram, lantaran suara keras Joylien yang mengeluh sakit cukup kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar nampak memperhatikan mereka berdua termasuk Bima, dari kejauhan pria itu sudah sangat geram, lantaran melihat selingkuhannya itu disakiti oleh pasangannya sendiri. Namun karena sudah mendapatkan perintah dari Joylien untuk tidak melakukan apapun, membuat Bima akhirnya tetap diam di tempat duduknya, menahan emosi dan rasa kesal yang ada di hatinya. "Pulang, atau aku akan membuatmu lebih sakit dari ini," bisik pria itu dengan tatapan menghunus tajam. "Ya, aku pulang kok, tapi jangan kayak gini dong Mas, sakit," ucap Joylien enggan jika suaminya itu memperlakuka
"Joylien!" Suara Angga memecah gendang telinga, pria itu nampak tidak sabar menunggu kedatangan sang istri untuk melayaninya, sehingga ia memilih mencari dan akhirnya menemukan Joylien di dapur. Dengan kasar Angga menarik rambut istrinya sehingga` membuat waita itu mendngak ke atas dan menahan skit "Auuw, Mas ... sakit," rintih wanita itu menahan pergelangan tangan Angga. "Sakit kamu bilang! Ini akibatnya kalau kamu nggak pasang telinga, aku sejak tadi sudah berteriak memanggil kamu, tapi kamu sama sekali tidak mendengar, kamu sengaja agak aku marah kan sama kamu, kamu rindu kan dengan siksaa ini" ucap pria gila itu yang terus menarik rambut Joyien tanpa henti. "Nggak Mas, aku nggak sengaja, kamu liat sendiri kan kalau aku lagi masa, tolong Mas, jangan siksa aku seperti ini." Joylien memasang wajah melas berharap jika suaminya itu bisa melepaskan dirinya. Karena melihat di sekelilng jika saat itu Joylien memang sedang menyiapkan makanan, akhirnya ia pun berusaha meredam ama
Telpon berdering beberapa kali, membuat Margaret merasa kesal lantaran Joylein selalu saja menjadi pengganggu saat dimana dirinya sedang membutuhkan Bima. "Nggak usah diangkat!" perintah wanita itu dengan nada tinggi. "Kenapa Ma, aku harus angkat dulu telpon dari Joylien, dia nyari aku pasti karna aku gak masuk kerja beberapa hari ini," ucap Bima yang hendak bangkit dari tempat tidur. "Bima, meskipun kamu tidak mendapatkan pemasukan dari wanita itu, tapi kamu dapat pemasukan dari Mama! Sama saja kan, itu," celetuk Margaret kesal. "Iya aku tahu, tapi Joylien perlu tahu kenapa aku nggk masuk kerja beberapa hari ini." sergah Bima masih saja dengan pendiriannya. Margaret menghela nafas berat, rasanya ia sangat kesal ketika perintahnya sama sekali tidak didengar oleh Bima, tatapan mata wanita itu berpaling ketika Bima mulai meraih benda pipih miliknya dan pergi setelah telepon itu terhubung. Joylien nampak mencaci Bima lewat sambungan telpon, lantaran sudah beberapa hari