"A-apa ini maksudnya, Nona?"
"Nikmatilah peran mu, aku menginginkan status lebih, bisa, kan?!""Status? Status apa maksudnya?"Bima benar-benar tidak mengerti dengan percakapan yang baru saja ia dengar dari wanita bernama Joilen itu, namun Joilen justru tertawa menanggapi kebingungan pria yang begitu memikat hatinya. Gegas ia menarik pergelangan tangan Bima menuju pintu keluar, membawanya pergi ke sebuah mobil mewah yang terpakir dengan rapi."Jalan Pak!"Titah wanita itu pada pria paruh baya yang sudah menjadi supir pribadi nya selama bertahun-tahun, lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan, membebaskan Bima untuk memilih apa saja yang ingin ia beli.Bima terhenti sejenak, menoleh ke arah Joilen yang saat itu membalas tatapannya."Ada apa?""Apa ini maksdnya Nona, kau tidak suka dengan penampilan ku malam ini? sehingga kau membawaku ke toko baju seperti ini?!""Malam ini ada acara penting, penampilan mu sudah cukup sempurna, tapi aku ingin malam ini kau tampil jauh lebih sempurna. Bima, aku akan membayar mahal untuk kerja mu malam ini, jika kau bersedia menemaniku,""Acara apa? Bukan kah kau menerima ku hanya sebagai pelayan saja? Lalu apa yang kau inginkan dari sorang pelayan seperti ku,""Kau akan tahu nanti, sekarang mari ikutlah bersamaku, aku akan membantu mu mencari baju yang cocok, malam ini kita akan terlihat seperti sepasang kekasin."Joilen dengan percaya diri membawa Bima masuk dan memesan pada penjaga toko agar memberikannya baju couple yang bagus dan tentu saja mahal, lalu tak lama kemudian penjaga tersebut membawakan sepasang pakaian yang menurutnya sangat cocok dan terlaris di toko miliknya.Meminta Bima untuk mencoba pakaian itu diruang ganti, lalu dengan pasrah Bima mengikutinya, tak lama kemudian pria tersebut keluar dengan pakaian baru yang sangat mahal harganya. Di susul dengan Joilen yang terlihat begitu cantik kala memakai baju berwarna senada dengan Bima.'Aku benar-benar tidak mengerti dengan perkerjaan yang baru saja kuterima, dan apa peran ku untuk wanita yang sebenarnya sangat cocok sekali jika ku panggil ibu, ini.' batin Bima menahan diri, dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak.Tersenyum, lalu mengajak Bima kembali ke klup malam miliknya pribadi, di sana rupanya sudah hadir para tente-tante gaul yang memakai pakaian seksi-seksi, ditambah lagi dengan para berondong yang menemani mereka menikmati minuman beralkohol yang terususun rapi di meja.Dengan erat Joilen menggandeng lengan Bima sehingga membuat pria itu panas dingin kala mendapatkan perlakuan tersebut. Gegas wanita itu membawa Bima ke kerumunan dan menyapa mereka dengan sangat ramah."Wau, siapa yang menjadi gandengan mu malam ini, Joy?" tanya salah satu dari mereka."Sangat tampan, bukan? Ini adalah kekasih ku, bukan kah dia begitu menggoda," wanita membelai jakun Bima yang terlihat begitu seksi.Membuat Bima bergidik ngeri kala mendengar wanita itu memujinya, sangat tidak pantas, namun sepertinya malam ini adalah malam yang begitu diinginkan oleh Joilen, sehingga membuat pria itu terpaksa harus ikut menikmati alurnya.***"Aku permisi ke toilet dulu," bisik Bima pada Joilen, ia sudah cukup lama duduk mengikuti obrolan panas para tante-tante di sekelilingnya."Oke sayang, jangan lama-lama ya." wanita itu membalas tatapan Bima mesra.Tibanya di toilet, Bima menyapu wajahnya dengan air yang ia nyalakan di wastafel, pria itu nampak merinding kala mengingat kembali obrolan para wanita yang seharusnya pantas duduk berdiam diri di rumah, tiba-tiba pintu diketuk, membuat Bima terkejut lalu membikanya."N-nona,""Hampir sepuluh menit kau ada di toilet ini, apa kau sedang tidak baik-baik saja?""A-aku mau izin pulang dulu, sepertinya aku sedang tidak enak badan,""Oh, benarkah? Maafkan aku ya, jika aku terlalu berlebihan, ikut lah bersamaku sebelum kau pulang."Joilen melangkah lebih dulu dan diikuti oleh Bima, tibanya di ruangan Bima melihat dengan jelas sebuah amplop cokelat yang ia sodorkan padanya."Apa ini?""Uang, aku membayar mu sepuluh juta untuk malam ini, dan besok, aku harap kamu bisa bekerja lebih enjoy lagi,""Nona, ini terlalu banyak, dan kenapa kau begitu royal padaku, ini baru hari pertamaku bekerja dan aku hanya duduk bersamamu,""Justru itu, aku membayar mu mahal, ketampanan mu sukses membuat semua temanku iri saat aku menggandeng mu, terima lah, dan kembali ke sini besok."Joilen menyerahkan uang yang nilainya tidak seberapa baginya itu pada Bima, pria tersebut akhirnya pulang dengan mengantongi uang yang jumlahnya sangat fantastis baginya, tak menyangka jika pekerjaannya sangat lah mudah, hanya duduk mengobrol bersama para wanita dewasa."Elisa... Elisa... Aku pulang!"Sebuah panggilan dan ketukan pintu akhirnya membangunkan Elisa yang baru saja terlelap karena sejak tadi harus menjaga putrinya, sore tadi ia panas, dan hal itu membuat Elisa panik.Membuka pintu dengan lebar, lalu menyaksikan penampilan sang suami yang sangat tampan dan juga rapi, rupanya ia sadar, rupanya pakaian yang dikenakan oleh suaminya bukan lah yang ia beli dengan mas kawin."Mas, kenapa kamu mengganti pakaianmu? Dan kenapa pulang mu sampai selarut ini?" protes Elisa ketika baju yang ia belikan tidak menempel di tubuh suaminya. Juga hampir jam tiga dini hari ia baru kembali ke rumah.Bima nampak bingung ketika tiba-tiba Elisa justru membahas hal yang tidak ia pikirkan sebelumnya, sehingga membuat pria tersebut diam dan memikirkan sesuatu."Oh, tadi atasan ku tidak menyukai penampilanku. Oh ya, itu tidak penting, terima lah ini, ini gaji pertamaku," ucap Bima sedikit cetus, menyodorkan amplop cukup tebal pada Elisa."Mas, ini gajimu semua? Ini banyak sekali, Mas," Elisa terbelalak ketika membuka isi amplop itu."Iya, itu gaji pertama ku, besok aku diminta untuk masuk lagi. Kamu simpan ya, jangan boros! Satu lagi, jangan banyak tanya, kamu ingin aku menghasilkan uang, kan." jawab Bima dengan nada kasarnya.Melenggang pergi meninggalkan Elisa yang masih bergelut pada pertanyaan di kepalanya, uang sebanyak itu kini ada di tangannya, dengan cepat ia menutup pintu lalu menyusul Bima di kamar.Pria yang bergelar suaminya itu sedang mandi, sementara Elisa mulai membuka isi amplop dan ia terkejut saat sudah menghitungnya."Mas Bima bekerja hanya beberapa jam saja, tapi dia mendapatkan gaji tiga juta, banyak sekali ini, baik sekali atasan mas Bima itu."Elisa nampak berbinar setelah menerima gaji sebanyak itu dari sang suami, tiga tahun menikah rasanya baru kali ini ia diberikan uang sebanyak itu, sifat keibuan Elisa pun seketika berjalan, esok pagi ia akan pergi ke klinik untuk menebus obat, agar putrinya segera membaik dan bisa bermain lagi.Tanpa ia ketahui jika malam ini bayaran Bima tidak lah tiga juta, melainkan sepuluh juta. Namun entah mengapa Bima justru hanya memberikan sedikit sekali nafkah untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya."Mas, bangun Mas.. Kita antar Gendhis ke dokter yuk, semalam dia kejang, aku takut kenapa-kenapa." "Alah, cuma sakit gitu aja kamu sibuk mau antar Gendhis ke dokter, biasanya juga kamu obatin di rumah. Elisa, jangan mentang-mentang kamu baru terima nafkah dari aku, terus kamu mau seenaknya pakai uang itu,""Astagfirullah Mas, bukannya kamu kerja nyari uang itu memang untuk kebutuhan rumah tangga kita? Lagi pula pilihan aku buat bawa Gendhis ke dokter bukan berarti aku nggak usaha sebelumnya, aku udah kompres dia, tapi ini udah hampir empat hari Mas,""Alah, alasan kamu aja, ya udah ayo."Bima nampak kesal dan tidak ikhlas ketika Elisa memaksanya untuk ikut mengantar ke dokter, namun Elisa tidak peduli, baginya Gendhis adalah tanggung jawab berdua yang harus Bima sadari, apalagi kehadiran Gendhis menjadi putusnya harapan bagi Elisa untuk mengejar cita-cita nya. Karena bujuk rayuan Bima lah, akhirnya Elisa melanggar batasan dan lahir lah gadis kecil yang mereka namai Gendhis Julianti.
"Oh Tuhan, kepalaku sepertinya mau copot karena memikirkan hal semalam, sampai jam segini pun aku tidak mampu memejamkan mataku."Pria itu nampak bergeming pada dirinya sendiri, rasanya begitu sulit untuk memutuskan, ingin rasanya menolak, tetapi ia membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk biaya pengobatan putrinya. Apalagi yang sepuluh juta pertama juga sudah ia ganti dengan sebuah pakaian mahal sebagai modal baginya dalam bekerja, dan sisa lainnya ia gunakan untuk biaya rumah sakit. Pergi ke dapur, berharap jika di sana ada sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang sedang kelaparan, sebuah mie instan tinggal satu bungkus saja, terpaksa Bima masak agar perutnya bisa terisi. Ting.... Sebuah pesan diterima oleh Bima, ia yang sedang menyantap makanannya harus mengalihkan pandangan sejenak untuk melihat pesan dari seseorang di ponsel jadulnya. [Aku menunggu mu di kafe bintang, datang lah. Jolien]Bima terdiam, nampaknya pria itu harus siap memberikan jawaban, karena Joilen menuntut
Tring.... Tring... Suara ponsel berdering, Bima langsung mengeluarkan ponsel barunya yang begitu terlihat mewah dan mengkilap, ponsel itu sudah terhubung langsung dengan Joelin sehingga membuat Bima akan selalu terikat kontrak perjanjian dengan wanita itu. Menatap ke arah Elisa, tentunya Bima harus bermain cantik, tidak mungkin mengangkat telpon dari kekasih simpanannya itu di hadapan istrinya, saat itu Elisa tengah tidur di kursi tunggu, sehingga membuat Bima merasa aman dan langsung melangkah jauh. [Halo, ada apa?] tanya pria itu sambil bersikap mencurigakan. [Loh, kok judes sekali si sayang, kau terpaksa ya menjawab telpon dariku] Joelin yang merasa sedikit tersentuh itupun merasa sedih. [Oh, maaf... Tidak, aku tidak terpaksa mengangkat telpon darimu, maafkan aku sayang. Gimana? Ada apa?] Bima pun menurunkan suara dan kembali bersikap seolah ia begitu mencintai Joelin. [Tidak ada, hanya saja aku merindukan mu. Ya, aku tah ini berlebihan, aku sendiri sudah berusaha menghilangk
"Mas, apa kamu serius mau mengambil tindakan kemoterapi untuk anak kita?" tanya Elisa memastikan, tatapannya berbinar seolah memiliki suatu harapan lain. "Iya, aku serius. Untuk apa aku bercanda," singkat Bima yang memantapkan keputusannya. "Baik lah, aku akan berusaha membantumu, Mas." telak Elisa yakin, jika keputusan yang sudah dipilih oleh suami adalah keputusan yang tepat. Bima mengerutkan kening, hatinya bertanya apa yang akan dilakukan oleh Elisa yang katanya ingin membantu, namun Bima lebih memilih diam dan tidak menanyainya, pria itu fokus pada ponselnya kembali dengan pikiran yang melalang buana. 'Setidaknya aku bisa mengandalkan ketampanan ku untuk ku jadikan uang, Elisa tidak perlu tahu dari mana aku akan mendapatkan uang.' batin pria itu nekat. Tepat pukul tujuh malam, Bima bangkit dari tempat duduknya, menyadari hal itu Elisa pun menanggapi sang suami. "Elisa, aku harus bekerja, dan malam ini jangan menungguku, mungkin aku akan mengambil jatah libur, agar aku bisa
"Bagaimana dengan malam ini, apa kamu menyukainya?" tanya Joelin setelah membawa Bima pergi makan-makan mewah. "Sangat terkesan sayang, aku menyukainya," ucap Bima mengulas senyum manis. "Jika kau selalu berhasil membuat hatiku bahagia, maka aku akan pastikan hidupmu seperti di surga," tandas Joelin menatap Bima buas. "Benarkah, aku sangat terharu sekali. Oh ya, apa malam ini aku akan mendapatkan gaji setelah aku menemanimu sampai jam segini?" tanya Bima mulai merayu, tentu saja ia tidak mau jika pekerjaannya itu sia-sia. "Tentu saja, aku akan membayar mu mahal, karena kau sudah sukses membuat teman-teman ku cemburu." jawabnya tanpa ragu. Lalu tak lama kemudian Joelin mengeluarkan segepok uang di dalam tasnya, dan memberikan pada Bima secara cuma-cuma. Pria itu tentu saja merasa sangat senang, meskipun ia harus menemani wanita tua itu sampai pagi menjelang. Mengucapkan terima kasih rupanya tidak cukup bagi Joelin yang mulai meminta lebih, wanita itu memejamkan kedua matanya dan
"Kalau Joelin bisa mendapatkan pria setampan Bima, harusnya aku juga bisa mendapatkan hal yang sama." Tiba-tiba Indah mengulas senyum kala menatap wajah tampan yang terpasang di foto profil WA Bima, diam-diam wanita itu memiliki niat ingin mendekati Bima, dan tidak memperdulikan jika pria itu sebenarnya milik temannya sendiri. Siang itu, kembali Indah mengirimkan sebuah pesan pada Bima, dan saat itu Bima baru saja menikmati waktu santainya setelah beberapa jam istirahat, perut yang terasa begitu lapar membuat pria itu harus bangun dan membuat sarapan pagi, sementara Elisa sendiri masih berada di rumah sakit. [Bima, apa kau sudah bangun? Bagaimana kalau siang ini kita makan di luar. Tenang, soal biaya biar aku yang nanggung.] Pesan itupun langsung tercentang biru, dan tawaran dari Indah membua Bima tiba-tiba mengulas senyum lalu bangkit dari tempat duduknya. "Kebetulan banget, aku memang lagi laper. Dan karena Elisa sibuk di rumah sakit, dia sampai lupa bahwa ada aku yang h
Tring... Tring.. Dering telpon membuyarkan pikiran Bima, gegas ia menatap ke layar HP lalu menyadari siapa yang telah mengusik lamunannya. [Halo mas, kamu ke mana si? Kenapa kamu nggak ke sini, aku lapar mas, Gendhis nggak mau di tinggal, dia rewel] protes Elisa yang merasa begitu kelaparan, lantaran sejak tadi ia fokus menjaga Gendhis. [Iya, ini aku masih di jalan, kau mau aku belikan makan apa? Biar sekalian aku bawakan] tanya Bima yang sebenarnya lupa bahwa ia harus berganti sip dengan Elisa. [Kebetulan aku lagi pengen makan ayam bakar mas, kamu bawain ya,] jawab Elisa yang merasa senang kala suaminya memberikan pilihan. Tanpa menjawab lagi, Bima segera mematikan sambungan telepon dan memesan makanan yang diinginkan istrinya itu. Tiba di rumah sakit, Elisa dengan lahap menikmati makannya, sementara Bima nampak sedang menggendong Gendhis yang masih terpasang selang di punggung tangannya. Setelah tertidur, Bima merebahkan kembali putri kecilnya itu di brankar, duduk
"Mas Bima sedang di rumah sakit, Ma. Menjaga putri kami yang sedang sakit keras," ucap Elisa dengan mata yang menganak sungai. "Sakit keras? Apa maksud mu?" Margaret menatap tajam saat mendengar penuturan Elisa. "Anak kami terkena leukemia, Ma. Sudah lebih dari seminggu Gendhis dirawat, dan kedatangan ku ke sini sebenarnya ingin...." Elisa menjeda, ia terdiam beberapa saat karena masih harus menghilangkan rasa malu yang ada dalam dirinya, bagaimana tidak, Elisa saat itu memang telah dikalahkan dengan sosok Bima yang telah memenuhi hatinya. Dan lebih memilih meninggalkan sang mama. "Ingin apa, katakan saja, Elisa!" sentak wanita itu menunggu. "Sebenarnya aku ingin meminta bantuan pada Mama. Ma, aku datang karena aku butuh uang untuk membayar biaya rumah sakit, apa aku bisa meminjam dari Mama?" wanita itu terlihat memasang wajah memelas, meksipun sebenarnya Elisa begitu tersiksa berada di posisi ini. "Kenapa meminta biaya pada Mama, mana suami kamu? Yang harusnya bertang
Elisa melangkah dengan semangat baru, di mana ia memberikan senyuman terbaiknya saat memasuki wilayah kantor, dengan memakai dress berwarna hitam, dan hills berwarna senada ia pun dengan percaya diri mengayunkan kedua kakinya. Tak hanya karyawan, bahkan Elisa membagikan senyumannya pada semua pekerja di kantor itu, mulai OB dan OG yang ia temui di jalanan menuju ruangannya, beberapa menit sudah berlalu, kini wanita tersebut membuka pintu ruangan setelah menoleh ke ruangan Hendy, namun rupanya pria itu belum datang. "Salamat pagi, semoga hari ini tetap semangat sampai sore." Begitu lah cara Elisa membahagiakan diri, mengucapkan kalimat positif saat ia memasuki ruangannya, tak lama setelah itu ia pun menutup kembali pintu dan berjalan menuju tempat duduk. Saat tiba di sana, Elisa dikejutkan dengan kehadiran setangkai bunga mawar yang masih segar, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mulai ingat jika dirinya sedang berada di ruangan sendiri. "Eh, ini bunga siapa, kok ada di m
"Elisa, tunggu!"Sebuah suara menghentikan langkah kaki Elisa yang sengaja pergi dari tempat itu, karena ia mengenali suara yang memanggilnya beberapa detik yang lalu, akhirnya ia pun memutar tubuh lalu berhadapan langsung dengan Bima. Sebuah senyuman diberikan oleh Bima pada saat melihat wajah cantik Elisa yang telah berubah, wanita tersebut nampak sangat terurus setelah mereka resmi berpisah. "Ada apa Mas?" tanya Elisa menegur Bima yang terpaku dalam diam. "Emm, Elisa ... Kamu apa kabar? Lama kita tidak berjumpa," sapa Bima mengulas senyum salah tingkah. "Kabarku baik." jawab Elisa singkat. Bima yang tak mendapatkan senyuman penuh cinta seperti yang selalu Elisa berikan dulu, membuat pria itu menyadari jika wanita yang kini berada di hadapannya sudah bukan Elisa yang ia kenal, hingga membuatnya terlihat bingung akan membuka pembicaraan seperti apa. Meskipun tak dapat dipungkiri jika sebenarnya Bima sangat merindukan Elisa. "Emm, Elisa, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Bim
"Sayang, lebih baik sekarang kamu ke kantornya Hendy, bawa makan siang kek, atau segelas kopi, Mama pikir dia akan senang dan kebiakanmu akan terkesan di hatinya," usul Karin, wanita itu tidak hanya sudah jatuh hati pada Hendy, tetapi ada niat lain yang terselubung di hatinya. "Emangnya nggak papa ya Ma, seorang perempuan mendatangi laki-laki? Kayaknya kurang pantas, Ma," ucap Dewi yang merasa keberatan. "Sayang, kesempatan emas seperti ini jangan dilewatkan, nggak perlu takut atau gengsi, lagi pula keluarga Hendy itu udah seneng banget sama kamu, tinggal kamu taklukin hatinya Hendy," sahut Karin meyakinkan. "Ya udah, aku harus bawa apa, Ma." jawab wanita itu akhirnya setuju. Senyum pun terpancar, dengan semangat Karin mengajak Dewi pergi ke dapur, lalu mengajaknya untuk mengolah beberapa menu masakan yang akan ia bawa ke kantor, dan setelah selesai, Karin pun meminta Dewi untuk berdandan. Hampir menghabiskan waktu satu jam, kini Dewi sudah berpenampilan sangat cantik d
"Untuk apa aku bersedih Hen, semua sudah hancur, kehilangan suami tidak sebanding dengan kehilangan seorang anak, aku bisa melewati masa sulit di saat aku kehilangan anakku, dan sekarang aku yakin, jika aku juga pasti akan bisa melewati masa sulit saat kehilangan suami," ucap wanita itu dengan tegarnya. "Kamu memang hebat Elisa, tidak salah Tuhan memilihmu untuk menerima ujian seperti, karena Tuhan tahu, kau sangat kuat dan berhati besar." tandas Hendy memberikan pujian. Elisa hanya mengulas senyum kecil kala mendengar segelintir pujian yang diucapkan tulus dari Hendy, seorang pria yang sudah menemaninya sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apapun. Wanita itu kini meminta Hendy untuk mengantarkannya ke rumah, ia ingin istirahat setelah melewati hari-hari yang cukup panjang nan melelahkan itu. ***Tibanya di rumah, Hendy sama sekali tidak menyadari jika di rumah mewah milik kedua orang tuanya itu sudah hadir seorang tamu yang sejak tadi menunggu kedatangannya, d
Langkah kaki Bima kini tiba di rumah yang selama ini ia banggakan, di mana dulu ia yakin bahwa rumah itu akan mengantarkan kebahagiaan baginya pada pernikahannya dengan Elisa. Sampai ia lupa bahwa wanita yang ia nikahi tiga tahun yang lalu bukan lah wanita yang menggila akan harta dan kemewahan. "Bima, dari mana saja kamu?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan menghentikan langkah kaki pria itu, menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah menegurnya, siapa lagi kalau bukan Margaret. "Aku sedang mencari keberadaan Elisa Ma, dan aku berhasil menemukan dia tadi," ucap Bima mengulas senyum, pria itu bahkan lupa bahwa saat ini ia sedang berbicara dengan siapa. "Oh ya, lalu apa katanya?" tanya Margaret basa basi. "Aku ingin mengajaknya Elisa pulang, tapi Elisa tidak mau, aku juga sebenarnya ingin tahu di mana tempat tinggalnya, tapi Elisa juga menyembunyikannya dariku, bahkan Elisa bilang kalau dia sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan." papar Bima merasa sangat kecewa.
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng
"Oh, jadi kamu memilih duduk di sini daripada menemani aku makan di dalam tadi," hardik Angga mengeratkan gigi gerahamnya dengan kuat. Pria itu menarik paksa pergelangan tangan Joylien hendak membawanya masuk ke mobil. "Auww Mas, sakit!" pekik wanita itu berusaha berlepas diri. Membuat Angga terlihat semakin geram, lantaran suara keras Joylien yang mengeluh sakit cukup kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar nampak memperhatikan mereka berdua termasuk Bima, dari kejauhan pria itu sudah sangat geram, lantaran melihat selingkuhannya itu disakiti oleh pasangannya sendiri. Namun karena sudah mendapatkan perintah dari Joylien untuk tidak melakukan apapun, membuat Bima akhirnya tetap diam di tempat duduknya, menahan emosi dan rasa kesal yang ada di hatinya. "Pulang, atau aku akan membuatmu lebih sakit dari ini," bisik pria itu dengan tatapan menghunus tajam. "Ya, aku pulang kok, tapi jangan kayak gini dong Mas, sakit," ucap Joylien enggan jika suaminya itu memperlakuka
"Joylien!" Suara Angga memecah gendang telinga, pria itu nampak tidak sabar menunggu kedatangan sang istri untuk melayaninya, sehingga ia memilih mencari dan akhirnya menemukan Joylien di dapur. Dengan kasar Angga menarik rambut istrinya sehingga` membuat waita itu mendngak ke atas dan menahan skit "Auuw, Mas ... sakit," rintih wanita itu menahan pergelangan tangan Angga. "Sakit kamu bilang! Ini akibatnya kalau kamu nggak pasang telinga, aku sejak tadi sudah berteriak memanggil kamu, tapi kamu sama sekali tidak mendengar, kamu sengaja agak aku marah kan sama kamu, kamu rindu kan dengan siksaa ini" ucap pria gila itu yang terus menarik rambut Joyien tanpa henti. "Nggak Mas, aku nggak sengaja, kamu liat sendiri kan kalau aku lagi masa, tolong Mas, jangan siksa aku seperti ini." Joylien memasang wajah melas berharap jika suaminya itu bisa melepaskan dirinya. Karena melihat di sekelilng jika saat itu Joylien memang sedang menyiapkan makanan, akhirnya ia pun berusaha meredam ama
Telpon berdering beberapa kali, membuat Margaret merasa kesal lantaran Joylein selalu saja menjadi pengganggu saat dimana dirinya sedang membutuhkan Bima. "Nggak usah diangkat!" perintah wanita itu dengan nada tinggi. "Kenapa Ma, aku harus angkat dulu telpon dari Joylien, dia nyari aku pasti karna aku gak masuk kerja beberapa hari ini," ucap Bima yang hendak bangkit dari tempat tidur. "Bima, meskipun kamu tidak mendapatkan pemasukan dari wanita itu, tapi kamu dapat pemasukan dari Mama! Sama saja kan, itu," celetuk Margaret kesal. "Iya aku tahu, tapi Joylien perlu tahu kenapa aku nggk masuk kerja beberapa hari ini." sergah Bima masih saja dengan pendiriannya. Margaret menghela nafas berat, rasanya ia sangat kesal ketika perintahnya sama sekali tidak didengar oleh Bima, tatapan mata wanita itu berpaling ketika Bima mulai meraih benda pipih miliknya dan pergi setelah telepon itu terhubung. Joylien nampak mencaci Bima lewat sambungan telpon, lantaran sudah beberapa hari