"Elisa, jika kamu memintaku untuk meminjam uang pada mamamu, itu artinya kamu sudah siap jika aku akan di hina dan di rendahkan lagi sama mama kamu, maaf Elisa, aku lebih memilih mencari pinjaman orang lain, di dunia ini masih banyak orang baik," Celetuk Bima menolak keras. "Aku paham Mas, baik lah kalau memang itu maumu, aku berharap kamu bisa mendapatkan pinjaman segera, agar kita bisa dengan cepat mengobati anak kita." Jawab Elisa memberikan kepercayaan penuh pada suaminya. Bima terdiam tak menjawab, namun tubuhnya dengan cepet bergerak keluar dari ruangan itu untuk berpikir.Beberapa hari sibuk di rumah sakit, memang Bima memutuskan untuk tidak masuk bekerja, dan selama dua terkahir ia tidak menerima kabar dari Joelin maupun Indah yang biasanya saling mendahului. Bima akhirnya memutuskan untuk menemui Joelin di klup malam itu juga, dan kali ini ia harus memberanikan diri mengungkapkan apa yang ia inginkan. Merapihkan pakaian yang ia kenakan, lalu berjalan menemui Joelin yang sa
"Jangan lakukan ini, Nona. Bukannya kau baru bercerita bahwa kau sedang memiliki masalah dengan suamimu, lantas kenapa kau melakukan hal ini!" Protes Bima berusaha menolak rayuan dari wanita yang kini sedang menindih nya. "Kau benar, aku memang memiliki suami, tapi dia hanya memenuhi materi ku, dia bahkan tidak pernah mengerti perasaan hatiku bagaimana. Bima, bantu aku sekali ini saja, aku akan memberimu lebih dari sekedar lima belas juta." Bisik wanita itu menatap dengan sayu, seolah memberikan kode pada Bima, agar pria itu bisa menuruti keinginannya. Bima tak langsung memberikan jawaban, rasanya itu sangat berat, ia berpikir dalam apakah yang ia lakukan itu atas dasar hati nuraninya atau keterpaksaan semata, namun rupanya Joelin menganggap diamnya Bima adalah sebuah jawaban persetujuan, sehingga membuat wanita itu dengan penuh nafsu bereaksi. Bima yang tak bisa menolak secara terang-terangan akhirnya pasrah dan mulai menikmati permainan, dan berakhir pada pengendalian yang
"Maaf Pak, pasien bernama Gendhis Putri Ningsih sudah meninggal dunia beberapa jam yang lalu, jadi terhitung untuk biaya administrasi lhanya sebesar dua juta rupiah karena pasien tidak lagi menggunakan alat-alat medis lagi," ucap seorang wanita memakai seragam itu menerangkan. "Apa! Meninggal dunia!" Bima terbelalak kala mendengarnya, bak tersambar petir di siang bolong, rasanya hampir tidak percaya, amplop di tangan sebesar dua puluh juta rupiah itu terjatuh ke lantai karena gemetar, matanya menganak sungai, rasanya benar-benar tidak menyangka. Namun saat tersadar, gegas Bima kembali bangkit lalu mengeluarkan uang yang disebut oleh petugas administrasi, dan setelah itu gegas ia pergi ke ruangan Gendhis untuk menemui Elisa. Pintu itu sudah dibuka, Elisa memang meminta para petugas rumah sakit untuk membiarkan putrinya tetap dalam posisi terbaring di sana, sampai Bima datang dan ia tahu kabar duka yang sedang menyelimuti hatinya itu. "Elisa, apa benar... Gendhis," Bima ter
"Jangan sombong kau, Bima. Kau tidak lain adalah orang miskin yang tidak memiliki apa-apa," tukas Margaret marah besar, lantaran semua barang yang ia bawa rupanya ditolak mentah-mentah. "Ya, kau benar Nyonya, memang saya bukan lah orang yang berpunya, sebab itu lah saya menolak saat kau membawa barang-barang seperti ini, karena saya tahu, esok atau nanti, kau akan mengungkitnya." jawab Bima dengan lantang. Duka kehilangan putri masih terasa begitu nyata, namun rupanya Bima harus menelan kecewa karena kedatangan mama mertua yang tidak memiliki perasaan sama sekali, pertengkaran antara Bima dan Margaret berujung pada pengusiran terhadap wanita itu sendiri, dan Elisa lah yang melakukannya karena tak tahan lagi. "Jika kedatangan Mama hanya akan memperkeruh suasana di rumah ini, lebih baik Mama pulang, aku sama sekali tidak membutuhkan Mama yang egois seperti Mama, pergi Ma, pergi!" teriak Elisa kecewa. "Kamu berani mengusir Mama, Elisa. Kamu bahkan tidak menyuruh Mama masuk ter
"Aku harus pulang," Bima segera bangkit dari tempat itu meskipun sebenarnya ia merasa masih begitu pusing. "Sayang, ikut lah bersama ku, aku akan membuatmu sedikit tenang dengan masalah yang kamu hadapi saat ini," ajak Joelin membujuk Bima. "Aku tidak bisa, aku sedang berduka, aku kehilangan seseorang yang tidak bisa hidup kembali dan membersamaiku, rasanya tidak ada obat apapun yang bisa membuatku lupa akan kejadian ini," tolak Bima yang tidak bisa menerima tawaran Joelin. "Aku tidak memintamu untuk langsung lupa, tapi aku ingin menghiburmu, kita ke Bali." tukas wanita itu tak berhenti membujuk. Bima terdiam sejenak ketika Joelin menyebut kota Bali, kota yang menjadi incarannya selama ini, namun karena keterbatasan biaya membuat pria itu tidak pernah sampai ke tempat itu. Cukup lama Bima terdiam, hingga akhirnya Joelin kembali menyadarkan pria itu dengan pertanyaan. "Aku akan memikirkannya nanti, tapi izinkan aku pulang terlebih dahulu, aku benar-benar ingin istirah
[Jika aku ikut kau ke Bali, berapakah upah yang akan aku terima?] Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Bima seketika dibaca oleh wanita itu, ia mengulas senyum pada pria tampan yang sudah membuatnya tergila-gila itu. [Sebutkan saja berapa bayaran yang ingin kau terima, aku akan memberikannya padamu, Hanny] [Aku tidak mau memberikan harga sendiri, aku inginnya kau yang memberikan tarif] [Oh, begitu. Jadi kau menginginkan nominal dariku yang ingin mengajakmu bersenang-senang? Baik lah, aku tidak keberatan, bagaimana jika sepuluh juta dalam satu malam?] Sebuah penawaran yang cukup menggiurakan bukan? Dan itu berhasil membuat Bima seketika tersenyum kala membaca ulang chat mereka berdua. Pria itu mulai berpikir dan menghitung jumlah uang yang akan ia terima jika ia menyetuju ajakan Joelin. Saat ini pikiran Bima hanya ada uang, uang, dan uang, bagaimana caranya agar ia bisa membuktikan pada Margaret, mama mertuanya itu, jika ia bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
1 Bulan kemudian "Ada apa si ini Mas, kenapa kamu harus menutup mataku seperti ini?" Sebuah pertanyaan mendarat langsung dari Elisa yang mendapatkan perlakuan aneh saat dirinya memenuhi ajakan makan siang bersama Bima. "Udah, ikut aja, jangan banyak protes," ucap pria itu mengulas senyum, lalu mulai membuka pintu mobil taksi ketika sudah tiba si suatu tempat. "Ayo lah Mas, jangan membuatku semakin penasaran," sahut Elisa tak sabar ingin segera dilepaskan ikatan di matanya yang membatasi penglihatan. "Tunggu Elisa, sebentar lagi kita akan sampai." jawab Bima tak mengabulkan permintaan Elisa. Sampai akhirnya mereka kini tiba tepat di rumah baru yang terlihat cukup mewah, rumah minimalis yang memiliki dua kamar, dua dapur, dan ruang tamu itu terlihat begitu indah. Apalagi paduan warna antara putih dan biru, menyempurnakan suasana yang elegan. Bima kini melepaskan ikatan yang sejak tadi menghalangai pandangan Elisa, dan saat penglihatannya terbuka, wanita itu nampak bin
"Bima, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu," lirih Indah berucap manja. "Ada apa, kenapa sampai membawaku ke tempat seperti ini, aku takut nanti Joelin akan menyadari," sahut Bima ketakutan. "Bima, ayolah... Jangan terlalu menomor satukan Joelin, sebenarnya kau bisa saja membuka jasa untuk para wanita seperti Joelin termasuk aku," terang Indah meletakkan kedua tangannya di leher Bima. "Indah, apa-apaan ini, apa maksud mu sebenarnya?" sergah Bima berusaha melepaskan tangan wanita itu. "Bima, jadilah simpananku juga, aku bisa membayar mu seperti halnya dengan Joelin, tentunya tanpa sepengetahuan dari Joelin." jawab Indah terang-terangan. Bima terdiam, tentu saja tawaran Indah membuat pria itu berpikir, jika ia memiliki hubungan pada dua wanita sekaligus, secara otomatis ia akan memiliki dua pendapatan, dan hal itu akan membuatnya semakin mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Indah sempat menegur Bima yang cukup lama melamunkan sesuatu, dan hal itu spontan membu
Elisa melangkah dengan semangat baru, di mana ia memberikan senyuman terbaiknya saat memasuki wilayah kantor, dengan memakai dress berwarna hitam, dan hills berwarna senada ia pun dengan percaya diri mengayunkan kedua kakinya. Tak hanya karyawan, bahkan Elisa membagikan senyumannya pada semua pekerja di kantor itu, mulai OB dan OG yang ia temui di jalanan menuju ruangannya, beberapa menit sudah berlalu, kini wanita tersebut membuka pintu ruangan setelah menoleh ke ruangan Hendy, namun rupanya pria itu belum datang. "Salamat pagi, semoga hari ini tetap semangat sampai sore." Begitu lah cara Elisa membahagiakan diri, mengucapkan kalimat positif saat ia memasuki ruangannya, tak lama setelah itu ia pun menutup kembali pintu dan berjalan menuju tempat duduk. Saat tiba di sana, Elisa dikejutkan dengan kehadiran setangkai bunga mawar yang masih segar, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mulai ingat jika dirinya sedang berada di ruangan sendiri. "Eh, ini bunga siapa, kok ada di m
"Elisa, tunggu!"Sebuah suara menghentikan langkah kaki Elisa yang sengaja pergi dari tempat itu, karena ia mengenali suara yang memanggilnya beberapa detik yang lalu, akhirnya ia pun memutar tubuh lalu berhadapan langsung dengan Bima. Sebuah senyuman diberikan oleh Bima pada saat melihat wajah cantik Elisa yang telah berubah, wanita tersebut nampak sangat terurus setelah mereka resmi berpisah. "Ada apa Mas?" tanya Elisa menegur Bima yang terpaku dalam diam. "Emm, Elisa ... Kamu apa kabar? Lama kita tidak berjumpa," sapa Bima mengulas senyum salah tingkah. "Kabarku baik." jawab Elisa singkat. Bima yang tak mendapatkan senyuman penuh cinta seperti yang selalu Elisa berikan dulu, membuat pria itu menyadari jika wanita yang kini berada di hadapannya sudah bukan Elisa yang ia kenal, hingga membuatnya terlihat bingung akan membuka pembicaraan seperti apa. Meskipun tak dapat dipungkiri jika sebenarnya Bima sangat merindukan Elisa. "Emm, Elisa, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Bim
"Sayang, lebih baik sekarang kamu ke kantornya Hendy, bawa makan siang kek, atau segelas kopi, Mama pikir dia akan senang dan kebiakanmu akan terkesan di hatinya," usul Karin, wanita itu tidak hanya sudah jatuh hati pada Hendy, tetapi ada niat lain yang terselubung di hatinya. "Emangnya nggak papa ya Ma, seorang perempuan mendatangi laki-laki? Kayaknya kurang pantas, Ma," ucap Dewi yang merasa keberatan. "Sayang, kesempatan emas seperti ini jangan dilewatkan, nggak perlu takut atau gengsi, lagi pula keluarga Hendy itu udah seneng banget sama kamu, tinggal kamu taklukin hatinya Hendy," sahut Karin meyakinkan. "Ya udah, aku harus bawa apa, Ma." jawab wanita itu akhirnya setuju. Senyum pun terpancar, dengan semangat Karin mengajak Dewi pergi ke dapur, lalu mengajaknya untuk mengolah beberapa menu masakan yang akan ia bawa ke kantor, dan setelah selesai, Karin pun meminta Dewi untuk berdandan. Hampir menghabiskan waktu satu jam, kini Dewi sudah berpenampilan sangat cantik d
"Untuk apa aku bersedih Hen, semua sudah hancur, kehilangan suami tidak sebanding dengan kehilangan seorang anak, aku bisa melewati masa sulit di saat aku kehilangan anakku, dan sekarang aku yakin, jika aku juga pasti akan bisa melewati masa sulit saat kehilangan suami," ucap wanita itu dengan tegarnya. "Kamu memang hebat Elisa, tidak salah Tuhan memilihmu untuk menerima ujian seperti, karena Tuhan tahu, kau sangat kuat dan berhati besar." tandas Hendy memberikan pujian. Elisa hanya mengulas senyum kecil kala mendengar segelintir pujian yang diucapkan tulus dari Hendy, seorang pria yang sudah menemaninya sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apapun. Wanita itu kini meminta Hendy untuk mengantarkannya ke rumah, ia ingin istirahat setelah melewati hari-hari yang cukup panjang nan melelahkan itu. ***Tibanya di rumah, Hendy sama sekali tidak menyadari jika di rumah mewah milik kedua orang tuanya itu sudah hadir seorang tamu yang sejak tadi menunggu kedatangannya, d
Langkah kaki Bima kini tiba di rumah yang selama ini ia banggakan, di mana dulu ia yakin bahwa rumah itu akan mengantarkan kebahagiaan baginya pada pernikahannya dengan Elisa. Sampai ia lupa bahwa wanita yang ia nikahi tiga tahun yang lalu bukan lah wanita yang menggila akan harta dan kemewahan. "Bima, dari mana saja kamu?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan menghentikan langkah kaki pria itu, menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah menegurnya, siapa lagi kalau bukan Margaret. "Aku sedang mencari keberadaan Elisa Ma, dan aku berhasil menemukan dia tadi," ucap Bima mengulas senyum, pria itu bahkan lupa bahwa saat ini ia sedang berbicara dengan siapa. "Oh ya, lalu apa katanya?" tanya Margaret basa basi. "Aku ingin mengajaknya Elisa pulang, tapi Elisa tidak mau, aku juga sebenarnya ingin tahu di mana tempat tinggalnya, tapi Elisa juga menyembunyikannya dariku, bahkan Elisa bilang kalau dia sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan." papar Bima merasa sangat kecewa.
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng
"Oh, jadi kamu memilih duduk di sini daripada menemani aku makan di dalam tadi," hardik Angga mengeratkan gigi gerahamnya dengan kuat. Pria itu menarik paksa pergelangan tangan Joylien hendak membawanya masuk ke mobil. "Auww Mas, sakit!" pekik wanita itu berusaha berlepas diri. Membuat Angga terlihat semakin geram, lantaran suara keras Joylien yang mengeluh sakit cukup kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar nampak memperhatikan mereka berdua termasuk Bima, dari kejauhan pria itu sudah sangat geram, lantaran melihat selingkuhannya itu disakiti oleh pasangannya sendiri. Namun karena sudah mendapatkan perintah dari Joylien untuk tidak melakukan apapun, membuat Bima akhirnya tetap diam di tempat duduknya, menahan emosi dan rasa kesal yang ada di hatinya. "Pulang, atau aku akan membuatmu lebih sakit dari ini," bisik pria itu dengan tatapan menghunus tajam. "Ya, aku pulang kok, tapi jangan kayak gini dong Mas, sakit," ucap Joylien enggan jika suaminya itu memperlakuka
"Joylien!" Suara Angga memecah gendang telinga, pria itu nampak tidak sabar menunggu kedatangan sang istri untuk melayaninya, sehingga ia memilih mencari dan akhirnya menemukan Joylien di dapur. Dengan kasar Angga menarik rambut istrinya sehingga` membuat waita itu mendngak ke atas dan menahan skit "Auuw, Mas ... sakit," rintih wanita itu menahan pergelangan tangan Angga. "Sakit kamu bilang! Ini akibatnya kalau kamu nggak pasang telinga, aku sejak tadi sudah berteriak memanggil kamu, tapi kamu sama sekali tidak mendengar, kamu sengaja agak aku marah kan sama kamu, kamu rindu kan dengan siksaa ini" ucap pria gila itu yang terus menarik rambut Joyien tanpa henti. "Nggak Mas, aku nggak sengaja, kamu liat sendiri kan kalau aku lagi masa, tolong Mas, jangan siksa aku seperti ini." Joylien memasang wajah melas berharap jika suaminya itu bisa melepaskan dirinya. Karena melihat di sekelilng jika saat itu Joylien memang sedang menyiapkan makanan, akhirnya ia pun berusaha meredam ama
Telpon berdering beberapa kali, membuat Margaret merasa kesal lantaran Joylein selalu saja menjadi pengganggu saat dimana dirinya sedang membutuhkan Bima. "Nggak usah diangkat!" perintah wanita itu dengan nada tinggi. "Kenapa Ma, aku harus angkat dulu telpon dari Joylien, dia nyari aku pasti karna aku gak masuk kerja beberapa hari ini," ucap Bima yang hendak bangkit dari tempat tidur. "Bima, meskipun kamu tidak mendapatkan pemasukan dari wanita itu, tapi kamu dapat pemasukan dari Mama! Sama saja kan, itu," celetuk Margaret kesal. "Iya aku tahu, tapi Joylien perlu tahu kenapa aku nggk masuk kerja beberapa hari ini." sergah Bima masih saja dengan pendiriannya. Margaret menghela nafas berat, rasanya ia sangat kesal ketika perintahnya sama sekali tidak didengar oleh Bima, tatapan mata wanita itu berpaling ketika Bima mulai meraih benda pipih miliknya dan pergi setelah telepon itu terhubung. Joylien nampak mencaci Bima lewat sambungan telpon, lantaran sudah beberapa hari