Tatapan Mentari membuat Irma tersentak. Dia sadar Mentari tersinggung. "Aduh, maaf, aku ga ada maksud ..." "Nanti aku ceritakan kalau waktunya tepat," Mentari menyela. Dia juga tidak seharusnya merasa aneh atau kesal pada Irma. Irma kembali melihat ke ponsel. Dia lihat foto profil Leon. Matanya melebar dan bibirnya melotot. Pemuda tampan berbentuk bule keren yang terpampang di sana. "Ini beneran pacar kamu?" Irma makin tidak percaya saja rasanya. "Mbak Irma kirim pesan saja. Tuliskan, Mbak Irma tahu aku di mana." Mentari mengatakan itu agar segera Irma menghubungi Leon dan juga sebagai bukti Mentari tidak berdusta. "Oke, oke," sahut Irma. Dengan cepat tangannya mengirimkan pesan di nomor Leon. - Halo, Leon. Aku tahu di mana Mentari. Pesan pendek itu terkirim. Mentari memperhatikan Irma. Irma menunjukkan pesan yang dia kirimkan. Benar saja dengan cepat Leon mengirim pesan balasan. - Siapa ini? Buktikan jika benar kamu tahu di mana Mentari. Mata Irma melebar. Mentari tidak berd
"Zaman sekarang, Leon. Gambar di ponsel gini, profil, terlalu banyak yang bukan dirinya dipasang. Lu lugu juga dalam hal ini." Baharudin menggeleng pingin tertawa dengan ucapan Leon. "Ah, kenapa gue lemot sekali? Beruntung gue punya lu, Din. Kita segera jalan aja mencari Mentari di mana sambil gue terus kontak itu cewek." Leon memutuskan. "Boleh gue ketemu Lila bentar?" Baharudin mengalihkan percakapan. "Hei, gue sampai lupa urusan lu ame Lila. Gimana jadinya?" Leon bertanya dengan muka serius lagi. "Sejauh ini aman. Mama seneng banget sama Lila. Gue ga nyangka Lila bisa gitu baik sama Mama. Mama bilang gue udah dapat yang cocok buat gue." Tatapan nanar Baharudin tampak dari sorotan matanya. "Really? Kalau gitu bagus, dong!" Leon menaikkan kedua alisnya cukup kaget mendengar itu. "Jangan aneh-aneh. Lila jelas bukan tipe aku, Leon." Baharudin mengerutkan keningnya. Kaget juga itu respon sahabatnya. "Ga usah idealis. Yang penting bisa bikin kita happy dan punya tujuan jelas dalam
Leon menajamkan pendengaran. Dia mau yakin itu adalah Mentari kekasih hatinya. "Aku di gudang. Tapi aku baik-baik. Sejauh ini Mami ga maksa aku untuk dibawa om-om. Dia kasih aku waktu nurut atau aku akan dicelakai." Mentari langsung mengabarkan situasinya. "Oh, oke. Aku akan cari cara membawa kamu keluar dari sana." Leon menjawab cepat dengan cemas masih jelas terasa. "Mas, hati-hati. Mami ga akan lepaskan aku karena udah merugikan dia banyak. Jadi aku harus menebus kerugian Mami baru dia lepaskan aku." Mentari menambahkan. "Oke. Aku catat. Apalagi?" Leon minta Mentari meneruskan lagi informasi yang harus dia tahu. "Mas, aku mau bantu, ya?" Suara lain yang terdengar. Leon yakin itu wanita yang mengirim pesan padanya. "Mpok, nama lu sapa? Gue mau bilang makasih udah bantu kasih kabar pacarku di mana." Leon tidak melupakan kesempatan itu. "Idih, pacar Mentari ini bule tapi lu guenya kentel. Ajaib!" Suara Irma nyaring keheranan dengan cara Leon bicara. "Mpok, boleh ganti video? Gu
Baharudin yang ada di samping Leon merasa panas dingin. Kira-kira boleh masuk atau tidak? Kalau ya, di dalam apa lagi yang akan terjadi? "Sebentar, Pak, saya hubungi Mami Mirina." Sekuriti itu berbalik dan masuk ke pos. Leon dan Baharudin memperhatikan. Pria tinggi dan gagah dengan badan tegap itu tampak sibuk menelpon. "Gila, Man. Beneran ketat. Ini kayak mau masuk istana negara aja." Baharudin menggeleng-geleng. Beberapa menit baru pria itu kembali. Tatapannya tajam dan tampak tidak seramah sebelumnya. Jangan sampai Leon dan Baharudin ditolak. "Mami Mirina merasa tidak ada janji dengan Bapak-bapak dan tidak mengenal Bapak berdua." Pria itu memandang Leon dan Baharudin. "Pak, bisa aku langsung bicara dengan Mami Mirina?" Leon langsung menyahut. Dia tidak boleh datang dan sia-sia. "Begini, Mami ijinkan kali ini. Tetapi dia tidak senang. Kalau Bapak-bapak tidak bisa membawa berita baik, maaf, lain kali tidak akan diterima." Pesan itu rupanya yang disampaikan Mami kepada sekuriti
Leon dan Baharudin bergidik mendengar yang dikatakan Mami Mirina. Mereka bukan pria muda yang terlalu polos dan lugu. Mereka juga bukan playboy yang gila-gilaan ganti pasangan. Tetapi, mereka terbiasa dengan dunia malam. Tidak jarang mereka pergi ke club menghabiskan waktu dengan teman-teman sejak masa kuliah. Jadi mereka cukup tahu juga soal bisnis urusan bagian vital pria dan wanita. Hanya, yang tidak pernah mereka bayangkan, kali itu mereka menghadapi mucikari kelas kakap, wanita cantik, menarik, dan tampak cerdas, tetapi pekerjaannya memperalat wanita lainnya demi duit dan kemewahan semata. "Tawaran yang menarik, kurasa." Leon merasa dadanya berdetak begitu kencang. Apa mungkin dia minta Mentari yang dibawa keluar? Bagaimana caranya? "Melihat kalian masih belia, aku bisa yakin pertama kali kalian datang ke rumah istimewa seperti ini. Aku bisa memperkirakan wanita seperti apa yang kalian inginkan." Mami Mirina mengerling dan mencermati kedua pria muda di depannya. "Aku percaya,
"Mas, ga bisa lama-lama di sini. Nanti Mami curiga dan aku bisa dihukum. Buruan," kata Irma. Dia menunjuk ke arah toilet dan minta Leon segera merapikan pakaiannya. "Oke, dua menit." Leon bergegas masuk ke dalam toilet. Leon membasahi jasnya di bagian yang terkena tumpahan anggur. Setelah itu dia serap basahan dengan tisu. Seperti yang dia katakan, dua menit cukup dia selesai. "Udah?" tanya Irma. "Udah. Ngapain lama-lama." Leon mengangguk. "Oke," ujar Irma sambil mulai berjalan. "Beritahu aku, bagaimana biar Mami mau menurut yang aku minta. Termasuk kalau aku minta Mentari." Leon mendesak Irma memberitahu kelemahan Mami Mirina. "Mudah, Mas. Duit. Siapa berani bayar paling mahal itu dia yang dapat." Irma menjelaskan. "Ooh, okee ..." Kepala Leon berputar, dia berpikir keras cara apa yang bisa dia lakukan agar Mentari bisa segera bebas. "Aku akan kasih tahu Mentari Mas udah di sini. Hubungi aku kapan saja aku akan bantu apapun itu," kata Irma sungguh-sungguh. Waktunya tidak banya
Leon menggigit giginya. Mendengar yang Mami Mirina katakan langsung dia ingat Irma. Irma benar, asal cuan besar, Mami Mirina akan memberikannya. Lalu, berapa dia bisa bayar untuk menebus Mentari? "Beli nasi di warung pinggir jalan saja sudah ada kenaikan harga, Tuan. Apalagi untuk persoalan kepuasan diri. Paham maksudku?" Mami Mirina memicingkan matanya. "Oke, aku sangat paham." Leon mengangguk-angguk. Mami Mirina memajukan badannya, condong pada Leon dan setengah berbisik berkata,"Baiklah. Aku taruh harga dasar sembilan puluh juta." Leon dan Baharudin seketika menelan ludah bersama. Wajah keduanya memerah. Ini benar-benar di luar nalar mereka. Tetapi Leon tidak akan membiarkan kesempatan membawa Mentari lepas. "Tuan, Anda yakin?" Baharudin kembali bicara. Dia sangat kuatir dengan Leon. Ini bukan sekadar permainan. Ini permainan jahat! "Aku akan bayar lebih, asal aku bisa bertemu dengannya hari ini." Leon membalas tatapan Mami Mirina. "Dari mana aku yakin, Tuan sedang tidak berm
Baharudin tidak mengatakan apapun lagi. Dia sebenarnya mau Leon sepakat mereka bekerja sama dengan kepolisian agar mereka bukan hanya bisa melepaskan Mentari tapi juga membongkar bisnis gelap di rumah mewah itu. Tetapi Leon ternyata tidak sejalan dengannya. Mobil Leon terus melaju di jalanan yang padat. Hari sudah menjelang sore. Rasa lapar mendera kuat di perut kedua pemuda itu. "Gue kelaparan. Lu ngajak pergi tapi gue kagak lu kasih makan. Tega amat lu!" Baharudin sengaja mengatakan itu untuk mengalihkan ketegangan di antara mereka. "Tenang aja. Depan ada resto bagus buat kampung tengah. Pesen apa aja yang lu demen, serah. Gue traktir." Leon menjawab dengan suara pelan. Mobil belok ke resto yang Leon maksud. Tak banyak bicara mereka menghabiskan makanan yang mereka pesan. Tapi di kepala mereka terus bergerak apa yang mungkin terjadi dan apa yang mungkin mereka bisa lakukan untuk menghadapi Mami Mirina selanjutnya. Setelah puas makan, baru mereka kembali berdiskusi dengan kepala
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de