Agnia sudah lari beberapa putaran ketika melihat Kenny melambaikan tangan ke arahnya. Pria paruh baya itu terlihat sedang bersantai di salah satu kursi taman hotel sambil menikmati rokok yang baru disulutnya beberapa saat lalu.
"Kirain aku satu-satunya udah bangun," Kenny menyapa ramah ketika Agnia menghampirinya sambil berlari kecil.
"Kebiasaan, Bang. Mau dipaksa tidur juga nggak bisa," gadis itu tertawa kecil, "Jadi jogging aja."
"Jangan diforsir. Aku nggak mau aktris utamaku kenapa-kenapa," pria itu tertawa kecil.
"Nggak, lah, Bang. Ini juga nggak sampai setengah jarak yang bisa," Agnia berdiri sambil menggerak-gerakkan kaki untuk pendinginan.
"Kamu suka olahraga?"
"Suka nggak suka, sih," Agnia tertawa kecil, "Tapi aku harus jaga stamina, kan? Aktris itu bukan kerjaan yang gampang."
"Jarang banget ada aktris seusia kamu yang punya pikiran kayak gini. Kebanyakan aktris dan aktor sekarang itu cuma mikir enaknya aja. Mikir terkenalnya
Narendra memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di depannya. Dia memberi tanda beberapa bagian yang harus diperiksa ulang, menandatangi berkas yang dianggapnya sudah sesuai, di sela itu dia juga sambil memeriksa email dari Abimana dan kakak-kakaknya. Hari ini jadwalnya cukup padat."Kerjaan lo belum beres, Dra?" Abimana masuk sambil membawa kopi dari salah satu brand terkenal di negara ini."Sedikit lagi. Ada apa?" Narendra menutup berkas yang baru saja selesai diperiksanya, "Kamu tidak kerja selama aku tidak ada?" Tentu saja pria itu hanya bercanda. Narendra tidak dapat membayangkan akan setinggi apa tumpukan berkas yang menunggu untuk dikerjakannya jika sepupunya benar-benar tidak bekerja."Sial. Berani banget lo nuduh gue nggak kerja," Abimana terkekeh, "Kopi? Lumayan, nih, kopinya. Nggak yang manis sampai giung.""No. Aku tidak minum kopi dengan campuran apapun.""Cupu," sepupunya duduk di hadapan Narendra, "Semua beres?""Beres dan aman.
"Sorry, ya," Calya bergabung bersama Ardiansyah yang sedang berada di teras summer house.Walau udara dingin menusuk tetapi pemandangan laut di musim dingin tetap indah. Bahkan bagi Calya jauh lebih indah dari pemandangan laut di musim panas. Pemandangan laut di musim dingin tidak hanya cantik tetapi juga misterius."Sorry untuk?" Pria itu menerima mug berisi cokelat hangat yang diberikan oleh Calya."Sorry buat yang tadi di mobil. Aku nggak seharusnya meledak nggak jelas kayak gitu.""Meledak?" Dia menatap gadis itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh Calya, "Nggak apa-apa. Aku juga nggak seharusnya nanggapinnya dengan emosi kayak gitu. Seharusnya aku bisa lebih tenang.""Kamu nggak salah," Calya berusaha untuk tersenyum, "Wajar lagi kalau kamu anggap kejadian bodoh itu nggak pernah terjadi. Wajar juga kalau kamu nembak cewek yang kamu suka. Nggak ada sayang salah dengan itu. Reaksi aku aja yang berlebihan."
"Good evening, gentlements," Narendra dengan ramah menyapa tiga pria yang sedang menikmati makan malam mereka di salah satu restoran Italia terbaik di ibukota.Berbeda dengan Narendra yang terlihat santai menarik kemudian menduduki satu kursi yang tersisa, ketiga orang itu terlihat terperanjat. Tidak ada salah seorang pun dari mereka yang menduga kalau dia akan ada di restoran ini dan lebih parah lagi ... bergabung bersama mereka."Tidak menduga melihat Anda di sini," salah seorang dari mereka berusaha membalas sapaan Narendra dengan basa-basi yang terdengar begitu busuk di telinganya."Ah, mungkin bapak-bapak tidak tahu kalau aku sudah kembali ke negara ini sejak beberapa bulan lalu," dia tersenyum sambil menyandarkan punggungnya, "Keberatan kalau saya bergabung di meja Anda? Saya ada janji dengan Abimana tapi sepertinya dia terlambat."Tentu saja itu hanya kebohongan. Abimana tidak terlambat. Pria itu ada. Di sudut ruangan. Bersembunyi di balik
"Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?" Dengan tidak senang Ariyanto Sabian mengulang pertanyaannya. Dia tidak pernah senang ketika harus mengulang pertanyannya. Lawan bicaranya membuat suasana hatinya semakin buruk."Apa yang ingin saya sampaikan?" Narendra mengendikan bahu kemudian mengambil gelas wine-nya, "Tergantung dari keputusan Anda.""Ini bukan waktunya untuk bercanda, Pak Sabda!" Seorang dari teman Ariyanto Sabian terlihat tidak senang. Pria itu sudah tidak menahan diri dan menatap Narendra dengan penuh ketidaksukaan."Hati-hati dengan ucapan Anda! Anda tidak ingin karena satu ucapan bodoh Anda, keluarga Anda akan terkena masalah."Narendra tergelak, "Konyol sekali. Kenapa harus saya yang berhati-hati dengan ucapan saya?""Ini sudah kelewatan! Anda samas aja dengan menghina Pak Ariyanto!""Astaga," dia masih tergelak, "Bagian mana dari ucapan saya yang menghina beliau?" Dengan santai seakan tidak ada masalah dan tidak ada seseo
"Saya tidak pernah mencampuri urusan keluarga Widjaja," Ariyanto Sabian berusaha sangat keras untuk menyembunyikan emosinya saat ini.Jika tidak memikirkan citra, Ariyanto Sabian sudah membalikkan meja dan memporakporandakan restoran ini. Sebesar itu kemarahan yang dirasakannya. Siapa yang tidak marah jika ternyata aib keluarga yang selama ini rapat disimpan diketahui oleh orang luar? Lebih buruk lagi, yang mengetahui hal tersebut adalah seseorang yang sangat berbahaya. Hanya Narendra dan Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukannya dengan informasi itu.Dia juga marah karena dia tahu bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya dia tidak mungkin membungkam Narendra. Jika dia memaksa untuk membungkam pria itu maka akan berujung pada kehancurannya. Widjaja terkenal sebagai keluarga yang akan membalas kebaikan yang mereka terima sepuluh kali lebih besar sementara kejahatan yang dilakukan kepada salah seorang dari anggota keluarga Widjaja akan dibalas beratus kali lebih berat.
Kali ini Ariyanto Sabian langsung menyambar amplop itu tanpa menunggu kedua temannya membantu mengambilkan. Dia penasaran dengan apa isinya. Foto apa lagi?!"DARI MANA KAMU DAPAT INI?! BEDEBAAAH!!!" Ariyanto Sabian akhirnya kehilangan kendali ketika melihat foto-foto yang ada dalam amplop cokelat itu."Pertanyaan yang Anda ajukan salah Pak Ariyanto Sabian. Tidak penting dari mana saya mendapatkan foto-foto itu. Pertanyaan yang harus Anda ajukan itu, apakah Anda siap dengan konsekuensi jika foto-foto itu tersebar di publik?""BANGSAT! APA MAU KAMU?!!""Tidak perlu berteriak," Narendra kembali terkekeh, "Sejak tadi saya sudah menyampaikan mau saya apa.""APA?! TIDAK MUNGKIN HANYA ITU YANG KAMU INGINKAN!""Memang hanya itu yang saya inginkan," Narendra tersenyum, "Jangan usik urusan keluarga Widjaja. Hentikan kerja sama antara Pak Ariyanto Sabian dengan Bira Widjaja."Ariyanto Sabian menggeram. Berusaha untuk mengendalikan dirinya. Agar
"Tumben kali kau telepon aku," suara Bang Ucok terdengar diiringi tawa khasnya yang membahana."Sekarang udah nggak boleh lagi aku telepon Abang?" Agnia ikut tertawa kecil, "Takut sama Amelia, ya? Nggak nyangka aku kalau Abang ini termasuk cowok yang takut sama pasangannya."Tawa Bang Ucok kembali terdengar kali ini lebih besar dan membahana, "Macam mana pula itu. Dari mana kau dapat kesimpulan itu?""Jangan salahin aku. Reaksi Bang Ucok yang bikin aku mikir kayak gitu.""Maaak! Memang betul lah ini perempuan, ya! Segala harus kali dia yang benar."Tawa Agnia pecah, "Bukan gitu, Bang. Aku cuma bercanda aja.""Aku tahu," Bang Ucok terkekeh, "Kenapa kau telepon aku? Mau tanya kabar pacar kau?"Agnia menarik napas panjang, "Ketebak banget, ya.""Ya iyalah! Selama ini mana pernah kau telepon aku kalau kau ke luar kota macam sekarang?""Udah, Bang" Agnia tertawa untuk menutupi rasa malunya karena Bang Ucok menebak tujuannya d
Agnia baru kembali ke kamar hotel menjelang pukul tiga. Hampir 24 jam dia berada di lokasi syuting. Begitu juga dengan kru dan pemain lain. Tetapi karena mereka semua begitu bersemangat agar syuting segera selesai jadi tidak ada seorang pun yang protes. Mereka paham skandal yang lalu membuat timeline berantakan.Gadis itu memeriksa ponselnya. Helaan napas panjang terdengar ketika dia menyadari tidak ada pesan dari kekasihnya. Sudah beberapa hari sejak pembicaraan terakhir mereka dan kekasihnya seperti hilang ditelan bumi. Narendra tidak pernah seperti ini. Pria itu selalu meninggalkan pesan. Beberapa pesannya bahkan terdengar random dan tidak penting. Tetapi beberapa hari ini ... tidak ada pesan apapun.Jangankan pesan, nomor ponsel pria itu juga tidak dapat dihubungi oleh Agnia. Gadis itu berulang kali mencoba menghubungi kekasihnya tetapi selalu pesan yang sama yang terdengar, nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Jika hanya sekali, Agnia masih dapat berpikir kala