"Saya tidak pernah mencampuri urusan keluarga Widjaja," Ariyanto Sabian berusaha sangat keras untuk menyembunyikan emosinya saat ini.
Jika tidak memikirkan citra, Ariyanto Sabian sudah membalikkan meja dan memporakporandakan restoran ini. Sebesar itu kemarahan yang dirasakannya. Siapa yang tidak marah jika ternyata aib keluarga yang selama ini rapat disimpan diketahui oleh orang luar? Lebih buruk lagi, yang mengetahui hal tersebut adalah seseorang yang sangat berbahaya. Hanya Narendra dan Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukannya dengan informasi itu.
Dia juga marah karena dia tahu bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya dia tidak mungkin membungkam Narendra. Jika dia memaksa untuk membungkam pria itu maka akan berujung pada kehancurannya. Widjaja terkenal sebagai keluarga yang akan membalas kebaikan yang mereka terima sepuluh kali lebih besar sementara kejahatan yang dilakukan kepada salah seorang dari anggota keluarga Widjaja akan dibalas beratus kali lebih berat.
Kali ini Ariyanto Sabian langsung menyambar amplop itu tanpa menunggu kedua temannya membantu mengambilkan. Dia penasaran dengan apa isinya. Foto apa lagi?!"DARI MANA KAMU DAPAT INI?! BEDEBAAAH!!!" Ariyanto Sabian akhirnya kehilangan kendali ketika melihat foto-foto yang ada dalam amplop cokelat itu."Pertanyaan yang Anda ajukan salah Pak Ariyanto Sabian. Tidak penting dari mana saya mendapatkan foto-foto itu. Pertanyaan yang harus Anda ajukan itu, apakah Anda siap dengan konsekuensi jika foto-foto itu tersebar di publik?""BANGSAT! APA MAU KAMU?!!""Tidak perlu berteriak," Narendra kembali terkekeh, "Sejak tadi saya sudah menyampaikan mau saya apa.""APA?! TIDAK MUNGKIN HANYA ITU YANG KAMU INGINKAN!""Memang hanya itu yang saya inginkan," Narendra tersenyum, "Jangan usik urusan keluarga Widjaja. Hentikan kerja sama antara Pak Ariyanto Sabian dengan Bira Widjaja."Ariyanto Sabian menggeram. Berusaha untuk mengendalikan dirinya. Agar
"Tumben kali kau telepon aku," suara Bang Ucok terdengar diiringi tawa khasnya yang membahana."Sekarang udah nggak boleh lagi aku telepon Abang?" Agnia ikut tertawa kecil, "Takut sama Amelia, ya? Nggak nyangka aku kalau Abang ini termasuk cowok yang takut sama pasangannya."Tawa Bang Ucok kembali terdengar kali ini lebih besar dan membahana, "Macam mana pula itu. Dari mana kau dapat kesimpulan itu?""Jangan salahin aku. Reaksi Bang Ucok yang bikin aku mikir kayak gitu.""Maaak! Memang betul lah ini perempuan, ya! Segala harus kali dia yang benar."Tawa Agnia pecah, "Bukan gitu, Bang. Aku cuma bercanda aja.""Aku tahu," Bang Ucok terkekeh, "Kenapa kau telepon aku? Mau tanya kabar pacar kau?"Agnia menarik napas panjang, "Ketebak banget, ya.""Ya iyalah! Selama ini mana pernah kau telepon aku kalau kau ke luar kota macam sekarang?""Udah, Bang" Agnia tertawa untuk menutupi rasa malunya karena Bang Ucok menebak tujuannya d
Agnia baru kembali ke kamar hotel menjelang pukul tiga. Hampir 24 jam dia berada di lokasi syuting. Begitu juga dengan kru dan pemain lain. Tetapi karena mereka semua begitu bersemangat agar syuting segera selesai jadi tidak ada seorang pun yang protes. Mereka paham skandal yang lalu membuat timeline berantakan.Gadis itu memeriksa ponselnya. Helaan napas panjang terdengar ketika dia menyadari tidak ada pesan dari kekasihnya. Sudah beberapa hari sejak pembicaraan terakhir mereka dan kekasihnya seperti hilang ditelan bumi. Narendra tidak pernah seperti ini. Pria itu selalu meninggalkan pesan. Beberapa pesannya bahkan terdengar random dan tidak penting. Tetapi beberapa hari ini ... tidak ada pesan apapun.Jangankan pesan, nomor ponsel pria itu juga tidak dapat dihubungi oleh Agnia. Gadis itu berulang kali mencoba menghubungi kekasihnya tetapi selalu pesan yang sama yang terdengar, nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Jika hanya sekali, Agnia masih dapat berpikir kala
"Agnia, kamu udah tidur?"Gadis itu terlonjak kaget dan langsung menyusut air mata di sudut matanya. Tidak ingin seorang pun melihatnya menangis. Terlebih karena alasan sepele seperti merindukan seseorang."Sebentar," dia menjawab parau. Menghabiskan sisa air dari gelasnya kemudian beranjak dari duduk dan berjalan untuk membukakan pintu."Belum tidur?" Kenny bertanya sambil tersenyum lembut."Ah, belum. Baru selesai ngobrol sama temen." Agnia membukakan pintu lebih lebar sebagai tanda kalau dia mempersilakan sutradara itu masuk ke kamarnya, "Sorry, berantakan.""Aku yang harusnya minta maaf," pria itu melangkah masuk. Hanya beberapa langkah. Wajar mengingat nyaris dini hari jadi tidak elok rasanya pria memasuki kamar seorang gadis, "Aku cuma mau ngasih tahu kalau kita besok mulai syuting sore. Semua butuh istirahat.""Makasih!" Agnia tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Bagaimana tidak, setelah berhari-hari kurang tidur, kesempatan unt
Kenny berjalan terburu. Tetapi bukan menuju kamarnya. Pria itu menuju lift kemudian menekan tombol lift berulang dengan tidak sabar."Sial!" Dia kembali menekan tombol lift kemudian menggerak-gerakkan kaki sambil menunggu pintu lift terbuka.Begitu pintu lift terbuka, pria paruh baya itu langsung masuk dan menekan tombol yang akan membawanya ke lobi. Seperti cara masuknya, begitu pula cara dia keluar dari lift. Kenny keluar dengan tergesa. Pria itu terus berjalan melewati lobi menuju halaman belakang hotel. Setelah sampai di sudut taman yang cukup gelap karena bayangan tumbuhan. dengan tangan gemetar dia mengeluarkan rokok dan pematik api.Menarik keluar sebatang rokok dari bungkusnya. Menyalakan pematik beberapa kali. Tangannya yang gemetar membuat pekerjaan yang sering dilakukannya ini menjadi sesuatu yang membutuhkan upaya ekstra."Astaga," dia mengusap wajah dengan kasar sebelum kembali menyalakan pematik.Setelah rokoknya menyala, dia langsung
"So, sampai bertemu minggu depan?" Rajasena mengulurkan tangan ke arah Narendra."Ya, sampai minggu depan," pria itu mengabaikan uluran tangan kakaknya, "Jangan harap aku mau menjabat tangan kamu. Aku belajar dari pengalaman."Sontak tawa Rajasena pecah. Dia tahu dengan jelas pengalaman apa yang dimaksud oleh Narendra. Ketika Narendra kecil, dia sering mengisengi adiknya dengan sengaja mengotori tangannya sebelum menjabat tangan Narendra. Tentu saja itu akan membuat Narendra kesal. Ketika pertama kali melakukan itu, Narendra akan menangis mengadu kepada orang tuanya tetapi kemudian dia belajar bahwa mengadu tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya hingga dia belajar untuk balas mengisengi kakaknya."Kamu masih ingat, hm?" Rajasena ikut tertawa, "Tapi kali ini aku beneran. Sampai minggu depan."Narendra mengangguk, "Tidak perlu berlagak, ini sama seperti perjalanan bisnis Kak Raja yang lain. Tidak ada yang istimewa.""Kamu salah. Perjal
"Semua aman, Bi?" Tanpa mengangkat pandangan dari layar laptop Narendra bertanya ketika Abimana masuk ke ruang kerjanya."Lo tahu," Tujuh langkah lebar dan Abimana sudah sampai di depan meja kerja sepupunya. Seperti biasa, tanpa menunggu Narendra mempersilakan dia langsung duduk di salah satu kursi yang ada, "Mau berapa kali lo lakuin itu, gue nggak pernah terbiasa. Selalu bikin gue merinding.""Melakukan apa?" Narendra masih fokus pada apapun yang sedang dikerjakannya di layar laptop."Itu. Lo bisa langsung tahu kalau ada yang masuk ruangan. Seremnya lagi, tanpa ngelihat lo udah tahu siapa orangnya.""Sederhana, Bi. Suara langkah kaki setiap orang berbeda. Kalau kamu mendengarkan, akan mudah menebak siapa yang sedang berjalan.""Tetap aja itu mengerikan," Abimana menggerakkan tubuh seakan sedang merinding."Jangan minta aku berhenti karena aku tidak bisa melakukannya."Abimana ketawa, "Udah kebiasaan, ya?""Semacam itu," Naren
"Kau tahu, aneh kali kulihat kalau kau sendirian macam ini. Mana itu si Badi?"Pertanyaan Bang Ucok membuat Narendra terkekeh geli, "Seaneh itu?""Iya lah! Tapi mungkin karena aku terbiasa lihat kau dua-duaan udah macam orang pacaran aja itu di kontrakan petak," Bang Ucok menutup dokumen yang sedang dibacanya, "Ada apa kau ke sini? Tak usah basa-basi. Tahu aku kalau tak ada yang penting tak mungkin kau ke sini.""Sejak kerja di sini Abang kalau berbicara jadi panjang," Narendra menduduki sofa yang ada di ruangan Bang Ucok.Sama seperti ruangan lain untuk seseorang dengan jabatan setinggi Bang Ucok, ruangan kerja mereka cukup luas dan tersedia sofa kulit dengan harga fantastik. Selain untuk menyambut tamu, sofa itu juga berfungsi untuk beistirahat saat mereka terpaksa lembur. Sudah bukan rahasia lagi kalau semakin tinggi jabatan seseorang di Widjaja Group maka semakin banyak fasilitas yang didapatkan juga ... tanggung jawab yang harus dipikul dan itu berar
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan