"Agnia, kamu udah tidur?"
Gadis itu terlonjak kaget dan langsung menyusut air mata di sudut matanya. Tidak ingin seorang pun melihatnya menangis. Terlebih karena alasan sepele seperti merindukan seseorang.
"Sebentar," dia menjawab parau. Menghabiskan sisa air dari gelasnya kemudian beranjak dari duduk dan berjalan untuk membukakan pintu.
"Belum tidur?" Kenny bertanya sambil tersenyum lembut.
"Ah, belum. Baru selesai ngobrol sama temen." Agnia membukakan pintu lebih lebar sebagai tanda kalau dia mempersilakan sutradara itu masuk ke kamarnya, "Sorry, berantakan."
"Aku yang harusnya minta maaf," pria itu melangkah masuk. Hanya beberapa langkah. Wajar mengingat nyaris dini hari jadi tidak elok rasanya pria memasuki kamar seorang gadis, "Aku cuma mau ngasih tahu kalau kita besok mulai syuting sore. Semua butuh istirahat."
"Makasih!" Agnia tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Bagaimana tidak, setelah berhari-hari kurang tidur, kesempatan unt
Kenny berjalan terburu. Tetapi bukan menuju kamarnya. Pria itu menuju lift kemudian menekan tombol lift berulang dengan tidak sabar."Sial!" Dia kembali menekan tombol lift kemudian menggerak-gerakkan kaki sambil menunggu pintu lift terbuka.Begitu pintu lift terbuka, pria paruh baya itu langsung masuk dan menekan tombol yang akan membawanya ke lobi. Seperti cara masuknya, begitu pula cara dia keluar dari lift. Kenny keluar dengan tergesa. Pria itu terus berjalan melewati lobi menuju halaman belakang hotel. Setelah sampai di sudut taman yang cukup gelap karena bayangan tumbuhan. dengan tangan gemetar dia mengeluarkan rokok dan pematik api.Menarik keluar sebatang rokok dari bungkusnya. Menyalakan pematik beberapa kali. Tangannya yang gemetar membuat pekerjaan yang sering dilakukannya ini menjadi sesuatu yang membutuhkan upaya ekstra."Astaga," dia mengusap wajah dengan kasar sebelum kembali menyalakan pematik.Setelah rokoknya menyala, dia langsung
"So, sampai bertemu minggu depan?" Rajasena mengulurkan tangan ke arah Narendra."Ya, sampai minggu depan," pria itu mengabaikan uluran tangan kakaknya, "Jangan harap aku mau menjabat tangan kamu. Aku belajar dari pengalaman."Sontak tawa Rajasena pecah. Dia tahu dengan jelas pengalaman apa yang dimaksud oleh Narendra. Ketika Narendra kecil, dia sering mengisengi adiknya dengan sengaja mengotori tangannya sebelum menjabat tangan Narendra. Tentu saja itu akan membuat Narendra kesal. Ketika pertama kali melakukan itu, Narendra akan menangis mengadu kepada orang tuanya tetapi kemudian dia belajar bahwa mengadu tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya hingga dia belajar untuk balas mengisengi kakaknya."Kamu masih ingat, hm?" Rajasena ikut tertawa, "Tapi kali ini aku beneran. Sampai minggu depan."Narendra mengangguk, "Tidak perlu berlagak, ini sama seperti perjalanan bisnis Kak Raja yang lain. Tidak ada yang istimewa.""Kamu salah. Perjal
"Semua aman, Bi?" Tanpa mengangkat pandangan dari layar laptop Narendra bertanya ketika Abimana masuk ke ruang kerjanya."Lo tahu," Tujuh langkah lebar dan Abimana sudah sampai di depan meja kerja sepupunya. Seperti biasa, tanpa menunggu Narendra mempersilakan dia langsung duduk di salah satu kursi yang ada, "Mau berapa kali lo lakuin itu, gue nggak pernah terbiasa. Selalu bikin gue merinding.""Melakukan apa?" Narendra masih fokus pada apapun yang sedang dikerjakannya di layar laptop."Itu. Lo bisa langsung tahu kalau ada yang masuk ruangan. Seremnya lagi, tanpa ngelihat lo udah tahu siapa orangnya.""Sederhana, Bi. Suara langkah kaki setiap orang berbeda. Kalau kamu mendengarkan, akan mudah menebak siapa yang sedang berjalan.""Tetap aja itu mengerikan," Abimana menggerakkan tubuh seakan sedang merinding."Jangan minta aku berhenti karena aku tidak bisa melakukannya."Abimana ketawa, "Udah kebiasaan, ya?""Semacam itu," Naren
"Kau tahu, aneh kali kulihat kalau kau sendirian macam ini. Mana itu si Badi?"Pertanyaan Bang Ucok membuat Narendra terkekeh geli, "Seaneh itu?""Iya lah! Tapi mungkin karena aku terbiasa lihat kau dua-duaan udah macam orang pacaran aja itu di kontrakan petak," Bang Ucok menutup dokumen yang sedang dibacanya, "Ada apa kau ke sini? Tak usah basa-basi. Tahu aku kalau tak ada yang penting tak mungkin kau ke sini.""Sejak kerja di sini Abang kalau berbicara jadi panjang," Narendra menduduki sofa yang ada di ruangan Bang Ucok.Sama seperti ruangan lain untuk seseorang dengan jabatan setinggi Bang Ucok, ruangan kerja mereka cukup luas dan tersedia sofa kulit dengan harga fantastik. Selain untuk menyambut tamu, sofa itu juga berfungsi untuk beistirahat saat mereka terpaksa lembur. Sudah bukan rahasia lagi kalau semakin tinggi jabatan seseorang di Widjaja Group maka semakin banyak fasilitas yang didapatkan juga ... tanggung jawab yang harus dipikul dan itu berar
"Belum pulang, Bang?" Badi bersandar di ambang pintu ruang kerja Bang Ucok sambil tersenyum dengan mengangkat dua cup kopi yang dibawanya."Kau sendiri?" Bang ucok menyoret sesuatu pada catatannya."Nggak bisa pulang kalau si bos belum pulang," dia terkekeh sambil berjalan masuk, "Abang pasti butuh ini."Setelah duduk di salah satu kursi di depan meja kerja Bang Ucok, Badi meletakkan satu dari dua cup yang dibawa di meja. Tepat di hadapan Bang Ucok."Malam-malam kau bawakan aku kopi? Mau suruh aku begadang?""Bang Ucok memang bakal begadang malam ini, kan?" Badi menyesap kopinya, "Aku tahu dari para office boy kalau pegawai yang baru hobi pulang dini hari bahkan sampai nginap di kantor segala.""Tak percayanya aku sama kau. Mana mungkin aku sampai diomongkan sama mereka-mereka itu."Badi tergelak, "Itu benar. Mereka nggak gosipin Abang yang pulang telat tapi gosipin apa sebenarnya jabatan Abang.""Bah! Lebih tak masuk akal lagi
"Heei ... masih di kantor?" Amelia tidak terkejut tetapi tidak dapat menahan diri untuk menghela napas ketika sadar kalau Bang Ucok melakukan panggilan video dari kantornya.Sejak beberapa hari yang lalu, tepat ketika pacarnya mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji dan fasilitas berkali lipat lebih baik dari tempat sebelumnya ini menjadi sebuah rutinitas baru. Nyaris setiap kali dia menghubungi Bang Ucok, baik panggilan telepon atau pun video, dapat dipastikan kalau pria itu berada di kantor."Ya," walau tidak dapat menyembunyikan kelelahan Bang Ucok tetap tersenyum, "Masih banyak yang harus aku beresin.""Aku tahu," gadis itu berusaha tersenyum karena tidak ingin menambah beban pikiran lelaki yang dicintainya, "Selalu itu jawaban Abang tiap kali aku tanya.""Maaf, maaf, tapi memang masih banyak kali ini kerjaanku," Bang Ucok menunjuk tumpukan dokumen yang menggunung di meja kerja, "Mana Bos aku yang baru ini kalau kasih deadline suka-suka dia."
"Selamat sore Bapak Patra," Narendra membuka kancing jas kemudian menduduki salah satu kursi yang ada di meja itu.Pria yang disapanya terlihat terkejut karena tidak menduga akan ada yang menyapanya. Terlebih lagi orang itu adalah Sabda Narendra Widjaja. Di tempat ini rasanya nyaris mustahil bertemu dengan rekan bisnis bahkan kenalannya. Restoran yang dikunjungi sangat menjunjung tinggi privasi. Tidak aneh karena restoran ini bukan restoran biasa. Ada menu spesial yang hanya ditawarkan kepada tamu terpilis. Wanita. Berbagai jenis dan tipe."Eh," dia tergopoh berdiri, "Sore, Pak. Saya tidak tahu kalau Bapak juga member di sini."Narendra terkekeh, "Menurut Anda saya salah seorang member di sini?"Patra menelan ludah. Dia tahu kalau dia sudah salah mengambil langkah."Jadi menurut Anda saya tidak dapat menemukan wanita yang saya suka tanpa bantuan mereka?""Bu-bukan. Bukan begitu maksud saya," dia kembali menelan ludah sebelum memijat pe
“Apa-apaan … “ Sumitra tergesa masuk ke unit penthouse-nya yang pintu terbuka.Tidak mungkin selingkuhannya karena dia sudah mengirim gadis itu berlibur ke London seperti keinginannya. Seketika dia seperti disiram air es ketika menyadari sesuatu. Hanya dia, selingkuhannya dan Narendra yang tahu penhouse ini miliknya.Tidak mungkin!"Malam, Sumitra," suara berat Narendra menyapa ketika pria itu berjalan memasuki penthouse-nya.Sumitra membutuhkan waktu untuk memproses apa yang dilihatnya. Ruang tengah penthouse-nya yang penuh dengan barang mewah pilihan selingkuhannya terlihat benderang. Pada sofa yang seiring digunakan Sumitra bersama selingkuhannya untuk melakukan berbagai variasi hubungan intim, Narendra duduk dengan segelas Macallan. Pria itu bertopang kaki dan tersenyum ke arah Sumitra. Senyuman yang membuat Sumitra bergidik ngeri."P-Pak Sabda ...""Anda pulang larut malam ini. Selingkuhan baru?" Narendra mengangkat g