"Tumben kali kau telepon aku," suara Bang Ucok terdengar diiringi tawa khasnya yang membahana.
"Sekarang udah nggak boleh lagi aku telepon Abang?" Agnia ikut tertawa kecil, "Takut sama Amelia, ya? Nggak nyangka aku kalau Abang ini termasuk cowok yang takut sama pasangannya."
Tawa Bang Ucok kembali terdengar kali ini lebih besar dan membahana, "Macam mana pula itu. Dari mana kau dapat kesimpulan itu?"
"Jangan salahin aku. Reaksi Bang Ucok yang bikin aku mikir kayak gitu."
"Maaak! Memang betul lah ini perempuan, ya! Segala harus kali dia yang benar."
Tawa Agnia pecah, "Bukan gitu, Bang. Aku cuma bercanda aja."
"Aku tahu," Bang Ucok terkekeh, "Kenapa kau telepon aku? Mau tanya kabar pacar kau?"
Agnia menarik napas panjang, "Ketebak banget, ya."
"Ya iyalah! Selama ini mana pernah kau telepon aku kalau kau ke luar kota macam sekarang?"
"Udah, Bang" Agnia tertawa untuk menutupi rasa malunya karena Bang Ucok menebak tujuannya d
Agnia baru kembali ke kamar hotel menjelang pukul tiga. Hampir 24 jam dia berada di lokasi syuting. Begitu juga dengan kru dan pemain lain. Tetapi karena mereka semua begitu bersemangat agar syuting segera selesai jadi tidak ada seorang pun yang protes. Mereka paham skandal yang lalu membuat timeline berantakan.Gadis itu memeriksa ponselnya. Helaan napas panjang terdengar ketika dia menyadari tidak ada pesan dari kekasihnya. Sudah beberapa hari sejak pembicaraan terakhir mereka dan kekasihnya seperti hilang ditelan bumi. Narendra tidak pernah seperti ini. Pria itu selalu meninggalkan pesan. Beberapa pesannya bahkan terdengar random dan tidak penting. Tetapi beberapa hari ini ... tidak ada pesan apapun.Jangankan pesan, nomor ponsel pria itu juga tidak dapat dihubungi oleh Agnia. Gadis itu berulang kali mencoba menghubungi kekasihnya tetapi selalu pesan yang sama yang terdengar, nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Jika hanya sekali, Agnia masih dapat berpikir kala
"Agnia, kamu udah tidur?"Gadis itu terlonjak kaget dan langsung menyusut air mata di sudut matanya. Tidak ingin seorang pun melihatnya menangis. Terlebih karena alasan sepele seperti merindukan seseorang."Sebentar," dia menjawab parau. Menghabiskan sisa air dari gelasnya kemudian beranjak dari duduk dan berjalan untuk membukakan pintu."Belum tidur?" Kenny bertanya sambil tersenyum lembut."Ah, belum. Baru selesai ngobrol sama temen." Agnia membukakan pintu lebih lebar sebagai tanda kalau dia mempersilakan sutradara itu masuk ke kamarnya, "Sorry, berantakan.""Aku yang harusnya minta maaf," pria itu melangkah masuk. Hanya beberapa langkah. Wajar mengingat nyaris dini hari jadi tidak elok rasanya pria memasuki kamar seorang gadis, "Aku cuma mau ngasih tahu kalau kita besok mulai syuting sore. Semua butuh istirahat.""Makasih!" Agnia tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Bagaimana tidak, setelah berhari-hari kurang tidur, kesempatan unt
Kenny berjalan terburu. Tetapi bukan menuju kamarnya. Pria itu menuju lift kemudian menekan tombol lift berulang dengan tidak sabar."Sial!" Dia kembali menekan tombol lift kemudian menggerak-gerakkan kaki sambil menunggu pintu lift terbuka.Begitu pintu lift terbuka, pria paruh baya itu langsung masuk dan menekan tombol yang akan membawanya ke lobi. Seperti cara masuknya, begitu pula cara dia keluar dari lift. Kenny keluar dengan tergesa. Pria itu terus berjalan melewati lobi menuju halaman belakang hotel. Setelah sampai di sudut taman yang cukup gelap karena bayangan tumbuhan. dengan tangan gemetar dia mengeluarkan rokok dan pematik api.Menarik keluar sebatang rokok dari bungkusnya. Menyalakan pematik beberapa kali. Tangannya yang gemetar membuat pekerjaan yang sering dilakukannya ini menjadi sesuatu yang membutuhkan upaya ekstra."Astaga," dia mengusap wajah dengan kasar sebelum kembali menyalakan pematik.Setelah rokoknya menyala, dia langsung
"So, sampai bertemu minggu depan?" Rajasena mengulurkan tangan ke arah Narendra."Ya, sampai minggu depan," pria itu mengabaikan uluran tangan kakaknya, "Jangan harap aku mau menjabat tangan kamu. Aku belajar dari pengalaman."Sontak tawa Rajasena pecah. Dia tahu dengan jelas pengalaman apa yang dimaksud oleh Narendra. Ketika Narendra kecil, dia sering mengisengi adiknya dengan sengaja mengotori tangannya sebelum menjabat tangan Narendra. Tentu saja itu akan membuat Narendra kesal. Ketika pertama kali melakukan itu, Narendra akan menangis mengadu kepada orang tuanya tetapi kemudian dia belajar bahwa mengadu tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya hingga dia belajar untuk balas mengisengi kakaknya."Kamu masih ingat, hm?" Rajasena ikut tertawa, "Tapi kali ini aku beneran. Sampai minggu depan."Narendra mengangguk, "Tidak perlu berlagak, ini sama seperti perjalanan bisnis Kak Raja yang lain. Tidak ada yang istimewa.""Kamu salah. Perjal
"Semua aman, Bi?" Tanpa mengangkat pandangan dari layar laptop Narendra bertanya ketika Abimana masuk ke ruang kerjanya."Lo tahu," Tujuh langkah lebar dan Abimana sudah sampai di depan meja kerja sepupunya. Seperti biasa, tanpa menunggu Narendra mempersilakan dia langsung duduk di salah satu kursi yang ada, "Mau berapa kali lo lakuin itu, gue nggak pernah terbiasa. Selalu bikin gue merinding.""Melakukan apa?" Narendra masih fokus pada apapun yang sedang dikerjakannya di layar laptop."Itu. Lo bisa langsung tahu kalau ada yang masuk ruangan. Seremnya lagi, tanpa ngelihat lo udah tahu siapa orangnya.""Sederhana, Bi. Suara langkah kaki setiap orang berbeda. Kalau kamu mendengarkan, akan mudah menebak siapa yang sedang berjalan.""Tetap aja itu mengerikan," Abimana menggerakkan tubuh seakan sedang merinding."Jangan minta aku berhenti karena aku tidak bisa melakukannya."Abimana ketawa, "Udah kebiasaan, ya?""Semacam itu," Naren
"Kau tahu, aneh kali kulihat kalau kau sendirian macam ini. Mana itu si Badi?"Pertanyaan Bang Ucok membuat Narendra terkekeh geli, "Seaneh itu?""Iya lah! Tapi mungkin karena aku terbiasa lihat kau dua-duaan udah macam orang pacaran aja itu di kontrakan petak," Bang Ucok menutup dokumen yang sedang dibacanya, "Ada apa kau ke sini? Tak usah basa-basi. Tahu aku kalau tak ada yang penting tak mungkin kau ke sini.""Sejak kerja di sini Abang kalau berbicara jadi panjang," Narendra menduduki sofa yang ada di ruangan Bang Ucok.Sama seperti ruangan lain untuk seseorang dengan jabatan setinggi Bang Ucok, ruangan kerja mereka cukup luas dan tersedia sofa kulit dengan harga fantastik. Selain untuk menyambut tamu, sofa itu juga berfungsi untuk beistirahat saat mereka terpaksa lembur. Sudah bukan rahasia lagi kalau semakin tinggi jabatan seseorang di Widjaja Group maka semakin banyak fasilitas yang didapatkan juga ... tanggung jawab yang harus dipikul dan itu berar
"Belum pulang, Bang?" Badi bersandar di ambang pintu ruang kerja Bang Ucok sambil tersenyum dengan mengangkat dua cup kopi yang dibawanya."Kau sendiri?" Bang ucok menyoret sesuatu pada catatannya."Nggak bisa pulang kalau si bos belum pulang," dia terkekeh sambil berjalan masuk, "Abang pasti butuh ini."Setelah duduk di salah satu kursi di depan meja kerja Bang Ucok, Badi meletakkan satu dari dua cup yang dibawa di meja. Tepat di hadapan Bang Ucok."Malam-malam kau bawakan aku kopi? Mau suruh aku begadang?""Bang Ucok memang bakal begadang malam ini, kan?" Badi menyesap kopinya, "Aku tahu dari para office boy kalau pegawai yang baru hobi pulang dini hari bahkan sampai nginap di kantor segala.""Tak percayanya aku sama kau. Mana mungkin aku sampai diomongkan sama mereka-mereka itu."Badi tergelak, "Itu benar. Mereka nggak gosipin Abang yang pulang telat tapi gosipin apa sebenarnya jabatan Abang.""Bah! Lebih tak masuk akal lagi
"Heei ... masih di kantor?" Amelia tidak terkejut tetapi tidak dapat menahan diri untuk menghela napas ketika sadar kalau Bang Ucok melakukan panggilan video dari kantornya.Sejak beberapa hari yang lalu, tepat ketika pacarnya mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji dan fasilitas berkali lipat lebih baik dari tempat sebelumnya ini menjadi sebuah rutinitas baru. Nyaris setiap kali dia menghubungi Bang Ucok, baik panggilan telepon atau pun video, dapat dipastikan kalau pria itu berada di kantor."Ya," walau tidak dapat menyembunyikan kelelahan Bang Ucok tetap tersenyum, "Masih banyak yang harus aku beresin.""Aku tahu," gadis itu berusaha tersenyum karena tidak ingin menambah beban pikiran lelaki yang dicintainya, "Selalu itu jawaban Abang tiap kali aku tanya.""Maaf, maaf, tapi memang masih banyak kali ini kerjaanku," Bang Ucok menunjuk tumpukan dokumen yang menggunung di meja kerja, "Mana Bos aku yang baru ini kalau kasih deadline suka-suka dia."