"Sorry, ya," Calya bergabung bersama Ardiansyah yang sedang berada di teras summer house.
Walau udara dingin menusuk tetapi pemandangan laut di musim dingin tetap indah. Bahkan bagi Calya jauh lebih indah dari pemandangan laut di musim panas. Pemandangan laut di musim dingin tidak hanya cantik tetapi juga misterius.
"Sorry untuk?" Pria itu menerima mug berisi cokelat hangat yang diberikan oleh Calya.
"Sorry buat yang tadi di mobil. Aku nggak seharusnya meledak nggak jelas kayak gitu."
"Meledak?" Dia menatap gadis itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh Calya, "Nggak apa-apa. Aku juga nggak seharusnya nanggapinnya dengan emosi kayak gitu. Seharusnya aku bisa lebih tenang."
"Kamu nggak salah," Calya berusaha untuk tersenyum, "Wajar lagi kalau kamu anggap kejadian bodoh itu nggak pernah terjadi. Wajar juga kalau kamu nembak cewek yang kamu suka. Nggak ada sayang salah dengan itu. Reaksi aku aja yang berlebihan."
<"Good evening, gentlements," Narendra dengan ramah menyapa tiga pria yang sedang menikmati makan malam mereka di salah satu restoran Italia terbaik di ibukota.Berbeda dengan Narendra yang terlihat santai menarik kemudian menduduki satu kursi yang tersisa, ketiga orang itu terlihat terperanjat. Tidak ada salah seorang pun dari mereka yang menduga kalau dia akan ada di restoran ini dan lebih parah lagi ... bergabung bersama mereka."Tidak menduga melihat Anda di sini," salah seorang dari mereka berusaha membalas sapaan Narendra dengan basa-basi yang terdengar begitu busuk di telinganya."Ah, mungkin bapak-bapak tidak tahu kalau aku sudah kembali ke negara ini sejak beberapa bulan lalu," dia tersenyum sambil menyandarkan punggungnya, "Keberatan kalau saya bergabung di meja Anda? Saya ada janji dengan Abimana tapi sepertinya dia terlambat."Tentu saja itu hanya kebohongan. Abimana tidak terlambat. Pria itu ada. Di sudut ruangan. Bersembunyi di balik
"Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?" Dengan tidak senang Ariyanto Sabian mengulang pertanyaannya. Dia tidak pernah senang ketika harus mengulang pertanyannya. Lawan bicaranya membuat suasana hatinya semakin buruk."Apa yang ingin saya sampaikan?" Narendra mengendikan bahu kemudian mengambil gelas wine-nya, "Tergantung dari keputusan Anda.""Ini bukan waktunya untuk bercanda, Pak Sabda!" Seorang dari teman Ariyanto Sabian terlihat tidak senang. Pria itu sudah tidak menahan diri dan menatap Narendra dengan penuh ketidaksukaan."Hati-hati dengan ucapan Anda! Anda tidak ingin karena satu ucapan bodoh Anda, keluarga Anda akan terkena masalah."Narendra tergelak, "Konyol sekali. Kenapa harus saya yang berhati-hati dengan ucapan saya?""Ini sudah kelewatan! Anda samas aja dengan menghina Pak Ariyanto!""Astaga," dia masih tergelak, "Bagian mana dari ucapan saya yang menghina beliau?" Dengan santai seakan tidak ada masalah dan tidak ada seseo
"Saya tidak pernah mencampuri urusan keluarga Widjaja," Ariyanto Sabian berusaha sangat keras untuk menyembunyikan emosinya saat ini.Jika tidak memikirkan citra, Ariyanto Sabian sudah membalikkan meja dan memporakporandakan restoran ini. Sebesar itu kemarahan yang dirasakannya. Siapa yang tidak marah jika ternyata aib keluarga yang selama ini rapat disimpan diketahui oleh orang luar? Lebih buruk lagi, yang mengetahui hal tersebut adalah seseorang yang sangat berbahaya. Hanya Narendra dan Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukannya dengan informasi itu.Dia juga marah karena dia tahu bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya dia tidak mungkin membungkam Narendra. Jika dia memaksa untuk membungkam pria itu maka akan berujung pada kehancurannya. Widjaja terkenal sebagai keluarga yang akan membalas kebaikan yang mereka terima sepuluh kali lebih besar sementara kejahatan yang dilakukan kepada salah seorang dari anggota keluarga Widjaja akan dibalas beratus kali lebih berat.
Kali ini Ariyanto Sabian langsung menyambar amplop itu tanpa menunggu kedua temannya membantu mengambilkan. Dia penasaran dengan apa isinya. Foto apa lagi?!"DARI MANA KAMU DAPAT INI?! BEDEBAAAH!!!" Ariyanto Sabian akhirnya kehilangan kendali ketika melihat foto-foto yang ada dalam amplop cokelat itu."Pertanyaan yang Anda ajukan salah Pak Ariyanto Sabian. Tidak penting dari mana saya mendapatkan foto-foto itu. Pertanyaan yang harus Anda ajukan itu, apakah Anda siap dengan konsekuensi jika foto-foto itu tersebar di publik?""BANGSAT! APA MAU KAMU?!!""Tidak perlu berteriak," Narendra kembali terkekeh, "Sejak tadi saya sudah menyampaikan mau saya apa.""APA?! TIDAK MUNGKIN HANYA ITU YANG KAMU INGINKAN!""Memang hanya itu yang saya inginkan," Narendra tersenyum, "Jangan usik urusan keluarga Widjaja. Hentikan kerja sama antara Pak Ariyanto Sabian dengan Bira Widjaja."Ariyanto Sabian menggeram. Berusaha untuk mengendalikan dirinya. Agar
"Tumben kali kau telepon aku," suara Bang Ucok terdengar diiringi tawa khasnya yang membahana."Sekarang udah nggak boleh lagi aku telepon Abang?" Agnia ikut tertawa kecil, "Takut sama Amelia, ya? Nggak nyangka aku kalau Abang ini termasuk cowok yang takut sama pasangannya."Tawa Bang Ucok kembali terdengar kali ini lebih besar dan membahana, "Macam mana pula itu. Dari mana kau dapat kesimpulan itu?""Jangan salahin aku. Reaksi Bang Ucok yang bikin aku mikir kayak gitu.""Maaak! Memang betul lah ini perempuan, ya! Segala harus kali dia yang benar."Tawa Agnia pecah, "Bukan gitu, Bang. Aku cuma bercanda aja.""Aku tahu," Bang Ucok terkekeh, "Kenapa kau telepon aku? Mau tanya kabar pacar kau?"Agnia menarik napas panjang, "Ketebak banget, ya.""Ya iyalah! Selama ini mana pernah kau telepon aku kalau kau ke luar kota macam sekarang?""Udah, Bang" Agnia tertawa untuk menutupi rasa malunya karena Bang Ucok menebak tujuannya d
Agnia baru kembali ke kamar hotel menjelang pukul tiga. Hampir 24 jam dia berada di lokasi syuting. Begitu juga dengan kru dan pemain lain. Tetapi karena mereka semua begitu bersemangat agar syuting segera selesai jadi tidak ada seorang pun yang protes. Mereka paham skandal yang lalu membuat timeline berantakan.Gadis itu memeriksa ponselnya. Helaan napas panjang terdengar ketika dia menyadari tidak ada pesan dari kekasihnya. Sudah beberapa hari sejak pembicaraan terakhir mereka dan kekasihnya seperti hilang ditelan bumi. Narendra tidak pernah seperti ini. Pria itu selalu meninggalkan pesan. Beberapa pesannya bahkan terdengar random dan tidak penting. Tetapi beberapa hari ini ... tidak ada pesan apapun.Jangankan pesan, nomor ponsel pria itu juga tidak dapat dihubungi oleh Agnia. Gadis itu berulang kali mencoba menghubungi kekasihnya tetapi selalu pesan yang sama yang terdengar, nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Jika hanya sekali, Agnia masih dapat berpikir kala
"Agnia, kamu udah tidur?"Gadis itu terlonjak kaget dan langsung menyusut air mata di sudut matanya. Tidak ingin seorang pun melihatnya menangis. Terlebih karena alasan sepele seperti merindukan seseorang."Sebentar," dia menjawab parau. Menghabiskan sisa air dari gelasnya kemudian beranjak dari duduk dan berjalan untuk membukakan pintu."Belum tidur?" Kenny bertanya sambil tersenyum lembut."Ah, belum. Baru selesai ngobrol sama temen." Agnia membukakan pintu lebih lebar sebagai tanda kalau dia mempersilakan sutradara itu masuk ke kamarnya, "Sorry, berantakan.""Aku yang harusnya minta maaf," pria itu melangkah masuk. Hanya beberapa langkah. Wajar mengingat nyaris dini hari jadi tidak elok rasanya pria memasuki kamar seorang gadis, "Aku cuma mau ngasih tahu kalau kita besok mulai syuting sore. Semua butuh istirahat.""Makasih!" Agnia tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Bagaimana tidak, setelah berhari-hari kurang tidur, kesempatan unt
Kenny berjalan terburu. Tetapi bukan menuju kamarnya. Pria itu menuju lift kemudian menekan tombol lift berulang dengan tidak sabar."Sial!" Dia kembali menekan tombol lift kemudian menggerak-gerakkan kaki sambil menunggu pintu lift terbuka.Begitu pintu lift terbuka, pria paruh baya itu langsung masuk dan menekan tombol yang akan membawanya ke lobi. Seperti cara masuknya, begitu pula cara dia keluar dari lift. Kenny keluar dengan tergesa. Pria itu terus berjalan melewati lobi menuju halaman belakang hotel. Setelah sampai di sudut taman yang cukup gelap karena bayangan tumbuhan. dengan tangan gemetar dia mengeluarkan rokok dan pematik api.Menarik keluar sebatang rokok dari bungkusnya. Menyalakan pematik beberapa kali. Tangannya yang gemetar membuat pekerjaan yang sering dilakukannya ini menjadi sesuatu yang membutuhkan upaya ekstra."Astaga," dia mengusap wajah dengan kasar sebelum kembali menyalakan pematik.Setelah rokoknya menyala, dia langsung