Ketika alarm ponselnya berbunyi, Narendra bangun. Dengan kondisi seperti zombie dan mata yang masih setengah terpejam dia bersiap. Semua yang dia lakukan hanya berdasarkan rutinitas. Dia tidak benar-benar sadar dengan apa yang dilakukannya.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian, dia keluar kamar kemudian mengambil sekotak susu dari kulkas. Tanpa pikir panjang dia langsung minum dari kotaknya sambil mengeluarkan dua butir telur untuk direbus.
Sambil menunggu telur rebusnya, dia mengambil tomat dan mentimun. Dengan kemampuan menggunakan pisau yang pas-pasan dia mulai memotong-motong tomat dan timun. Tentu saja potongan dan ukurannya berantakan tetapi setidaknya masih cukup kecil seperti yang yang dicontohkan oleh Calya kemarin.
Begitu telurnya terebus sempurna, dia segera mengupas dan menghancurkannya dengan menggunakan garpu. Setelah dirasa cukup, dia mencampurkan telur rebus, mentimun dan tomat kemudian menambahkan mayonnaise dan saos botolan. Narendra menganduk
Seluruh pegawai SuperMart yang berda di kafetaria sedang menikmati makan siang mereka. Denting peralatan makan berpadu sempurna dengan celotehan dan obrolan. Wajar, bagi pegawai yang bertugas melayani pembeli, berbicara dengan santai hanya dapat dilakukan saat jam istirahat.Narendra dan Badi termasuk di dalamnya. Setelah bekerja tanpa henti sejak pagi, sekarang mereka menikmati makan siang dengan lahap. Memang benar, tidak ada yang dapat menandingi rasa makanan yang disantap setelah bekerja keras.“Paling nggak setelah ini kerjaan kita nggak terlalu berat lagi.”“Benar,” seorang teman setim Narendra ikut berkomentar, “Udah semua kita kerjain tadi pagi. Ini tinggal rapiin barang-barang yang ada di gudang aja.”“Untung banget senior yang sekarang baik, ya? Coba kalau kayak minggu lalu. Mendingan aku nyerah, deh. Nyari kerja lagi juga nggak apa-apa.”“Hati-hati sama omongan! Kalau sampai diaminin
“Kak, mau ikut kita jajan di depan?”Mereka baru saja berganti pakaian karena jam kerja sudah berakhir. Seperti minggu lalu, beberapa pegawai ingin bersantai sejenak sebelum berjibaku menghadapi kemacetan lalu lintas.“Hari ini tidak bisa,” Narendra menjawab sambil merapikan kaosnya.“Gaya ngomong Kakak lucu banget. Kayak resmi gitu,” salah seorang berkomentar sambil tertawa geli.“Iya! Awalnya aneh tapi lama-lama jadi lucu dengarnya,” yang lain ikut menimpali.Narendra hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung harus berkomentar apa. Dia tahu kalau itu efek dari terlalu lama tidak berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Meski beitu, dia berusaha untuk memperbaikinya dengan memperhatikan lawan bicaranya berbicara.“Teman aku memang gini ngomongnya,” Badi terkekeh, “Maklumin aja.”“Iya, Kak,” yang lain menyeletuk sambil tertawa.
Pernah merasakan penat yang begitu menyesakkan karena pekerjaan dan perjalanan untuk pulang terlalu melelahkan? Itu yang dirasakan oleh Narendra. Walau dia sudah menikmati makan malam luar biasa bersama Abimana dan Badi, ketika berbelok masuk ke gang tempat kontrakan petaknya berada, dia hanya mempu merasa penat yang menyesakkan.Sambil menguap dia menunggu Badi membukan pintu pagar. Tanpa berucap apa-apa dia mamsukkan motor dan memarkirkan di depan kontrakan petaknya. Setelah menghela napas panjang, dia mencari kunci kontrakan petak dalam tasnya.“Udah pulang?” Kepala Agnia tiba-tiba menyembul dari dinding pembatas kontrakan petak mereka.“Udah,” energi yang tadi sudah tak bersisa, entah bagaimana tiba-tiba kembali, “Kamu ngapain di luar?”“Nungguin kamu,” Agnia mengulaskan senyum terbaiknya, “Tadi aku pulang agak cepat jadi selesai bersih-bersih, aku nungguin kamu, deh.”“Maaf, kam
“Mantap! Udah berani berdua-duaan macam ini kalian sekarang, ya!” Bang Ucok mengejutkan Narendra dan Agnia.“Astaga, Bang! Di mana-mana itu kalaubaru pulang itu salam dulu. Bukannya langsung teriak!!”“Macam mana aku tak teriak lihat ini kalian peluk-pelukan?! Kau juga, Rendra, udah kubilang jangan macam-macam kau sama Agnia!”“Aku tidak macam-macam,” Narendra menjawab cepat.Agnia langsung tertawa melihat tetangganya yang salah tingkah, “Bang Ucok baru pulang? Malam banget.”“Iya, tadi ada sedikit masalah. Jadi terpaksa aku lembur.”“Tapi lemburnya bareng Amelia. Senang, dong harusnya?” Narendra sengaja menggoda Bang Ucok.“Kusuruh dia pulang. Kasihan aku kalau perempuan itu lembur. Lagian, masih bisa aku handle,” Bang Ucok masuk ke kontrakan petak tetangganya itu.“Kalau kayak gitu memangnya nggak apa, Bang?” A
Narendra bukan pria tanpa pengalaman. Sepanjang usianya entah sudah berapa banyak wanita yang pernah mampir dalam hidupnya. Baik itu sebagai pacar, gebetan atau sebatas partner one night stand ketika dia berada di luar negeri untuk sekolah dan kuliah. Tetapi semua terasa bergitu berbeda ketika berhubungan dengan Agniar.Sejak pertama melihat gadis itu, ada getar yang sulit untuk dijelaskan serta keinginan untuk melindungi. Bukan seperti dia ingin melindungi Calya atau keluarganya yang lain. Sebentuk perasaan yang membuatnya ingin selalu memastikan gadis itu tersenyum bahagia. Lepas dan ceria.Sebentuk kecupan.Hanya itu yang dibutuhkan Agnia untuk membuat Narendra gelisah sepanjang malam. Kantuk yang sempat hadir sudah sempurna menghilang. Hingga lewat dini hari, pria itu masih terjaga. Walau sekuat apapun dia berusaha untuk memejamkan mata, dia juga tidak kunjung tertidur. Baru menjelang dini hari akhirnya dia dapat terlelap. Itu juga tidak nyenyak.
Narendra hanya butuh beberapa hari untuk menangkap apa yang terjadi di SuperMart. Salah satu direktur menempatkan keponakannya di bagian gudang bukan tanpa alasan. Pria itu memanfaatkan keponakannya sebagai rekan melakukan kejahatan. Informasi ini didapat Narendra dari bisik-bisik di antara pegawai.Ya, mereka berdua melakukan penggelapan barang di SuperMart. Beberapa pegawai mengetahui hal tersebut dan sudah berusaha untuk melaporkan kepada pihak manajemen. Tetapi malah mereka yang dimutasi ke SuperMart di daerah atau dipecat. Ini yang membuat para pegawai akhirnya memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahuSambil bekerja, Narenda terus mengumpulkan informasi dan menyiapkan rencana. Jika awalnya dia hanya ingin menghukum si pegawai mesum, sekarang tujuannya berubah, dia ingin membersihkan SuperMart."Kak, ikut lagi nggak? Kita mau nyobain seblak yang di ujung jalan masuk."Seblak? Narendra baru pertama kali mendengar nama makanan itu."S
Hampir seluruh makanan yang disediakan oleh Agnia sudah habis mereka lahap. Sejak tadi mulut mereka tidak berhenti mengunyah sambil bercanda dan mengobrol tentang berbagai hal. Mereka tidak berhenti mengolok Bang Ucok tentang Amelia. Pria berbadan besar itu sampai merah wajahnya karena godaan mereka. Tidak hanya itu, mereka juga tidak berhenti bertanya kepada Badi tentang kejelasan hubungannya dengan Antari.Setelah capek saling menggoda, mereka membicarakan pekerjaan baru Narendra dan Badi. Langsung saja mereka bercerita seperti air yang mengalir dari keran, deras dan tidak dapat dibendung.“Kalian termasuk beruntung, lho! Dapat tim yang kompak gitu,” Agnia berkomentar sambil mengudap ayam goreng tepung.“Bener banget! Aku juga bilang gitu sama Bos. Bayangin aja, dari dua puluh orang, semuanya kompak. Kalau kerja ya kerja, istirahat juga bukan yang berkelompok gitu. Beruntung dan seru banget.”“Iya,” Narendra menganggu
Menjelang pukul enam Agnia terbangun. Bukan karena dering alarm atau karena ada seesorang yang membangunkannya. Dia terbangun begitu saja. Aneh mengingat dia baru dapat terlelap menjelang dini hari. Dia mengerjap berulang kali sambil menyugar rambutnya. Beberapa detik berlalu sebelum kesadarannya kembali sepenuhnya. Begitu dia sepenuhnya terbangun, gadis itu langsung mengambill bantal, membenamkan wajah dan berteriak dengan wajah yang semerah tomat. Narendra menciumnya tadi malam. Tidak hanya itu mereka juga… *** Agnia nyaris menjauh ketika Narendra mennundukkan wajah. Gadis itu berpikir kalau tetangganya itu melihat sisa makanan yang menempel di pipi atau di bibirnya. Pemikiran itu membuatnya malu dan refleks ingin menjauh. Tapi ternyata dia salah. Narendra menciumnya. Tanpa aba-aba. Tanpa ucapan apapun. Gadis itu sama sekali tidak menduga tetangganya akan melakukan ini. Semalam dia meman