“Bos!” Badi melambai ketika melihat sosok Narendra di antara pengunjung stasiun kereta api lainnya.
Narendra yang melihat lambaian itu langsung berjalan cepat menghampiri bodyguard dan keluarganya. Pria itu tersenyum kemudia mencium tangan Miranti. Terdengar aneh tetapi seluruh keluarga Widjaja dibesarkan dengan tata krama tanpa cela. Orang tua, siapapun mereka harus dihormati.
“Untung masih sempat. Tadi macet,” Narendra sengaja memberantaki rambut Hanny yang segera membuat gadis itu memberengut kesal, “Ibuk dan Hanny senang menginap di W Hotel?”
“Seneng banget, Mas Bos! Mana kita boleh nyobain semua fasilitasnya terus makan sepuasnya. Tapi Ibuk susah makan karena nggak cocok sama selera Ibuk.”
“Iya,” Miranti tersipu, “Ibuk kan orang desa, jadi nggak terbiasa makan yang begitu-begitu.”
“Tapi, Mas Bos! Pegawai Mas Bos keren banget! Pas mereka tahu, mereka langsung
“Kusut banget lo,” itu sapaan pertama yang terlontar dari mulut Abimana ketika melihat sepupunya.“Hanya kelelahan,” Narendra menjawab sambil duduk di hadapan Abimana, “Ke sini juga naik taksi tadi.”“Motor lo ke mana? Rusak?”Narendra menggeleng, “Tidak kenapa-kenapa. Aku minta supir kantor untuk antarkan ke kontrakan petak.”“Kalau gitu kita cepat aja, ya. Makanan udah aku pesanin,” Abimana menoleh ke arah Badi, “Nggak usah bingung duduk di mana. Gabung aja di sini.”Badi langsung mengangguk dan merasa lebiih tenang. Sejak tadi dia memang sedang bingung. Biasanya mereka akan duduk di meja yang berbeda jika Narendra akan membicarakan masalah bisnis bersama Abimana. Tetapi sejak sampai di restoran ini, Narendra tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Lo mau bawa pulang dan cek nanti aja? Gue nggak yakin lo bisa bener ngeceknya.”“Banyak?
“Dari mana kau?” Bang Ucok yang sedang duduk di teras menyapa Narendra dan Badi ketika mereka membuka pagar kontrakan petak.“Kerja, Bang,” Narendra menjawab sambil berbelok menuju kontrakan petak tetangganya.“Ha? Baru pulang kau? Itu motorku sudah ada sejak tadi aku pulang.”“Rusak tadi, Bang,” Badi yang menjawab karena takut majikannya tidak sempat mencari alasan, “Orang bengkel tadi yang anterin ke sini.”“Terus kalian pulang naik apa?” Pria itu masih penasaran.“Naik bus tadi, Bang. Makanya malam karena tunggu bus sepi,” Badi duduk pada dinding pembatas teras, “Abang tumben duduk di teras malam-malam. Ada apa?”“Sepi kali. Tak tahu aku mau ngapain,” tawa khasnya menggelegar walau matanya berkata lain, “Kukira kalian sudah tidur atau apa karena tak ada suara. Tak ada juga yang teriak ajak aku makan malam.”&ldquo
Ketika selesai mandi dan berganti dengan piyama, Narendra sudah berencana untuk langsung tidur. Tidak hanya kelelahan, dia juga mulai merasa kalau badannya tidak enak. Tenggorokannya mulai kering dan hangat. Tetapi rencana itu langsung berubah setelah dia memeriksa ponselnya.Ada pesan dari Agnia yang mengabarkan kalau gadis itu sudah dalam perjalanan pulang. Matanya masih berat tetapi dia berusaha menahan diri agar tidak terlelap. Dia berpindah ke ruang tengah dan menyalakan TV hanya agar ada suara. Narendra tidak bisa tidur jika masih ada suara terutama suara TV.Sambil menunggu Agnia, dia menyiapkan dua cangkir cokelat panas kemudian memeriksa beberapa email dari Abimana yang belum sempat diperiksa sebelumnya. Tetapi diahanya mampu membuka email pertama sebelum akhirnya terlelap sambil memegang ponsel.Ketika Agnia tiba, dia langsung ke kontrakan petak Narendra ketika melihat lampu ruang tengah kontrakan pria itu masih menyala. Dia beruntung karena pria itu t
Agnia terbangun karena merasa panas di perutnya. Sesaat dia berpikir kalau perutnya bermasalah karena kemarin jam makannya tidak benar. Ketika kesadarannya kembali dengan sempurna dia menyadari kalau panas yang dirasakannya bukan panas karena perut sakit atau bermasalah. Ini sesuatu yang berbeda.Cepat dia membuka mata. Membutuhkan waktu beberapa detik sebelum matanya terbiasa melihat dalam gelap dan menyadari kalau dia sedang berada di kamar Narendra. Sambil mengerjapkan mata, tangannya meraba perut dan menemukan tangan kekasihnya. Pana situ berasal dari tubuh Narendra.“Dra,” spontan dia berusaha membangunkan Narendra. Dia semakin panik ketika menyadari kalau tubuh pria itu sangat panas. Narendra demam tinggi.“Kamu kenapa, Dra?” Dia mengguncang tubuh Narendra dan pria itu bergeming. Hanya terdengar gumaman lirih sarat akan rasa sakit. Kekasihnya sedang tidak baik-baik saja.Gadis itu melompat dari tempat tidur. Setelah menyambar
“Aku tidak apa-apa, Nia,” menjelang pukul sepuluh pagi, Narendra sudah membaik walau masih terlihat pucat.Dokter keluarga Widjaja sampai menjelang subuh. Beliau langsung memeriksa Narendra kemudian menunggu sampai panas pria itu turun dan dapat berkomunikasi dengan baik. Dokter juga sempat meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan pria itu. Dengan berat hati, Agnia setuju keluar dari kamar diiringi dengan Badi.“Nggak apa-apa gimana? Semalam kamu bilang gitu juga tapi kenyatannya tiba-tiba demam tinggi! Kamu bikin aku panik tahu!” Gadis itu memberengutkan pipi dengan kesal.“Sekarang ada Badi yang siaga,” Narendra tersenyum tipis, “Sudah dikasih obat juga sama dokter.”“Tetap aja, ya!”“Nia, dengerin aku,” pria itu mengusap pipi kekasihnya dengan penuh kasih, “Aku tahu kalau pekerjaan kamu ini penting sekali.”“Nggak lebih penting dari kamu, Dra&
*Tidur, Bos?" Badi bertanya ketika dia masuk ke kamar Narendra.Dia menunggu jawaban selama beberapa saat. Ketika sudah beberapa menit berlalu dan dia masih belum mendengar jawaban dari majikannya, Badi baru yakin kalau saat ini Narendra sedang dalam pengaruh obat dan terlelap nyenyak. Dia memperhatikan pria itu sesaat sebelum merapikan selimut dan beranjak ke luar kamar.Setelah nyaman duduk di sofa, baru dia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan ke Abimana. Dia berjanji mengabari tangan kanan Narendra setiap satu jam sekali. Begitu juga dengan Agnia.Tidak menunggu lama ponselnya berdering. Sigap dia mengangkat setelah mengecek caller ID."Halo, Pak," suaranya terdengar formal."Badi, bagaimana kabar Narendra?" Walau melalui telepon tapi suara Asija yang berat masih mengintimidasi lawan bicara. Bahkan bagi bodyguard terlatih seperti Badi."Sudah membaik, Pak," dia menjawab cepat."Baiklah. Saya percaya sama kamu. Kalau kondisiny
"Hei..." Agnia meremas tangan Narendra ketika pria itu terlihat mengerjap beberapa kali, "Aku bangunin kamu, ya?""Nggak," pria itu menggelengkan kepala. Dia masih terlihat lemas dan suaranya juga terdengar parau, "Aku capek seharian hanya tidur.""Bagus, dong?" Agnia menyugar rambut kekasihnya, "Kalau lagi sakit itu cuma boleh tidur sama makan.""Hanya itu?" Walau kepalanya masih terasa berat, tetapi dia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menggoda gadis itu."Iya. Kamu mau cepat sembuh nggak?"Narendra tertawa kecil, "Siapa yang suka sakit?""Makanya, jangan bandel. Kamu nggak boleh ngapa-ngapain selain tidur, makan dan minum obat.""Tenang, Badi pengawas yang luar biasa."Dia tidak berbohong. Sepanjang hari bodyguard itu melarang Narendra bangkit dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi. Badi juga selalu mengecek dan memastikan kalau dia tidur sepanjang hari. Tidak hanya itu, setiap jam makan Badi juga akan menungg
“Si Bos udah tidur,” Badi menyapa ketika Agnia kembali ke kontrakan petak Narendra selesai bebersih dan berganti pakaian dengan piyama.“Beneran?” Agnia berjinjit ke kamar kekasihnya kemudian membuka pintu sepelan mungkin. Setelah memastikan kalau Narendra benar-benar sudah tidur, dia kembali ke ruang tengah.“Tidur, kan?”Agnia mengangguk, “Seharian dia nggak ngapa-ngapain, Di?”“Iya. Nggak aku bolehin ngapa-ngapain. Kalau nggak dilarang gitu Si Bos nggak bisa diam.”“Memang orangnya nggak bisa diam, ya? Waktu belum kerja juga kayak ada aja yang dikerjainnya. Nggak cuma duduk-duduk atau apalah.”Badi mengangguk sambil mematikan TV, “Iya. Dari awal kenal udah kayak gitu orangnya. Padahal kalau dia mau bisa aja cuma santai-santai.”“Gitu? Keluarganya kaya banget, ya?” Agnia sengaja bertanya karena dia teringat ponsel mahal yang tersimpan di