“Si Bos udah tidur,” Badi menyapa ketika Agnia kembali ke kontrakan petak Narendra selesai bebersih dan berganti pakaian dengan piyama.
“Beneran?” Agnia berjinjit ke kamar kekasihnya kemudian membuka pintu sepelan mungkin. Setelah memastikan kalau Narendra benar-benar sudah tidur, dia kembali ke ruang tengah.
“Tidur, kan?”
Agnia mengangguk, “Seharian dia nggak ngapa-ngapain, Di?”
“Iya. Nggak aku bolehin ngapa-ngapain. Kalau nggak dilarang gitu Si Bos nggak bisa diam.”
“Memang orangnya nggak bisa diam, ya? Waktu belum kerja juga kayak ada aja yang dikerjainnya. Nggak cuma duduk-duduk atau apalah.”
Badi mengangguk sambil mematikan TV, “Iya. Dari awal kenal udah kayak gitu orangnya. Padahal kalau dia mau bisa aja cuma santai-santai.”
“Gitu? Keluarganya kaya banget, ya?” Agnia sengaja bertanya karena dia teringat ponsel mahal yang tersimpan di
“Jadi apa alasan kamu ke sini, Abimana?” Narendra sengaja terlihat tidak sabar, “Pekerjanku masih menumpuk.”“Gaya banget, sih, lo,” Abimana mengacak rambut Narendra. Ini sesuatu yang jarang dilakukan oleh pria itu terhadap sepupunya. Tapi itu sekarang, dulu saat mereka masih kecil, Abimana sering memancing kekesalan sepupunya dengan melakukan itu.“Jadi apa, Abimana?”“Sabar sedikit, Bro,” dia menunjuk Badi yang masuk dengan membawa mangkuk berisi bubur, “Kita ngobrol sambil lo makan. Udah jam makan siang dan obat lo nggak boleh telat.”“Bubur? Boleh tidak aku makan sesuatu yang lain? Nasi Padang misalnya?”“Nggak usah aneh-aneh, Bos,” Badi memberikan mangkuk itu kepada Narendra, “Habisin terus minum obat dan tidur.”“Berani lo perintah-perintah si Narendra?”Badi tertawa, “Cuma sekarang aja beraninya
Di hari ketiga sejak dia sakit barulah Narendra dibolehkan oleh dokter keluarga untuk turun dari tempat tidur. Meski tidak lagi harus makan bubur tetapi dokter keluarganya mewanti-wantu berulang kali kalau pria itu hanya boleh makan makanan yang lembut. Narendra menyambut kenyataan itu dengan keluhan karena dia sudah membayangkan akan menikmati berbagai makanan enak.“Harus nurut, ya,” Agnia melalui video call untuk kesekian kalinya mengingatkan kekasihnya, “Kalau aku tahu kamu makan sembarang atau besok kamu kejar, aku beneran bakalan maarah, lho!”“Iya, Nia,” Narendra mengangguk sambil tertawa kecil, “Aku janji tidak akan melanggar perintah dokter.”“Tumben banget kamu langsung nurut,” gadis itu tertawa.“Bukannya aku selalu menuruti ucapan kamu?” Dia mengernyitkan kening dengan bingung.Tawa Agnia semakin lepas, “Iya, Rendra. Aku itu cuma bercanda tahu!”
"Mana itu Rendra?! Masih sakitnya dia kudengar?! Macam manaaa...kutinggal dinas sebentar tak sembuh-sembuh itu sakitnya dia!" Bang Ucok yang sejak kemarin ke luar kota untuk urusan pekerjaan, dari bandara langsung ke kontrakan petak Narendra."Tidur dia, Bang. Biasa, efek obat," Badi yang kebetulan sedang bersantai di ruang tengah kontrakan petak majikannya yang menjawab."Macam manaaa!!! Sudah sehatnya dia?!" Pria itu menghempaskan tubuh ke sofa yang kebetulan kosong."Lebih baik dari kemarin, lah. Udah nggak pucat lagi. Makannya juga udah nggak harus bubur.""Oh, cocok! Aku sudah belikan martabak buat kita pesta-pesta malam ini."“Siapa yang bawa pesta?” Agnia yang baru keluar dari kamar Narendra langsung bergabung bersama kedua tetanggannya.“Ini lagi satu, pindahnya sudah kau ke sini?”“Nggak, Bang. Aku nemenin Rendra aja, tahu sendiri kalau lagi sakit enaknya ada yang nemenin, kan? Aku juga baru pula
"Kenapa kamu kelihatan seneng banget?"Pagi ini Narendra bangun dengan Agnia di pelukannya. Pria itu langsung tersenyum. Dia menatap kekasihnya dengan lembut sambil sesekali mengaitkan rambut gadis itu di jarinya. Walau badannya masih tidak keruan tetapi dengan Agnia di sisinya, dia merasa begitu damai.Aneh rasanya nendapatkan kedamaian dari seseorang yang seharusnya merupakan orang asing. Mereka baru saling mengenal beberapa bulan. Itu juga karena kebetulan mereka bertetangga. Walau begitu, Narenda tidak dapat berbohong, dia mencintai gadis itu. Begitu besar hingga dia takut untuk kehilangan. Hingga dia tidak lagi mampu membayangkan hidupnya akan semembosankan apa tanpa Agnia di dalamnya.Apa yang harus dia lakukan?"Terbangun dengan kamu di samping aku," Narendra membalas senyuman kekasihnya, "Kamu ada rencana apa hari ini?"Agnia tidak langsung menjawab. Dia duduk kemudian mencari penjepit rambut yang semalam diletakkan di nakas. Setelah rambut
“Bos marah?” Badi berdiri di ambang pintu kamar Narendra.Sejak beberapa saat yang lalu dia tidak melakukan apa-apa selain memperhatikan majikannya yang sibuk mengemas pakaian dan kebutuhan yang sekiranya diperlukan selama menginap di W Hotel. Dia sudah menawarkan bantuan tetapi Narendra menolaknya dengan harus.“Marah? Kenapa?” Narendra balik bertanya sambil memasukkan beberapa skincare miliknya.“Karena aku nggak kasih tahu Bos tentang ide Abimana.”“Aku tidak marah,” pria itu berbalik sambil tersenyum, “Jadi Abimana pelaku utamanya?”“Bos…tidak tahu?” Badi tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia pikir majikannya sudah tahu kalau giveaway itu merupakan ide tangan kanannya.“Aku menebak antara Abimana atau Kak Bimasakti,” senyum Narendra semakin lebar, “Ternyata sudah kamu bocorkan sendiri. Terima kasih!”&
Narendra sudah ingin memaki sejak mereka sampaindi W Hotel. Di resepsionis, Abimana sudah menunggu sambil tersenyum lebar. Tidak perlu bertanya, Narendra tahu dengan jelas arti senyuman itu. Senyuman penuh kemenangan karena berhasil memaksa dia mengikuti permainan yang dibuatnya.Ketika check-in, dia membiarkan Agnia yang mengurus semua prosesnya. Ketika gadis itu mengatakan kalau dia memenangkan giveaway ekspresi front officer yang melayani mereka tidak berubah sedikit pun. Mereka masih dilayani dengan ramah. Berbekal kejadian ini, Narendra yakin kalau sepupunya sudah mem-briefing seluruh pegawai.Hal yang sama juga dirasakan Narendra ketika mereka diantar ke presidential suite yang berada di lantai teratas. Pegawai hotel itu terlihat berpura-pura tidak mengenalinya walau beberapa dari mereka tidak dapat menahan diri untuk memberikan sebuah anggukan khidmat."Babe, nggak mau keluar?" Agnia yang sudah berganti pakaian
Narendra berhenti membelai payudara kekasihnya. Dia membiarkan tangannya meluncur turun ke pinggang Agnia sambil menelan ludah.“Tidak?” Dia bertanya dengan hati-hati.Selama beberapa saat, Agnia membiarkan dia membelai payudara gadis itu. Tetapi hanya itu. Tidak ada pergerakan, tidak ada ucapan apa pun. Narendran ingin menikmati keintiman bersama kekasihnya. Tetapi hanya jika gadis itu menginginkan hal yang sama. Dia bukan jenis pria yang akan memaksa wanita semata untuk memuaskan nafsu dan gairahnya.Perut Agnia terasa tegang di bawah tangannya. Bibir gadis itu terbuka. Seakan mengundangnya untuk kembali menikmati bibirnya. Sekuat tenaga Narendra menahan diri. Dia menunggu jawaban keluar dari bibir gadis itu.“Nggakk,” suaranya sama sekali tidak terdengar meyakinkan. Bahkan untuk dirinya sendiri.Seandainya dia dapat menatap wajahnya sendiri saat ini, Dia pasti akan melihat matanya dipenuhi gairah. Seperti laut menjelang b
“Dra, sini!” Agnia bersandar pada railing pembatas rooftop melambaikan tangan ke arah Narendra yang duduk di alas piknik yang sudah disediakan. Tentu saja tanpa sepengetahuan gadis itu, Narendra sudah meminta pihak hotel melalui Abimana untuk menyulap taman di rooftop menjadi lokasi untuk kencan romantis. Lampu-lampu tumbler berwarna kuning lembut menghias beberapa pohon dan perdu. Beberapa lilin dalam toples bening juga digantung di beberapa titik sehingga mempertegas kesan romantis. Di tengah rooftop sudah terpaksa sebuah tenda berukuran kecil yang terhias manis.Di depan tenda, sudah terbentang alas piknik ditemani sekeranjang bunga tuberoses dan rak kecil berisi aneka pilihan makanan manis. Tidak hanya itu, Narendra juga meminta untuk disediakan wine terbaik lengkap dengan gelasnya. Agar semakin nyaman, pihak hotel tidak lupa menyediakan bantal-bantal kecil dan selimut rajut tebal.“Kamu l