Ketika selesai mandi dan berganti dengan piyama, Narendra sudah berencana untuk langsung tidur. Tidak hanya kelelahan, dia juga mulai merasa kalau badannya tidak enak. Tenggorokannya mulai kering dan hangat. Tetapi rencana itu langsung berubah setelah dia memeriksa ponselnya.
Ada pesan dari Agnia yang mengabarkan kalau gadis itu sudah dalam perjalanan pulang. Matanya masih berat tetapi dia berusaha menahan diri agar tidak terlelap. Dia berpindah ke ruang tengah dan menyalakan TV hanya agar ada suara. Narendra tidak bisa tidur jika masih ada suara terutama suara TV.
Sambil menunggu Agnia, dia menyiapkan dua cangkir cokelat panas kemudian memeriksa beberapa email dari Abimana yang belum sempat diperiksa sebelumnya. Tetapi diahanya mampu membuka email pertama sebelum akhirnya terlelap sambil memegang ponsel.
Ketika Agnia tiba, dia langsung ke kontrakan petak Narendra ketika melihat lampu ruang tengah kontrakan pria itu masih menyala. Dia beruntung karena pria itu t
Agnia terbangun karena merasa panas di perutnya. Sesaat dia berpikir kalau perutnya bermasalah karena kemarin jam makannya tidak benar. Ketika kesadarannya kembali dengan sempurna dia menyadari kalau panas yang dirasakannya bukan panas karena perut sakit atau bermasalah. Ini sesuatu yang berbeda.Cepat dia membuka mata. Membutuhkan waktu beberapa detik sebelum matanya terbiasa melihat dalam gelap dan menyadari kalau dia sedang berada di kamar Narendra. Sambil mengerjapkan mata, tangannya meraba perut dan menemukan tangan kekasihnya. Pana situ berasal dari tubuh Narendra.“Dra,” spontan dia berusaha membangunkan Narendra. Dia semakin panik ketika menyadari kalau tubuh pria itu sangat panas. Narendra demam tinggi.“Kamu kenapa, Dra?” Dia mengguncang tubuh Narendra dan pria itu bergeming. Hanya terdengar gumaman lirih sarat akan rasa sakit. Kekasihnya sedang tidak baik-baik saja.Gadis itu melompat dari tempat tidur. Setelah menyambar
“Aku tidak apa-apa, Nia,” menjelang pukul sepuluh pagi, Narendra sudah membaik walau masih terlihat pucat.Dokter keluarga Widjaja sampai menjelang subuh. Beliau langsung memeriksa Narendra kemudian menunggu sampai panas pria itu turun dan dapat berkomunikasi dengan baik. Dokter juga sempat meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan pria itu. Dengan berat hati, Agnia setuju keluar dari kamar diiringi dengan Badi.“Nggak apa-apa gimana? Semalam kamu bilang gitu juga tapi kenyatannya tiba-tiba demam tinggi! Kamu bikin aku panik tahu!” Gadis itu memberengutkan pipi dengan kesal.“Sekarang ada Badi yang siaga,” Narendra tersenyum tipis, “Sudah dikasih obat juga sama dokter.”“Tetap aja, ya!”“Nia, dengerin aku,” pria itu mengusap pipi kekasihnya dengan penuh kasih, “Aku tahu kalau pekerjaan kamu ini penting sekali.”“Nggak lebih penting dari kamu, Dra&
*Tidur, Bos?" Badi bertanya ketika dia masuk ke kamar Narendra.Dia menunggu jawaban selama beberapa saat. Ketika sudah beberapa menit berlalu dan dia masih belum mendengar jawaban dari majikannya, Badi baru yakin kalau saat ini Narendra sedang dalam pengaruh obat dan terlelap nyenyak. Dia memperhatikan pria itu sesaat sebelum merapikan selimut dan beranjak ke luar kamar.Setelah nyaman duduk di sofa, baru dia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan ke Abimana. Dia berjanji mengabari tangan kanan Narendra setiap satu jam sekali. Begitu juga dengan Agnia.Tidak menunggu lama ponselnya berdering. Sigap dia mengangkat setelah mengecek caller ID."Halo, Pak," suaranya terdengar formal."Badi, bagaimana kabar Narendra?" Walau melalui telepon tapi suara Asija yang berat masih mengintimidasi lawan bicara. Bahkan bagi bodyguard terlatih seperti Badi."Sudah membaik, Pak," dia menjawab cepat."Baiklah. Saya percaya sama kamu. Kalau kondisiny
"Hei..." Agnia meremas tangan Narendra ketika pria itu terlihat mengerjap beberapa kali, "Aku bangunin kamu, ya?""Nggak," pria itu menggelengkan kepala. Dia masih terlihat lemas dan suaranya juga terdengar parau, "Aku capek seharian hanya tidur.""Bagus, dong?" Agnia menyugar rambut kekasihnya, "Kalau lagi sakit itu cuma boleh tidur sama makan.""Hanya itu?" Walau kepalanya masih terasa berat, tetapi dia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menggoda gadis itu."Iya. Kamu mau cepat sembuh nggak?"Narendra tertawa kecil, "Siapa yang suka sakit?""Makanya, jangan bandel. Kamu nggak boleh ngapa-ngapain selain tidur, makan dan minum obat.""Tenang, Badi pengawas yang luar biasa."Dia tidak berbohong. Sepanjang hari bodyguard itu melarang Narendra bangkit dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi. Badi juga selalu mengecek dan memastikan kalau dia tidur sepanjang hari. Tidak hanya itu, setiap jam makan Badi juga akan menungg
“Si Bos udah tidur,” Badi menyapa ketika Agnia kembali ke kontrakan petak Narendra selesai bebersih dan berganti pakaian dengan piyama.“Beneran?” Agnia berjinjit ke kamar kekasihnya kemudian membuka pintu sepelan mungkin. Setelah memastikan kalau Narendra benar-benar sudah tidur, dia kembali ke ruang tengah.“Tidur, kan?”Agnia mengangguk, “Seharian dia nggak ngapa-ngapain, Di?”“Iya. Nggak aku bolehin ngapa-ngapain. Kalau nggak dilarang gitu Si Bos nggak bisa diam.”“Memang orangnya nggak bisa diam, ya? Waktu belum kerja juga kayak ada aja yang dikerjainnya. Nggak cuma duduk-duduk atau apalah.”Badi mengangguk sambil mematikan TV, “Iya. Dari awal kenal udah kayak gitu orangnya. Padahal kalau dia mau bisa aja cuma santai-santai.”“Gitu? Keluarganya kaya banget, ya?” Agnia sengaja bertanya karena dia teringat ponsel mahal yang tersimpan di
“Jadi apa alasan kamu ke sini, Abimana?” Narendra sengaja terlihat tidak sabar, “Pekerjanku masih menumpuk.”“Gaya banget, sih, lo,” Abimana mengacak rambut Narendra. Ini sesuatu yang jarang dilakukan oleh pria itu terhadap sepupunya. Tapi itu sekarang, dulu saat mereka masih kecil, Abimana sering memancing kekesalan sepupunya dengan melakukan itu.“Jadi apa, Abimana?”“Sabar sedikit, Bro,” dia menunjuk Badi yang masuk dengan membawa mangkuk berisi bubur, “Kita ngobrol sambil lo makan. Udah jam makan siang dan obat lo nggak boleh telat.”“Bubur? Boleh tidak aku makan sesuatu yang lain? Nasi Padang misalnya?”“Nggak usah aneh-aneh, Bos,” Badi memberikan mangkuk itu kepada Narendra, “Habisin terus minum obat dan tidur.”“Berani lo perintah-perintah si Narendra?”Badi tertawa, “Cuma sekarang aja beraninya
Di hari ketiga sejak dia sakit barulah Narendra dibolehkan oleh dokter keluarga untuk turun dari tempat tidur. Meski tidak lagi harus makan bubur tetapi dokter keluarganya mewanti-wantu berulang kali kalau pria itu hanya boleh makan makanan yang lembut. Narendra menyambut kenyataan itu dengan keluhan karena dia sudah membayangkan akan menikmati berbagai makanan enak.“Harus nurut, ya,” Agnia melalui video call untuk kesekian kalinya mengingatkan kekasihnya, “Kalau aku tahu kamu makan sembarang atau besok kamu kejar, aku beneran bakalan maarah, lho!”“Iya, Nia,” Narendra mengangguk sambil tertawa kecil, “Aku janji tidak akan melanggar perintah dokter.”“Tumben banget kamu langsung nurut,” gadis itu tertawa.“Bukannya aku selalu menuruti ucapan kamu?” Dia mengernyitkan kening dengan bingung.Tawa Agnia semakin lepas, “Iya, Rendra. Aku itu cuma bercanda tahu!”
"Mana itu Rendra?! Masih sakitnya dia kudengar?! Macam manaaa...kutinggal dinas sebentar tak sembuh-sembuh itu sakitnya dia!" Bang Ucok yang sejak kemarin ke luar kota untuk urusan pekerjaan, dari bandara langsung ke kontrakan petak Narendra."Tidur dia, Bang. Biasa, efek obat," Badi yang kebetulan sedang bersantai di ruang tengah kontrakan petak majikannya yang menjawab."Macam manaaa!!! Sudah sehatnya dia?!" Pria itu menghempaskan tubuh ke sofa yang kebetulan kosong."Lebih baik dari kemarin, lah. Udah nggak pucat lagi. Makannya juga udah nggak harus bubur.""Oh, cocok! Aku sudah belikan martabak buat kita pesta-pesta malam ini."“Siapa yang bawa pesta?” Agnia yang baru keluar dari kamar Narendra langsung bergabung bersama kedua tetanggannya.“Ini lagi satu, pindahnya sudah kau ke sini?”“Nggak, Bang. Aku nemenin Rendra aja, tahu sendiri kalau lagi sakit enaknya ada yang nemenin, kan? Aku juga baru pula