“Bos, aku langsung, ya?” Badi membuka pintu pagar kontrakan petak mereka.
“Tumben. Masih pagi, lho,” Agnia berkomentar sambil tertawa kecil, “Mau teleponan sama Antari, ya? Salam, ya!” gadis itumbai ke arah Badi yang berjalan menuju kontrakan petaknya.
“Memangnya sekarang jam berapa?” Narendra mempererat genggamannya.
“Jam sepuluh, sih. Udah lumayan malam,” Agnia menguap, “Begitu lihat kontrakan baru kerasa kalau aku ternyata ngantuk banget.”
“Kamu sudah ngantuk?” Pria itu mengusap lembut rambut kekasihnya, “Mau tidur?”
“Mandi terus tidur kayaknya. Capek banget,” gadis itu berujar manja.
“Mau aku temani?”
“Apa? Mandi? Jangan macam-macam, ya, Rendra!” Agnia tergelak.
“Maksudku, temani kamu tidur, Nia. Aku sama sekali tidak berpikiran ke sana, ya.”
Tawa Agnia semakin pecah karena e
“Pagi,”Narendra terbangun dengan tangan kiri pegal dan badan kaku karena posisi tidurnya tidak nyaman. Tetapi itu semua menghilang ketika mendengar sapaan Agnia ditemani dengan seulas senyum manis.“Kamu udah bangun?” Narendra bertanya parau sambil menatap sekeliling kamar dengan bingung.Seingatnya semalam dia hanya ingin berbaring sebentar di samping kekasihnya sebelum dia kembali ke kontrakan petak dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Tetapi sepertinya tanpa sadar dia jatuh tertidur. Entah karena terlalu lelah atau karena keberadaan Agnia selalu menghadirkan ketenangan yang sulit untuk dijelaskan.“Udah dari tadi. Aku bahkan udah sempat buatin kita roti bakar, lho,” Agnia mengacak rambut Narendra, “Bangun. Kamu mau mandi atau langsung sarapan?”Narendra menguap lebar, “Aku masih ngantuk. Sekarang jam berapa?”“Hampir jam delapan. Kamu ada janji?”
“Tumben kamu datang pagi banget? Mau antar Tari kerja?” Badi tertawa canggung ketika bapak Antari menyapanya. Pria paruh baya itu sedang asyik mengurus tanaman dan burung-burung hias peliharaannya. Kali ini pria itu ditemani dengan sepiring pisang goreng hangat dan kopi hitam. “Kamu udah sarapan? Kalau belum sekalian aja,” kembali pria itu menyapa Badi dengan ramah, “Tapi, ya, cuma ada pisang goreng. Kamu suka, kan? Enak banget, ini, pisang kepok. Manis.” “Boleh, Pak. Kebetulan saya belum sarapan,” dia menjawab dengan kikuk. “Ya udah, ayo masuk,” pria baruh baya itu mencuci tangan lalu mengibaskan sambil berjalan masuk ke rumah, “Buuu… Ini ada Badi. Katanya mau ikut sarapan!” “Lho, Badi? Pagi banget? Ah, janjian sama Tari?” Lastri tergopoh berjalan dari dapur menuju ruang tengah ketika mendengar nama Badi disebutkan oleh suaminya, “Kamu ngopi? Kalau ngopi biar Ibu buatin. Mau apa?” “Kopi boleh, Bu,” lagi-lagi dia menjawab dengan kikuk.
“Agnia,” Kenny menghampiri Agnia yang sedang duduk di sudut ruangan bersama Reizi dan Berlian. Mereka bertiga sedang membicarakan salah satu adegan sebelum kegiatan reading dimulai.Berbeda dengan Agnia yang masih terlihat rileks walau sempat terkejut ketika namanya dipanggil, Berlian tiba-tiba kaku. Hal yang selalu terjadi setiap kali gadis itu berada di sekitar Kenny. Separah itu trauma yang dialami olehnya.“Iya, Bang?” Agnia bertanya sambil menutup script-nya.“Bisa kita bicara sebentar?”“Oh, boleh,” Agnia bangkit dari duduknya.Setelah berpamitan dengan kedua lawan mainnya, gadis itu langsung mengikuti Kennya keluar ruangan. Sepanjang perjalanan dia merasa kalau seseorang memperhatikannya. Dugaannya benar, ketika dia berbalik, dia melihat Berlihat memperhatikannya dengan pandangan yang…aneh. Ada apa?!“Aku udah ngobrol sama Berlian dan Reizi berapa
“Rendraaa…” begitu sampai di kontrakan petak Narendra, Agnia langsung berlari menuju kekasihnya yang sedang duduk di sofa sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya.Detik ketika Agnia memeluknya, pria itu menghembuskan napas lega karena dia berhasil mematikan layar ponselnya sebelum Agnia memeluknya. Dia tidak ingin membayangkan akan sebanyak apa pertanyaan yang diajukin gadis itu seandainya menemukan Narendra sedang memantau pergerakan saham.“Kamu kenapa?” Narendra mengusap lembut rambut Agnia sebelum menunduk dan menciup kepala kekasihnya, “Capek?”“Bukaan! Aku pengin cerita,” gadis itu langsung melepas pelukan kemudian mencari posisi duduk yang nyaman sambil terus menatap Narendra.“Ada apa? Jangan bilang kejadian seperti dulu terjadi lagi?!”“Bukan, bukan,” dengan heboh Agnia mengibaskan tangan, “Bukan itu. Aku mau cerita kalau tadi aku ditawarin jadi pemeran ut
Malam itu, Agnia mentraktir para tetangganya makan malam di warung nasi bebek langganan mereka. Gadis itu berkata kalau ini dalam rangka berbagi kebahagiaan dan rasa syukur karena untuk pertama kalinya dia mendapatkan tawaran sebagai pemeran utama.Kedua pria tetangganya tentu saja menerima traktiran itu dengan senang hati. Terutama Narendra yang sejak pertama kali mencoba nasi bebek Madura itu langsung ketagihan. Badi senang karena alasan yang berbeda, dia senang karena Agnia memintanya untuk mengajak Antari ikut bergabung bersama mereka.“Bang Ucok masih belum pulang?” Antari mencuci tangan pada mangkuk yang disediakan kemudian mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya.“Belum. Kemarin sempat ngirim pesan, katanya mumpung udah di sana dia sekalian ambil cuti beberapa hari.”“Aku nggak nyangka banget, lho, Bang Ucok sampai senekad itu,” Agnia menyeruput pesanan es jeruknya, “Aku tahu, di antara kita semua itu p
"Mimpi apa gue lo udah ada si kantor sepagi ini?" Abimana terkejut ketika menemukan sepupunya sudah duduk di meja kerja dan menghadap layar laptop dengan muka serius.Narendra hanya sejenak mengalihkan wajah dari layar laptop sebelum kembali menutup menatap laptop."Kamu telat," hanya itu yang diucapkan sebelum pria itu kembali serius."Seriusan, lo kesambet apa gimana, sih?" Dengan santai pria duduk pada salah satu kursi di hadapan meja kerja Narendra."Berisik. Lebih baik kamu buatkan aku kopi atau melakukan sesuatu yang lebih berguna.""Gue penasaran. Kenapa lo Senin pagi udah stand by di kantor? Perasaan kemarin gue nggak teriak-teriakin lo buat datang, deh."Dengan kesal Narendra menutup laptop kemudian menatap sepupunya tajam, "Coffee, please.""Beneran kesambet lo!""Coffee before talk. Urgent.""Takuuut!" Tentu pria itu hanya pura-pura takut. Sambil terkekeh dia berjalan menuju pintu kemudian te
“Ayo,” Bimasakti langsung bangun dari duduknya ketika Narendra memasuki ruangan kerjannya.“Ke mana?” Tentu saja Narendra langsung bertanya karena dalam pikirannya mereka hanya akan makan siang di kantor. Antara di kafetaria atau Bimasakti sudah memesankan makanan untuk mereka.“Lagi pengin makan di Puncak.”“Puncak? Kak Bima serius?!”Keluarga Widjaja memiliki beberapa property di Puncak. Ada satu vila yang letaknya begitu terpencil dan jauh dari keramaian karena Widjaja membeli lahan sangat luas dan hanya membangun sebagian kecil. Sejak dulu Narendra dan Bimasakti sering menghabiskan waktu di sana ketika suntuk dengan kuliah atau tanggung jawab yang mereka emban sejak usia muda.“Lo nggak kangen sama villa kita? Udah lama lo nggak main ke sana.”“Ya, memang sudah lama. Tetapi kalau memang mau berkunjung ke sana bisa lain waktu, Kak.”“Heli udah nunggu di a
“Ma,” Narendra menunduk lalu mencium kedua pipi Reinya, “Maaf agak telat.”Selesai makan siang dan mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkannya dari Bimasakti, Narendra segera kembali ke ibukota. Dalam perjalanan dia bertanya jadwal ibunya dan meminta wanita itu untuk makan malam bersama.Ada hal penting yang ingin dibicarakannya dengan Reinya. Dia ingin memastikan informasi terakhir yang dapat melengkapi puzzle mengenai orang tua Agnia.“It’s okay,” Reinya tersenyum dan menepuk pipi anak kesayangannya, “Mama tahu dari Bimasakti kalau kamu langsung dari vila, kan, ini?”Narendra mengangguk, “Kak Bimasakti masih sama kayak dulu. Impulsifnya nggak ada yang bisa ngalahin.”“Iya,” Renya tertawa, “Mama masih inget gimana paniknya kita waktu kamu sama Calya tiba-tiba hilang. Papa udah mikir macam-macam dan udah siap ngehubungi kenalannya yang petinggi polisi.