“Hng…? Apa aku tertidur?”
Dalam keadaan setengah sadar, sang gadis menyadari bahwa dirinya tertidur saat mengerjakan sebuah proyek penting. Dia melihat sekelilingnya dan semua orang sangat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Berapa lama aku tidur tadi? Gawat! Pekerjaannya belum selesai!”
Dengan cepat ia merapikan rambut dan mejanya supaya terlihat seakan-akan dia tidak tertidur sama sekali. Ia menyalakan drawing tablet yang ada di hadapannya dan mulai membuat beberapa sketsa yang diminta oleh client.
Setelah beberapa lama mengerjakan, ia memutuskan untuk pergi ke café yang terletak di lobby gedung. Gadis ini merasa sangat mengantuk dan segelas kopi latte mungkin bisa membantunya tetap terjaga.
Ia menekan tombol lift dan menunggu lift datang. Selagi menunggu ia melihat ponselnya dan mengecek social medianya. Ada begitu banyak orang yang menyukai karya terbarunya dan juga banyak sekali yang memberikan dukungan pada kolom komentar. Sebuah senyuman terukir di wajahnya setiap ia membaca kata-kata dukungan dari penggemarnya.
Iya, dia adalah seorang bintang di internet, seorang illustrator yang begitu terkenal dan disukai semua orang di dunia maya. Hanya saja dia menyembunyikan identitasnya dan menggunakan nama pena untuk itu. Shiina. Itulah nama yang ia gunakan sebagai penyamarannya di dunia maya.
Pintu lift tiba-tiba terbuka dan di dalamnya ada banyak orang. Gadis itu masuk ke dalam dan turun ke bawah. Setelah tiba di lantai bawah, ia keluar dari lift dan berjalan menuju café itu.
“Selamat siang, Nona!” ujar satpam yang berada di sana.
“Selamat siang, Pak Kim.” balas sang gadis.
Sang gadis tersenyum ramah pada seseorang yang ia panggil ‘Pak Kim’ itu. Beliau memang sudah cukup berumur dan bagi gadis muda sepertinya, sudah seharusnya bersikap sopan dan ramah pada orang yang lebih tua.
Setibanya di café itu, ia membuka pintunya dan masuk ke dalam. Aroma kopi menyeruak dari dalam ruangan itu. Wangi sekali. Ada beberapa orang yang tengah duduk dan menyantap makanan sambil meminum kopi. Ia berjalan menuju kasir dan melihat menu yang terpampang di tembok atas café itu.
“Selamat siang, Nona.”
“Selamat siang. Tolong berikan saya segelas ice Americano dan Pain Au Lait.”
“Semuanya jadi ₩5010.10.”
“Apa bisa menggunakan kartu untuk pembayaran?”
“Nona karyawan disini?”
“Iya benar.”
“Silahkan di tap saja kartunya.”
Gadis itu mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan meletakkan kartu itu di mesin pembayaran. Beep! Bunyi mesin pembayaran itu menandakan bahwa transaksi sukses.
“Terima kasih atas pembayarannya. Boleh saya minta nama anda untuk dipanggil nanti?”
“Yena.”
“Nona Yena. Akan saya panggil nanti apabila pesanan anda sudah siap. Terima kasih.”
Gadis itu, Yena, berjalan menuju tempat pengambilan makanan dan minuman lalu menunggu di sana. Ia melihat sekelilingnya lalu memutuskan untuk memperhatikan barista yang sedang mempersiapkan kopinya. Baginya cara seseorang membuat kopi itu menarik untuk dilihat.
Selagi menunggu samar-samar ia mendengar beberapa orang berbisik-bisik dan ketika ia menoleh, ia mendapati beberapa gadis lain tengah melirik ke arahnya sambil berbisik-bisik. Tatapan mereka, Yena sangat familiar dengan itu. Sudah bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan kenapa mereka bersikap seperti itu. Selama ini rekan kerjanya sangat suka membicarakannya di belakang. Menggosipkan apapun dan membuat rumor yang tidak masuk akal. Yena memilih untuk mengabaikannya.
“Americano untuk Nona Yena?” Panggil Barista itu.
Yena menghampiri sang barista lalu mengambil kopi dan roti yang ia pesan. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih dan tersenyum ramah padanya. Yena keluar dari café itu dan kembali ke lantai atas tempat ia bekerja.
Ketika pintu lift terbuka, atasannya sudah menanti di depan mejanya dengan raut wajah kesal. Pria itu terlihat sangat marah dan Yena dibuat bingung karenanya.
“Yoon Yena!”
Yena yang kebingungan menghampiri atasannya.
“Ikut aku ke ruanganku, sekarang!”
Yena mengikuti atasannya menuju ruangan yang dimaksud. Ia membuka pintunya dan meminta izin untuk masuk dengan sopan. Setelah di dalam, ia duduk di hadapan atasannya.
“Yoon Yena! Kamu memang tidak mampu melakukan apapun!”
“A-Apa maksudnya?”
“Proyek untuk Studio Charise!”
“Ada apa dengan itu? Aku sudah menyelesaikannya.”
Atasannya beranjak dari kursinya lalu mengambil sebuah berkas dan melemparkan berkas itu di atas meja. Yena membuka berkas itu dan melihat hasil karyanya dan saat ia melihat dengan lebih teliti, di bagian bawah tertera nama pembuat karya itu. Tapi nama yang ada di sana bukanlah namanya melainkan nama rekan kerjanya.
“Shin-A… Dia mencuri karyaku!”
“Tidak mungkin. Shin-A lah yang mengerjakan dan memberikan hasilnya padaku. Bukan kamu!”
Shin-A. Wanita yang selalu berusaha untuk menyingkirkannya dari perusahaan tempat mereka bekerja. Ia selalu menghalalkan segala cara untuk bisa membuat Yena terpuruk.
“Pasti ada yang salah. Saya adalah pembuat karya ini, bukan Shin-A!”
“Apa kamu buta? Sudah jelas disitu tertera nama Shin-A, bukan Yoon Yena.”
“Apa anda lupa, pak? Anda menyerahkan proyek itu pada saya bulan lalu. Bahkan anda yang meminta saya untuk mengerjakan semua proyek Studio Charise di masa depan.”
Atasannya terdiam sejenak. Yena merasa sepertinya sang atasan mulai teringat sesuatu.
“Saya tidak pernah sekali pun memberikan proyek besar seperti itu padamu, Yena. Shin-A lah orang yang bertanggung jawab untuk itu. Kesimpulannya, kamu mencoba mencuri pekerjaan Shin-A, Yena.”
Jawaban atasannya sangatlah mengejutkan Yena. Yena sudah memberikan penjelasan sejelas-jelasnya dan atasannya malah menuduhnya sebagai pencuri. Sungguh tidak dapat dipercaya. Seketika Yena merasa bahwa semua orang di kantornya membencinya.
“Oh ya, Yena. Aku dengar katanya kamu adalah anak dari ‘Sang Pelukis’ bukan?”
“Apa?! B-Bagaimana bisa?!”
“Sungguh disayangkan apa bila rumor itu benar. Anak dari ‘Sang Pelukis’ ternyata adalah seorang pencuri. Ini akan jadi sebuah berita besar!” cemooh atasannya.
“Pria ini!”
“Bahkan untuk membuat sebuah karya saja tidak mampu! Sepertinya mempekerjakanmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan.”
Yena mengepalkan tangannya, menahan amarah yang tidak terbendung.
“Untungnya, aku sangatlah baik dan murah hati. Aku beri kesempatan untuk memperbaiki ini. Kerjakan sebuah ilustrasi baru yang jauh berbeda dari yang telah Shin-A kerjakan. Kamu punya waktu 1 minggu untuk mengerjakannya. Kalau gagal, tinggalkan tempat ini. Sekarang, keluar dari ruanganku!”
Tanpa mengatakan apapun, Yena pergi keluar dari atasannya yang sungguh menyebalkan. Saat ia keluar dari ruangan itu, semua tatapan rekan kerjanya tertuju pada dirinya. Sebagian ada yang saling berbisik, sebagian ada yang menatapnya dengan sinis. Yena berusaha mengabaikan mereka semua dan kembali ke mejanya.
“Aku harus membuktikan kalau aku bisa dan Shin-A tidak akan bisa semudah itu memanipulasi semua orang!”
Yena mengambil drawing tablet miliknya dan mulai membuat sebuah sketsa baru yang jauh berbeda dari yang awalnya ia kerjakan.
“Yena!” panggil seseorang.
Suara itu, suara seseorang yang sangat tidak ingin Yena temui. Bahkan ia tidak ingin melihat mukanya. Derap langkah sepatu heels terdengar semakin dekat dan dekat. Hanya ada satu orang di kantor itu yang memiliki bunyi langkah sepatu seperti itu.
“Apa kamu baik-baik saja? Aku lihat kamu keluar dari ruang atasan tadi, apa dia memarahimu?”
Yena yang sedang sibuk membuat sketsa mendongak dan melihat wajah seseorang yang sangat tidak ingin dia lihat. Min Shin-A. Wanita berambut pirang yang tentunya sangat bermuka dua di hadapan Yena. Yena sangat mengetahui bagaimana sifat asli dari perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Dialah sumber dari segala rumor yang tersebar di kantor.
“Shin-A? Tolong tinggalkan aku sendirian. Aku tidak punya waktu untuk mengobrol dengan siapapun.”
“Oh? Sayang sekali, padahal aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Aku dengar beberapa pegawai membicarakan tentang keluargamu…”
Tangan Yena yang sejak awal sedang sibuk membuat sketsa seketika berhenti. Ia menatap Shin-A dengan penuh ketidakpercayaan akan apa yang baru saja ia dengar. Keluarganya? Apa semua orang di kantor ini mengetahui akan rahasianya?
Yoon Yena, 24 tahun. Menyimpan sebuah rahasia yang sudah ia sembunyikan sejak menginjak bangku kuliah dan tidak pernah ada seorang pun yang ia ceritakan bahkan ketika ia memiliki seorang sahabat. Ia adalah seorang putri tunggal dari seorang seniman yang sangat terkenal bahkan karyanya sudah dipajang di berbagai museum di dunia. Hanya saja baginya menjadi putri seseorang yang begitu terkenal tidaklah menyenangkan. Apabila dirinya tidak mampu membuat sebuah karya seperti ayahnya, orang-orang akan mencibirnya sehingga saat dirinya masuk kuliah, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan tinggal sendiri.
Tapi tiba-tiba saja banyak orang mengetahui rahasia itu. Yena sangat bertanya-tanya bagaimana bisa rahasia itu terkuak dan siapa orang yang pertama menyebarkan rahasia itu. Yena berusaha tetap tenang, ia menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab Shin-A.
“Shin-A? Aku tidak tahu apa yang kamu dengar tapi yang jelas aku sedang ada pekerjaan yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Akan lebih baik jika kamu kembali ke tempatmu dan menyelesaikan pekerjaanmu juga.”
Mendengar jawaban itu ekspresi Shin-A berubah. Pada awalnya ia berniat untuk mempermalukan Yena tetapi jawaban Yena sangat tidak terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi, Shin-A pergi meninggalkan Yena dengan ekspresi penuh kekesalan.
“Sudahlah. Lupakan hal itu, kembali fokus mengerjakan ini atau kamu akan dipecat, Yena!”
Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari balik tas miliknya. Yena sangat terkejut dan sesegera mungkin ia menjawab telepon tersebut.
“Yena!”
“Ji-Ah?”
“Iya! Ini aku, Ji-Ah! Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?”
“Sangatlah baik. Omong-omong, apa malam ini kamu sibuk?”
“Entahlah, bisa jadi aku sibuk bisa juga tidak. Kenapa?”
“Aku ingin mengundangmu ke acara makan malam di restoran Korean BBQ dengan teman-teman SMA kita dulu. Kalau kamu tidak sibuk, kamu bisa datang dan makan malam bersama kami. Akan aku kirimkan alamat restorannya.”
Yena terdiam beberapa saat, memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Hari itu sudah cukup buruk baginya, tidak ada salahnya apabila ia menyempatkan waktu untuk mengistirahatkan pikiran dan bersenang-senang.
“Ji-Ah?”
“Hm?”
“Aku akan datang nanti malam.”
“Benarkah?! Senangnya! Setelah telepon ini aku akan langsung mengirimkan alamatnya padamu.”
“Terima kasih, Ji-Ah.”
“Sampai nanti malam, Yena!”
Telepon pun dimatikan dan benar saja beberapa saat kemudian ada pesan masuk dari Ji-Ah yang berisikan alamat restoran korea tersebut.
Jam kantor tiba-tiba berbunyi menandakan bahwa sudah waktunya pulang. Yena merapihkan barang-barang di mejanya dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera pulang untuk bersiap-siap.
Malam itu setibanya di restoran korea, Yena langsung disambut oleh Ji-Ah yang telah menunggunya sedari awal. Ji-Ah terlihat begitu senang melihat Yena dan langsung memeluknya dengan hangat.
“Yena!”
Yena membalas pelukan temannya itu dan tersenyum hangat padanya.
“Aku sangat senang kamu bisa datang! Ayo masuk ke dalam, semuanya sudah menunggu.”
Ji-Ah membimbing Yena menuju ruangan tempat teman-temannya yang lain telah menunggu. Semuanya menyambut kedatangan Yena dengan penuh kebahagiaan. Di antara teman-temannya, ada seseorang yang menarik perhatiannya. Dia adalah cinta pertama Yena saat ia menginjak bangku SMA dan hingga sekarang ia masih belum bisa melupakannya.
“Hyun-Jung…”
“Oh? Yena! Malam! Apa kabar?”
“B-Baik… Kamu?” Wajah Yena sedikit merona.
“Sangatlah baik. Silahkan duduk di bangku yang masih kosong.”
Yena melihat sekelilingnya dan melihat sebuah bangku yang masih kosong persis di sebelah Hyun-Jung. Ia kemudian bertanya sambil menunjuk bangku itu.
“Maaf, apa bangku itu kosong?”
“Bangku itu milik kekasih Hyun-Jung, duduklah disini.” Ucap salah satu dari temannya sambil menunjuk bangku yang ada di sebelahnya.
“Kekasih? Hyun-Jung sudah memiliki kekasih?”
Tanpa berkata apa-apa, Yena duduk di bangku itu sambil tersenyum canggung pada orang yang duduk di sebelahnya. Ia melihat sekitar, mencari-cari dimana Ji-Ah berada sampai akhirnya ia melihat Ji-Ah yang sedang berjalan kembali ke ruangan itu. Ji-Ah melambai ke arah Yena dan Yena berharap ia akan duduk di dekatnya sehingga Yena tidak merasa canggung.
Tapi harapannya harus hancur ketika ia melihat Ji-Ah duduk di sebelah Hyun-Jung lalu Hyun-Jung merangkul Ji-Ah dengan mesra. Betapa sakitnya hati Yena melihat hal itu terlebih lagi karena baginya Ji-Ah adalah teman yang baik. Tidak ada hal lain yang ingin ia lakukan selain pulang.
Setelah menghabiskan waktu 15 menit berada di ruangan itu, Yena sudah tidak tahan lagi dan meminta izin untuk pulang dahulu karena merasa tidak enak badan. Mendengar itu Ji-Ah segera bangkit dan mengantarnya sampai keluar.
“Yena, apa kamu mau ditemani ke dokter?”
“Tidak perlu. Nanti yang lain mencarimu kalau kamu pergi. Aku bisa pergi sendiri.”
“Hubungi aku nanti kalau kamu sudah sampai rumah, ya?”
“Iya.”
Ji-Ah memeluk Yena tapi Yena sangat tidak ingin membalas pelukan itu. Kemudian setelah melihat Ji-Ah kembali masuk, ia pun memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya dan sialnya bagi Yena, malam itu ia tidak membawa payung sama sekali. Mau tidak mau ia berjalan menerobos hujan untuk kembali pulang ke tempat tinggalnya.
Selagi berjalan, tiba-tiba ponselnya berdering dan saat ia melihat siapa yang meneleponnya, raut wajahnya seketika berubah.
“Halo?”
“Yena!”
“Ibu…”
“Besok pulang ke rumah.”
“Besok? Ada apa memangnya?”
“Besok adalah hari dimana kamu harus bertemu dengan tunanganmu.”
“Tunangan? Apa yang ibu bicarakan?”
“Jangan banyak tanya pokoknya kalau kamu besok tidak pulang, kamu tidak akan boleh pulang untuk selamanya.”
“Satu pertanyaan saja. Siapa tunanganku?”
“Putra dari pemilik Galeri Seni Dawoon, Kim Hyun-Jung.”
Nama yang sangat familiar di telinga Yena. Nama yang ingin ia hilangkan dari pikiran dan memorinya. Nama yang sudah membuat hatinya hancur.
“Lupakan ibu, aku tidak akan pulang dan atas dasar apa kalian mengadakan pertunangan dan menentukan siapa calon suamiku.”
Sebelum berkata apa-apa lagi, Yena mematikan teleponnya. Ia tidak ingin mendengar perkataan ibunya yang akan terus memarahinya. Tidak sampai semenit kemudian teleponnya kembali berdering. Kali ini nama atasannya tertera di layer ponselnya.
“Malam…”
“Yena! Aku punya kabar baik untukmu.”
“Kabar baik? Apa itu?”
“Mulai besok, kamu datang ke kantor, ambil kotak yang ada di gudang dan rapikan barang-barangmu.”
“Eh? Apa?”
“Kamu dengar aku? Sudah aku matikan.”
Telepon terputus dan Yena benar-benar merasa hari itu adalah hari tersialnya. Cinta gagal ia dapatkan, kehilangan pekerjaan, rahasianya terbongkar. Sebuah paket lengkap dari kehancuran hidup seseorang. Pikiran Yena kosong, ia hanya menatap ke langit dengan tatapan kosong selagi air hujan membasahi wajahnya.
Tidak ada yang ingin ia lakukan lagi selain mencoba menyingkirkan seluruh rasa sedih, kecewa dan kekesalannya dengan alkohol. Di seberang jalan ada sebuah bar dan tidak ada tempat lain yang ingin ia kunjungi sekarang selain bar itu. Yena melihat jalanan dan malam itu jalanan sangat sepi. Yena menyeberang jalan dengan tidak bersemangat sampai tiba-tiba dari sudut matanya, ia melihat sebuah cahaya yang menyilaukan dan semuanya menjadi gelap.
Saat Yena membuka matanya, ada genangan merah di hadapannya dan ia menyadari bahwa itu adalah darahnya tetapi tidak ada hal yang bisa ia lakukan. Bahkan untuk bersuara meminta pertolongan pun ia tidak sanggup.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang dan suara seorang pria yang berbicara padanya.
“Yoon Yena, umur 24 tahun.”
“Penyebab kematian, tabrak lari.”
“T-Tapi aku belum mati!”
“Sayang sekali umurmu sangatlah pendek. Nona, aku tahu rasanya sangatlah sakit dan yang ada dipikiranmu hanyalah ‘bawa saja aku!’ tapi karena aku murah hati, aku berikan sebuah penawaran yang sangat menarik.”
Yena yang sekarat tidak bisa menjawab. Pria itu kemudian berjongkok dan mengulurkan tangannya pada Yena.
“Kesempatan kedua untuk hidup atau kematian saat ini. Kalau kamu memilih untuk kesempatan kedua, terima uluran tanganku.”
“Belum saatnya bagiku untuk menghadapi kematian. Masih begitu banyak hal yang ingin aku lakukan di dunia ini.”
Tanpa berpikir apapun lagi, terlebih lagi karena rasa sakit yang sangat hebat, dengan sekuat tenaga terakhirnya, Yena menerima uluran tangan pria itu dan seketika semuanya menjadi gelap selagi ia menutup mata untuk terakhir kalinya.
“Nona?”
Yena mendengar suara seseorang yang memanggilnya tetapi matanya terasa berat sehingga ia memutuskan untuk mengabaikan suara itu.
“Nona!”
Kali ini ada seseorang yang mengguncang-guncangkan tubuhnya dan ia tidak bisa mengabaikannya. Yena membuka matanya dan melihat seseorang dalam balutan pakaian pelayan sedang melihatnya dengan tatapan khawatir.
“Akhirnya anda bangun juga.”
“Hm? Ada apa ini? Aku ada dimana?”
“Putri, ayo bangun, jangan tidur disini.”
“Putri? Eh? Siapa putri?”
Seketika matanya terbuka dengan lebar dan ia merasa sepertinya gadis di hadapannya salah memanggil orang.
“Maaf, sepertinya kamu salah orang.”
“Um… saya tidak mungkin salah orang, nona. Hanya ada satu Putri Camille di keluarga ini dan itu adalah nona sendiri.”
EH? Camille? Siapa itu? Sebuah nama yang sangat tidak ia kenal, bahkan sangat tidak familiar di telinganya. Dia mulai merasa dirinya sepertinya berada di tempat yang salah. Yena melihat ke sekelilingnya. Di dalam ruangan itu ada sebuah cermin besar yang mengarah ke Kasur. Yena berjalan menghampiri cermin itu dan saat ia melihat pantulan dirinya ia melihat seorang gadis cantik berambut pirang dengan mata berwarna merah muda yang sangat indah.
“S-Siapa?! Aku di tubuh siapa?! Aku ada dimana?!”
“Ehh?!” Yena atau yang sekarang dikenal dengan nama Camille terpaku pada cermin yang ada di hadapannya. Ada begitu banyak pertanyaan muncul di benaknya terlebih lagi setelah melihat tubuhnya yang bukan miliknya. Sejak kapan ia memiliki rambut berwarna pirang dan panjang? Pasti ini adalah mimpi yang terasa sangat nyata. “Aku pasti sedang bermimpi, Ayo, Yena, saatnya untuk bangun!” Camille memejamkan mata lalu mencubit pipinya sendiri dan ia merasakan sakit. Ini bukanlah mimpi. Sekali lagi ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi padanya dan bagaimana dia bisa berada di tempat ini, terlebih lagi di tubuh orang lain. “Nona?” Panggil sang pelayan. Camille menoleh ke arah pelayan yang sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Apa nona baik-baik saja? Sepertinya nona butuh obat? Akan saya ambilkan obat untuk nona. Saya pamit dulu.” Ucap sang pelayan dan ia pun pergi meninggalkan ruangan kamar itu. Camille terduduk di kursi yang ada di ruanga
Mata Camille terbelalak melihat penampilan Allen. Ia berusaha untuk tidak berteriak sama sekali. Tangan Allen dengan lembut menggenggamnya, ia memberikan tatapan yang menenangkan. “Allen… Kamu… memiliki tanduk?” Penampilan Allen berubah dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Di atas kepalanya, menjulang sepasang tanduk berwarna hitam dan merah pada ujungnya. Pakaian yang ia kenakan berubah menjadi jubah berwarna merah yang berapi-api dengan dalaman berupa jas berwarna hitam dengan sentuhan merah pada ujung pakaiannya. “Camille. Jangan takut…” Camille menggelengkan kepalanya dan berusaha menenangkan diri. Pria yang di hadapannya berubah menjadi seseorang bertanduk dengan pakaian yang berapi-api. Tidak ada manusia di dunia ini yang memiliki penampilan seperti itu. “Aku adalah Pangeran Iblis. Tapi aku tidak seperti yang kamu bayangkan.” “B-Bagaimana bisa kamu ada disini?” “Sama sepertimu, aku masuk ke dalam fisik seseorang di kerajaan ini dan orang terpilih itu adalah sang Panger
“Camille!” Camille menoleh dan melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita berpenampilan mewah terlihat berjalan ke arahnya. Dari cara berpakaian dan caranya bersikap, Camille dapat menilai bahwa wanita itu adalah istri dari Duke. Di belakang wanita itu ada beberapa pelayan yang berjalan mengikutinya. “Istri Duke? Dia terlihat sangat marah… Ada apa?” Wanita itu berhenti di hadapan Camille dan Ashe, ia menatap Camille dengan penuh amarah. Tapi saat ia melihat Ashe, tatapannya melunak dan seketika ia menunduk untuk memberi hormat. “Salam, Yang Mulia. Apa putri saya merepotkan anda sampai anda harus mengantarnya pulang ke kediaman Duke Kranz? Saya akan menasehatinya jika memang itu yang terjadi. Maafkan putri saya, Yang Mulia.” “Hm? Dia tidak melakukan kesalahan apapun, Nyonya. Memang itu adalah tanggung jawab saya untuk mengantar seorang gadis, terlebih lagi gadis seorang Duke yang begitu berpengaruh untuk pulang ke rumahnya.” “Terima kasih yang sebesar-besarnya, Yang Mulia. Say
“Camille! Apa kamu sudah gila?” Camille begitu terkejut melihat Allen yang berada di hadapannya, menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “A-Allen?!” Camille melirik ke bawah dan melihat dirinya melayang di atas permukaan tanah dan perlahan semakin menjauh dari permukaan tanah. “Allen? Kenapa kita semakin naik?” Saat Camille bertanya, Camille melihat di belakang Allen ada sebuah sayap berwarna hitam yang sangat indah. Jemari Camille bergerak untuk menyentuhnya, tatapannya bertemu dengan Allen dan Allen mengangguk seakan-akan memberikan Camille izin untuk menyentuh sayapnya. Camille menyentuh sayap Allen dan sayap itu terasa sangat lembut. Ia tidak menyangka sayap seorang iblis ternyata begitu lembut dan halus. “Camille.” panggil Allen. Suaranya menyadarkan Camille yang sedang terpesona akan sayap Allen. Ekspresi khawatir itu masih terlukis di wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membahayakan dirimu sendiri?” “A-Aku…” “Sebentar, biar aku turunkan kamu dulu” Menden
“Camille!!!” Anna berteriak memanggil nama Camille dan ia mendapati Camille sedang duduk di atas kasurnya, sedang menatap ke arah sang nyonya besar dengan terkejut. “Oh…” Anna langsung berbalik badan dan mendaratkan sebuah tamparan keras di wajah salah satu penjaga yang ada di depan kamarnya. “Kamu! Jelas-jelas dia ada di kamar!” “T-Tapi Nyonya Besar, saya tidak mungkin salah mendengar! Saya dengar suara pecahan kaca dan suara seseorang lain!” “Mungkin itu hanya halusinasimu saja!” Camille hanya memperhatikan Anna yang terlihat sangat marah. Kemudian Anna tanpa disangka-sangka menghampiri Camille dan menatapnya dengan wajah penuh amarah. “Dengarkan aku baik-baik, gadis sialan. Sekali saja kamu berani melanggar perintahku terlebih lagi kabur dari rumah ini, lihat saja akibatnya.” Setelah berkata seperti itu, Anna pergi meninggalkan kamar Camille. Selagi keluar ia juga membanting pintunya dengan keras. Camille menghela nafas sambil turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju
“Permisi…” Camille menoleh dan alangkah terkejutnya ia mendapati kedua pangeran berdiri di sana sambil mengulurkan tangan padanya. Terdengar bisik-bisik dari para tamu undangan lain dan kerumunan para gadis menatapnya dengan tatapan penuh kekesalan karena para pangeran tidak memilih salah satu dari mereka. “Nona Camille, maukah kamu berdansa denganku?” tanya Allen. “Nona Camille, berdansalah denganku.” ucap Ashe. Bahkan Cordelia yang berada di sebelahnya terkejut melihat pemandangan itu. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Camille memandang ke arah kedua pangeran dan tanpa ragu meraih tangan Allen sambil tersenyum. Sebuah senyuman bahagia terukir di wajah Allen dan Ashe terlihat murung. Allen membimbing Camille ke lantai dansa dan berbisik padanya. “Terima kasih sudah memilihku.” Alunan musik memenuhi ruangan, Allen dan Camille mulai berdansa. Selagi berdansa, ia melihat Anna dengan tatapan penuh kemarahan. Di sisi lain, ia melihat Cordelia dan Ashe berjalan ke l
“Ada tubuh di saluran irigasi?”Para tamu undangan saling berbisik satu sama lain. Raja memberi sinyal pada para penjaga untuk maju kemudian raja turun dan menghampiri pria itu lalu berbisik padanya.“Mari kita bicarakan di tempat yang lebih tepat.”Pria itu berdiri mengikuti raja yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan ruangan diikuti para penjaga di barisan belakang. Setelah raja pergi, para tamu undangan masih tetap berbicara satu sama lain mengenai berita tersebut. Di sisi lain, Camille mencari dimana Allen berada dan Camille melihat Allen yang tengah berdiri di sudut ruangan. Camille bergegas berlari menuju Allen namun langkahnya terhalang oleh ayahnya sendiri, sang Duke.
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.
Anna melirik ke arah Camille dan dengan penuh amarah, ia menganggukkan kepala kepada kedua pengawal, memberi sinyal pada mereka untuk melepaskan Camille. Kedua orang itu melepaskan Camille dengan kasar. “Bersyukurlah karena sang tuan besar telah kembali!” Anna menghentakkan kaki keluar dari ruangan itu diikuti dengan kedua pengawalnya. Camille yang terduduk di lantai memegangi kedua tangannya yang terasa sakit sebelum akhirnya ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Gadis itu berlari menuju ruangan tempat sang duke berada. “Papa?” panggil Camille dari balik pintu. Pintu itu terbuka dan Duke Kranz terlihat terkejut melihat penampilan putrinya. “Astaga! Putriku! Apa yang terjadi padamu?” Belum sempat Camille menjawab, tiba-tiba dari belakangnya Anna menghampirinya dan memegang bahu Camille. “Camille! Kenapa kamu lari begitu saja? Aku sedang mengobati luka-lukamu dan kamu langsung pergi begitu saja!” “Luka-luka? Apa yang terjadi pada putriku, Anna?” tanya Duke Kranz deng
Camille berjalan kembali ke kediaman Kranz sendirian. Sepanjang perjalanan, ia tidak henti-hentinya memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Allen dan ia hanya bisa berharap bahwa Allen tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.Setibanya di kediaman Kranz, Anna terlihat sudah menunggunya sambil memegang sebuah kipas kecil di tangannya. Ekspresinya terlihat datar dan tidak menunjukkan emosi apapun.“Nyonya…”“Bagus sekali, Camille Kranz.”Anna membuat sebuah gestur dan dari belakangnya muncul dua orang pengawal berbadan besar yang langsung menariknya dengan kasar ke dalam sebuah ruangan.“Lep
“Aku sungguh tidak menyangka akan menemukanmu disini bersama dengan pedang mulia, Celeste… Seth.” Allen berbalik badan dan di hadapannya berdiri seseorang yang sangat familiar baik di kehidupan ini mau pun di kehidupannya yang asli. "Ashe… bagaimana bisa…" "Apa kamu sungguh tidak ingat? Ketika pedang terkutukmu itu bertemu dengan pedang surgawi?" Seketika layaknya sebuah film yang diputar ulang, bayang-bayang masa lalu terulang di dalam kepala Allen atau saat ini adalah Seth. "Kamu…" Kala itu, langit berwarna merah dan ada begitu banyak bala tentara surgawi dan dunia bawah tengah berperang dalam perang terbesar yang ada dalam sejarah para malaikat dan iblis. Seth yang saat itu memimpin pasukan melaju dengan kendaraannya yang membara menerobos pasukan yang ada dan tujuannya hanyalah satu. Pemimpin dari pasukan malaikat, Nathanael. Sang malaikat tengah berdiri di atas kendaraannya dengan pedang yang diarahkan ke arah Seth. "Seth Morningstar." bisik Nathanael. Dalam sekejap, peda
“Silvie Bastien, istri dari Thomas Bastien adalah seorang penyihir. Lebih tepatnya ia memiliki darah penyihir dalam tubuhnya yang membuatnya dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa.”Sebuah jawaban yang telah dinantikan oleh Camille akhirnya terjawab. Ternyata itulah alasan mengapa Silvie Bastien atau Duchess Bastien bisa melihat Yoon Yena yang berada di dalam tubuh Camille Kranz.“Sekarang semuanya terjawab.”“Silvie Bastien telah melakukan sebuah hal yang fatal. Lyenna… Putriku tersayang… Harus kehilangan nyawanya demi ‘tumbal’ yang Silvie butuhkan demi mencegah datangnya kehancuran…”
"Duchess Bastien dilukai seseorang!" teriak salah seorang yang sedang berlari-lari."Kami sedang mengejar pelakunya"Raut wajah Camille memucat. Ia ingat bahwa ayahnya ada bersama dengan Duchess Bastien."Bawa aku ke sana!" perintah Camille.Orang itu menganggukkan kepala dan bersama dengan Allen, ketiganya berlari ke tempat kejadian. Tetapi Camille menyadari bahwa mereka berjalan menuju sebuah rumah yang berbeda. Tempat itu besar dan terlihat seperti sebuah mansion."Kediaman Bastien." bisik Allen.Mansion itu sangat besar dan bisa dibilang lebih besar dari kedi
“Nona Camille Kranz… Kamu bukan berasal dari sini.”Camille terkejut dan mundur selangkah setelah mendengar omongan Duchess Bastien.“A-Apa? Darimana dia tahu?”Duchess Bastien menatap Camille lekat-lekat dan terus memandangi wajahnya. Hal itu membuat Camille tidak nyaman“D-Duchess Bastien…”“Oh? Maaf. Sepertinya aku membuatmu sangat tidak nyaman.”“Tidak apa-apa… Kenapa anda bilang saya bukan berasal dari sini? S-Saya adalah seorang putri dari keluarga Kranz dan saya lahir disin
“Hentikan semua ini!”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang kerumunan orang itu. Kerumunan itu terbuka dan Ashe berjalan ke arah Duke Kranz dan kedua perempuan itu diikuti oleh seorang pria yang ternyata adalah sang raja dan di belakang mereka ada beberapa pasukan kerajaan yang ikut untuk mengawal. Semua orang seketika tunduk dan memberi hormat pada Ashe dan pria itu.“Yang Mulia Raja dan Pangeran Ashe!”Bisikan-bisikan terdengar dari antara kerumunan.“Apa ini?”“Siapa yang memberitahu keluarga kerajaan?”
“Aku dengar Duke Bastien ditemukan di saluran irigasi dengan keadaan yang sangat menyedihkan.” Camille dan Allen mengendap-endap ke dekat kedua orang itu untuk menguping. Di taman itu ada banyak semak belukar dan sepertinya taman itu memang jarang didatangi orang. Keduanya bersembunyi di balik sebuah semak-semak. “Benarkah? Pantas saja di malam kejadian, aku melihat beberapa orang berjalan menuju saluran irigasi.” “Apa? Kamu ada di sana?” “Benar sekali! Aku baru saja pulang dari kebunku dan kebetulan sore itu aku lewat daerah sana. Aku melihat beberapa orang tengah berjalan ke arah saluran irigasi.” “Apa kamu melihat wajah mereka?” “Tidak. Hari itu sudah mulai gelap dan di saluran irigasi juga sangat gelap. Tapi aku ingat sekali aku melihat ada empat orang yang ada di sana.” “APA?! Jadi Duke Bastien dibunuh oleh tiga orang?!” “Sstt! Pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang mendengar?!” “Bukankah seharusnya kamu lapor pada kerajaan?” “Aku tidak mau.” “Hah? Kenap
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.