“Camille!”
Camille menoleh dan melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita berpenampilan mewah terlihat berjalan ke arahnya. Dari cara berpakaian dan caranya bersikap, Camille dapat menilai bahwa wanita itu adalah istri dari Duke. Di belakang wanita itu ada beberapa pelayan yang berjalan mengikutinya.
“Istri Duke? Dia terlihat sangat marah… Ada apa?”
Wanita itu berhenti di hadapan Camille dan Ashe, ia menatap Camille dengan penuh amarah. Tapi saat ia melihat Ashe, tatapannya melunak dan seketika ia menunduk untuk memberi hormat.
“Salam, Yang Mulia. Apa putri saya merepotkan anda sampai anda harus mengantarnya pulang ke kediaman Duke Kranz? Saya akan menasehatinya jika memang itu yang terjadi. Maafkan putri saya, Yang Mulia.”
“Hm? Dia tidak melakukan kesalahan apapun, Nyonya. Memang itu adalah tanggung jawab saya untuk mengantar seorang gadis, terlebih lagi gadis seorang Duke yang begitu berpengaruh untuk pulang ke rumahnya.”
“Terima kasih yang sebesar-besarnya, Yang Mulia. Saya sangat berterima kasih. Camille! Jangan lupa ucapkan terima kasih pada Yang Mulia.”
“Terima kasih, Yang Mulia.” ujar Camille sambil membungkukkan badannya.
“Bukan masalah, Nyonya dan Nona Kranz. Kalau begitu saya izin pamit terlebih dulu.”
Camille dan istri Duke memberi hormat pada sang Pangern sebelum Ashe kembali menaiki kuda dan memacu kudanya kembali ke ibu kota. Setelah Ashe pergi, ibunya menatapnya dengan tajam.
“Ke dalam. Sekarang!”
Dua orang pelayan menahan tangannya dan membawanya masuk sampai ke sebuah ruangan yang terlihat seperti ruangan kerja. Di dalam ruangan itu, sang Nyonya Kranz berdiri di belakang meja sambil menatap keluar jendela.
“Nyonya Anna.”
Anna Kranz. Istri dari Duke Kranz. Baru kali ini ia melihat wajah istri dari kepala keluarga itu. Kedua pelayannya mendudukkan Camille di salah satu kursi yang ada di ruangan dan Anna menghampirinya.
“Katakan apa yang terjadi sampai kamu bisa bersama dengan pangeran?”
“Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan ia memaksa untuk mengantarkanku pulang meskipun aku sudah menolaknya dengan mengatakan kalau aku bisa pulang sendiri.”
“Kapan kamu pergi ke kota? Kenapa kamu tidak mengatakan sepatah kata pun padaku?”
“M-Maaf…”
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Camille. Camille begitu terkejut dengan tamparan dari Anna. Sambil menahan rasa sakit, Camille memegang pipinya sendiri yang terasa panas dan perih. Ia melirik Anna yang sedang memelototinya.
“Bersyukurlah karena aku sedang bermurah hati.”
“Bermurah hati? Seperti ini disebut bermurah hati?”
Pipi Camille masih terasa sakit akibat dari tamparan itu.
“Sekarang, dengarkan aku baik-baik, gadis sialan.” ucap Anna sambil memegang dagu Camille dan menatapnya. “Jangan pernah terlibat hal apapun dengan para pangeran, terlebih lagi kalau aku melihatmu seperti tadi.”
Kemudian Anna mendekat ke telinga Camille dan berbisik padanya. “Karena apa yang terjadi di masa lalu akan terulang kalau kamu berani melanggar perintahku.”
“Sesuatu di masa lalu? Apa yang pernah terjadi pada Camille? Kenapa Anna begitu membencinya?”
Anna melambaikan tangannya pada para pelayan, “Bawa dia kembali ke kamarnya.”
“Baik, Nyonya.”
Camille kehabisan kata-kata, dia sungguh tidak tahu harus berkata apa untuk menghadapi Anna. Camille tidak bisa memberontak mengetahui bahwa Anna dapat melakukan apapun. Ia harus mempelajari mengenai kehidupan Camille dan keluarga Kranz sebelum dapat bertindak. Dengan pasrah, Camille dibawa menuju kamarnya dan pintu kamarnya langsung dikunci dari luar ketika ia sudah berada di dalam.
Camille masih terkejut dengan sikap Anna yang begitu kasar padanya. Camille menoleh ke luar jendela kamarnya dan matahari masih bersinar dengan terang. Ia mencoba untuk membuka jendela kamarnya tetapi jendelanya tidak dapat dibuka.
“Apa? Bahkan ia mengunci jendela kamarku? Luar biasa!”
Camille tidak menyangka Anna akan berbuat sejauh itu. Tidak ada jalan keluar selain menunggu hingga waktu yang tepat. Sambil menghabiskan waktu, Camille memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kehidupannya sebelum Yena masuk ke tubuh Camille.
Ia membuka setiap lemari yang ada di kamar Camille, mengambil semua dokumen-dokumen, melihat setiap album foto yang Camille simpan di dalam lemari sampai akhirnya ia melihat sebuah buku berwarna coklat tua dengan sampul yang dikunci di dalam salah satu laci di kamar itu. Di samping buku itu ada sebuah kotak kecil yang juga dikunci. Camille mencari-cari dimana kuncinya dan selagi mencari ia melihat bentuk dari lubang kuncinya untuk memudahkan Camille untuk mencari kuncinya.
“Lubang kuncinya berbentuk bunga? Uniknya.”
Camille menyimpan kotak itu di meja riasnya dan sekilas ia melihat sebuah kalung dengan bandul berbentuk bunga yang persis seperti lubang kunci pada kotak kecil itu. Dengan hati-hati, Camille mengambil kalung itu dan menempelkan bandul pada lubang kunci berbentuk bunga pada kotak.
KLAK!
Kotak itu terbuka dan di dalamnya ada sebuah kunci berwarna perak dengan hiasan batu ruby berwarna merah. Camille mengambil kunci itu dan membuka buku berwarna coklat tua yang tadi ia temukan. Kunci pada buku itu terbuka dan saat Camille hendak membuka buku tersebut, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari balik pintu. Camille terkejut dan secepat mungkin menyembunyikan buku dan kotak itu di dalam laci meja riasnya dan pintu pun terbuka. Seorang pelayan membawakan nampan berisi makanan untuk Camille.
“Nona Camille, saya bawakan makan malamnya.”
“Terima kasih.”
“Anna masih cukup murah hati untuk memberikanku makan malam.”
Camille melihat pintu kamarnya terbuka dengan lebar dan seketika ia merasa bahwa itu adalah kesempatan emas baginya untuk bisa kabur dari rumah itu.
“Kesempatan! Aku harus menggunakan waktu ini dengan baik!”
Camille mengintip keluar dan ia melihat di depan kamarnya berdiri dua orang penjaga yang sedang berjaga seakan-akan tidak akan membiarkan Camille keluar dari kamar tanpa izin Anna. Melihat itu hilang sudah harapan Camille untuk bisa kabur. Setelah pelayan itu menaruh baki berisi makan malamnya di atas meja, pelayan itu segera keluar dari kamar Camille dan pintu kembali di kunci.
“Sial! Apa perlu sampai seperti ini?! Anna memperlakukanku bak tahanan yang tengah menjalani masa hukuman di penjara karena kejahatan berat!
Oh Camille, apa sebelum aku datang, kamu juga merasakan hal seperti ini?”Camille mengambil kembali buku coklat itu dan membukanya. Tulisan yang kecil dan rapi memenuhi setiap lembar dari buku itu. Camille merasa apakah ia sudah melakukan sesuatu yang benar, terlebih lagi tanpa izin dari pemilik sesungguhnya untuk membaca sebuah buku diary.
“Maafkan aku, Camille yang sesungguhnya!”
Camille membaca lembar pertama dari buku diary itu.
‘Kamis, 20 Januari XXXX
Papa memberikanku sebuah buku ini sebagai hadiah karena aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah bangsawan. Papa selalu berharap suatu hari nanti, aku dapat mengangkat nama keluarga Kranz.’
Sebuah senyuman terukir di wajahnya ketika ia membaca tulisan Camille kecil.
‘Minggu, 1 Desember XXXX
Nyonya menghukumku lagi karena kali ini aku memergokinya bersama seseorang berseragam. Dari penampilannya mungkin ia adalah utusan dari kerajaan. Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang begitu penting. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa Nyonya harus menghukumku karena hal itu?’
“Nyonya? Kenapa Camille memanggilnya Nyonya?”
Camille membuka halaman lain dari diary itu.
‘Selasa, 14 Februari XXXX
Papa mengajakku pergi ke istana untuk menghadiri pertemuan para bangsawan. Ini adalah kali pertama aku masuk ke istana! Aku baru mengetahui kalau Yang Mulia Raja dan Ratu memiliki dua orang putra karena selama ini yang selalu muncul adalah Pangeran Allen. Papa mengenalkan aku pada Pangeran Allen dan adiknya, Pangeran Ashe. Keduanya menyambutku dengan ramah tetapi Pangeran Allen terlihat jauh lebih ramah daripada Pangeran Ashe. Aku ingin bertemu lagi dengan mereka suatu hari nanti.’
“Jadi, Camille memang sudah mengenal Allen dan Ashe dari lama dan itu semua berkat ayahnya. Tapi Allen yang sekarang bukanlah Allen yang pernah Camille temui dulu.”
Camille kembali membaca lembaran lain dari diary itu.
‘Sabtu, 29 Juni XXXX
Seperti biasa, Yuri mencoba untuk menggagalkan apapun yang ingin aku raih. Memang benar dia bukan adik kandungku tapi aku selalu bersikap ramah dan baik padanya tapi inilah balasan yang selalu aku terima. Nyonya juga selalu membela Yuri dan meskipun ia tahu kalau itu semua adalah ulah Yuri, ia akan selalu membelanya. Aku hanya memiliki Papa dan dialah yang akan selalu melindungiku dari orang-orang ini. Sejak kejadian itu, aku belum pernah bertemu Allen lagi, bahkan mendengar namanya. Ada apa di istana? Apa tragedi itu luar biasa berdampak bagi Allen?’
Camille mencoba mencari di halaman-halaman sebelumnya mengenai tragedi yang dimaksud oleh Camille yang dulu tetapi tidak ada detail apapun mengenai sebuah tragedi. Apa yang pernah terjadi di masa lalu? Camille harus mencari tahu tragedi apa yang pernah terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan langkah kaki orang yang berlari dari luar rumah. Camille berdiri dan berjalan ke arah jendela untuk mengintip keluar dan dari kejauhan, ia melihat kepulan asap yang berasal dari kota dan juga langit berubah menjadi berwarna jingga. Telah terjadi kebakaran yang cukup besar di kota.
Camille berlari ke pintu dan menggedor-gedor pintu, meminta pintu itu untuk dibuka.
“BUKA PINTUNYA!”
“TOLONG BUKA! SESUATU TERJADI!”
Tapi tidak ada jawaban ataupun suara pintu dibuka. Penjaga yang berada di belakang pintu mengabaikannya. Kesal, Camille berusaha mengambil barang apapun dan ia lemparkan ke arah jendela dengan harapan kaca jendela itu dapat pecah.
Camille mengambil sebuah benda yang cukup berat dan melemparnya ke arah jendela dan tiba-tiba terdengar suara kaca pecah.
PRANG!!
Camille tersenyum puas ketika ia berhasil menghancurkan kaca jendela kamarnya. Camille menyingkirkan pecahan kaca yang kecil-kecil agar tidak melukai dirinya tapi di saat itu sebuah kaca melukai telapak tangannya.
“A-Ahh!”
Darah segar mengalir keluar dari lukanya. Tanpa pikir panjang, Camille langsung mengambil sebuah kain dan membalut lukanya. Setelah memastikan tidak ada pecahan kaca yang tersisa, Camille keluar dari jendela kamarnya dan berdiri di pinggir jendela.
“Tinggi sekali…” ucapnya ketika Camille melihat ke bawah. Jarak antara tanah dan tempat ia berdiri cukup jauh. Camille memejamkan mata berusaha berpikir cara untuk turun tanpa mematahkan kakinya sendiri. Ia terduduk di pinggiran jendela dan merenung, memikirkan caranya.
“Bagaimana caranya… Aku tidak mungkin melompat begitu saja, bisa-bisa mati aku.”
Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dan berteriak dari balik pagar.
“Nona! Jangan melompat!”
Camille melihat seorang pria tua yang melambai-lambai dan memberikan sinyal untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Camille menjawab pria itu,
“Tuan! Apa yang terjadi di sana?”
“Kebakaran hebat di gedung pertemuan para bangsawan, nona! Ayah anda juga ada di sana!”
Mendengar itu, Camille terkejut dan menjadi ketakutan.
“Nona! Jangan melompat ya! Saya harus kembali membantu orang-orang!”
“Terima kasih informasinya, tuan!”
Pria tua itu berlari kembali ke kota. Seketika Camille merasa tidak berdaya, ada dua orang penjaga yang berjaga di depan kamarnya sedangkan ayahnya mungkin saja dalam bahaya karena kebakaran itu. Tanpa pikir panjang, Camille berusaha untuk memanjat dinding rumahnya untuk turun. Tetapi tiba-tiba ia terpeleset dan yang ada di benaknya adalah ia akan mati sekarang.
Camille memejamkan matanya dan bersiap-siap untuk menghantam tanah. Tetapi setelah beberapa lama ia tidak juga merasakan rasa sakit atau hantaman pada tubuhnya. Di pinggangnya, Camille merasakan ada sepasang tangan yang melingkar dengan lembut. Camille membuka matanya dan di hadapannya ada seorang pria yang menatapnya dengan wajah khawatir.
“Apa kamu sudah gila?”
“Camille! Apa kamu sudah gila?” Camille begitu terkejut melihat Allen yang berada di hadapannya, menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “A-Allen?!” Camille melirik ke bawah dan melihat dirinya melayang di atas permukaan tanah dan perlahan semakin menjauh dari permukaan tanah. “Allen? Kenapa kita semakin naik?” Saat Camille bertanya, Camille melihat di belakang Allen ada sebuah sayap berwarna hitam yang sangat indah. Jemari Camille bergerak untuk menyentuhnya, tatapannya bertemu dengan Allen dan Allen mengangguk seakan-akan memberikan Camille izin untuk menyentuh sayapnya. Camille menyentuh sayap Allen dan sayap itu terasa sangat lembut. Ia tidak menyangka sayap seorang iblis ternyata begitu lembut dan halus. “Camille.” panggil Allen. Suaranya menyadarkan Camille yang sedang terpesona akan sayap Allen. Ekspresi khawatir itu masih terlukis di wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membahayakan dirimu sendiri?” “A-Aku…” “Sebentar, biar aku turunkan kamu dulu” Menden
“Camille!!!” Anna berteriak memanggil nama Camille dan ia mendapati Camille sedang duduk di atas kasurnya, sedang menatap ke arah sang nyonya besar dengan terkejut. “Oh…” Anna langsung berbalik badan dan mendaratkan sebuah tamparan keras di wajah salah satu penjaga yang ada di depan kamarnya. “Kamu! Jelas-jelas dia ada di kamar!” “T-Tapi Nyonya Besar, saya tidak mungkin salah mendengar! Saya dengar suara pecahan kaca dan suara seseorang lain!” “Mungkin itu hanya halusinasimu saja!” Camille hanya memperhatikan Anna yang terlihat sangat marah. Kemudian Anna tanpa disangka-sangka menghampiri Camille dan menatapnya dengan wajah penuh amarah. “Dengarkan aku baik-baik, gadis sialan. Sekali saja kamu berani melanggar perintahku terlebih lagi kabur dari rumah ini, lihat saja akibatnya.” Setelah berkata seperti itu, Anna pergi meninggalkan kamar Camille. Selagi keluar ia juga membanting pintunya dengan keras. Camille menghela nafas sambil turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju
“Permisi…” Camille menoleh dan alangkah terkejutnya ia mendapati kedua pangeran berdiri di sana sambil mengulurkan tangan padanya. Terdengar bisik-bisik dari para tamu undangan lain dan kerumunan para gadis menatapnya dengan tatapan penuh kekesalan karena para pangeran tidak memilih salah satu dari mereka. “Nona Camille, maukah kamu berdansa denganku?” tanya Allen. “Nona Camille, berdansalah denganku.” ucap Ashe. Bahkan Cordelia yang berada di sebelahnya terkejut melihat pemandangan itu. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Camille memandang ke arah kedua pangeran dan tanpa ragu meraih tangan Allen sambil tersenyum. Sebuah senyuman bahagia terukir di wajah Allen dan Ashe terlihat murung. Allen membimbing Camille ke lantai dansa dan berbisik padanya. “Terima kasih sudah memilihku.” Alunan musik memenuhi ruangan, Allen dan Camille mulai berdansa. Selagi berdansa, ia melihat Anna dengan tatapan penuh kemarahan. Di sisi lain, ia melihat Cordelia dan Ashe berjalan ke l
“Ada tubuh di saluran irigasi?”Para tamu undangan saling berbisik satu sama lain. Raja memberi sinyal pada para penjaga untuk maju kemudian raja turun dan menghampiri pria itu lalu berbisik padanya.“Mari kita bicarakan di tempat yang lebih tepat.”Pria itu berdiri mengikuti raja yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan ruangan diikuti para penjaga di barisan belakang. Setelah raja pergi, para tamu undangan masih tetap berbicara satu sama lain mengenai berita tersebut. Di sisi lain, Camille mencari dimana Allen berada dan Camille melihat Allen yang tengah berdiri di sudut ruangan. Camille bergegas berlari menuju Allen namun langkahnya terhalang oleh ayahnya sendiri, sang Duke.
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.
“Aku dengar Duke Bastien ditemukan di saluran irigasi dengan keadaan yang sangat menyedihkan.” Camille dan Allen mengendap-endap ke dekat kedua orang itu untuk menguping. Di taman itu ada banyak semak belukar dan sepertinya taman itu memang jarang didatangi orang. Keduanya bersembunyi di balik sebuah semak-semak. “Benarkah? Pantas saja di malam kejadian, aku melihat beberapa orang berjalan menuju saluran irigasi.” “Apa? Kamu ada di sana?” “Benar sekali! Aku baru saja pulang dari kebunku dan kebetulan sore itu aku lewat daerah sana. Aku melihat beberapa orang tengah berjalan ke arah saluran irigasi.” “Apa kamu melihat wajah mereka?” “Tidak. Hari itu sudah mulai gelap dan di saluran irigasi juga sangat gelap. Tapi aku ingat sekali aku melihat ada empat orang yang ada di sana.” “APA?! Jadi Duke Bastien dibunuh oleh tiga orang?!” “Sstt! Pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang mendengar?!” “Bukankah seharusnya kamu lapor pada kerajaan?” “Aku tidak mau.” “Hah? Kenap
“Hentikan semua ini!”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang kerumunan orang itu. Kerumunan itu terbuka dan Ashe berjalan ke arah Duke Kranz dan kedua perempuan itu diikuti oleh seorang pria yang ternyata adalah sang raja dan di belakang mereka ada beberapa pasukan kerajaan yang ikut untuk mengawal. Semua orang seketika tunduk dan memberi hormat pada Ashe dan pria itu.“Yang Mulia Raja dan Pangeran Ashe!”Bisikan-bisikan terdengar dari antara kerumunan.“Apa ini?”“Siapa yang memberitahu keluarga kerajaan?”
“Nona Camille Kranz… Kamu bukan berasal dari sini.”Camille terkejut dan mundur selangkah setelah mendengar omongan Duchess Bastien.“A-Apa? Darimana dia tahu?”Duchess Bastien menatap Camille lekat-lekat dan terus memandangi wajahnya. Hal itu membuat Camille tidak nyaman“D-Duchess Bastien…”“Oh? Maaf. Sepertinya aku membuatmu sangat tidak nyaman.”“Tidak apa-apa… Kenapa anda bilang saya bukan berasal dari sini? S-Saya adalah seorang putri dari keluarga Kranz dan saya lahir disin
Anna melirik ke arah Camille dan dengan penuh amarah, ia menganggukkan kepala kepada kedua pengawal, memberi sinyal pada mereka untuk melepaskan Camille. Kedua orang itu melepaskan Camille dengan kasar. “Bersyukurlah karena sang tuan besar telah kembali!” Anna menghentakkan kaki keluar dari ruangan itu diikuti dengan kedua pengawalnya. Camille yang terduduk di lantai memegangi kedua tangannya yang terasa sakit sebelum akhirnya ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Gadis itu berlari menuju ruangan tempat sang duke berada. “Papa?” panggil Camille dari balik pintu. Pintu itu terbuka dan Duke Kranz terlihat terkejut melihat penampilan putrinya. “Astaga! Putriku! Apa yang terjadi padamu?” Belum sempat Camille menjawab, tiba-tiba dari belakangnya Anna menghampirinya dan memegang bahu Camille. “Camille! Kenapa kamu lari begitu saja? Aku sedang mengobati luka-lukamu dan kamu langsung pergi begitu saja!” “Luka-luka? Apa yang terjadi pada putriku, Anna?” tanya Duke Kranz deng
Camille berjalan kembali ke kediaman Kranz sendirian. Sepanjang perjalanan, ia tidak henti-hentinya memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Allen dan ia hanya bisa berharap bahwa Allen tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.Setibanya di kediaman Kranz, Anna terlihat sudah menunggunya sambil memegang sebuah kipas kecil di tangannya. Ekspresinya terlihat datar dan tidak menunjukkan emosi apapun.“Nyonya…”“Bagus sekali, Camille Kranz.”Anna membuat sebuah gestur dan dari belakangnya muncul dua orang pengawal berbadan besar yang langsung menariknya dengan kasar ke dalam sebuah ruangan.“Lep
“Aku sungguh tidak menyangka akan menemukanmu disini bersama dengan pedang mulia, Celeste… Seth.” Allen berbalik badan dan di hadapannya berdiri seseorang yang sangat familiar baik di kehidupan ini mau pun di kehidupannya yang asli. "Ashe… bagaimana bisa…" "Apa kamu sungguh tidak ingat? Ketika pedang terkutukmu itu bertemu dengan pedang surgawi?" Seketika layaknya sebuah film yang diputar ulang, bayang-bayang masa lalu terulang di dalam kepala Allen atau saat ini adalah Seth. "Kamu…" Kala itu, langit berwarna merah dan ada begitu banyak bala tentara surgawi dan dunia bawah tengah berperang dalam perang terbesar yang ada dalam sejarah para malaikat dan iblis. Seth yang saat itu memimpin pasukan melaju dengan kendaraannya yang membara menerobos pasukan yang ada dan tujuannya hanyalah satu. Pemimpin dari pasukan malaikat, Nathanael. Sang malaikat tengah berdiri di atas kendaraannya dengan pedang yang diarahkan ke arah Seth. "Seth Morningstar." bisik Nathanael. Dalam sekejap, peda
“Silvie Bastien, istri dari Thomas Bastien adalah seorang penyihir. Lebih tepatnya ia memiliki darah penyihir dalam tubuhnya yang membuatnya dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa.”Sebuah jawaban yang telah dinantikan oleh Camille akhirnya terjawab. Ternyata itulah alasan mengapa Silvie Bastien atau Duchess Bastien bisa melihat Yoon Yena yang berada di dalam tubuh Camille Kranz.“Sekarang semuanya terjawab.”“Silvie Bastien telah melakukan sebuah hal yang fatal. Lyenna… Putriku tersayang… Harus kehilangan nyawanya demi ‘tumbal’ yang Silvie butuhkan demi mencegah datangnya kehancuran…”
"Duchess Bastien dilukai seseorang!" teriak salah seorang yang sedang berlari-lari."Kami sedang mengejar pelakunya"Raut wajah Camille memucat. Ia ingat bahwa ayahnya ada bersama dengan Duchess Bastien."Bawa aku ke sana!" perintah Camille.Orang itu menganggukkan kepala dan bersama dengan Allen, ketiganya berlari ke tempat kejadian. Tetapi Camille menyadari bahwa mereka berjalan menuju sebuah rumah yang berbeda. Tempat itu besar dan terlihat seperti sebuah mansion."Kediaman Bastien." bisik Allen.Mansion itu sangat besar dan bisa dibilang lebih besar dari kedi
“Nona Camille Kranz… Kamu bukan berasal dari sini.”Camille terkejut dan mundur selangkah setelah mendengar omongan Duchess Bastien.“A-Apa? Darimana dia tahu?”Duchess Bastien menatap Camille lekat-lekat dan terus memandangi wajahnya. Hal itu membuat Camille tidak nyaman“D-Duchess Bastien…”“Oh? Maaf. Sepertinya aku membuatmu sangat tidak nyaman.”“Tidak apa-apa… Kenapa anda bilang saya bukan berasal dari sini? S-Saya adalah seorang putri dari keluarga Kranz dan saya lahir disin
“Hentikan semua ini!”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang kerumunan orang itu. Kerumunan itu terbuka dan Ashe berjalan ke arah Duke Kranz dan kedua perempuan itu diikuti oleh seorang pria yang ternyata adalah sang raja dan di belakang mereka ada beberapa pasukan kerajaan yang ikut untuk mengawal. Semua orang seketika tunduk dan memberi hormat pada Ashe dan pria itu.“Yang Mulia Raja dan Pangeran Ashe!”Bisikan-bisikan terdengar dari antara kerumunan.“Apa ini?”“Siapa yang memberitahu keluarga kerajaan?”
“Aku dengar Duke Bastien ditemukan di saluran irigasi dengan keadaan yang sangat menyedihkan.” Camille dan Allen mengendap-endap ke dekat kedua orang itu untuk menguping. Di taman itu ada banyak semak belukar dan sepertinya taman itu memang jarang didatangi orang. Keduanya bersembunyi di balik sebuah semak-semak. “Benarkah? Pantas saja di malam kejadian, aku melihat beberapa orang berjalan menuju saluran irigasi.” “Apa? Kamu ada di sana?” “Benar sekali! Aku baru saja pulang dari kebunku dan kebetulan sore itu aku lewat daerah sana. Aku melihat beberapa orang tengah berjalan ke arah saluran irigasi.” “Apa kamu melihat wajah mereka?” “Tidak. Hari itu sudah mulai gelap dan di saluran irigasi juga sangat gelap. Tapi aku ingat sekali aku melihat ada empat orang yang ada di sana.” “APA?! Jadi Duke Bastien dibunuh oleh tiga orang?!” “Sstt! Pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang mendengar?!” “Bukankah seharusnya kamu lapor pada kerajaan?” “Aku tidak mau.” “Hah? Kenap
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.