Mata Camille terbelalak melihat penampilan Allen. Ia berusaha untuk tidak berteriak sama sekali. Tangan Allen dengan lembut menggenggamnya, ia memberikan tatapan yang menenangkan.
“Allen… Kamu… memiliki tanduk?”
Penampilan Allen berubah dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Di atas kepalanya, menjulang sepasang tanduk berwarna hitam dan merah pada ujungnya. Pakaian yang ia kenakan berubah menjadi jubah berwarna merah yang berapi-api dengan dalaman berupa jas berwarna hitam dengan sentuhan merah pada ujung pakaiannya.
“Camille. Jangan takut…”
Camille menggelengkan kepalanya dan berusaha menenangkan diri. Pria yang di hadapannya berubah menjadi seseorang bertanduk dengan pakaian yang berapi-api. Tidak ada manusia di dunia ini yang memiliki penampilan seperti itu.
“Aku adalah Pangeran Iblis. Tapi aku tidak seperti yang kamu bayangkan.”
“B-Bagaimana bisa kamu ada disini?”
“Sama sepertimu, aku masuk ke dalam fisik seseorang di kerajaan ini dan orang terpilih itu adalah sang Pangeran, Allen.”
“Kalau begitu, Allen berarti bukan namamu yang sesungguhnya?”
“Bukan dan aku tidak bisa mengatakan namaku yang sesungguhnya.”
“Tapi… Apa tujuanmu di dunia manusia? Bukankah seharusnya kalian, para iblis, berada di tempat kalian?”
“Aku juga tidak bisa menjawab itu.”
Camille tidak mengerti kenapa ia tidak bisa memberi tahu apa alasannya. Tapi Allen seakan-akan bisa membaca pikirannya. Tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi Camille.
“Maafkan aku karena tidak bisa memberitahumu.”
“Kalau begitu, apa pria yang aku temui di malam kejadian itu adalah kamu?”
Alih-alih menjawab dengan perkataan, Allen menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Aku-lah yang memberikanmu pilihan untuk hidup kembali dan bukan aku yang menentukan kemana jiwamu akan dikirim.”
“Lalu, siapa yang mengirimku ke tempat ini?”
“Aku juga tidak bisa memberitahu itu padamu, Camille.”
“Semua saja tidak boleh diberitahu.”
Allen mengelus rambut Camille sambil tersenyum hangat padanya. Kemudian Allen menatap Camille dengan serius.
“Berjanjilah padaku, Camille. Jangan pernah memberitahu siapapun tentang apa yang sudah kamu lihat.”
Camille menganggukkan kepalanya, “Aku janji.”
Allen tersenyum puas, “Bagus. Sekarang, pejamkan matamu lagi. Kamu tidak boleh melihat saat aku bertransformasi.”
Camille menuruti permintaan Allen dan ia memejamkan matanya. Sekali lagi tangan Allen menutup mata Camille sebelum ia kembali ke wujudnya yang sekarang. Allen menurunkan tangannya lalu bergerak mendekatkan wajahnya dengan wajah Camille dan berbisik.
“Bukalah matamu.”
Camille membuka matanya dan di hadapannya, Allen sudah kembali ke wujud manusianya. Tanduk yang tadinya ada di kepalanya sudah menghilang. Pakaiannya juga sudah kembali normal. Sebuah senyuman ramah terukir di wajah Allen.
“Ada apa, Allen?”
“Terima kasih sudah mau berjanji untuk tidak merahasiakan ini.”
“Sama-sama.”
“Camille… Apa kamu takut saat aku dalam wujud iblisku?”
“Hm? Tidak kok.”
“Jangan pernah takut padaku, Camille. Karena aku tidak akan pernah menyakitimu.”
“Allen, terima kasih banyak.”
“Untuk apa?”
“Tanpa bantuanmu, lebih tepatnya tanpa dirimu, aku tidak akan bisa merasakan namanya kehidupan lagi dan sepertinya sebuah ucapan terima kasih saja tidaklah cukup.”
Mendengar itu Allen terdiam, kemudian sekali lagi ia menarik Camille mendekat dan mengelus pipinya.
“Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan sebagai ucapan terima kasih kalau kata-kata saja tidaklah cukup?”
“A-Aku…”
Belum sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu dan juga suara seseorang yang memanggil-manggil Allen dari balik pintu.
“Allen!”
“Siapa orang di istana ini yang memanggil Allen tanpa gelar pangerannya kecuali kedua orang tuanya? Lagipula suara itu tidak terdengar seperti suara Raja atau Ratu.”
Raut wajah Allen berubah seketika. Ia terlihat kesal dengan seseorang, siapapun itu yang berada di balik pintu ruangan ini. Allen membantu Camille berdiri lalu ia berjalan menuju pintu itu dan membukanya. Di balik pintu itu, berdiri seorang pria dengan tinggi yang sepantaran dengan Allen. Pria itu memiliki rambut hitam dan ia melihat ke dalam ruangan.
“Tadi aku dengar teriakan—”
“Kamu tidak dengar apa-apa.” jawab Allen dengan ketus. “Aku sedang ada tamu dan kami sedang membicarakan tentang pertunjukan opera yang akan diadakan minggu depan. Tamuku ini sedang menunjukkan salah satu adegan di pertunjukan tersebut.”
“Begitukah?”
Camille berdiri di belakang Allen dan ia berusaha mengintip dari balik tubuh Allen yang jauh lebih tinggi darinya. Tetapi tiba-tiba tangannya digenggam oleh Allen dan sikap Allen seakan-akan sedang melindunginya dari pria berambut hitam yang ada di hadapannya.
“Hm? Siapa gadis itu?”
“Gadis mana?”
“Gadis yang ada di belakangmu. Aku tidaklah bodoh, Allen. Tapi itu tidak penting, aku membawa pesan dari ayah bahwa ia ingin kamu menemuinya sekarang.”
“Apa lagi yang ia inginkan… Katakan padanya kalau aku akan menemuinya setelah mengantar tamuku pulang. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gadis berjalan kaki sendirian pulang ke rumahnya.”
“Tidak bisa. Serahkan saja gadis itu padaku, biarkan aku yang membawanya pulang, kakak.”
Akan tetapi Allen menolak. Ia bersikap semakin protektif pada Camille. Camille yang mendengar pria itu memanggil Allen dengan sebutan kakak menyimpulkan bahwa sepertinya pria berambut hitam itu adalah adik dari Allen yang berarti dia adalah pangeran kedua.
Pria itu menghela nafas, “Allen, kamu tahu sendiri kalau ayah benci menunggu. Jangan sampai ia melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.”
“Beri aku waktu sebentar. Katakan padanya kalau aku akan segera ke sana.”
Pria itu mengangguk dan pergi meninggalkan Allen bersama Camille. Sikap Allen berubah ketika ia menghadap Camille. Ekspresi sedih terlukis di wajahnya.
“Sudah, tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.”
“Aku sungguh ingin mengantarmu tapi kalau aku tidak segera menemui ayah, entah apa yang akan ia lakukan.”
Camille tersenyum hangat sambil mengangguk. Ia tidak ingin Allen merasa bersalah karena hal kecil seperti ini.
“Aku akan menemuimu lagi nanti, aku pasti akan menemuimu…”
Allen tersenyum pada Camille sebelum pergi meninggalkannya. Camille memperhatikan Allen yang berjalan sampai akhirnya ia tidak dapat melihatnya lagi. Karena tidak ada lagi yang harus dia lakukan di istana, Camille berjalan keluar dari istana itu.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan saat Camille menoleh ia melihat pria berambut hitam yang tadi dilihatnya.
“Nona.”
“E-Eh? Ada apa?”
“Biarkan saya yang mengantarmu pulang.”
“Tidak perlu, Yang Mulia. Terima kasih atas tawarannya tetapi saya bisa pulang sendiri.”
“Saya memaksa, nona. Anggaplah aku utusan kakakku untuk mengantarmu pulang. Omong-omong, maafkan ketidaksopananku. Perkenalkan, Ashe.” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya, mengajak Camille untuk berjabat tangan.
Camille meraih tangan pria itu dan menjabat tangannya. Saat Camille menjabat tangannya, ia dapat merasakan genggaman tangan pria itu begitu erat dan ketika Camille hendak melepaskannya, pria itu seakan-akan tidak ingin melepaskan jabat tangan mereka. Camille menatapnya dengan tajam sebelum akhirnya pria itu menyadari tatapan Camille dan melepaskan tangannya.
“Senang bertemu denganmu, Pangeran Ashe. Panggil saja saya Camille.”
“Sebenarnya aku sudah tahu kamu siapa tetapi tidak masalah. Senang juga bertemu denganmu, nona Camille. Kalau begitu apa kamu sudah siap untuk pulang?”
“Maaf tapi lebih baik aku pulang sendiri, Yang Mulia.”
“Tapi, apa yang akan orang-orang katakan ketika melihat seorang putri Duke berjalan keluar dari istana sendirian dan tidak ada salah seorang dari kedua pangeran yang mau mengantarnya untuk pulang?”
“Lagipula tidak ada salahnya kalau aku berjalan sendiri pulang.”
“Ya sudah kalau begitu.”
Sebuah senyuman terukir di wajah pria itu kemudian ia menghampiri salah satu penjaga yang sedang berjaga.
“Y-Yang Mulia Ashe!”
“Tolong siapkan sebuah kereta kuda untukku.”
“Tapi, Yang Mulia, semua kereta kuda sedang dibersihkan. Apa Yang Mulia tidak masalah jika saya ambilkan kuda putih milik Yang Mulia?”
Ashe mengangguk dan penjaga itu pun segera berlari untuk menyiapkan kuda untuk Ashe.
Setelah beberapa saat menunggu, penjaga tersebut kembali membawa seekor kuda putih yang sangat gagah dan indah.
“K-Kuda putih!”
“Benar, sangat gagah kan?”
“I-Iya.”
Camille terpesona dengan kuda milik Ashe. Ia kemudian mendekati kuda itu dan dengan ragu berusaha mengulurkan tangan untuk mengelus surai kuda tersebut.
“Jangan takut.” Ujar Ashe. “Dia sangatlah baik.”
“Siapa namanya?”
“Cirrus.”
“Cirrus, izinkan aku untuk membelai suraimu.”
Mendengar itu Camille memberanikan diri dan mengelus surai kuda putih tersebut. Kemudian Ashe melompat ke atas kuda itu dan mengulurkan tangannya pada Camille.
“Ayo naik?”
Camille meraih tangan Ashe dan menyusulnya, ia juga naik ke atas kuda putih itu. Angin berhembus dan aroma yang familiar memenuhi indra penciumannya.
“Aroma ini… Dimana aku pernah menciumnya?”
“Nona Camille, tolong pegangan yang erat.”
Camille menatap Ashe dengan ragu tetapi Ashe meraih tangan Camille dan melingkarkan tangannya di pinggang Ashe.
“Kamu tidak mau kan jatuh dari kuda yang berlari?”
“Maafkan aku.” Camille berpegangan pada pinggang Ashe dengan erat kemudian Cirrus, kuda putih itu mulai berjalan keluar dari wilayah istana.
Untuk kembali ke rumah Camille, Ashe mengambil jalan yang sama yang dilalui Camille ketika ia pergi ke istana. Orang-orang langsung membungkukkan badannya, memberi hormat pada sang Pangeran ketika Ashe lewat. Beberapa orang ada yang mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya tetapi Ashe tidak menghiraukan mereka.
Tiba-tiba Cirrus berhenti dan Camille bingung dibuatnya. Ia mengintip dari balik Ashe dan melihat banyak wanita yang berdiri di depan Cirrus sambil menatap Ashe dan beberapa dari mereka berusaha menggodanya.
“Siapa para gadis ini?”
“Pangeran Ashe!” ucap salah satu wanita itu.
“Sungguh kehormatan bisa bertemu dengan anda!” ujar wanita yang lain.
“Anda tampan sekali setelah dilihat secara langsung.” ucap wanita yang lainnya.
Ashe terlihat tidak nyaman dengan kehadiran para wanita-wanita itu.
“Nona-nona, boleh tolong permisi?”
“Eh? Anda mau kemana? Mari minum teh bersama sebelum melanjutkan perjalanan.” ajak wanita pertama.
“Maaf, nona-nona. Tolong menyingkir dari jalanan.”
“Tunggu!” seketika semua wanita-wanita itu menoleh dan seorang gadis berambut pirang berjalan ke arah Camille. Gadis itu menatap tajam ke arah Ashe dengan Camille dengan mata biru langitnya. Para wanita itu juga memberi jalan bagi gadis pirang itu. Gadis itu berhenti di depan Ashe dan memberi hormat padanya.
“Salam, Yang Mulia. Maafkan atas kelancangan saya tapi saya melihat seseorang yang saya kenal berada di belakang anda. Kalau boleh tau, apa yang dilakukannya sampai bisa berada bersama Yang Mulia?”
Camille dibuat kebingungan. Ia tidak mengenal siapa gadis itu bahkan ia belum pernah melihatnya sebelumnya.
“Kamu siapa?” tanya Ashe.
“Perkenalkan, Yang Mulia, saya adalah adik dari gadis yang sedang berada di belakang anda. Yuri Kranz.”
“Adik? Kranz? Apa itu nama keluarga Camille?”
“Kamu gadis dari Camille?”
“Benar sekali, Yang Mulia. Kalau boleh tahu mengapa Camille bisa berada bersama Yang Mulia?”
“Bukan urusanmu.” Jawab Ashe dengan ketus.
Setelah menjawab Yuri, Ashe memacu kudanya meninggalkan Yuri yang terlihat sangat kesal, ia mengepalkan tangannya dengan penuh kemarahan. Salah seorang gadis mendekatinya dan memberanikan diri untuk bertanya pada Yuri.
“Y-Yuri?”
PLAK!!
Tanpa berkata apa-apa, Yuri mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi gadis itu dan pergi meninggalkan para gadis-gadis lain.
“Dia sangat keterlaluan!”
“Untung saja statusnya seorang putri Duke. Kalau bukan, sudah habis dia di tangan kita semua.”
Ucap para gadis itu sambil memandangi Yuri sampai ia menghilang dari pandangan mereka.
Di sisi lain.
Camille dan Ashe akhirnya tiba di kediaman Duke. Ashe turun dari kudanya dan mengulurkan tangannya pada Camille.
“Ashe?”
“Maafkan aku, nona.”
Sambil mengucapkan kalimat itu, Ashe memegang pinggang Camille dan dengan bantuan Ashe, Camille melompat turun dari kuda. Saat satu kakinya sudah menginjak tanah, kakinya yang satu lagi secara tidak sengaja menginjak kaki kanan Ashe. Camille berusaha mundur dan meminta maaf. Tetapi Ashe malah menariknya mendekat dan mendekapnya dalam sebuah pelukan erat.
“A-Ashe?!”
“Camille, dengarkan aku baik-baik. Jauhilah saudaraku karena dia bukanlah orang yang baik.”
“Kenapa? Kenapa kamu bisa bilang kalau dia bukanlah orang yang baik? Apa dasar dari perkataanmu ini?”
Ashe melepaskan Camille dan menatapnya dengan tajam. Tatapannya begitu serius seakan-akan ingin membuat Camille percaya padanya. Seperti ada sihir dari tatapan Ashe padanya.
“Camille… Dia…”
“Camille!”
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya dari dalam rumah dan juga langkah kaki yang mendekat ke arah mereka.
“Camille!” Camille menoleh dan melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita berpenampilan mewah terlihat berjalan ke arahnya. Dari cara berpakaian dan caranya bersikap, Camille dapat menilai bahwa wanita itu adalah istri dari Duke. Di belakang wanita itu ada beberapa pelayan yang berjalan mengikutinya. “Istri Duke? Dia terlihat sangat marah… Ada apa?” Wanita itu berhenti di hadapan Camille dan Ashe, ia menatap Camille dengan penuh amarah. Tapi saat ia melihat Ashe, tatapannya melunak dan seketika ia menunduk untuk memberi hormat. “Salam, Yang Mulia. Apa putri saya merepotkan anda sampai anda harus mengantarnya pulang ke kediaman Duke Kranz? Saya akan menasehatinya jika memang itu yang terjadi. Maafkan putri saya, Yang Mulia.” “Hm? Dia tidak melakukan kesalahan apapun, Nyonya. Memang itu adalah tanggung jawab saya untuk mengantar seorang gadis, terlebih lagi gadis seorang Duke yang begitu berpengaruh untuk pulang ke rumahnya.” “Terima kasih yang sebesar-besarnya, Yang Mulia. Say
“Camille! Apa kamu sudah gila?” Camille begitu terkejut melihat Allen yang berada di hadapannya, menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “A-Allen?!” Camille melirik ke bawah dan melihat dirinya melayang di atas permukaan tanah dan perlahan semakin menjauh dari permukaan tanah. “Allen? Kenapa kita semakin naik?” Saat Camille bertanya, Camille melihat di belakang Allen ada sebuah sayap berwarna hitam yang sangat indah. Jemari Camille bergerak untuk menyentuhnya, tatapannya bertemu dengan Allen dan Allen mengangguk seakan-akan memberikan Camille izin untuk menyentuh sayapnya. Camille menyentuh sayap Allen dan sayap itu terasa sangat lembut. Ia tidak menyangka sayap seorang iblis ternyata begitu lembut dan halus. “Camille.” panggil Allen. Suaranya menyadarkan Camille yang sedang terpesona akan sayap Allen. Ekspresi khawatir itu masih terlukis di wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membahayakan dirimu sendiri?” “A-Aku…” “Sebentar, biar aku turunkan kamu dulu” Menden
“Camille!!!” Anna berteriak memanggil nama Camille dan ia mendapati Camille sedang duduk di atas kasurnya, sedang menatap ke arah sang nyonya besar dengan terkejut. “Oh…” Anna langsung berbalik badan dan mendaratkan sebuah tamparan keras di wajah salah satu penjaga yang ada di depan kamarnya. “Kamu! Jelas-jelas dia ada di kamar!” “T-Tapi Nyonya Besar, saya tidak mungkin salah mendengar! Saya dengar suara pecahan kaca dan suara seseorang lain!” “Mungkin itu hanya halusinasimu saja!” Camille hanya memperhatikan Anna yang terlihat sangat marah. Kemudian Anna tanpa disangka-sangka menghampiri Camille dan menatapnya dengan wajah penuh amarah. “Dengarkan aku baik-baik, gadis sialan. Sekali saja kamu berani melanggar perintahku terlebih lagi kabur dari rumah ini, lihat saja akibatnya.” Setelah berkata seperti itu, Anna pergi meninggalkan kamar Camille. Selagi keluar ia juga membanting pintunya dengan keras. Camille menghela nafas sambil turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju
“Permisi…” Camille menoleh dan alangkah terkejutnya ia mendapati kedua pangeran berdiri di sana sambil mengulurkan tangan padanya. Terdengar bisik-bisik dari para tamu undangan lain dan kerumunan para gadis menatapnya dengan tatapan penuh kekesalan karena para pangeran tidak memilih salah satu dari mereka. “Nona Camille, maukah kamu berdansa denganku?” tanya Allen. “Nona Camille, berdansalah denganku.” ucap Ashe. Bahkan Cordelia yang berada di sebelahnya terkejut melihat pemandangan itu. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Camille memandang ke arah kedua pangeran dan tanpa ragu meraih tangan Allen sambil tersenyum. Sebuah senyuman bahagia terukir di wajah Allen dan Ashe terlihat murung. Allen membimbing Camille ke lantai dansa dan berbisik padanya. “Terima kasih sudah memilihku.” Alunan musik memenuhi ruangan, Allen dan Camille mulai berdansa. Selagi berdansa, ia melihat Anna dengan tatapan penuh kemarahan. Di sisi lain, ia melihat Cordelia dan Ashe berjalan ke l
“Ada tubuh di saluran irigasi?”Para tamu undangan saling berbisik satu sama lain. Raja memberi sinyal pada para penjaga untuk maju kemudian raja turun dan menghampiri pria itu lalu berbisik padanya.“Mari kita bicarakan di tempat yang lebih tepat.”Pria itu berdiri mengikuti raja yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan ruangan diikuti para penjaga di barisan belakang. Setelah raja pergi, para tamu undangan masih tetap berbicara satu sama lain mengenai berita tersebut. Di sisi lain, Camille mencari dimana Allen berada dan Camille melihat Allen yang tengah berdiri di sudut ruangan. Camille bergegas berlari menuju Allen namun langkahnya terhalang oleh ayahnya sendiri, sang Duke.
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.
“Aku dengar Duke Bastien ditemukan di saluran irigasi dengan keadaan yang sangat menyedihkan.” Camille dan Allen mengendap-endap ke dekat kedua orang itu untuk menguping. Di taman itu ada banyak semak belukar dan sepertinya taman itu memang jarang didatangi orang. Keduanya bersembunyi di balik sebuah semak-semak. “Benarkah? Pantas saja di malam kejadian, aku melihat beberapa orang berjalan menuju saluran irigasi.” “Apa? Kamu ada di sana?” “Benar sekali! Aku baru saja pulang dari kebunku dan kebetulan sore itu aku lewat daerah sana. Aku melihat beberapa orang tengah berjalan ke arah saluran irigasi.” “Apa kamu melihat wajah mereka?” “Tidak. Hari itu sudah mulai gelap dan di saluran irigasi juga sangat gelap. Tapi aku ingat sekali aku melihat ada empat orang yang ada di sana.” “APA?! Jadi Duke Bastien dibunuh oleh tiga orang?!” “Sstt! Pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang mendengar?!” “Bukankah seharusnya kamu lapor pada kerajaan?” “Aku tidak mau.” “Hah? Kenap
“Hentikan semua ini!”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang kerumunan orang itu. Kerumunan itu terbuka dan Ashe berjalan ke arah Duke Kranz dan kedua perempuan itu diikuti oleh seorang pria yang ternyata adalah sang raja dan di belakang mereka ada beberapa pasukan kerajaan yang ikut untuk mengawal. Semua orang seketika tunduk dan memberi hormat pada Ashe dan pria itu.“Yang Mulia Raja dan Pangeran Ashe!”Bisikan-bisikan terdengar dari antara kerumunan.“Apa ini?”“Siapa yang memberitahu keluarga kerajaan?”
Anna melirik ke arah Camille dan dengan penuh amarah, ia menganggukkan kepala kepada kedua pengawal, memberi sinyal pada mereka untuk melepaskan Camille. Kedua orang itu melepaskan Camille dengan kasar. “Bersyukurlah karena sang tuan besar telah kembali!” Anna menghentakkan kaki keluar dari ruangan itu diikuti dengan kedua pengawalnya. Camille yang terduduk di lantai memegangi kedua tangannya yang terasa sakit sebelum akhirnya ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Gadis itu berlari menuju ruangan tempat sang duke berada. “Papa?” panggil Camille dari balik pintu. Pintu itu terbuka dan Duke Kranz terlihat terkejut melihat penampilan putrinya. “Astaga! Putriku! Apa yang terjadi padamu?” Belum sempat Camille menjawab, tiba-tiba dari belakangnya Anna menghampirinya dan memegang bahu Camille. “Camille! Kenapa kamu lari begitu saja? Aku sedang mengobati luka-lukamu dan kamu langsung pergi begitu saja!” “Luka-luka? Apa yang terjadi pada putriku, Anna?” tanya Duke Kranz deng
Camille berjalan kembali ke kediaman Kranz sendirian. Sepanjang perjalanan, ia tidak henti-hentinya memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Allen dan ia hanya bisa berharap bahwa Allen tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.Setibanya di kediaman Kranz, Anna terlihat sudah menunggunya sambil memegang sebuah kipas kecil di tangannya. Ekspresinya terlihat datar dan tidak menunjukkan emosi apapun.“Nyonya…”“Bagus sekali, Camille Kranz.”Anna membuat sebuah gestur dan dari belakangnya muncul dua orang pengawal berbadan besar yang langsung menariknya dengan kasar ke dalam sebuah ruangan.“Lep
“Aku sungguh tidak menyangka akan menemukanmu disini bersama dengan pedang mulia, Celeste… Seth.” Allen berbalik badan dan di hadapannya berdiri seseorang yang sangat familiar baik di kehidupan ini mau pun di kehidupannya yang asli. "Ashe… bagaimana bisa…" "Apa kamu sungguh tidak ingat? Ketika pedang terkutukmu itu bertemu dengan pedang surgawi?" Seketika layaknya sebuah film yang diputar ulang, bayang-bayang masa lalu terulang di dalam kepala Allen atau saat ini adalah Seth. "Kamu…" Kala itu, langit berwarna merah dan ada begitu banyak bala tentara surgawi dan dunia bawah tengah berperang dalam perang terbesar yang ada dalam sejarah para malaikat dan iblis. Seth yang saat itu memimpin pasukan melaju dengan kendaraannya yang membara menerobos pasukan yang ada dan tujuannya hanyalah satu. Pemimpin dari pasukan malaikat, Nathanael. Sang malaikat tengah berdiri di atas kendaraannya dengan pedang yang diarahkan ke arah Seth. "Seth Morningstar." bisik Nathanael. Dalam sekejap, peda
“Silvie Bastien, istri dari Thomas Bastien adalah seorang penyihir. Lebih tepatnya ia memiliki darah penyihir dalam tubuhnya yang membuatnya dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa.”Sebuah jawaban yang telah dinantikan oleh Camille akhirnya terjawab. Ternyata itulah alasan mengapa Silvie Bastien atau Duchess Bastien bisa melihat Yoon Yena yang berada di dalam tubuh Camille Kranz.“Sekarang semuanya terjawab.”“Silvie Bastien telah melakukan sebuah hal yang fatal. Lyenna… Putriku tersayang… Harus kehilangan nyawanya demi ‘tumbal’ yang Silvie butuhkan demi mencegah datangnya kehancuran…”
"Duchess Bastien dilukai seseorang!" teriak salah seorang yang sedang berlari-lari."Kami sedang mengejar pelakunya"Raut wajah Camille memucat. Ia ingat bahwa ayahnya ada bersama dengan Duchess Bastien."Bawa aku ke sana!" perintah Camille.Orang itu menganggukkan kepala dan bersama dengan Allen, ketiganya berlari ke tempat kejadian. Tetapi Camille menyadari bahwa mereka berjalan menuju sebuah rumah yang berbeda. Tempat itu besar dan terlihat seperti sebuah mansion."Kediaman Bastien." bisik Allen.Mansion itu sangat besar dan bisa dibilang lebih besar dari kedi
“Nona Camille Kranz… Kamu bukan berasal dari sini.”Camille terkejut dan mundur selangkah setelah mendengar omongan Duchess Bastien.“A-Apa? Darimana dia tahu?”Duchess Bastien menatap Camille lekat-lekat dan terus memandangi wajahnya. Hal itu membuat Camille tidak nyaman“D-Duchess Bastien…”“Oh? Maaf. Sepertinya aku membuatmu sangat tidak nyaman.”“Tidak apa-apa… Kenapa anda bilang saya bukan berasal dari sini? S-Saya adalah seorang putri dari keluarga Kranz dan saya lahir disin
“Hentikan semua ini!”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang kerumunan orang itu. Kerumunan itu terbuka dan Ashe berjalan ke arah Duke Kranz dan kedua perempuan itu diikuti oleh seorang pria yang ternyata adalah sang raja dan di belakang mereka ada beberapa pasukan kerajaan yang ikut untuk mengawal. Semua orang seketika tunduk dan memberi hormat pada Ashe dan pria itu.“Yang Mulia Raja dan Pangeran Ashe!”Bisikan-bisikan terdengar dari antara kerumunan.“Apa ini?”“Siapa yang memberitahu keluarga kerajaan?”
“Aku dengar Duke Bastien ditemukan di saluran irigasi dengan keadaan yang sangat menyedihkan.” Camille dan Allen mengendap-endap ke dekat kedua orang itu untuk menguping. Di taman itu ada banyak semak belukar dan sepertinya taman itu memang jarang didatangi orang. Keduanya bersembunyi di balik sebuah semak-semak. “Benarkah? Pantas saja di malam kejadian, aku melihat beberapa orang berjalan menuju saluran irigasi.” “Apa? Kamu ada di sana?” “Benar sekali! Aku baru saja pulang dari kebunku dan kebetulan sore itu aku lewat daerah sana. Aku melihat beberapa orang tengah berjalan ke arah saluran irigasi.” “Apa kamu melihat wajah mereka?” “Tidak. Hari itu sudah mulai gelap dan di saluran irigasi juga sangat gelap. Tapi aku ingat sekali aku melihat ada empat orang yang ada di sana.” “APA?! Jadi Duke Bastien dibunuh oleh tiga orang?!” “Sstt! Pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang mendengar?!” “Bukankah seharusnya kamu lapor pada kerajaan?” “Aku tidak mau.” “Hah? Kenap
Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit.“Gadis bodoh!!!”Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan.