"Bang! ini kuncinya ketinggalan." seruku padanya. kulihat Bang Halim memeriksa saku jaketnya, dia menepuk jidatnya lalu menghampiriku.
"Hati-hati di jalan." kataku padanya, sedangkan dia hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. dia pun pamit untuk pulang, karena waktu semakin malam.Dua hari berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Bang Halim. Hubunganku dengan Bang Halim berlanjut. Aku sempat berpikir bahwa apabila setelah pertemuan pertama kami Bang Halim berubah, oke, berarti kami tidak berjodoh, tetapi hingga kini bukannya Bang Halim menjauh, tetapi malah semakin dekat.Sedangkan Kang Aldi belum tahu tentang aku yang sudah dilamar orang lain. Aku belum siap bicara, karena belum ada kepastian yang sebenarnya dari pihak orang tua Bang Halim.Demi kehidupanku yang lebih baik untuk kedepannya. aku kencengin berdo'a kepada-Nya, agar diberi jalan yang pasti. Setiap malam aku selalu terbangun untuk melaksanakan Qiyamul lail. Sebelum sholat, ku tengok Ibu di kamarnya, karena aku takut ibu kenapa-napa. Dilanjut dengan beres-beres rumah. Setelahnya aku beribadah hingga subuh menjelang.Namun, ketika aku sedang sholat. Aku mendengar keributan diluar kamar."Risaa..." Aku mendengar Kakak-ku memanggil, aku tak menjawab, aku teruskan shalatku karena tanggung sebentar lagi selesai."Assalamu'alaikum warahmatullah..." aku mengucap salam tanda sholatku selesai."Risa, ini Ibu jatuh!!" Deg. langsung aku bergegas keluar tanpa membuka mukena telebih dahulu."Ada apa? Ibuu!!" Ku lihat Ibu yang di gotong oleh saudara-saudaraku. Aku syok, Ibu kena stroke. Beliau tidak sadarkan diri. Mata yang sayu serta mulut yang terus mengeluarkan air liur membuatku ingin menangis.Kupegang erat tangan beliau, dengan bibir yang terkatup rapat, kugumankan dalam hati bahwa aku belum siap dengan kejadian ini.Ku lihat semua orang yang berada di rumah menangisi keadaan Ibu. karena Ibu tak kunjung sadar juga, sedangkan waktu terus berjalan, Alhamdulillah Ibu sadar setengah jam kemudian, setelah ditangani oleh Dokter daerah.Aku bergegas ke kamar mandi mengambil air untuk membersihkan Ibu, karena Ibu terjatuh di kamar mandi sehingga membuat bajunya kotor."Ambil makan buat Ibu, Sa!" suruh Kakak-ku setelah mengganti semua pakaian Ibu. aku langsung mengambil makanan tanpa mengeluarkan kata membantah sedikitpun.Berita ibu jatuh hingga stroke menyebar ke seantero Kampung. sehingga dari pagi hingga siang banyak tamu yang berdatangan menjenguk Ibu. Aku dari tadi tidak bicara sedikitpun. Aku masih syok dengan kejadian tadi.Hingga menjelang waktu ashar, tamu masih berdatangan. Setelah adzan waktu ashar terdengar, aku bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat. setelah sholat di lanjutkan dengan berdo'a. didalam tangis, ku lantunkan do'a laa ilaaha illa angta, subhaanaka inni kungtu minadzolimin. sehingga 100 kali putaran. sungguh hari ini membuatku risau, sehingga aku tak bisa melakukan apapun selain menangisi keadaan. Aku takut ditinggal oleh Ibu, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain beliau. setelah selesai berdo'a aku bergegas ke dapur untuk membantu saudaraku memasak.kulihat tamu masih banyak yang menjenguk Ibu, aku pergi ke dapur dengan mata sembab. aku merenung di depan tungku api, yang sedang mamasak air. berpikir gimana caranya agar aku bisa menikah secepatnya, karena aku takut Ibu nggak bisa menyaksikan Anak bungsunya menikah. Di luar terdengar suara motor yang berhenti di halaman rumah. Aku berpikir mungkin itu tamu yang akan menjenguk ibu, ternyata.."Sa!! itu yang kemarin ngelamar kamu ke sini sama Bapak-nya!" Aku tidak langsung percaya mendengar Kakak-ku memberitahu siapa yang datang. ku tengok lewat pintu untuk memastikan kebenarannya."Allahu Akbar!" Aku kaget, pas melihat lewat pintu, kebetulan Bapak-nya Bang Halim melihatku lalu beliau tersenyum menyeringai. Aku malu sekali dicampur bingung. didalam banyak tamu, tidak mungkin aku memasukan bang halim kerumah Ibu."Bawa ke rumah Kakak, Sa!" Aku mengangguk, lalu bergegas keluar rumah menghampiri Bang Halim dan Bapak-nya. Aku menyalami Bapak Bang Halim dan hanya ku berikan senyuman untuk Bang Halim tanpa berjabat tangan. Lalu aku membawa mereka ke rumah Kakak-ku.Aku menyuguhkan minum dan kue untuk Bang Halim dan Bapak-nya. Aku tersenyum lalu pergi memanggil saudara lelaki-ku untuk menemui Bang Halim."A, itu ada tamu!." ku lihat Kakak sulungku sedang mengganti lampu di rumah Ibu."Siapa?" tanyanya penasaran."Bang Halim yang kemarin kesini, sekarang dia sama Bapaknya kesini.""Aahh, bohong!" Kakak-ku tidak percaya bahwa Bang Halim membawa Bapaknya."Beneran! mereka duduk di rumah Kak Rani." kataku meyakinkan."Hmm..." Katanya singkat. lalu pergi menemui tamu dadakan itu. Aku mengekor dibelakang Kakak-ku menemui Bang Halim. Saking tak percayanya diriku bisa didatangi oleh Bang Halim dan Bapaknya, sehingga aku lupa bahwa aku tidak memakai make up! baju yang dipakai pun bukan baju yang bagus dan bersih. Aahh sungguh malu, ditambah dari tadi duduk di depan tungku api, bayangkan! bukannya waangi ini malah bau asap!.Apapun keputusan Bapaknya Bang Halim. Aku akan terima, melihat keadaanku yang seperti ini, aku tidak banyak berharap untuk kedepannya."Ibunya ke mana A?" tanya Bapak Bang Halim, karena tidak melihat wanita sepuh yang katanya Ibunya Risa."Ada di rumah, kebetulan tadi ada musibah di sini, Ibu terjatuh di kamar mandi, hingga kena stroke. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah sadar." Kak Akbar menjelaskan kejadian tadi subuh mengenai Ibu yang terjatuh."Innalillahi... Mudah-mudahn secepatnya sembuh ya.. ""Aammiinn.." Kak Akbar mengaminkan harapan Bapaknya Bang Halim."Sudah lama itu Ibunya sakit?""Lumayan Pak, mungkin sekitar 4 tahun Ibu sakit." Bapak Bang Halim hanya mengangguk-mengaggukan kepalanya tanpa menjawab perkataan Kak Akbar."A, sebenarnya Bapak kesini selaku orang tua Halim, ingin meneruskan niat baik Anak saya, tentang lamaran kemarin. Apakah iya lamarannya diterima? Halim ini enggak punya pekerjaan yang tetap. kami pun sebagai orang tua bukan orang berada. Gimana? Apakah beneran terima?" Bapak Bang Halim bertanya, untuk memastikan kedepannya.Aku bingung menghadapi keadaan seperti ini,Kakak-ku terkekeh, "Terima kasih atas niat baiknya, untuk keputusannya diterima atau tidaknya, saya serahkan kepada Adik saya, karena Adik saya yang akan menjalaninya. betul ya Pak? kita yang hanya sebagai orang tua hanya bisa mendukung dengan keputusan Anak-Anaknya. Gimana Sa? Diterima enggak?" Kak Akbar menoleh padaku, sedangkan aku malah melirik Bang Halim yang sedari tadi hanya diam menyimak, aku memastikan dirinya apakah lamaran ini sungguhan?. Namun yang dilirik malah buang muka, ih ngeselin!.Aku mengangguk, tanpa bicara, "diterima?" Kak Akbar bertanya untuk memastikan jawabanku. Aku pun mengangguk kembali, bertanda bahwa aku bersedia dilamar oleh pria pendiam sepertinya. aku sempat menghaluin tentang dirinya, mungkin setelah menikah aku yang kudu gencar ajakin dia ngobrol, agar rumah tangga tetap berjalan tanpa diselimuti dengan rasa sepi."Iya Kak!." Biarlah kedepannya akan seperti apa, insya Allah, aku akan jalani dengan lapang dada. semoga aja Pria yang berada di seberang sana bisa diajak kerjasama untuk membangun rumah tangga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah."Alhamdulillah, lamarannya diterima katanya Pak," Kak Akbar menyampaikan jawabanku kepada Mereka."Alhamdulillah..." Calon mertuaku itu tersenyum sumringah dengan tangan menepuk pa-ha Bang Halim, sedangkan orang yang ditepuk malah diam saja tana senyum sedikitpun, "jadi langsung aja ya A, untuk tanggal pernikahannya kami serahkan kepada pihak perempuan." Bang Halim hanya manggut-manggut mendengarkan Bapaknya berbicara. Entah dia bahagia atau tidak, aku takan peduli! karena menurutku yang penting untuk saat ini bisa menikah secepat mungkin. soal cinta! itu bisa dihadirkan seiring waktu berjalan."Yaa sudah, karena keputusan sudah deal. Kami undur diri. Maaf enggak bisa menjenguk Ibu terlebih dahulu. Takutnya beliau syok yaa.." Bapaknya Bang Halim terkekeh karena rencana mendadak ini membuat kaget banyak orang. termasuk bagi Bang Halim sendiri."Yah, tidak apa-apa Pak," Kak Akbar menyalami Calon mertua dan Calon suamiku itu. aku mengantarkan mereka hingga keteras rumah.Malamnya..."Tadi siapa yang datang Sa?" tanya sepupuku yang sedang menjenguk Ibu."hmm??" aku pura-pura mudeg dengan pertanyaanya, karena sepupuku bertanya dihadapan Ibu. Aku tak ingin Ibu tahu tentang Aku dilamar oleh Bang Halim."Oohh itu... Orang Bandung A,"***Setelah kejadian Ibu yang jatuh, dan Bapak Bang Halim melamar di hari yang sama, semua Anak-Anak Ibu berkumpul untuk bermusyawarah. Karena keadaan Ibu yang semakin parah. Kami putuskan untuk segera melaksanakan pernikahan. Aku dan Kak Akbar langsung berangkat kepondok pesantren tempatku belajar. Guna untuk meminta izin kepada Guruku untuk menentukan tanggal pernikahan."Jodoh itu gak bisa disangka-sangka ya... baru juga kemarin Risa daftar kesini mau belajar, sekarang sudah izin aja mau menikah." kata Kiyai terkekeh, "Iyah, Pak, Alhamdulillah.""Kenal dimana? keseharian Risa kan di Asrama, baru juga kemarin libur ngajinya." tanya Bu Nyai padaku. "Dikenalkan sama teman Bu, kebetulan itu juga saudaranya. kenalnya juga baru-baru ini." jawabku berusaha untuk sopan. "Alhamdulillah... Mungkin sudah jodohnya ya. Mudah-mudahan lancar hingga hari H nya." "Sekarang tanggal berapa Bu?" tanya Pak Kiyai kepada Istri beliau. "Tanggal satu Pak." Kulihat Guru sedang mengitung tanggal. "Dua ming
Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi s
Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua. sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu. Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka. Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan sa
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
[Mel maksudnya apa ini?] balasku pada Melisa yang telah mengirimkan uang yang tidak sedikit bagiku. [Tadikan aku udah bilang, itu untuk jajan kamu Sa! Maaf ya sedikit.] [Ini banyak banget menurutku, Mel. Terimaksih banyak ya Mel, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang berlipat-lipat.][Iya, Aamminn... Udah dulu ya! aku mau kerja lagi. Wasallamu'alaikum.] [Iya Mel silahkan, Wa'alaikum salam...] Aku berkaca-keca ketika melihat nominal uang yang Melisa berikan. Allah itu maha baik, disaat aku sedang kebingungan memikirkan Bang Halim yang gak punya modal untuk bulan Ramdhan, sekarang Allah kirim uang melalui orang yang tak terduga. "Alhamdulillah." gumamku. Akupun langsung menghubungi Bang Halim agar Bang Halim segera pulang sebentar untuk mengambil uang di ATM. "Adek enggak mau membeli apa-apa?" tanya Bang Halim setelah mengambil uang dari ATM. "Enggak Bang, buat modal jualan aja." "Ya udah, ini simpan uangnya. Kalo Adek mau beli apapun silahkan aja, itu kan uang Adek." uja
"Alhamdulillahh..." ucap Bang Halim dengan Mata berkaca-kaca. Beliau pun langsung memelukku karena merasakan kebahagiaan yang tiada tara."Terimakasih..."Aku tersenyum melihat Bang Halim yang terus menerus membolak-balikkan alat tes kehamilan itu. Mungkin beliau merasa tidak percaya. "Ayo sholat Bang! Kita minta kepada Allah semoga ini memang benar-benar nyata." "Aammiin... Kita cek ke Dokter ya Dek! Biar jelas.""Nanti aja Bang. kalo udah telat haidnya. aku kan belum telat, nanti kalo sudah seminggu telat kita ke dokter." kataku padanya. yang dijawab dengan anggukan saja. Setelah melaksanakan sholat, aku berbaring lagi karena merasa lemah. Bersin-bersin yang tak kunjung berhenti membuatku cape sendiri. Aku mempunyai kebiasa Bersin-bersin bila pagi menjelang. karena aku mempunyai penyakit semacam alergi dingin semenjak aku berusia 13 tahun. Sudah dua jam berlalu, namun rasa lelah itu terus melanda. Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat Bang Halim di dapur. Kulihat Belia
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke