Setelah kejadian Ibu yang jatuh, dan Bapak Bang Halim melamar di hari yang sama, semua Anak-Anak Ibu berkumpul untuk bermusyawarah. Karena keadaan Ibu yang semakin parah. Kami putuskan untuk segera melaksanakan pernikahan. Aku dan Kak Akbar langsung berangkat kepondok pesantren tempatku belajar. Guna untuk meminta izin kepada Guruku untuk menentukan tanggal pernikahan.
"Jodoh itu gak bisa disangka-sangka ya... baru juga kemarin Risa daftar kesini mau belajar, sekarang sudah izin aja mau menikah." kata Kiyai terkekeh,"Iyah, Pak, Alhamdulillah.""Kenal dimana? keseharian Risa kan di Asrama, baru juga kemarin libur ngajinya." tanya Bu Nyai padaku."Dikenalkan sama teman Bu, kebetulan itu juga saudaranya. kenalnya juga baru-baru ini." jawabku berusaha untuk sopan."Alhamdulillah... Mungkin sudah jodohnya ya. Mudah-mudahan lancar hingga hari H nya.""Sekarang tanggal berapa Bu?" tanya Pak Kiyai kepada Istri beliau."Tanggal satu Pak." Kulihat Guru sedang mengitung tanggal."Dua minggu lagi, pas tanggal 14." katanya membuat Kak Akbar kaget."Dua minggu lagi, Pak?" tanya Kak Akbar memastikan."Iyah," Kak Akbar menganggukan kepalanya tanda dirinya mengerti."Yaa sudah Pak, terimakasih, saya tunggu kedatang Pak Kiyai untuk menghadiri acara Akad Risa nanti." Kak Akbar menyalami Pak kiyai dan Istrinya. Aku pun juga mengikuti Kakakku menyalaminya."Ingsya Allah ya ..."Alhamdulillah, Guruku memberi waktu persiapan hanya dua minggu. Sebenarnya terlalu cepat, karena ke uangan keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Namun kami yakin semua akan berjalan dengan baik."Bang, tanggal pernikahannya dipercepat. Kata guruku dua minggu lagi pernikahannya. Gimana Bang? Apa sudah siap?" ucapku ketika menghubungi Bang Halim, untuk memberitahu tanggal pernikahan."Dua minggu lagi ya? Apa enggak terlalu cepat Dek?" tanyanya ragu."Enggak tahu Bang, tapi keluarga Adek sudah siap.""Yaa sudah, nanti ta sampaikan sama Bapak.""Iyah Bang.""Adek beneran mau nikah sama Abang?""Kalo enggak mau, enggak mungkin diterima!""Takutnya kepaksa gitu." Ucapnya terkekeh.(Emang iya) batinku."Enggak kok Bang,""Ya sudahh, Abang mau kasih tahu dulu Bapak tanggal nikahnya. Takutnya nanti lupa. Agar segera persiapan.""Iyah silahkan Bang. udah dulu yaa Assalamualaikum.""Iya silahkan, Wa'alaikum salam.."Tut.Tak lama setelah itu, Bang Halim menghubungiku kembali."Adek sekarang lagi di mana?" tanya Bang Halim tiba-tiba."Di Asrama Bang, Emang kenapa?""Mau nginap di Asrama?""Iyah, Bang.""Kata Mamah, Adek bersedia tidak besok Abang jemput?""Mau ngapain?""Abang disuruh jemput Adek, besok Mamah mau belanja buat hantaran, jadi nanti sepulang dari Asrama Adek ikut Abang sama Mamah buat belanja.""Beneran?""Iyah!" Aku sedikit senang dengan sambutan keluarga Bang Halim yang mau mengikut sertakan aku untuk belanja." Abang sudah minta izin sama Kakak Adek barusan. beliau memberi izin,""Ya sudah, Nanti Abang jemput Adek ke sini." Akhirnya aku pun mau diajak belanja bersamanya, karena ini demi kebaikanku juga, takutnya barang-barang hantaran tidak sesuai dengan keinginanku bila aku menolaknya.***Sepulang dari belanja, Bang Halim mengantarkanku ke rumah. di atas motor aku dan Bang Halim saling diam hingga sampai di rumahku. Bang Halim mengobrol dengan Ibu sebentar, lalu dia pamit untuk pulang karena waktu sudah semakin sore.Dua minggu lagi pernikahanku dilaksanakan. Sedangkan aku belum memberi tahu Kang Aldi, bahwa aku akan segera menikah.Kulihat jam sudah menunjukan angka sembilan. Tandanya Kang Aldi sudah selesai mengajar. Kucoba menghubunginya, semoga saja dijawab langsung olehnya."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikum salam..." jawabnya disebrang sana."Gimana kabarnya Kang?""Alhamdulillah baik. Kamu?""Alhamdulillah, kalo Akang baik-baik saja. Risa di sini juga baik.""Syukurlah." Katanya singkat."Kang?" Panggil-ku padanya"Iya?""Sebenarnya ada yang mau diomongin. Tapi Risa merasa berat untuk menyampaikannya.""Kenapa? Ngomong aja!.""Maaf, sebenarnya dua minggu yang lalu, ada yang melamar ke Risa.""Terus?""Dua minggu lagi Risa akan menikah.""Alhamdulillah." kok? jawabnya singkat amat. nggak sedih gitu - pikirku."Maaf, apabila selama ini Risa sering buat Akang jengkel dengan tingkah Risa.""Enggak apa-apa!" Sesingkat itu kah jawabannya? Aku merasa tidak puas dengan jawabannya."Akang enggak sakit hati gitu?""Biasa aja!" Aku terdiam cukup lama. Kesal karena jawabannya singkat terus."Berat!" lanjutnya tiba-tiba. Membuatku mengerutkan dahi heran. Tadi bilang tidak apa-apa, kok barusan bilang berat."Iya, memang berat, tapi harus gimana lagi, nggak ada pilihan lain. " jawabku pasrah"Semoga jadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Maaf, kalo Akang enggak bisa datang kesana. Sampaikan juga maaf ke Ibu, Akang enggak bisa memenuhi keinginannya dulu.""Aammiinn... Iyaa enggak apa-apa, Kang!"Dulu, pertama kenal Kang Aldi aku memang tidak terlalu meresponnya. Usia yang masih sangat muda membuatku tidak memperdulikannya. Namun Kang Aldi yang sering menitipkan ungkapan Salamnya membuatku tertarik. Aku yang saat itu adalah gadis kecil yang baru saja memulai menimba Ilmu Agama, tentu menginginkan teman lawan jenis agar aku tak bosan di Pesantren. Namun, seiring berjalannya waktu kami menjadi lebih dekat. Kang Aldi juga sudah berani bertanya bila kami berpapasan. dia juga berani mengirim pesan ketika waktu luang. Semakin dewasanya kang Aldi, semakin bertambah pula Ilmunya. Sebenarnya aku sering was-was terhadap Kang Aldi. Karena banyak yang suka padanya. malah ada orang tua yang terang-terangan menyodorkan Anak gadisnya kepada Orang tua Kang Aldi untuk di jodohkan. Namun Kang Aldi begitu kuat dengan pendiriannya. dan tetap bertahan denganku. Namun karena Ibuku menginginkan aku secepatnya menikah, akhirnya Kang Aldi mulai mundur dari kehidupanku. karena dia sadar, bahwa dirinya belum mampu mengabulkan keinginan Ibuku. hingga saat ini komunikasi kami menjadi tidak sehat, hingga terjadilah aku yang memutuskan menikah dengan orang lain, dan harus mengubur dalam-dalam rasa yang ada padanya."Maaf! Bukannya Akang enggak mau sama Risa, tapi Akang belum punya apa-apa. Akang pun belajar belum bisa menguasai semuanya. Akang dulu diancam sama Bapak, katanya kalo mau secepatnya menikahi Risa, Akang harus berhenti mondok, dan harus memulai bekerja. Jadi Akang putuskan untuk mendiamkan Risa. Karena Akang juga sejujurnya merasa berat." jelasnya membuatku ingin menangis."Maafin Risa juga Kang, kalau seandainya Ibu sehat, Risa juga akan terus mondok. Tapi Ibu dua minggu yang lalu terjatuh di kamar mandi, sehingga beliau stroke. Jadi Risa memutuskan untuk segera menikah, memang ini terlalu cepat, tapi Risa yakin, ini yang terbaik." ucapku dengan bercucuran air mata."Iyaah, enggak apa-apa. Akang ikut senang. Do'a yang terbaik untuk Risa dari Akang.""Terimakasih Kang. Semoga Akang juga nanti dapat istri yang baik, sholehah melebihi Risa.""Iyah Aammmiinn.." Kami terdiam sejenak. Lalu aku melanjutkan bertanya padanya tentang seseorang yang membuat aku memutuskan menikah dengan orang lain."Oiya Kang, Risa mau tanya. Yang namanya Dinar itu siapa?""Bukan siapa-siapa!, dia murid Akang di sini.""Maaf ya Kang, sebenarnya Risa tahu tentang Akang dengan Dinar. Banyak yang ngasih tahu ke Risa. Jadi Risa putuskan untuk menerima lamaran yang lain, Agar dia bisa berharap lebih sama Akang.""...." Kang Aldi terdiam lama."Maafin Risa yaa, mungkin ini yang terakhir Risa menghubungi Akang. Maafin Risa sebesar-besarnya. Semoga Akang mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta dapat jodoh yang lebih baik dari pada Risa.""Aammiinn..." Kami terdiam sangat lama, entah hanya aku yang tidak mau memutuskan telepon, atau dia. Karena biasanya kami sering berkomunikasi sangat lama. Entah kenapa, kami menjadi canggung seperti awal-awal kami berkenalan."Maafin Akang yaa, semoga Risa jadi istri sholehah juga," ucapnya, sedikit membuat hatiku menghangat. "Oiya, Calon suaminya siapa? dan Orang Mana?Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi s
Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua. sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu. Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka. Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan sa
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
[Mel maksudnya apa ini?] balasku pada Melisa yang telah mengirimkan uang yang tidak sedikit bagiku. [Tadikan aku udah bilang, itu untuk jajan kamu Sa! Maaf ya sedikit.] [Ini banyak banget menurutku, Mel. Terimaksih banyak ya Mel, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang berlipat-lipat.][Iya, Aamminn... Udah dulu ya! aku mau kerja lagi. Wasallamu'alaikum.] [Iya Mel silahkan, Wa'alaikum salam...] Aku berkaca-keca ketika melihat nominal uang yang Melisa berikan. Allah itu maha baik, disaat aku sedang kebingungan memikirkan Bang Halim yang gak punya modal untuk bulan Ramdhan, sekarang Allah kirim uang melalui orang yang tak terduga. "Alhamdulillah." gumamku. Akupun langsung menghubungi Bang Halim agar Bang Halim segera pulang sebentar untuk mengambil uang di ATM. "Adek enggak mau membeli apa-apa?" tanya Bang Halim setelah mengambil uang dari ATM. "Enggak Bang, buat modal jualan aja." "Ya udah, ini simpan uangnya. Kalo Adek mau beli apapun silahkan aja, itu kan uang Adek." uja
"Alhamdulillahh..." ucap Bang Halim dengan Mata berkaca-kaca. Beliau pun langsung memelukku karena merasakan kebahagiaan yang tiada tara."Terimakasih..."Aku tersenyum melihat Bang Halim yang terus menerus membolak-balikkan alat tes kehamilan itu. Mungkin beliau merasa tidak percaya. "Ayo sholat Bang! Kita minta kepada Allah semoga ini memang benar-benar nyata." "Aammiin... Kita cek ke Dokter ya Dek! Biar jelas.""Nanti aja Bang. kalo udah telat haidnya. aku kan belum telat, nanti kalo sudah seminggu telat kita ke dokter." kataku padanya. yang dijawab dengan anggukan saja. Setelah melaksanakan sholat, aku berbaring lagi karena merasa lemah. Bersin-bersin yang tak kunjung berhenti membuatku cape sendiri. Aku mempunyai kebiasa Bersin-bersin bila pagi menjelang. karena aku mempunyai penyakit semacam alergi dingin semenjak aku berusia 13 tahun. Sudah dua jam berlalu, namun rasa lelah itu terus melanda. Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat Bang Halim di dapur. Kulihat Belia
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke