Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.
Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi statusku akan berubah menjadi istrinya. Aku berharap di pernikahanku ini, Allah memberikan keridhoan serta keberkahan yang banyak untukku dan Bang Halim.Bang Halim membacakan Shalawat sebagai mahar, kenapa maharnya tidak memakai Emas? Kenapa Shalawat? Karena aku menginginkan mahar yang abadi. Sebagaimana Rasulullah bersabda 'barang siapa membaca sholawat satu kali, maka Allah SWT akan membalasnya dengan 10 kali shalawat.Pernah aku mendengar hikayat seorang pemabuk yang banyak dosa, namun ketika meninggal dirinya diagungkan dan selamat, itu karena berkat sholawat yang pernah ia baca selama hidupnya. Jadi, aku berpikir, bahwa mahar sholawat itu sangatlah bagus. Sebagaimana Nabi Adam menikahi Siti Hawa dengan mahar sholawat.Aku duduk disamping Bang Halim, sesuai arahan yang guruku perintahkan. Agar aku bisa mendengar Bang Halim mengucapkan Ikrar yang sangat Agung. Setelah Ijab Qabul selesai, Aku disuruh mencium tangan Bang Halim untuk pertama kalinya, dan ia pun mencium keningku dan mendo'akan untuk kebaikanku.Aku dan Bang Halim menyalami orang tua kami, serta para Ustadz yang membimbing kami. Aku salami dan peluk Ibu yang saat ini tersenyum padaku. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang amat besar. Di mana aku bisa memenuhi keinginannya. Meski bukan Kang Aldi yang menjadi suamiku, tapi aku sangat berharap, Bang Halim bisa menjadi lelaki yang sesuai dengan harapanku, dan semoga menjadi lelaki yang bertanggung jawab melebihi Kang Aldi.Meski acaranya sederhana, tapi tamu yang hadir begitu banyak. Hingga sore menjelang semua tamu baru pulang."Cape ?" tanya Bang Halim sambil membereskan barang-barangnya."Lumayan." Aku tersenyum menanggapinya."Sekarang Abang harus ke masjid ya," Ia bertanya ragu." iyah, sekarang ada acara di Masjid, kan malam ini malam Nisfu Sya'ban.""Oh iya yaa... Enggak sadar dengan pernikahan kita, kita yang berganti status dari lajang menjadi suami istri, buku catatan amalan kita pun berganti. Semoga kedepannya amalan kita lebih baik dari sebelumnya ya." Ucap Bang halim mengutarakan harapannya. Aku tersenyum menganggukan kepala."Aammiinn.."Menjelang waktu Maghrib. Bang Halim bersiap untuk shalat berjama'ah di Masjid terdekat. Malam ini bertepatan dengan hari digantinya buku catatan amalan para hamba selama setahun, yaitu hari Nisfu Sya'ban. Jadi aku tidak bertemu dulu dengan Bang Halim karena Bang Halim berada di Masjid dari waktu maghrib hingga pukul sembilan.Dan ada yang lucu di pernikahanku. Ketika orang lain gugup dengan malam pertama. Aku malah tenang-tenang saja. Karena saat ini aku sedang dalam keadaan haid. Dulu, aku sering berdo'a kalo seandai aku menikah, aku ingin di hari pernikahanku, aku sedang halangan, yaitu haid. karena sejujurnya aku juga takut dengan malam pertama. hehe..Selesai mengikuti kegiatan Nisfu Sya'ban, kami berdua makan bersama. Kecanggungan masih menghampiri antara aku dan Bang Halim. Semua keluargaku pada mengerti dengan dengan kami yang pengantin baru, sehingga di rumah hanya ada aku dan Bang Halim. Ibu malah menginap di rumah saudara, katanya malu. Memang seperti itu Ibu sekarang, karena sedikit menurun daya ingatannya, sehingga terkadang tingkahnya membuat orang terdekatnya harus sering bersabar, serta beristighfar.Kulihat Bang Halim sedang membereskan bantal, dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur ku beranikan diri untuk mengajaknya ngobrol."Bang, bukannya mau membacakan do'a yang di ijazahkan oleh guru ngaji Abang?" tanyaku padanya. Tentang Amalan do'a yang sangat baik dilakukan oleh pengantin baru."Oohh iya lupa. Sini!" Bang Halim menepuk ranjang di sisinya, agar aku duduk di sana. Aku pun menuruti untuk duduk di sisinya. Bang Halim memutar posisinya, sehingga kami saling berhadapan. Tangan Bang Halim memegang ubun-ubun kepalaku. Lalu akupun mencium tangannya. Selanjutnya Bang Halim membacakan do'a untuk meminta kebaikan untuk sang istri."Bissmillahirrahmanirrahim.. Allahumma Inni Asaluka khoirohaa wa khoiro maa jabaltaha 'Alaihi. Wa 'audzubika ming Syarrihaa wa Syarimaa jabaltaha 'alaihi... Aammiinn.." Bang Halim mencium ubun-ubunku sangat lama, entah apa yang dido'akan, aku berharap semoga Allah mengabulkannya."Maafin Abang ya, kalo seandainya nanti Abang lalai, tolong Adek ingetin Abang. Abang harap Adek bisa memaklumi Abang yang bukan santri seperti mantan Adek. Ya?""Insya Allah Bang, kita sama-sama belajar dan saling mengingatkan, karena Adek juga belum ngerti semuanya.""Iyaa... Ya udah, ayo tidur, sudah malam." ajaknya yang membuatku gelagapan."Abang enggak apa-apa tidur di sini sendirian?""Lho! Emang Adek mau kemana?" Beliau bertanya heran."Tidur di kamar sebelah, Bang." jawabku malu."Emang kenapa?""Adek, lagi haid Bang." Kulihat raut wajah Bang Halim, kukira dia akan kecewa ternyata malah terkekeh geli."Oohh. Di sini aja, enggak bakal diapa-apain kok. Tenang aja." ucapnya terkekeh."Beneran? kata Kak Rani tidurnya harus misah, takutnya Abang enggak tahan, dan kebablasan.""Hah! yaa enggak lah, meski Abang bukan santri, tapi Abang juga tahu kok, kalo seorang istri tidak boleh digauli ketika sedang haid." jawab Bang Halim sambil membaringkan tubuhnya. "Di sini aja tidurnya." Dia menepuk-nepuk tempat tidur disebelahnya."Hmm ya udah, Adek ambil selimut dulu di kamar sebelah." Bang Halim menjawab dengan anggukan pelan.Setelah mengambil selimut yang lain, Kami bergegas untuk tidur, tidak lupa juga dengan guling dan bantal yang membatasi anatara aku dan Bang Halim. Entah kenapa, hawanya begitu terasa panas. padahal, biasanya juga di kampungku selalu dingin, apalagi ini sedang musim hujan. Tentunya suasana semakin dingin.Keadaan di kamar bersama orang asing semakin membuatku gerah, dan membuatku tidak bisa tidur. Karena sudah satu jam berlalu, namun mata masih susah diajak merem, akhirnya, aku coba tengok Bang Halim dibelakangku, semoga saja dia sudah tidur, pas aku lirik dia, dia juga sedang melihatku. eh! aku kira hanya aku saja yang susah tidur. Ternyata Bang Halim juga sama."Susah tidur ya?" tanya Bang halim karena melihatku gelisah. Aku hanya tersenyum, lalu Bang Halim mengambil guling yang membatasi kami, dan menyimpannya ke sisi ranjang."Sini!" Bang Halim menggeser tubuhnya mendekatiku, lalu menyodorkan lengan kokohnya untuk aku tiduri. entah siapa yang memulai, bukannya kami tidur, malah aktivitas lain yang terjadi. Hingga rasa ngantuk itu pergi total hingga subuh menjelang.Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua. sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu. Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka. Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan sa
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
[Mel maksudnya apa ini?] balasku pada Melisa yang telah mengirimkan uang yang tidak sedikit bagiku. [Tadikan aku udah bilang, itu untuk jajan kamu Sa! Maaf ya sedikit.] [Ini banyak banget menurutku, Mel. Terimaksih banyak ya Mel, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang berlipat-lipat.][Iya, Aamminn... Udah dulu ya! aku mau kerja lagi. Wasallamu'alaikum.] [Iya Mel silahkan, Wa'alaikum salam...] Aku berkaca-keca ketika melihat nominal uang yang Melisa berikan. Allah itu maha baik, disaat aku sedang kebingungan memikirkan Bang Halim yang gak punya modal untuk bulan Ramdhan, sekarang Allah kirim uang melalui orang yang tak terduga. "Alhamdulillah." gumamku. Akupun langsung menghubungi Bang Halim agar Bang Halim segera pulang sebentar untuk mengambil uang di ATM. "Adek enggak mau membeli apa-apa?" tanya Bang Halim setelah mengambil uang dari ATM. "Enggak Bang, buat modal jualan aja." "Ya udah, ini simpan uangnya. Kalo Adek mau beli apapun silahkan aja, itu kan uang Adek." uja
"Alhamdulillahh..." ucap Bang Halim dengan Mata berkaca-kaca. Beliau pun langsung memelukku karena merasakan kebahagiaan yang tiada tara."Terimakasih..."Aku tersenyum melihat Bang Halim yang terus menerus membolak-balikkan alat tes kehamilan itu. Mungkin beliau merasa tidak percaya. "Ayo sholat Bang! Kita minta kepada Allah semoga ini memang benar-benar nyata." "Aammiin... Kita cek ke Dokter ya Dek! Biar jelas.""Nanti aja Bang. kalo udah telat haidnya. aku kan belum telat, nanti kalo sudah seminggu telat kita ke dokter." kataku padanya. yang dijawab dengan anggukan saja. Setelah melaksanakan sholat, aku berbaring lagi karena merasa lemah. Bersin-bersin yang tak kunjung berhenti membuatku cape sendiri. Aku mempunyai kebiasa Bersin-bersin bila pagi menjelang. karena aku mempunyai penyakit semacam alergi dingin semenjak aku berusia 13 tahun. Sudah dua jam berlalu, namun rasa lelah itu terus melanda. Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat Bang Halim di dapur. Kulihat Belia
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke