Ke esokan harinya. Aku membantu Ibu di dapur. Di rumah hanya ada kami berdua. Karena semua Kakak-ku sudah mempunyai rumah sendiri.
Apabila aku di pondok, Ibu terkadang menginap di rumah Kakak. Terkadang juga sendirian di rumah.Semenjak pembicaraan kemarin, tak ada pesan lagi dari Kang Aldi untuk memberi kepastian tentang hubungannya. 'Mungkin lagi sibuk' batinku.Sempat merasa kecewa padanya, tapi aku tidak bisa apa-apa."Gimana dengan Aldi? Apa dia akan kesini?" pertanyaan Ibu yang membuatku tambah merasa bersalah."Enggak tahu Bu. Lagi sibuk mengajar di pesantren yang lain Kang Aldinya, Ibu jangan ngarep-ngarep dia ya, Do'akan aku ya Bu, semoga secepatnya bisa menikah." jawabku dengan senyum sumringah yang di buat-buat."Ibu pasti do'ain kamu. Kamu jangan sedih! Enggak apa-apa kalo enggak jodoh sama Aldi juga. Pasti Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik." Beliau mencoba menenangkanku. Padahal yang aku tahu, beliau sangat berharap kepada Aldi. Tapi mungkin beliau tahu, bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan."Ya udah, Ibu jangan banyak pikiran ya. Biar cepat sembuh, nanti aku bilang sama Ibu kalo seandainya Kang Aldi ngasih kabar." Bu Rosi tersenyum lalu beliau berlalu ke luar rumah.**Malam kian beranjak, namun Kang Aldi belum juga memberi kabar. Malam ini Ibu menginginkan tidur bersamaku. Beliau sudah terlelap. Namun aku belum juga bisa memejamkan mataku. Aku tatap wajah yang sudah 20 tahun menemaniku. Wajah itu yang selalu aku rindukan ketika mondok, wajah keriput itu yang selalu membuatku merasa nyaman serta aman di mana pun juga, teringat dengan perlakuan Kang Aldi yang tidak mengenakan, membuat hatiku semakin sakit.Kalo seandainya Ibu masih muda dan sehat, aku tidak akan mengemis untuk segera dihalalkan. Aku kecewa dengan Kang Aldi yang malah menyuruhku untuk meminta Kang Aldi kepada orang tuanya. Entah kenapa dengan Kang Aldi, dimana-mana juga laki-laki yang harus meminta kepada orang tua perempuan. Kok ini malah terbalik, di mana harga diri para wanita kalo seandainya aku melakukan apa yang Kang Aldi suruh. Bisa dikutuk aku sama semua saudaraku.Ting.Suara pesan masuk, Aku bergegas melihat siapa yang sudah mengirim pesan. Aku berharap itu dari Kang Aldi. Namun sayang, ternyata pesan dari yang kemarin ngajak ta'arufan. Sebenarnya aku kesal, tapi masih aku jawab pesannya.Halim Maulana : Teh bisa minta foto Teteh tidak?Fachrisa : Buat apa ya Bang?Halim Maulana : Pengen lihat saja, kan Teteh enggak mau diajak ketemuan.Aku mencoba mencari foto-fotoku yang ada di galeri. Aku mencari foto yang paling jelek dan buram. Ternyata ada, itu foto sudah tiga tahun yang lalu, difoto ketika waktu malam, jadi tidak jelas dilihat.Fachrisa : Ini Bang, [foto] maaf enggak ada lagi fotonya. (Aku ketawa dalam hati, kali-kali ngerjain orang)Halim Maulana : Beneran enggak ada Teh? Yang jelasan dikit lah Teh, ini enggak kelihatan wajahnya. [Emot sedih]Fachrisa : Kalo mau yang asli, bisa datang langsung ke rumah. Biar jelas dan menentukan kedepannya.Aku melakukan itu bukan karena apa-apa, melainkan aku sedang menguji laki-laki mana yang benar-benar serius menginginkan dan menerima keadaanku apa adanya. Karena sudah beberapa orang datang ke rumah, hanya silaturahim saja, enggak ada ke jelasan kedepannya. Aku sering kecewa dengan laki-laki yang hanya melihat dari keadaanya saja. Jadi untuk saat ini, aku tidak akan lagi berharap dengan orang yang baru saja aku kenal.Halim Maulana : insya Allah ya Teh, saya tanyain dulu sama Bapak saya. Karena saya belum pernah datang ke rumah perempuan.Fachrisa : Yaa sudah silahkan Bang.Halim Maulana : Teh boleh minta Nomor ponselnya?Fachrisa : Boleh, ini. +6282xxxxxHalim Maulana : Terimakasih Teh...Fachrisa : Sama-sama.Ku lihat jam di atas kepalaku. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Aku berusaha untuk bisa tidur dengan hati yang tenang.Karena ngantuk tak kunjung datang juga, Aku teringat dengan kisah Nabi Yunus yang berada di perut Ikan selama 40 hari. Nabi Yunus terus berdzikir Laa ilaaha illa angta, subhanaka inni kungtu minadzolimin. Hingga Allah mengeluarkannya dari perut ikan. Aku mencoba mengucap dzikir itu hingga diriku terlelap. Berharap segala kerisauan di dalam hidupku hilang seiring dengan mataku terpejam. Dan berharap kebahagian menghampiri ketika mataku terbuka kembali.**Sudah satu minggu Kang Aldi tidak ada menghubungiku. Katanya ponselnya dipinjam oleh adiknya. Entah itu benar atau tidak, aku tidak mau memikirkannya. Toh, aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh Kang Aldi. Namun yang membuat aku tidak peduli lagi dengan Kang Aldi, karena ada seorang perempuan yang bernama Dinar ngechatt padaku. entah dia siapanya Kang Aldi, Yang pasti perempuan itu bilang dia sering chattingan dengan Kang Aldi hingga pukul dua dini hari. Aku kaget dengan penuturannya. Kecewa dengan Kang Aldi. Sedangkan denganku saja Kang Aldi belum pernah seperti itu. Kini aku tahu, bahwa Kang Aldi berubah memang ada wanita lain, sebagaimana yang sering diucapkan oleh teman-temanku. bahwa pendiamnya seorang lelaki itu, tanda bahwa ia menyembunyikan sesuatu.Aku tidak mengatakan bahwa diriku sudah dekat dengan Kang Aldi sekitar tiga tahun, aku ingin tahu sejauh mana perempuan yang bernama Dinar dekat dengan Kang Aldi. Agar aku tahu, keputusan mana yang akan aku Ambil kedepannya.Katanya, dia chatt aku karena ingin bertanya, apakah Kang Aldi sudah memiliki kekasih apa belum? Karena Kang Aldi menyuruh menanyakan itu kepadaku, karena aku tahu jawabannya.Aku kaget, maksud Kang Aldi apa? kenapa dia menyuruh melakukan itu."Kenapa malah nanya saya tentang Kang Aldi? Kenapa enggak nanya ke Akang Aldi langsung aja." Aku bertanya balik pada Dinar."Justru itu! Teh, saya bingung, karena pas saya bertanya soal itu sama Kang Aldi, Kang Aldi malah nyuruh saya tanyai Teteh. Katanya Teteh tahu tentang itu.""Yang saya tahu Kang Aldi sudaah punya kekasih, tapi memangnya Dinar siapanya Kang Aldi ?""Awalnya saya suka dengan Kang Aldi Teh, karena keuletannya dalam bekerja, serta dalam mengajar ia begitu kalem. Dia rajin serta ramah. Saya cuma suka aja, tapi ada teman saya yang laporin itu ke Ustadz saya. Jadinya Kang Aldi di jodohkan dengan saya. Saya takut Kang Aldi sudah punya, gitu teh, makanya saya nanya sama Teteh." Sungguh, aku mendengar penjelasan itu bagai disambar petir di siang bolong. aku merasa terluka dengan pengakuannya. Memang sangat benar, Kang Aldi orangnya friendly apabila berhadapan dengan orang tua dan dan sesama jenis. Namun begitu berhadapan dengan lawan jenis, dia begitu cuek."Oohh gitu, yaa udah kamu optimis saja. Nanti juga kamu tahu jawabannya apa." Aku mencoba berbicara setenang mungkin."Iyah Teh, salam kenal yaa dari aku. Maaf sudah mengganggu.""Iyah enggak apa-apa, salam kenal kembali." Aku mencoba tersenyum. Padahal dalam hati aku merasa geram bukan main. Serasa ingin menelan Kang Aldi hidup-hidup.**ketika Kang Aldi tidak memberi kabar sedikitpun, ini sudah satu minggu Bang Halim sering menghubungiku, Katanya dirinya akan datang ke rumah bersama sepupunya yang kebetulan adalah temanku di pondok. Aku merasa biasa saja. Karena aku tidak ingin kecewa untuk kesekian kalinya.Mungkin dengan merelakan Kang Aldi untuk Dinar. Aku akan menemukan jodohnku yang sebenarnya.Aku terus berdo'a dan berdzikir 'Laa ilaaha illa angta subhaanaka inni kungtu minaddzolimin. Semoga dengan istiqomah berdo'a, Alloh memberikan jalan yang terbaik untuk masa depanku.*Hari ini, adalah hari pertemuanku dengan Bang Halim. Aku tidak banyak berharap dari pertemuan ini, Kang Aldi tidak mengetahui dengan apa yang aku lakukan. Karena saat ini juga, aku masih menunggu Kang Aldi untuk menjelaskan segalanya.Aku merasakan kegugupan ketika melihat Bang Halim datang dengan motor kecilnya. Bukan! bukan motor yang menarik perhatianku. Tetapi wajah Mas Halim yang rupawan membuat nyaliku menciut. sepertinya akan gagal lagi secepatnya dapat suami. huh."Gimana Teh? Apakah lamaran Bang Halim diterima?" Aku tersenyum ketika temanku bertanya. Entahlah, Bang halim dari tadi diam saja, membuatku bingung. Takutnya Bang Halim enggak mau sama aku yang mungil nan menggemaskan ini."Enggak tahu." kataku sembari menggelengkan kepala."Kenapa enggak tahu? jawab aja, biar jelas kedepannya gimana." Katanya lagi. Ibu yang berada disampingku terkekeh, dan mencoba membantu menjawab."Risa ini Anak yatim, ujang pasti sudah melihat keadaan keluarganya seperti apa, nah, jawabannya ada di ujang sendiri. Kalo memang Ujang serius, boleh kesini lagi bersama orang tua. Yaa... Coba dipikir-pikir lagi, Ibu takut Ujang menyesal kalo serba mendadak." jawab Ibu yang membuat Bang Halim mengangguk tersenyum.setelah tiga jam mengobrol ngalor ngidul Antara sepupu Bang Halim dan Keluargaku, akhirnya Bang Halim dan sepupunya pun pamit pulang."Bang! ini kunci motornya ketinggalan..."Bang! ini kuncinya ketinggalan." seruku padanya. kulihat Bang Halim memeriksa saku jaketnya, dia menepuk jidatnya lalu menghampiriku. "Hati-hati di jalan." kataku padanya, sedangkan dia hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. dia pun pamit untuk pulang, karena waktu semakin malam. Dua hari berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Bang Halim. Hubunganku dengan Bang Halim berlanjut. Aku sempat berpikir bahwa apabila setelah pertemuan pertama kami Bang Halim berubah, oke, berarti kami tidak berjodoh, tetapi hingga kini bukannya Bang Halim menjauh, tetapi malah semakin dekat.Sedangkan Kang Aldi belum tahu tentang aku yang sudah dilamar orang lain. Aku belum siap bicara, karena belum ada kepastian yang sebenarnya dari pihak orang tua Bang Halim.Demi kehidupanku yang lebih baik untuk kedepannya. aku kencengin berdo'a kepada-Nya, agar diberi jalan yang pasti. Setiap malam aku selalu terbangun untuk melaksanakan Qiyamul lail. Sebelum sholat, ku tengok Ibu di kamarnya, karena aku
Setelah kejadian Ibu yang jatuh, dan Bapak Bang Halim melamar di hari yang sama, semua Anak-Anak Ibu berkumpul untuk bermusyawarah. Karena keadaan Ibu yang semakin parah. Kami putuskan untuk segera melaksanakan pernikahan. Aku dan Kak Akbar langsung berangkat kepondok pesantren tempatku belajar. Guna untuk meminta izin kepada Guruku untuk menentukan tanggal pernikahan."Jodoh itu gak bisa disangka-sangka ya... baru juga kemarin Risa daftar kesini mau belajar, sekarang sudah izin aja mau menikah." kata Kiyai terkekeh, "Iyah, Pak, Alhamdulillah.""Kenal dimana? keseharian Risa kan di Asrama, baru juga kemarin libur ngajinya." tanya Bu Nyai padaku. "Dikenalkan sama teman Bu, kebetulan itu juga saudaranya. kenalnya juga baru-baru ini." jawabku berusaha untuk sopan. "Alhamdulillah... Mungkin sudah jodohnya ya. Mudah-mudahan lancar hingga hari H nya." "Sekarang tanggal berapa Bu?" tanya Pak Kiyai kepada Istri beliau. "Tanggal satu Pak." Kulihat Guru sedang mengitung tanggal. "Dua ming
Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi s
Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua. sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu. Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka. Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan sa
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
[Mel maksudnya apa ini?] balasku pada Melisa yang telah mengirimkan uang yang tidak sedikit bagiku. [Tadikan aku udah bilang, itu untuk jajan kamu Sa! Maaf ya sedikit.] [Ini banyak banget menurutku, Mel. Terimaksih banyak ya Mel, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang berlipat-lipat.][Iya, Aamminn... Udah dulu ya! aku mau kerja lagi. Wasallamu'alaikum.] [Iya Mel silahkan, Wa'alaikum salam...] Aku berkaca-keca ketika melihat nominal uang yang Melisa berikan. Allah itu maha baik, disaat aku sedang kebingungan memikirkan Bang Halim yang gak punya modal untuk bulan Ramdhan, sekarang Allah kirim uang melalui orang yang tak terduga. "Alhamdulillah." gumamku. Akupun langsung menghubungi Bang Halim agar Bang Halim segera pulang sebentar untuk mengambil uang di ATM. "Adek enggak mau membeli apa-apa?" tanya Bang Halim setelah mengambil uang dari ATM. "Enggak Bang, buat modal jualan aja." "Ya udah, ini simpan uangnya. Kalo Adek mau beli apapun silahkan aja, itu kan uang Adek." uja
"Alhamdulillahh..." ucap Bang Halim dengan Mata berkaca-kaca. Beliau pun langsung memelukku karena merasakan kebahagiaan yang tiada tara."Terimakasih..."Aku tersenyum melihat Bang Halim yang terus menerus membolak-balikkan alat tes kehamilan itu. Mungkin beliau merasa tidak percaya. "Ayo sholat Bang! Kita minta kepada Allah semoga ini memang benar-benar nyata." "Aammiin... Kita cek ke Dokter ya Dek! Biar jelas.""Nanti aja Bang. kalo udah telat haidnya. aku kan belum telat, nanti kalo sudah seminggu telat kita ke dokter." kataku padanya. yang dijawab dengan anggukan saja. Setelah melaksanakan sholat, aku berbaring lagi karena merasa lemah. Bersin-bersin yang tak kunjung berhenti membuatku cape sendiri. Aku mempunyai kebiasa Bersin-bersin bila pagi menjelang. karena aku mempunyai penyakit semacam alergi dingin semenjak aku berusia 13 tahun. Sudah dua jam berlalu, namun rasa lelah itu terus melanda. Aku bangkit dan memberanikan diri untuk melihat Bang Halim di dapur. Kulihat Belia
Keesokan harinya, Kakak aku yang tinggal di luar Kota datang. Aku sadari sikapnya sedikit berbeda, ia tak seramah dahulu sebelum berangkat ke luar kota. Mungkin Kakak aku yang lain mengadu tentang kesalahanku pada Ibu. Setiap aku mendekat padanya, ia selalu saja menghidar. Ketika malam tiba, aku tak sengaja bersingunggan dengannya. Ketika Kakak akan keluar sedangkan aku akan masuk rumah, aku mencoba memberanikan diriku bertanya padanya."Sebelum Ibu tiada, beliau manggil-manggil nama Kakak. Kenapa Kakak lama di luar Kota?" aku bertanya padanya untuk menghilangkan rasa canggung yang sejak tadi aku rasakan. Ternyata pertanyaanku menyulut emosinya yang mungkin ia tahan dari kemarin. "Kenapa kamu ninggalin Ibu?" katanya sedikit membentak, "Kakak kan udah bilang, jagain Ibu selama Kakak enggak Ada!" Kulihat sorot matanya yang sedang menahan air mata. Sepertinya ia lebih sakit ketika Ibu tiada sedangkan dirinya gak ada di sisinya. "Heuhhhh." geramnya dengan kilat ia mencubit pipiku. Kura
"Bang koma itu apa?" tanyaku pada suami yang sedang menyetir roda dua dengan bibir yang terkatuk rapat. "Sakaratul maut Dek, antara hidup dan mati. Ibu sekarang sedang kaya gitu!" Astaghfirullah... mendengar penjelasan dari Bang Halim aku terdiam dan terus berpikir bahwa tidak mungkin Ibu akan meninggal sekarang, dan meyakinkan diri sendiri bahwa Ibu hanya sedang kambuh agar aku segera pulang. Selama diatas motor aku dan Bang Halim hanya saling diam tanpa melanjutkan obrolan sedikitpun. Setelah sampai, aku berjalan diatas keheningan menunu rumah Kakak. Kulihat banyak orang yang berlalu lalang menuju rumah Kakak-ku. Mungkin menjenguk Ibu yang sedang koma.Ada rasa segan untukku bertemu dengan Ibu, karena aku menyadari, bahwa diriku yang lalai akan bakti padanya.Kubuka dengan pelan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Kulihat Ibu yang terbaring dikelilingi banyak orang. Ku hampiri beliau dan aku terkesiap melihat beliau yang sedang kejang menahan rasa sakitnya. Aku langsung lari padan
"Uangnya ada berapa?" Bang Halim bertanya sambil mengelus rambut hitamku. Aku tatap uang receh di tanganku yang tak seberapa, uang itu adalah uang sisa-sisa belanja, Aku menatap kembali wajah teduh yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku."Hanya ada sisa enam ribu." jawabku meringis. Karena merasa perihatin dengan diri sendiri. Yang tidak bisa apa-apa."Ya sudah, untuk hari ini apa cukup segitu? Tunggu ya! Nanti Abang akan coba minta kasbon dulu sama bos di pabrik, semoga saja nanti dikasih.""Iya enggak apa-apa, Bang." Aku hanya bisa memaklumi keadaan kami saat ini. Memang ada benarnya kata orang, ujian yang sebenarnya adalah setelah menikah.Sebelum menikah aku belum pernah menahan lapar dari pagi hingga sore menjelang, sedangkan setelah menikah, untuk jajan hanya dua ribu saja tidak ada. Mau minjam ke orang lain, tidak mungkin! minjam sama mertua aku gengsi.Sudah beberapa bulan, aku sering menahan lapar karena tak punya uang untuk sekadar membeli makanan gorengan. Karena di ruma
"Bu! selai yang dimeja kemanain?" "Enggak tahu!" jawabnya sambil mengusap-ngusap rambut basahnya."Itu Ibu pakai minyak rambut yang mana?" "Yang di meja!" "Astaghfirullah.. Bu! Itu selai nanas bu, bukan minyak rambut!" "Masa?" Ibu memegang rambutnya, lalu mengusap rambut itu. Aku terkekeh melihat tingkah ajaibnya seorang Ibu yang sudah pikun, eh! Menurun daya ingatnya maksudnya. "Iyaah Bu! itu selai nanas, coba dah Ibu rasain, rasanya pasti manis. kalo minyak rambut yang biasa Ibu pakai ada di kamar." Kulihat Ibu terkekeh geli. "Ibu keramas lagi gih, nanti susah ngilanginnya kalo udah kering."Ibu pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan rambutnya dari selai tanpa menjawab ucapanku sedikitpun. Aku hanya menghela nafas dalam melihatnya. Rasanya itu campur aduk, sedih ada, pengen ketawa ada, merasa cape hati pun ada. 'Semoga Allah memberi yang terbaik. Bila memang berumur panjang semoga aku kuat serta ikhlas mengurusnya. Namun apabila pendek, semoga Allah merahmatinya.' gumamk
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke