Di malam yang dingin, terlebih di jalanan hutan yang sangat mencengkam, udara yang terus berembus menyapu kulit halus kemerahan sang dua balita di gendongan ibunya. Di malam itu, tepatnya jalanan sepi, mobil itu terus melaju dengan kencang seakan tengah menghindari sesuatu.
Detik berikutnya di belokan jalan, mungkin karena panik atau apa, mobil kehilangan kendali arah dan menabrak pohon besar di depannya dengan keras, menimbulkan bunyi tabrakan yang kentara.
Di dalam mobil yang sudah benar-benar rusak itu, dua orang dewasa dengan dua balita di pangkuan sang ibu terlihat kondisinya memprihatinkan, si pria yang mengemudikan mobil terluka di bagian kepala, dan luka itu cukup parah sampai darah keluar banyak dari wajahnya sedangkan si wanita hanya mendapat luka kecil di kening akibat benturan, sedangkan dua balita yang terus menangis di gendongannya terus dipeluknya dengan erat.
Kesadaran si pria ternyata belum sepenuhnya hilang, pria itu berkata. "Pergilah, se-selamatkan mereka uhhhkk-" ucapnya terbatuk kemudian.
Si wanita menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Tapi kau-" pria itu menyela perkataannya. "Jangan pedulikan aku, pergilah sebelum mereka datang," ucapnya dengan suara yang tersendat, akibat darah yang terus merambah keluar dari mulutnya.
Dengan berat hati, akhirnya si wanita keluar meninggalkan si pria yang perlahan hilang kesadarannya, tapi masih sempat dia melihat senyum tulus pria itu sebelum dirinya benar-benar pergi menjauhi area kecelakaan.
Dengan isak tangis yang ditahannya wanita itu mencoba menenangkan dua malaikat kecil di gendongannya yang terus menangis. Sedangkan beberapa meter jauh dari lokasi kecelakaan, langkah kaki seorang pria mendekat tanpa disadari si wanita yang tengah menenangkan dua malaikat kecilnya. Pria itu dengan tiba-tiba membekap wanita itu dari belakang dan berakhir si wanita pingsan, pria itu lalu membawa wanita itu ke dekapannya sebelum tubuh itu terjatuh dengan dua bayi di gendongannya.
***
Di lain tempat, London Inggris.
'The Residence Of Matthew'Dor
Sebuah tembakan melesat dari seorang bocah berumur 6 tahun, "Dapat." ucapnya, seringai misterius terpantri di kedua sudut bibirnya.
"Good, you will actually be successor me later that would be very respected," seorang pria paruh baya menyahut setelah tembakan yang dilayangkan cucunya itu mengenai dahi seorang pria, yang seketika tewas di tempat.
Bocah 6 tahun itu hanya merespons dengan deheman saja lalu berkata. "I don't like traitors!" desisnya tidak suka. Bocah itu hanya berumur 6 tahun, tapi sepertinya tahu akan kehidupan di sekelilingnya, bahkan tahu arti pengkhianatan."Alviano-Alviano," teriakan seorang wanita terdengar membuat si bocah panik seketika.
"Damn, my mom!" pekik bocah itu segera menyerahkan pistol di tangannya pada sang kakek.
"Pergilah." ucap sang kakek.
Tapi baru juga keluar dari pintu rahasia itu, seorang wanita cantik berumur dua puluh delapan tahun berdiri sembari berkacak pinggang menatap tajam putra pertamanya itu.
"Apa yang kau lakukan malam-malam buta di ruangan itu, kau melakukan sesuatu seperti tempo hari?" tanya wanita itu menatap menyelidik putranya. Nicholas Alviano Matthew.
"Sudah Mom bilang jangan turuti perintah kakekmu yang kejam itu. Alviano," desah wanita itu. Nadanya terdengar frustrasi.
"Ayolah Mom, aku hanya menembak seorang penghianat," ucap bocah berusia 6 tahun memelas, membuat sang Mommy melotot tak percaya.
"Me-menembak," ucapnya dengan terbata-bata.
Matthew benar-benar-keluarga ini memang penjahat kejam, tapi dirinya malah menikahi putra dari keluarga ini dan memiliki anak bernama Nicholas Alviano Matthew, bocah berusia 6 tahun yang sudah bisa membuat orang sekitarnya segan dan ketakutan.
***
Wanita dengan dua malaikat kecilnya terlihat bersandar di pohon yang lumayan besar, seorang pria yang telah membuat si wanita pingsan terlihat mendekati dua bayi mungil itu, berjongkok dan mengulurkan tangannya ke pipi mungil itu, mengelusnya dengan amat lembut.
Pria itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, dan sang bayi yang akan kembali mengeluarkan tangisannya terhenti dan terlihat nyaman dengan sentuhan yang diberikan pria itu, sedangkan pria itu sedikit terenyak saat melihat bayi mungil itu nyaman dengan sentuhannya dan tak mengeluarkan tangisnya. Pria itu lalu bergantian mengelus bayi satunya yang berselimut merah muda.
Dari tatapan si pria kepada dua balita itu, terlihat menunjukkan sesuatu yang terpendam entah apa itu?
Beberapa menit kemudian. Wanita itu perlahan mengerjapkan kedua matanya dan melihat pria yang sangat dikenalnya yang merupakan suaminya sendiri tengah bersama dua bayinya.
Albert. Batinnya.
Dia harus menjauhkan bayinya dari bajingan itu. Berat dan egois memang harus memisahkan anak dari ayahnya, tapi apa boleh buat ia tak ingin anaknya dalam bahaya karena ayahnya sendiri.
Pria bernama Albert itu perlahan bangkit dari aktivitas memandang kedua bayinya, salah satu bayi dia angkat dan dicium kening mungilnya dengan lembut kemudian diserahkan pada seorang anak buahnya.
Oh tidak jangan sampai bajingan itu mengambil anakku!
Wanita itu menoleh dan mendapati satu anak buah suaminya berada di belakang dengan tangan menggenggam sebuah pistol. Dan saat keadaan berpihak padanya, dengan secepat kilat merebut pistolnya dan berhasil. Langsung saja moncong pistol ia arahkan pada Albert-Suaminya sendiri.
Maaf sayang, Mommy tepaksa melakukan ini pada Daddymu. Batinnya.
"Elina?!"
Sedangkan Albert sendiri terkejut dengan tindakan istrinya dan pria itu mencoba bersikap tenang.
"Jangan mendekat, atau aku akan menembakmu!" pekik Elina waspada saat Albert mulai berjalan mendekatinya.
Saat situasi memungkinkan, Elina berjalan mendekati bayinya yang masih berada di tanah. Setelah mengambil bayinya Elina bangkit dengan satu tangan menggendong bayinya, dan satu tangan tetap menodongkan pistol.
"Elina!"
"Tidak Albert, kau sudah menghancurkan semuanya, aku tak mau berbagi dan kenapa kau tega sekali ingin memisahkanku dari kedua malaikatku," pekik Elina dengan napas memburu.
"Kau salah paham, sayang," ucap Albert menggeleng. "Semua itu hanya omong kosong."
"Omong kosong katamu, aku mendengarnya sendiri, terlebih dari mulutmu sendiri, kau ingin membuangku dan memisahkan aku dengan kedua anakku. Dan jalangmu itu, aku sudah muakkk Albert!!"
"Elina, aku tidak mungkin melakukan hal itu-"
"Aku tidak membutuhkan penjelasanmu, jangan mendekat atau aku akan benar-benar menembakmu, aku tak main-main," teriak Elina karena suaminya itu terlihat santai dan malah terus mendekatinya meski dengan langkah pelan.
Dor
Bunyi tembakkan terdengar, ternyata bukan Albert yang ditembaknya melainkan anak buah di samping suaminya yang berniat melepaskan pelatuknya sebelum Elina dengan cepat membunuhnya.
"Maafkan aku," gumam Elina, dan untuk ke-dua kalinya bunyi tembakan kembali terdengar.
Dengan gemetar Elina menatap Albert yang menatapnya tidak percaya, tangan lelaki itu menyentuh perutnya yang tertembak. Hanya tembakan yang meleset tapi mampu membuatnya meringis kesakitan. Elina langsung pergi saat perhatian teralihkan pada suaminya.
"Shit! Kenapa kalian menatapku! Kejar istriku dasar bodoh!" teriak Albert, dan langsung berlari dengan tangan menyentuh perut kirinya-well, dia masih bisa hanya untuk mengejar wanita itu.
Sedangkan Elina terus berlari, sekali-kali menoleh ke belakang-masih ada yang mengikutinya sampai akhirnya ia bisa lolos-orang-orang suruhan suaminya jauh tertinggal di belakang. Kemudian Elina melihat seorang pria dari kejauhan lalu mendekatinya, karena ia yakin pria itu bukan salah satu anak buah suaminya.
"Tolong saya." Ucapnya dengan napas memburu, karena panik.
"Nona? Ada yang bisa saya tolong, Anda terlihat ketakutan," kata pria itu.
"Aku hanya ingin menitipkan bayiku nanti aku akan mengambilnya kembali,'' ucap Elina.
"Tapi kenapa nona-" tanya Pria itu tak mengerti.
"Turuti saja perkataanku, sekarang Anda harus pergi, tolong jaga Caroline, aku mohon padamu," setelah itu Elina pergi meninggalkan pria itu.
Saat Elina tengah berlari dengan waspada, malah pemandangan di depannya membuatnya terkejut dan ketakutan secara bersamaan. Elina melangkah mundur sampai akhirnya punggungnya menabrak dada seorang pria yang wajahnya terlihat menyeramkan.
"Akhirnya kami menemukan Anda, Mrs. Albert," ucap Pria di depannya.
***
Sedangkan di tempat lain, pria yang dititipkan bayi Elina, terlihat memasuki rumah dengan tergesa dan wajahnya pucat kentara.
"Kenapa dengan wajahmu dan bayi siapa ini?" tanya Marta William, istri Jhonny William.
"Seorang wanita menitipkan bayi ini padaku, dan wanita itu tertembak. Marta!" Jhonny terlihat panik wajahnya pucat, bahkan tangannya yang tengah menggendong bayi tersebut gemetar.
"Tenanglah Jhonny, tadi apa yang kau bilang.... Menembak? Aku tak mengerti? Duduklah dulu, lalu kau ceritakan semuanya," ucap Marta menyuruh suaminya untuk duduk.
Marta lalu mengambil segelas air di meja yang sudah tersedia di meja, "Sekarang ceritakan," ucap Marta saat suaminya itu sudah sedikit tenang.
Mengalirlah cerita dari mulut Jhonny, dari bertemu seorang wanita yang menitipkan bayinya dan karena penasaran akhirnya Jhonny mengikuti Elina, sampai akhirnya lelaki itu melihat Elina dihadang oleh beberapa orang pria berbadan besar. Niat hati ingin menolong tapi Jhonny tidak bisa melakukan apa-apa, apa lagi keterkejutan menyerangnya saat salah satu dari pria itu menembak Elina, sampai akhirnya demi keselamatan bayi di gendongannya juga dirinya sendiri Jhonny pergi dengan waspada agar tidak ketahuan.
"....... Begitu ceritanya." Jhonny mengakhiri Ceritanya, sedangkan Marta, raut wajah wanita itu terlihat cemas, dia melirik bayi yang telah berada di gendongannya. "Rencanamu apa selanjutnya? Merawatnya atau..." Marta menggantungkan kalimat akhirnya, tak sanggup bila harus membuang bayi ini, meski memang bayi ini bukan siapa-siapa mereka."Terserah kau saja, aku akan mengikutimu," jawab Jhonny, matanya terus memperhatikan bayi di gendongan istrinya yang terus menggeliat dan detik berikutnya suara tangisnya terdengar."Hay, tenanglah, baby girl, kau anakku sekarang." ucap Marta sembari mengusap pipi halus sang bayi. Dan ajaibnya tangisan bayi itu terhenti dan mata bulatnya terbuka menatap Marta."Aku tak sanggup harus membuang bayi ini, entah kenapa aku langsung jatuh cinta padanya dari pertama kau membawanya," ungkap Marta."So?" "Aku akan merawatnya, berbahaya atau tidak dia hanya bayi kecil yang manis," ucap Marta."Kau yakin?" tanya Jhonny memastikan.Marta mengangguk mantap. "Ak
"Pakai ini?" Perintah Rachel menyerahkan paper bag di tangannya pada Caroline. Caroline mengambil dan membukanya dan langsung melotot saat melihat gaun merah cantik yang sayangnya begitu terbuka pada bagian punggung. "Kau menyuruhku memakai gaun kurang bahan ini?" desisnya tak percaya dan Rachel hanya mengangguk tanpa ragu menghiraukan tanggapan tidak suka dari sahabatnya itu. Tidak punya pilihan lain, Caroline akhirnya pasrah memasuki satu bilik kamar mandi. Menit selanjutnya Caroline akhirnya keluar dengan penampilan memukau."Kau cantik dan sexy, Car, pasti cocok." komentar Rachel menatap takjub sahabatnya yang benar-benar cantik dengan gaun terbukanya. "Sebenarnya apa yang akan aku lakukan?" tanya Caroline tak sabar dengan apa yang akan ia kerjakan. "Aku akan memberi tahu mu nanti, sekarang ikut aku." Rachel menyeret Caroline keluar toilet. "Lihat dia." Rachel menunjuk seorang pria. Caroline melihat pria yang ditunjukan Rachel dan merasa sudah pernah melihatnya, tapi di mana
Mata Caroline terbelalak tak percaya. Bukan dirinya yang menembak atau pun si pria bermasker dan bertopi hitam yang tengah menatap datar Nicholas, melainkan pistol yang diacungkan Jack yang berbunyi dan pelurunya tersarang pada si pria bermasker. Tubuh pria itu limbung seketika tapi sepertinya masih bisa menyeimbangi agar tidak terjatuh, dan kembali mengacungkan pistolnya pada Nicholas sebelum polisi berhasil menyergapnya. Misinya harus terselesaikan dengan tuntas. Caroline semakin terbelalak saat pria di depannya kembali mengacung pistolnya pada Nicholas. Dor "Aah!'' Nicholas meringis saat sebuah peluru kecil menyerang di bagian perut kanannya. Tubuh lelaki itu langsung limbung ke lantai. "Tuan." Rolan langsung berjongkok dengan panik."Ahhh perempuan itu!!'' Geram Nicholas menatap tajam Caroline yang terlihat panik dengan tangan menutup mulutnya sedangkan bisa Nicholas lihat sebuah pistol tergeletak manis di samping kaki kanan perempuan itu. Sedangkan Caroline sendiri terbelal
Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya. "Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur. Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!" Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya. "Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu." Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya. "Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya. Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh. "Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah dat
Wade William, adalah wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayah angkatnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline.Yeah, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sang kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya.Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena.Anak pembawa sial! Dirinya?Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya?"Bibi he
"Hai, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" desis Caroline meronta mencoba lepas dari rengkuhan tangan Nicholas di pinggangnya."Caroline William," belum reda keterkejutan Caroline akan perlakuan tiba-tiba Nicholas, wanita itu di buat merinding akan ucapan yang mampir di telinganya. "Kau harus menjadi milikku!""What are you say? kau mengigau ya!" Merasa amat heran, Caroline menyahut Nicholas dengan pertanyaan.Nicholas tersenyum tipis. Kemudian membalik tubuh Carolinemenghadapnya. "You're beautiful, smart and seem to have a cheerful, brave soul, and this-" Jamari Nicholas mampir di bibir Caroline-menyentuh dan mengelus lembut bibir itu dengan sensual. "Aku suka. Kau mempunyai mulut yang tidak bisa diam tapi anehnya itu membuatku suka, hal baru yang ada pada dirimu membuatku tertarik. And yea, you must be mine!"Kedua mata Caroline melotot mendengar ucapan terakhir lelaki di hadapannya itu. "No, I'm not yours!""Apa yang menjadi perintahku tidak bisa di tolak, beauty."Caroline mengg
"Alar, Alardo!"Rachel mengerutkan alisnya saat pria di depannya itu tak menyahut dan malah terfokus pada sesuatu di belakangnya. Tertarik, Rachel menoleh dan tersenyum tipis-mengerti objek di belakangnya menarik perhatian Alardo."Sepertinya aku harus pergi." katanya tiba-tiba, membuat pria di hadapannya melotot."Hah. Kenapa?" tanya Alardo."Tidak ada. Hanya aku berpikir kita telah selesai berbicara kan?" jawab Rachel."Kau janji akan menemaniku malam ini." Kata Alardo membuat Rachel terdiam sesaat."Sepertinya lebih baik lain kali."Alardo menghela napas. "Tapi aku mau sekarang. Kalau begitu ayo kita pergi." Alardo ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Rachel dan pemandangan itu tak lepas dari pandangan wanita yang tidak lain Crystal.Rachel protes. "Tapi-"Alardo menggeleng-tidak menerima bantahan. "Tidak ada penolakan."
"Di mana kamarmu?" tanya Nicholas setelah berhasil memasuki rumah Caroline yang tampak sederhana. "Arah barat pintu cokelat dengan atasnya ada tulisan namaku." jawab Caroline lelah, kesadarannya telah berada di angka 50 persen. Mendengar jawaban itu, Nicholas segera bergerak mencari kamar yang disebutkan wanita di gendongannya. "Emmm... Nic. Jangan membuat suara aku tidak ingin membangunkan orang rumah." Kata Caroline dalam setelah perjalanan mencari kamarnya. "Oke."Lima belas detik kemudian. Nicholas tepat berdiri di depan pintu kamar dengan tulisan Caroline William. Lelaki itu bergerak membuka knop pintu, memasuki kamar dan menutup kembali pintunya. Nicholas kemudian merebahkan Caroline di ranjang. "Kau harus berganti pakaian. Ini kotor." ucap Nicholas sambil duduk di sisi ranjang. "Hmm," Dan hanya dehaman yang menyahut. Saat Caroline akan melepas kausnya, tampak kesusahan. "Bantu aku." lanjutnya kemudian. Nicholas akhirnya membantu menarik kaus itu dari tubuh Caroline ya
Di perjalanan, Nicholas menggeram kesal, tangannya yang tengah mengendalikan setir sekali-kali memukul setirnya kuat, beberapa kali juga menekan klakson membuat suara nyaring yang tidak mengenakan.Tidak sesuai bayangannya, Nicholas sedikit lama, padahal beberapa kilo meter lagi akan sampai tapi kemacetan kembali menyerang yang otomatos membuat jalanan macet, karena ternyata ada kecelakaan di depan sana.Dan itu membuat Nicholas marah juga kesal. Ohh bukan dia tidak simpati—ah whatever Dia sudah harus sampai dalam beberapa menit lagi. Sial! "Oh c'mon gods aku tidak mau melewatkan kesempatan yang telah diberikan istriku."Nicholas melirik arlojinya, sudah tiga puluh tujuh menit dari waktu yang diberikan Caroline tapi ternyata Nicholas terlambat.Lima belas menit kemudian, akhirnya Nicholas bebas dari kemacetan. Lelaki itu dengan tidak peduli menambah pedal gas kecepatan mobilnya di atas rata-rata, mengemudi seperti orang kesetanan, bahkan lelaki itu sampai harus banting stir karena be
"Caroline?"Satu detik Tidak ada jawaban!Sepuluh detik.Masih tidak ada jawaban."Caroline?" ulang Nicholas dengan nada sedikit tinggi saat tidak juga mendapat respon."1 jam."Kerutan di dahi Nicholas terlihat—bertanda lelaki itu bingung dengan ucapan sang istri. Apa maksudnya? "Maksudnya?""Temui aku dalam waktu 1 jam atau tidak sama sekali."Seketika Nicholas merasa jantungnya berdetak kencang, kehangatan menjalar di hatinya hanya karena ucapan dari Caroline yang termakna sebuah kesempatan.Ya, tentu saja akan dia lakukan apa saja untuk bisa bertemu dalam waktu 1 jam itu."Kami memberiku kesempatan,""Temui aku di airport, Hilton International London Heathrow Airport di 1 jam itu pesawatku akan lepas landas."Dan TutPanggilan di putus secara sepihak.Nicholas memandang ponselnya yang telah terputus sambungannya, dan tanpa berpikir panjang lagi pria itu langsung bergegas pergi.1 jam? Menuju lokasi yang diberitahu Caroline, kira-kira ia akan sampai dalam 40 menit.Apa akan tep
"Aku tidak peduli, yang penting sekarang—" Nicholas menggantungkan ucapannya dan menyeret Alice pada meja yang telah disediakan kemudian tanpa memandang balas kasih lelaki itu menekan kepala sang wanita ke meja."Katakan yang sejujurnya apa yang terjadi dari kau masuk ke kamarku dan menggodaku!" ucap Nicholas, tangan satunya yang bebas kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi nomor istrinya. Dan sampai panggilan keempat, Caroline tidak juga mengangkatnya membuat Nicholas menghela napas putus asa. Tidak punya pilihan lain Lelaki itu mengetikan sebuah pesan dan mengirimnya langsung.Sedangkan di tempat lain. Caroline mencoba tidak tergoda untuk mengangkat panggilan suami berengseknya."Sayang, itu teleponnya." Elina yang mendengar panggilan itu menghela napas. Wanita paruh baya itu menoleh melihat siapa penelepon."Nicholas?" ucap sang paruh baya dengan pelan, tau sekali putrinya sedang tidak dalam mood baik."Aku tidak mau mengangkatnya." ucap Caroline datar."Mungkin penting. Jan
''Ya ampun sayang," Elina yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut dengan kedatangan putrinya yang tampaknya tidak baik-baik saja. "Ada apa denganmu. Kenapa menangis?" tanyanya menghampiri cepat putrinya yang sudah meluruh di dinding pintu."Mom..." Caroline langsung memeluk Elina menumpahkan rasa sakitnya dalam pelukan sang Momny."Itu Nicholas, pintunya—""Tidak tidak, biarkan saja." Caroline menggelengkan kepala menatap sang Mommy dengan tatapan kesakitan. Membuat Elina tidak tega."Menangislah sepuasnya. Nanti cerita pada Mom." ucapnya sambil memeluk sang putri, tak lupa tangannya menepuk-nepuk pelan punggungnya mencoba menyalurkan ketenangan.Beberapa menit kemudian gedoran di pintu sudah menghilang begitu pun Caroline yang mulai tenang. Wanita itu melepaskan pelukannya kemudian menatap Elina."Aku mau pergi,""Pergi?"Caroline mengangguk. "Ikut Mommy kemana pun."Elina mengerutkan keningnya, tapi selang detik setelahnya menghembuskan nafas pelan. Kemudian mengangguk. "T
Keesokan harinya. Di atas sebuah sofa Caroline tengah duduk manis dan tampak sibuk mengotak-atik ponsel di tangannya. Ahya, beberapa saat lalu Caroline memang keluar untuk berbelanja bersama Elina, membeli beberapa pakaian, makeup, dan salah satunya ponsel yang saat ini di mainkannya. Sebenarnya dia menolak untuk keluar apa lagi berbelanja dengan nominal yang besar tapi karena sang ibu memaksa Caroline tidak bisa menolak. Tapi yang jelas Caroline masih asing dengan kehidupannya sekarang. Sangat berubah 90 sederajat. Siapa sangka ternyata dia merupakan anak dari seorang pemilik The big mall dan sangat berpengaruh dengan cabang yang meraja rela di dunia."Akhirnya ketemu." Kata Caroline tampak senang saat berhasil menemukan akun sahabatnya—Rachel.Setelah apa yang terjadi padanya selama setahun ini. Ia rindu adik dan sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana keadaanmu Raquel? Semoga saja Putri menggemaskan dari sahabatnya itu selamat dan baik-baik saja.Caroline benar-benar kehilangan info se
S2 CHAPTER 62 "Nak?"Dengan panik Elina mendekati Caroline yang tiba-tiba memasuki kamar—kepanikannya muncul saat melihat kedua mata putrinya berkaca-kaca bahkan air mata telah membasahi pipinya."Mom..." Caroline langsung menghambur kepelukan sang ibu."Kenapa sayang?" tanya Elina merasa cemas."Nic—Nicholas ternyata mempunyai istri lain—Dia menikah lagi!?!" Beritahu Caroline dengan penuh emosi kesedihan pada sang ibu yang sebenarnya sudah di mengetahui fakta tersebut. Mengela napasnya wanita paruh baya itu tak menyangka akan secepat ini fakta itu sampai pada putrinya. "Untuk lebih jelasnya kamu bisa meminta penjelasan suamimu—"Caroline menatap tak percaya mendengar itu, langsung memotong. "Mommy sudah tau,"Seketika Elina menggeleng tapi menggangguk kemudian. Mencoba tenang sebelum kemudian mejelaskan. "Bukan Mom berpihak pada suamimu, tapi karena mom tau ada sesuatu." Rahasia sebesar ini disembunyikan hanya untuknya. Hebat sekali Nicholas Matteow.Dan sesuatu apa? "Sorry honey
Elina, Caroline, Nicholas turun dari mobil tepat di depan pekarangan Mansion Albert. Ketiganya berjalan memasuki mansion tersebut.Sesampainya—menginjakkan kakinya di lantai utama, mereka telah disambut oleh tiga orang yang tidak lain, Albert, istri kedua dan anak perempuanya."Woah ibu peri dan putrinya yang buta telah kembali." Alice—anak ke tiga Albert mengejek dengan angkuhnya pada Elina dan Caroline.Alice maju selangkah hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Elina dan Caroline. Dengan menatap sinis dua orang itu, Alice berani mengangkat tangannya—menunjuk-nunjuk Elina dan Caroline tak sopan."Kenapa kalian harus kembali ke sini hm? Parasit tidak berguna tidak dibutuhkan di sini!" ucapnya sinis.Caroline yang sedari tadi mengepalkan tangannya ingin sekali menampar bulak balik bibir seenaknya itu. Tapi tenang—Caroline berusaha tenang. Bukan saatnya.Well, sedari awal masuk dia sudah menebak lelaki yang beberapa jarak di hadapannya itu adalah ayah kandungnya dan dua wanita yang t
Keesokan harinya. Pukul 06.30 PM. Caroline sudah bangun dari tidurnya. "Nicholas belum datang?" Tanyanya pada sang ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.Elina menggeleng sebagai jawaban. "Belum."Caroline menghela nafasnya dengan bibir maju sedikit. "Padahal aku sangat berharap kala aku bangun lelaki itu sudah di sini. Waktunya sedikit lagi," lirih Caroline kecewa."Jangan sedih sayang. Kita telepon saja suamimu ya?" Elina yang menemani memutuskan untuk menghubungi menantunya itu untuk mengurangi kesedihan dan kekecewaan putrinya."Mungkin dia memang sibuk Mom." ucap Caroline saat tau sang suami tidak menerima panggilannya."Jangan salah sangka beauty. Aku di sini," suara bas Nicholas dari arah pintu menyahut Caroline. Lelaki itu ternyata sudah berada di rumah sakit."Nic!" sahut Caroline berubah ceria. Terlihat bahagia."Kau benar-benar akan menemaniku?" Tanya wanita itu untuk kesekian kali, membuat Nicholas melengkungkan bibirnya sambil berjalan mendekati Caroline, lalu mem
Beberapa jam kemudian, Caroline sudah kembali ke kamar rawatnya dan jadwal operasi sudah di tetapkan.Beberapa pemeriksaan sudah di lakukan—tadi, dan berjalan lancar dan dirinya besok benar-benar bisa melakukan operasi donor matanya."Caroline."Caroline tersentak saat mendengar suara berat itu.Caroline kemudian menetralkan wajahnya menjadi datar. "Untuk apa Anda ke sini?" tanyanya dingin.Meski tidak bisa melihat seperti apa rupa sosok lelaki yang katanya–Ayah kandungnya, Caroline hanya memperlihatkan raut datarnya setelah fakta yang di dengarnya—kekejaman ayahnya, terutama pada ibunya. Lelaki paruh baya itu mendekati Caroline sembari berkata. "Maafkan Daddy Caroline,"Sontak Caroline terkekeh sinis mendengarnya. "Ayah? Seingat saya... Saya tidak punya Ayah." cetusnya dengan begitu dingin.Menolak mentah-mentah Albert Ryson sebagai Ayah kandungnya.Albert merasa dadanya tertusuk beribu-ribu jerami tajam—sangat sakit saat mendengar putrinya sendiri tak mengakuinya. Bahkan dari nad