"Terserah kau saja, aku akan mengikutimu," jawab Jhonny, matanya terus memperhatikan bayi di gendongan istrinya yang terus menggeliat dan detik berikutnya suara tangisnya terdengar.
"Hay, tenanglah, baby girl, kau anakku sekarang." ucap Marta sembari mengusap pipi halus sang bayi. Dan ajaibnya tangisan bayi itu terhenti dan mata bulatnya terbuka menatap Marta.
"Aku tak sanggup harus membuang bayi ini, entah kenapa aku langsung jatuh cinta padanya dari pertama kau membawanya," ungkap Marta.
"So?"
"Aku akan merawatnya, berbahaya atau tidak dia hanya bayi kecil yang manis," ucap Marta.
"Kau yakin?" tanya Jhonny memastikan.
Marta mengangguk mantap. "Aku sangat yakin," ucapnya kemudian mengecup sayang kening sang bayi.
"Tapi bagaimana dengan ibunya?" tanya Marta kemudian.
Jhonny terdiam sejenak, lalu menjawab. "Kita tunggu saja wanita itu mengambil kembali bayinya, dan aku yakin wanita itu bukanlah wanita sembarangan, bila dia memang ingin kembali pada anaknya dia pasti akan dengan mudah mengetahui keberadaan kita dan mengambil bayinya kembali."
Marta mengangguk, mereka tak peduli selama bayi ini berada di tangan mereka, mereka akan menyayanginya, lagi pula Jhonny dan Marta belum di karuniai buah hati selama mereka menikah hampir 5 tahun, jadi mereka akan dengan tulus menjaga dan merawat anak ini meski entah kapan bayi ini akan kembali diambil oleh orangtuanya.
"Kita beri nama siapa bayi manis ini?" Marta terlihat berpikir, apa yang cocok menjadi nama bayi ini.
"Namanya Caroline.''
Marta menatap suaminya. "Caroline?"
"Ya, ibunya sendiri yang mengatakan padaku saat menitipkannya padaku," ucap Jhonny.
Marta mengangguk. "Kalau begitu kita namakan saja Caroline William, nama depan dari ibunya dan belakang menyandang nama kita, kau tak keberatan kan?"
Jhonny terdiam selama beberapa detik sampai akhirnya mengangguk. "Ya. Aku setuju, selamat datang di keluarga William, Caroline," ucapnya.
Mereka memandang bayi itu dengan senyuman bahagia, dan sang bayi membalasnya dengan senyum cantik di sudut bibir mungilnya.
***
"Tuan kami sudah mencari ke penjuru hutan selama satu jam dan masih tak menemukan Nyonya Elina." Kata anak buah Albert.
"Tidak mungkin Elina menghilang secepat itu?" desisnya geram.
"Tuan, kami menemukan darah tidak jauh dari sini," sahut seorang anak buahnya menghampiri Albert.
"Di mana? Kita ke sana," perintah Albert. Dan akhirnya Albert melihat beberapa tetes darah yang lumayan banyak di tanah yang ditunjukkan anak buahnya.
"Tidak mungkin Elina?!" Albert menggeleng tak percaya.
"Kita pergi sekarang," ucap Albert.
•••
Beberapa tahun kemudian.
"Caroline!"
Seorang wanita cantik menoleh saat merasa namanya dipanggil.Caroline. Ya, Caroline William yang dulunya balita yang dititipkan Elina sekarang telah tumbuh menjadi sosok gadis yang sangat cantik, dengan mata biru, alis tebal, hidung mancung yang teratur, bibir sedikit tebal, tak lupa lesung pipi yang akan terlihat mempesona di kala tersenyum. Dan bukan itu saja Caroline pun memiliki tinggi yang terbilang idaman sebagian wanita, 175 cmdengan berat badan 63 kg membuat postur perempuan itu terasa pas.
Caroline sekarang menginjak usia 24 tahun, dan masih tinggal bersama orangtua angkatnya. Ya dia tahu semuanya, bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari kedua orangtuanya sekarang tapi Caroline sangat bersyukur, mereka sangat tulus menyayanginya, Caroline tak tahu kenapa ibunya tidak mencarinya lagi setelah menitipkannya pada Ayah angkatnya, dan yang diketahuinya dari ayahnya, Ibunya berada dalam bahaya sebelum dirinya terpisah dari sang ibu.
Caroline sudah berusaha mencari kedua orangtuanya dengan bantuan sahabatnya Rachel yang merupakan seorang polisi. Tapi semua usahanya nihil, tidak ada kemajuan, orangtua kandungnya seperti tertelan bumi.
Tuhan, kau pasti mempertemukan kami, entah itu kapan?Caroline merupakan seorang pekerja di restoran Mcdonald's yang terkenal akan beberapa cabangnya, saat bekerja Caroline selalu dipuji dan digoda oleh beberapa pelanggan pria karena kecantikannya, bahkan beberapa wanita sangat iri padanya. Dan posisinya sekarang berada di restoran Mcdonald's dan tengah melakukan pekerjaannya.
"Jaga tanganmu tuan," desis Caroline melihat tangan kurang ajar pelanggannya mampir seenaknya di pahanya, segera saja ia cekal dan pelintir tangan itu dengan kencang, lalu pergi setelahnya menghampiri rekannya yang terus memanggilnya dengan nada peringatan.
"Kau sangat cantik tapi sangat galak, nona." Caroline mendengar korbannya itu berteriak menggerutu akan perlakuannya, tapi Caroline tak peduli. Salah sendiri tangan kurang ajar itu tidak tahu tempat!
"Kau tidak bisa memperlakukan pelanggan seperti itu, kau bisa dipecat Caroline!" Kata Daby memperingati.
Caroline mengangkat bahunya tak peduli, "Aku tidak akan melawan bila mereka juga tidak mencuri kesempatan dariku.""Tapi tidak seperti—" belum juga Daby menyelesaikan ucapannya, ponsel di saku Caroline berdering.
Rachel - +17165466xxx
"Bantuan apa?" tanya Caroline mengernyit alisnya mendengar ucapan dari seberang telepon.
"Tidak, kau tahu aku tidak suka Klub."
Menghela napas mendengar rengekan dari sahabatnya yang meminta tolong, akhirnya Caroline pasrah. "Oke, aku segera ke sana."Caroline menutup teleponnya, lalu tersenyum manis pada Daby, dan Daby bisa melihat ada makna tersembunyi dari temannya itu. "Apa?" tanyanya jengah.
"Karena ini sudah larut malam, aku harus pulang, by," ucap Caroline langsung kabur, karena ia tahu Daby pasti akan menghalanginya untuk pulang terlebih dulu.
"Caroline, ini masih jam 7, belum memasuki larut malam..... Hai mau ke mana kau? Tugasmu belum selesai!" Teriakan Daby masih bisa didengarnya, tapi Caroline tidak peduli, ada tugas penting yang harus dilakukannya.
***
Sedangkan di sebuah Klub yang terkenal mewah dan ramai, seorang wanita dengan dress merah ketat mencolok terlihat tampak tidak nyaman, tangannya terus menurun-nurunkan dress-nya agar lebih menutupi pahanya membuat wanita itu mendengus kesal.
"Kenapa juga yang dipilih gaun sexy sialan ini?!" gerutunya.
Rachel— berada di lantai atas, pandangan perempuan itu menatap sekeliling, sampai kemudian fokusnya terarah pada seorang pria yang tengah duduk di kursi bartender dengan secangkir vodka di tangannya.
"Terus awasi pria itu," perintahnya pada beberapa orang yang berkaitan dengan Invisible earpiece yang tertempel di belakang telinganya. Rachel lalu menelepon seseorang yang tidak lain sahabatnya—Caroline, untuk menanyakan sahabatnya itu sekarang berada di mana.
"Kau di mana?"
"Aku sudah berada di Klub yang kau katakan, di meja bartender, cepatlah ke sini aku muak dengan pria-pria hidung belang yang terus mencoba mendekatiku." Caroline di seberang sana menyahut.
"Tidak, liatlah ke lantai atas, aku memakai gaun merah, naiklah!" jawab Rachel yang juga sudah mendapati Caroline yang tampak tengah mendumel.
"Pakai ini?" Perintah Rachel menyerahkan paper bag di tangannya pada Caroline. Caroline mengambil dan membukanya dan langsung melotot saat melihat gaun merah cantik yang sayangnya begitu terbuka pada bagian punggung. "Kau menyuruhku memakai gaun kurang bahan ini?" desisnya tak percaya dan Rachel hanya mengangguk tanpa ragu menghiraukan tanggapan tidak suka dari sahabatnya itu. Tidak punya pilihan lain, Caroline akhirnya pasrah memasuki satu bilik kamar mandi. Menit selanjutnya Caroline akhirnya keluar dengan penampilan memukau."Kau cantik dan sexy, Car, pasti cocok." komentar Rachel menatap takjub sahabatnya yang benar-benar cantik dengan gaun terbukanya. "Sebenarnya apa yang akan aku lakukan?" tanya Caroline tak sabar dengan apa yang akan ia kerjakan. "Aku akan memberi tahu mu nanti, sekarang ikut aku." Rachel menyeret Caroline keluar toilet. "Lihat dia." Rachel menunjuk seorang pria. Caroline melihat pria yang ditunjukan Rachel dan merasa sudah pernah melihatnya, tapi di mana
Mata Caroline terbelalak tak percaya. Bukan dirinya yang menembak atau pun si pria bermasker dan bertopi hitam yang tengah menatap datar Nicholas, melainkan pistol yang diacungkan Jack yang berbunyi dan pelurunya tersarang pada si pria bermasker. Tubuh pria itu limbung seketika tapi sepertinya masih bisa menyeimbangi agar tidak terjatuh, dan kembali mengacungkan pistolnya pada Nicholas sebelum polisi berhasil menyergapnya. Misinya harus terselesaikan dengan tuntas. Caroline semakin terbelalak saat pria di depannya kembali mengacung pistolnya pada Nicholas. Dor "Aah!'' Nicholas meringis saat sebuah peluru kecil menyerang di bagian perut kanannya. Tubuh lelaki itu langsung limbung ke lantai. "Tuan." Rolan langsung berjongkok dengan panik."Ahhh perempuan itu!!'' Geram Nicholas menatap tajam Caroline yang terlihat panik dengan tangan menutup mulutnya sedangkan bisa Nicholas lihat sebuah pistol tergeletak manis di samping kaki kanan perempuan itu. Sedangkan Caroline sendiri terbelal
Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya. "Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur. Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!" Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya. "Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu." Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya. "Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya. Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh. "Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah dat
Wade William, adalah wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayah angkatnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline.Yeah, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sang kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya.Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena.Anak pembawa sial! Dirinya?Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya?"Bibi he
"Hai, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" desis Caroline meronta mencoba lepas dari rengkuhan tangan Nicholas di pinggangnya."Caroline William," belum reda keterkejutan Caroline akan perlakuan tiba-tiba Nicholas, wanita itu di buat merinding akan ucapan yang mampir di telinganya. "Kau harus menjadi milikku!""What are you say? kau mengigau ya!" Merasa amat heran, Caroline menyahut Nicholas dengan pertanyaan.Nicholas tersenyum tipis. Kemudian membalik tubuh Carolinemenghadapnya. "You're beautiful, smart and seem to have a cheerful, brave soul, and this-" Jamari Nicholas mampir di bibir Caroline-menyentuh dan mengelus lembut bibir itu dengan sensual. "Aku suka. Kau mempunyai mulut yang tidak bisa diam tapi anehnya itu membuatku suka, hal baru yang ada pada dirimu membuatku tertarik. And yea, you must be mine!"Kedua mata Caroline melotot mendengar ucapan terakhir lelaki di hadapannya itu. "No, I'm not yours!""Apa yang menjadi perintahku tidak bisa di tolak, beauty."Caroline mengg
"Alar, Alardo!"Rachel mengerutkan alisnya saat pria di depannya itu tak menyahut dan malah terfokus pada sesuatu di belakangnya. Tertarik, Rachel menoleh dan tersenyum tipis-mengerti objek di belakangnya menarik perhatian Alardo."Sepertinya aku harus pergi." katanya tiba-tiba, membuat pria di hadapannya melotot."Hah. Kenapa?" tanya Alardo."Tidak ada. Hanya aku berpikir kita telah selesai berbicara kan?" jawab Rachel."Kau janji akan menemaniku malam ini." Kata Alardo membuat Rachel terdiam sesaat."Sepertinya lebih baik lain kali."Alardo menghela napas. "Tapi aku mau sekarang. Kalau begitu ayo kita pergi." Alardo ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Rachel dan pemandangan itu tak lepas dari pandangan wanita yang tidak lain Crystal.Rachel protes. "Tapi-"Alardo menggeleng-tidak menerima bantahan. "Tidak ada penolakan."
"Di mana kamarmu?" tanya Nicholas setelah berhasil memasuki rumah Caroline yang tampak sederhana. "Arah barat pintu cokelat dengan atasnya ada tulisan namaku." jawab Caroline lelah, kesadarannya telah berada di angka 50 persen. Mendengar jawaban itu, Nicholas segera bergerak mencari kamar yang disebutkan wanita di gendongannya. "Emmm... Nic. Jangan membuat suara aku tidak ingin membangunkan orang rumah." Kata Caroline dalam setelah perjalanan mencari kamarnya. "Oke."Lima belas detik kemudian. Nicholas tepat berdiri di depan pintu kamar dengan tulisan Caroline William. Lelaki itu bergerak membuka knop pintu, memasuki kamar dan menutup kembali pintunya. Nicholas kemudian merebahkan Caroline di ranjang. "Kau harus berganti pakaian. Ini kotor." ucap Nicholas sambil duduk di sisi ranjang. "Hmm," Dan hanya dehaman yang menyahut. Saat Caroline akan melepas kausnya, tampak kesusahan. "Bantu aku." lanjutnya kemudian. Nicholas akhirnya membantu menarik kaus itu dari tubuh Caroline ya
Satu jam kemudian. Setelah tiga puluh menit sebelumnya yang hanya dipakai untuk tidur kembali akhirnya Caroline telah segar juga setelah membersihkan seluruh badannya yang terasa lengket dan kotor. Dan sekarang wanita itu sudah rapi dengan style yang biasa sehari-hari di rumah.Caroline berencana hari ini tidak akan keluar dari rumah. Karena kejadian semalam dia jadi over terlebih juga tubuhnya dalam keadaan tidak baik sekarang."Sudah bangun."Memasuki dapurnya Caroline disambut oleh sang adik."Masak apa?" tanya Caroline."Stake sederhana dari bahan tanpe ala Indonesia." Sahut Carles."Ohya. Kelihatannya lezat." ucap Caroline.Carles terkekeh. "Tentu saja."Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Caroline menatap lapar hidangan lezat di hadapannya. "Eumm.... Ini enak sekali. Carles, kau pintar sekali dalam urusan dapur!" Kata Caroline terus melahap makanannya.Carles terkekeh. "Tentu saja masakanku enak. Bahkan kakakku saja kalah dengan cita rasa yang selalu aku hidangkan," katany