Mata Caroline terbelalak tak percaya. Bukan dirinya yang menembak atau pun si pria bermasker dan bertopi hitam yang tengah menatap datar Nicholas, melainkan pistol yang diacungkan Jack yang berbunyi dan pelurunya tersarang pada si pria bermasker.
Tubuh pria itu limbung seketika tapi sepertinya masih bisa menyeimbangi agar tidak terjatuh, dan kembali mengacungkan pistolnya pada Nicholas sebelum polisi berhasil menyergapnya. Misinya harus terselesaikan dengan tuntas.
Caroline semakin terbelalak saat pria di depannya kembali mengacung pistolnya pada Nicholas.
Dor
"Aah!'' Nicholas meringis saat sebuah peluru kecil menyerang di bagian perut kanannya. Tubuh lelaki itu langsung limbung ke lantai.
"Tuan." Rolan langsung berjongkok dengan panik.
"Ahhh perempuan itu!!'' Geram Nicholas menatap tajam Caroline yang terlihat panik dengan tangan menutup mulutnya sedangkan bisa Nicholas lihat sebuah pistol tergeletak manis di samping kaki kanan perempuan itu.
Sedangkan Caroline sendiri terbelalak hebat merasa tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, tangannya gemetar hebat dengan wajah pucat.
Oh god! Apa yang telah dilakukan tangan kurang ajarku?! Batinnya kesal bercampur takut akan tatapan tajam yang sekarang dia lihat bersumber dari pria yang telah menolongnya itu.
Caroline berlari menerobos kerumunan untuk keluar dari Klub. Sesampainya di luar Caroline langsung menjauh dari tempat laknat itu. Di pikirannya sekarang, ia harus kabur!! Pria yang ditembaknya-sepertinya bukan pria sembarangan, terakhir kali sebelum pria itu dibawa anak buahnya, Caroline melihat isyarat mulut pria itu ke arahnya, dan ia mengerti akan isyarat itu. Dan isyarat itu bukanlah hal baik!
Bodoh kau Caroline, kau menjerumuskan dirimu dengan tingkahmu sendiri. Batinnya merutuk.
Caroline melanjutkan langkahnya berlari secepat mungkin menjauhi Klub, ia harus pergi dari sana tapi sedetik kemudian ia merasa nasibnya sial! Sebuah mobil limosin hitam berhenti di sampingnya tak lupa dua mobil mengikuti di belakang.
Saat pintu belakang mobil dibuka, Caroline menahan napasnya saat melihat pria yang ditembaknya tengah menatapnya dingin, tapi jelas sekali Caroline melihat raut kesakitan dari tatapan pria itu. Tatapan Caroline kemudian terarah pada perut lelaki itu dan ternyata banyak sekali darah yang keluar dari sana.
Apa sakit sekali? Tanya batinnya.
Tentu saja bodoh. Itu karena tangan cerobohmu itu! Sahut Dewi batinnya yang lain.
"Bawa dia."
Caroline bahkan sempat-sempatnya mendengar nada perintah lelaki itu yang terkesan parau dan sexy.
Kau gila Caroline! Batinnya kemudian karena dengan bodohnya ia malah memerhatikan nada suara lelaki ini. Hingga sedetik kemudian, seorang pria mencekal lengannya dan berniat mengajaknya untuk memasuki mobil. Tapi Caroline malah menepisnya. "Lepas. Jangan sentuh!'' desisnya.
"Nona, kau harus masuk." Pria itu tanpa peduli kembali menyeret Caroline untuk masuk tapi Caroline terus menolak. Jadilah mereka saling tarik menarik. Sampai akhirnya, suara dering telepon memecah keributan, Caroline terus menepis tangan pria yang menahan tangannya, sehingga dirinya susah untuk mengambil ponsel di tasnya.
"Lepaskan dulu, aku ingin mengangkat teleponnya." Desis Caroline, menatap tajam pria di depannya yang langsung terdiam, lalu menoleh ke arah tuannya masih sambil mencekal tangannya.
Nicholas mengangguk membiarkan dan Caroline langsung mengangkat ponselnya yang terus berdering. Tapi belum juga mengatakan satu patah kata pun, Caroline terkejut saat tiba-tiba tubuhnya ditarik tanpa permisi untuk memasuki mobil.Di dalam mobil, anak buahnya mengabarkan bahwa polisi ada beberapa meter di belakang mereka. Dan Nicholas memerintahkan mobil untuk melaju kencang-mengebut dan membuat Caroline memekik was-was sedangkan Nicholas tampak tenang meski wajahnya terlihat semakin pucat, dan darahnya terus saja keluar dari perutnya."Hai, kau gila! Turunkan kecepatannya!!" teriak Caroline.
"Diamlah. Kau. Membuatku. Pusing." Desis Nicholas.
Mendengar penekanan dari mulut Nicholas, entah kenapa membuat Caroline bungkam seketika padahal mulutnya selalu cerewet.
"Apa sakit sekali?" tanya Caroline memecah keheningan dan tanpa sadar tangannya menyentuh tangan besar Nicholas yang dipenuhi darah. Nicholas melirik tangan itu kemudian mendengus.
"Apakah harus ditanyakan lagi–Akh!" ucapan dingin Nicholas saat membalas pertanyaan Caroline berujung erangan sakit saat tiba-tiba denyutan sakit menyerang perutnya yang tertembak.
"Maaf, aku-aku benar-benar tidak sengaja," kata Caroline merasa bersalah.
"Maaf, kau meminta—akh shit!" belum juga menyelesaikan ucapnya Nicholas kembali mengerang dengan suara lebih keras.
Caroline yang panik tanpa sadar membentak anak buah Nicholas. "HAI, APA KALIAN TIDAK MELIHAT TUAN KALIAN SEKARAT, CEPAT KEMUDIKAN MOBILNYA KE RUMAH SAKIT TERDEKAT!!" bentaknya dan semua orang di sana termasuk Nicholas tercengang-tak percaya bahwa wanita asing ini berani membentak.
Nicholas menatap wanita di sebelahnya dengan pandangan takjub—merasa ketertarikan.
"Apa? Kenapa melihat melihatku seperti itu?!"
Nicholas tersenyum tipis, tidak menjawab.
"Apa masih jauh?" ucapnya membuka suara.
"30 menit lagi kita sampai tuan."
"30 menit lagi? Cari saja rumah sakit terdekat, pria ini akan mati menunggu selama itu." Sahut Caroline tak habis pikir, banyak rumah sakit terdekat kenapa harus membutuhkan waktu selama itu untuk sampai.
"Kita tak bisa ke rumah sakit," ucap Rolan. Pria paruh baya itu terlihat menatap khawatir Nicholas.
"Memang kenapa-" ucapan Caroline terhenti karena ponselnya kembali berdering.
"Kembalikan ponselku." Caroline merebut ponselnya dari pria tadi.
"Halo," sapanya setelah mengangkat panggilannya.
Detik berikutnya mata Caroline terbelalak setelah mendengar penuturan di seberang telepon.
"Bagaimana keadaan mereka sekarang?" tanya Caroline setelah mendengar pernyataan dari seberang telepon, wajahnya terlihat cemas, dan semua itu tak luput dari penglihatan Nicholas.
"Syukurlah, aku akan segera ke sana. Tunggu aku."
Caroline memutus sambungan teleponnya.
"Antarkan aku ke RS.." ucap Caroline tiba-tiba.
"Apa?"
"Antarkan aku ke rumah sakit yang tak jauh dari sini. Lagi pula pria ini harus mendapat penanganan secepatnya, rumah sakit itu tak jauh dari sini." ucap Caroline tak sabar.
Dan sekarang Nicholas menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang berada di mobil itu, tentu untuk mendapatkan persetujuan. Nicholas terdiam sesaat sampai akhirnya menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Caroline yang menghela napas lega, sedangkan beberapa anak buahnya menatap tidak percaya.
"Tapi tuan?"
"It's oke, lagi pula aku tidak kuat lagi menahan luka ini."
***
Sesampainya di tempat tujuan.
"Kenapa diam saja, ayo turun!" ucap Caroline tak habis pikir, bukannya turun orang-orang yang berada di dalam mobil malah diam saja."Aku akan turun." Nicholas membuka suara menyahut.
Rolan mencekal tangannya, tampak ragu. "Tapi tuan?"
"It's oke, dan salah satu dari kalian ikut aku. Jerry kau bantu aku." katanya kemudian memerintah pada salah satu anak buahnya yang bernama Jerry.
"Kenapa tidak saya saja?" tanya Rolan mengajukan diri.
Nicholas menggeleng. "Kau duduk diam saja di sini, paman. Jerry ayo."
"Baik tuan."
Mereka bertiga lalu turun, dan pintu mobil langsung tertutup. Nicholas di papah oleh Caroline tanpa sungkan.
"Kau tidak apa-apa?'' tanya Caroline menoleh pada pria yang tengah dipapahnya itu.
"Hm." Nicholas hanya bergumam.
"Maaf aku benar-benar tidak sengaja tadi." Caroline tiba-tiba meminta maaf.
Nicholas menyeringai samar. "Aku akan memberikanmu hukuman." Bisiknya sambil menoleh dan secara bersamaan dengan Caroline membuat pandangan mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat.
Cantik. Dan itu yang berada di benak Nicholas setelah menatap dalam wajah Caroline, dan dalam kondisinya yang seperti ini masih sempat-sempatnya. Sedangkan Caroline merasakan firasat buruk.
"Aku harus pergi, ada seseorang yang harus aku temui."
Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya. "Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur. Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!" Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya. "Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu." Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya. "Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya. Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh. "Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah dat
Wade William, adalah wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayah angkatnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline.Yeah, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sang kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya.Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena.Anak pembawa sial! Dirinya?Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya?"Bibi he
"Hai, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" desis Caroline meronta mencoba lepas dari rengkuhan tangan Nicholas di pinggangnya."Caroline William," belum reda keterkejutan Caroline akan perlakuan tiba-tiba Nicholas, wanita itu di buat merinding akan ucapan yang mampir di telinganya. "Kau harus menjadi milikku!""What are you say? kau mengigau ya!" Merasa amat heran, Caroline menyahut Nicholas dengan pertanyaan.Nicholas tersenyum tipis. Kemudian membalik tubuh Carolinemenghadapnya. "You're beautiful, smart and seem to have a cheerful, brave soul, and this-" Jamari Nicholas mampir di bibir Caroline-menyentuh dan mengelus lembut bibir itu dengan sensual. "Aku suka. Kau mempunyai mulut yang tidak bisa diam tapi anehnya itu membuatku suka, hal baru yang ada pada dirimu membuatku tertarik. And yea, you must be mine!"Kedua mata Caroline melotot mendengar ucapan terakhir lelaki di hadapannya itu. "No, I'm not yours!""Apa yang menjadi perintahku tidak bisa di tolak, beauty."Caroline mengg
"Alar, Alardo!"Rachel mengerutkan alisnya saat pria di depannya itu tak menyahut dan malah terfokus pada sesuatu di belakangnya. Tertarik, Rachel menoleh dan tersenyum tipis-mengerti objek di belakangnya menarik perhatian Alardo."Sepertinya aku harus pergi." katanya tiba-tiba, membuat pria di hadapannya melotot."Hah. Kenapa?" tanya Alardo."Tidak ada. Hanya aku berpikir kita telah selesai berbicara kan?" jawab Rachel."Kau janji akan menemaniku malam ini." Kata Alardo membuat Rachel terdiam sesaat."Sepertinya lebih baik lain kali."Alardo menghela napas. "Tapi aku mau sekarang. Kalau begitu ayo kita pergi." Alardo ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Rachel dan pemandangan itu tak lepas dari pandangan wanita yang tidak lain Crystal.Rachel protes. "Tapi-"Alardo menggeleng-tidak menerima bantahan. "Tidak ada penolakan."
"Di mana kamarmu?" tanya Nicholas setelah berhasil memasuki rumah Caroline yang tampak sederhana. "Arah barat pintu cokelat dengan atasnya ada tulisan namaku." jawab Caroline lelah, kesadarannya telah berada di angka 50 persen. Mendengar jawaban itu, Nicholas segera bergerak mencari kamar yang disebutkan wanita di gendongannya. "Emmm... Nic. Jangan membuat suara aku tidak ingin membangunkan orang rumah." Kata Caroline dalam setelah perjalanan mencari kamarnya. "Oke."Lima belas detik kemudian. Nicholas tepat berdiri di depan pintu kamar dengan tulisan Caroline William. Lelaki itu bergerak membuka knop pintu, memasuki kamar dan menutup kembali pintunya. Nicholas kemudian merebahkan Caroline di ranjang. "Kau harus berganti pakaian. Ini kotor." ucap Nicholas sambil duduk di sisi ranjang. "Hmm," Dan hanya dehaman yang menyahut. Saat Caroline akan melepas kausnya, tampak kesusahan. "Bantu aku." lanjutnya kemudian. Nicholas akhirnya membantu menarik kaus itu dari tubuh Caroline ya
Satu jam kemudian. Setelah tiga puluh menit sebelumnya yang hanya dipakai untuk tidur kembali akhirnya Caroline telah segar juga setelah membersihkan seluruh badannya yang terasa lengket dan kotor. Dan sekarang wanita itu sudah rapi dengan style yang biasa sehari-hari di rumah.Caroline berencana hari ini tidak akan keluar dari rumah. Karena kejadian semalam dia jadi over terlebih juga tubuhnya dalam keadaan tidak baik sekarang."Sudah bangun."Memasuki dapurnya Caroline disambut oleh sang adik."Masak apa?" tanya Caroline."Stake sederhana dari bahan tanpe ala Indonesia." Sahut Carles."Ohya. Kelihatannya lezat." ucap Caroline.Carles terkekeh. "Tentu saja."Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Caroline menatap lapar hidangan lezat di hadapannya. "Eumm.... Ini enak sekali. Carles, kau pintar sekali dalam urusan dapur!" Kata Caroline terus melahap makanannya.Carles terkekeh. "Tentu saja masakanku enak. Bahkan kakakku saja kalah dengan cita rasa yang selalu aku hidangkan," katany
Di kediaman mewah dengan kesan klasik. Setelah malam malam menakjubkan yang di laluinya bersama wanita itu, tanpa di sangka ketertarikan menyambangi kehidupan asmara Nicholas.Tentu bukan lah hal pertama baginya, tapi setelah sekian tahun Nicholas mulai bebas dari bayang-bayang masalalu.Dan wanita itu— Caroline William namanya, seolah menarik dirinya sendiri untuk berhadapan dengannya, dengan cara yang tidak elegan, berawal dirinya yang menyelamatkan tubuh wanita itu saat akan jatuh malah berakhir dia yang menderita karena tembakan yang di lepas wanita itu. Dan saat itu, saat mereka bertatapan, kepala Nicholas terus saja dibayangi wajah cantik Caroline, membuatnya tanpa sadar tersenyum sendiri.''Tuan!''"Ya, aku mendengarnya." Nicholas mengangkat wajahnya dengan raut datar khasnya.''Maaf karena meninggikan suara, sebab tuan sedari tadi tidak menyahut panggilan saya." beritahu Rolan dengan sopan."Hmm." Dan hanya dehaman sebagai sahutan dari sang tuan."Tuan, Anda tidak apa-apa?" ta
FlashbackTerlihat Caroline menggandeng tangan mungil Raquel memasuki cafe tempatnya bekerja. Yaa, Caroline memutuskan membawa Raquel ke tempat kerjanya, toh juga ibunya masih bersama Alardo."Aunty." Caroline menghentikan langkahnya saat Raquel berhenti dan memanggilnya. "Ada apa sayang?" tanyanya menatap Raquel. "Itu," Telunjuk mungil Raquel menunjuk seorang bocah pria sebayanya yang lumayan jauh dari dirinya berdiri, tapi tak sampai menyeberang jalan. Reo, bocah itu tengah duduk di sebuah bangku dengan seorang perempuan cantik di sebelahnya, mata birunya terlihat menatap ke arah Raquel sembari tersenyum, tangannya melambai mengisyaratkan agar bocah sebayanya itu mendekatinya. "REO!" pekiknya girang sambil melompat-lompat. Caroline terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Raquel, dan Reo adalah anak dari NASYA—yea, perempuan yang duduk di sebelah Reo adalah ibu kandungnya. "Aunty... Raquel mau ke Reo." Beritahu Raquel menatap Caroline dengan puppyeyesnya—memoho