Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya.
"Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur.
Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!"
Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya.
"Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu."
Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya.
"Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya.
Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh.
"Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah datarnya.
***
"Kakak!"
Seorang lelaki berumur 17 tahun berteriak saat melihat Caroline.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Caroline saat wanita itu sudah berada di hadapan adiknya, Carles William. Terlihat cemas sekali.
"Belum ada perkembangan, kondisi mereka belum stabil." jawab Carles.
"Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dan ibu?" tanya Caroline.
Carles terlihat menghela napas, lalu menjelaskan bagaimana orang tua mereka mengalami kecelakaan, dari ayah ibunya yang berniat pulang setelah mendatangi sebuah acara pernikahan teman mereka, mereka tertabrak truk yang melaju kencang, dan tubuh mereka terlempar jauh dari tempat kejadian. Sedangkan si pelaku yang menabrak berhasil lolos dari tempat kejadian, dan sekarang sedang dalam pencarian.
Caroline mengangguk setelah mendengar penjelasan singkat dari adiknya itu. "Semua akan baik-baik saja. Aku ingin melihat mereka."
Caroline berjalan mendekat ke pintu yang terhubung dengan ruangan kedua orangtuanya, di bagian tengah pintu itu terpasang kaca sehingga ia bisa melihat keadaan di dalam.
Air mata tanpa izin keluar dari kelopak matanya sehingga membasahi pipinya, hatinya sakit melihat kedua orangtuanya yang terbujur kaku dengan beberapa luka yang telah ditutup oleh perban.
Caroline menghela napas, kenapa cobaan ini datang ke padanya? Ia baru saja membuat masalah dengan menembak seseorang, dan sebagai balasannya tuhan malah membuat keluarganya seperti ini.
Caroline menghapus air matanya, mencoba tegar dengan keadaan, lalu menoleh memperhatikan adiknya yang terlihat berantakan, bahkan dipakaian Carles terdapat noda darah yang mengering sama seperti pakaian yang dikenakannya sekarang.
Caroline melangkah mendekati adiknya lalu berkata. "Kau pulanglah, ganti pakaian." ucap Caroline sambil melirik pakaian adiknya yang terdapat noda darah.
"Tapi-"
"Biar kakak yang berjaga di sini." ucap Caroline memotong ucapan adiknya.
Carles akhirnya mengangguk mengiyakan.
***
Dua jam kemudian, di tempat Nicholas, lelaki itu selesai dengan operasinya dan tengah beristirahat di ranjang pasien.
Sedangkan sebuah suara langkah kaki memasuki ruangan, wajahnya tidak tampak karena menggunakan topi dan masker hitam penutup wajah.
"Nicholas Matthew. Kau misiku untukku lenyapkan." lelaki itu melangkah pelan nan pasti mendekati Nicholas yang tertidur.
Tangannya merogoh benda yang berada di saku jaketnya—sebuah pisau lipat tajam. Lelaki itu kemudian mengulur pisau di tangannya itu ke leher Nicholas yang terbuka.
"Matilah kau dengan kesakitan!" Saat akan menancapkan pisau kecil nan tajam itu, tiba-tiba kedua mata Nicholas terbuka.
"Kau saja yang mati!'' Dan secepat kilat membalikkan arah pisau itu pada penggunaannya sendiri hingga menancap di dada sebelah kirinya.
Suara erangan kesakitan keluar dari mulut si pria dan Nicholas menyeringai tipis—menikmati erangan itu. Tapi si pria sepertinya tidak menyerah dan berusaha mengeluarkan senjata lain.
Sebuah pistol lelaki itu todongkan pada Nicholas.
Dor
Dor
Nicholas mengerang, dengan meringis kesal, lelaki itu bergerak gesit turun dari ranjang untuk menghindari hujaman peluru yang dilayangkan bajingan kurang ajar itu. Sampai akhirnya beberapa bantuan yang tidak lain anak buahnya menerobos masuk dan langsung membekuk lelaki itu.
"Tuan lengan anda?'' Rolan membantu Nicholas berdiri, tatapannya berada pada luka atas lengan Nicholas.
"Aku tidak apa-apa. Bawa aku pergi dari sini dan urus kekacauan ini. Jangan sampai identitasku terbongkar!'' perintahnya dan langsung dipatuhi oleh lelaki paruh baya itu.
***
Caroline terlihat sangat cemas di depan ruangan ayah ibunya. Tiga puluh menit lalu kabar buruk datang. Kondisi orangtuanya bertambah kritis.
"Bagaimana orang tua saya Dokter?'' tanya Caroline dan Carles yang sudah terlihat rapi dari dua jam lalu langsung berdiri dari duduknya saat sang Dokter yang menangani orang tua mereka keluar dari ruang operasi.
Raut wajah Dokter itu tampak menyesal. "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin," ucapnya.
Caroline langsung terjatuh. Pikirannya blank.
Ini tidak mungkin! Mereka pasti tidak meninggalkannya dan Carles?!
"Dokter pasti bohong. Tidak mungkin, tidak-"
Carles langsung maju ke depan, menatap tajam sang Dokter. "Dokter pasti bercanda kan? Mereka tidak pergi kan?'' ucapnya memastikan.
Berharap ini hanya ilusi belaka! Tapi jawaban sang Dokter meruntuhkan semua harapannya.
"Kak-" Carles lemas terjatuh ke lantai kemudian memeluk kakaknya itu untuk saling menguatkan.
"Bo-bohong!!'' tolak Caroline akan fakta telah berpulang kedua orangtuanya itu.
"Ayah... Ibu. Kalian pasti bohong... Me mereka tidak mungkin pergi. Pagi tadi kami bahkan masih saling mengobrol. Tidak mungkin mereka meninggalkanku!''
"Tuhan berkehendak lain, luka yang di dapat orang tua Anda sangat parah, kebocoran dalam otak dan beberapa bagian tubuhnya yang mengalami patah tulang. Saya dan rekan saya turut berduka cita," ucap Dokter itu prihatin melihat Caroline yang terus menangis dan Carles, meskipun pria itu tidak menangis tapi diliat dari pancaran matanya Carles terlihat bersedih.
***
Seminggu setelah kepergian orangtuanya, Caroline terus mengurung dirinya di kamar dengan kesedihan yang masih menguasainya.
Caroline mendongak saat pintu kamarnya dibuka dari luar dan mendapati sahabatnya, Rachel. Melangkah mendekatinya.
"Hay, kau tak seperti Caroline yang kukenal?"
Rachel duduk di sisi ranjang. Caroline hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sahabatnya itu, dia masih bersedih karena kepergian orangtuanya, meski pun mereka bukan orang tua kandungnya, Caroline sangat menyayangi mereka, dan sebaliknya kedua orangtuanya juga amat menyayanginya.
Dan sekarang dua sosok yang memberi kekuatan dan kehangatan itu tidak ada, tapi Caroline sadar tak seharusnya dia seperti ini, dia masih mempunyai sahabat, dan adiknya. Terlebih kedua orangtuanya di sana pasti tak akan suka dengan sikapnya sekarang.
"Ok, sekarang saatnya," ucap Caroline tiba-tiba.
Membuat Rachel bingung. "Maksudnya?"
"Saatnya bangkit kembali, toh ayah ibu pasti bahagia di sana." Ucap Caroline sambil beranjak dari ranjangnya.
Rachel mengangguk, wanita itu senang saat melihat sahabatnya kembali menjadi pribadi sebelum kedua orangtuanya meninggal.
Yaitu kuat, pemberani, dan ceria.
"Kita ke bawah." Rachel langsung menyeret tangan Caroline keluar kamar, dan saat mereka menginjak kaki di tangga atas ia bisa mendengar suara keributan dari bawah.
Caroline mau pun Rachel langsung melangkah cepat menuruni tangga, melihat apa yang terjadi.
Prank!
"Mana kakakmu itu, hah?!" suara pecahan dan teriakan seorang wanita yang merupakan adik dari ayahnya itu terdengar menggema.
Wade William, adalah wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayah angkatnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline.Yeah, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sang kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya.Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena.Anak pembawa sial! Dirinya?Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya?"Bibi he
"Hai, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" desis Caroline meronta mencoba lepas dari rengkuhan tangan Nicholas di pinggangnya."Caroline William," belum reda keterkejutan Caroline akan perlakuan tiba-tiba Nicholas, wanita itu di buat merinding akan ucapan yang mampir di telinganya. "Kau harus menjadi milikku!""What are you say? kau mengigau ya!" Merasa amat heran, Caroline menyahut Nicholas dengan pertanyaan.Nicholas tersenyum tipis. Kemudian membalik tubuh Carolinemenghadapnya. "You're beautiful, smart and seem to have a cheerful, brave soul, and this-" Jamari Nicholas mampir di bibir Caroline-menyentuh dan mengelus lembut bibir itu dengan sensual. "Aku suka. Kau mempunyai mulut yang tidak bisa diam tapi anehnya itu membuatku suka, hal baru yang ada pada dirimu membuatku tertarik. And yea, you must be mine!"Kedua mata Caroline melotot mendengar ucapan terakhir lelaki di hadapannya itu. "No, I'm not yours!""Apa yang menjadi perintahku tidak bisa di tolak, beauty."Caroline mengg
"Alar, Alardo!"Rachel mengerutkan alisnya saat pria di depannya itu tak menyahut dan malah terfokus pada sesuatu di belakangnya. Tertarik, Rachel menoleh dan tersenyum tipis-mengerti objek di belakangnya menarik perhatian Alardo."Sepertinya aku harus pergi." katanya tiba-tiba, membuat pria di hadapannya melotot."Hah. Kenapa?" tanya Alardo."Tidak ada. Hanya aku berpikir kita telah selesai berbicara kan?" jawab Rachel."Kau janji akan menemaniku malam ini." Kata Alardo membuat Rachel terdiam sesaat."Sepertinya lebih baik lain kali."Alardo menghela napas. "Tapi aku mau sekarang. Kalau begitu ayo kita pergi." Alardo ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Rachel dan pemandangan itu tak lepas dari pandangan wanita yang tidak lain Crystal.Rachel protes. "Tapi-"Alardo menggeleng-tidak menerima bantahan. "Tidak ada penolakan."
"Di mana kamarmu?" tanya Nicholas setelah berhasil memasuki rumah Caroline yang tampak sederhana. "Arah barat pintu cokelat dengan atasnya ada tulisan namaku." jawab Caroline lelah, kesadarannya telah berada di angka 50 persen. Mendengar jawaban itu, Nicholas segera bergerak mencari kamar yang disebutkan wanita di gendongannya. "Emmm... Nic. Jangan membuat suara aku tidak ingin membangunkan orang rumah." Kata Caroline dalam setelah perjalanan mencari kamarnya. "Oke."Lima belas detik kemudian. Nicholas tepat berdiri di depan pintu kamar dengan tulisan Caroline William. Lelaki itu bergerak membuka knop pintu, memasuki kamar dan menutup kembali pintunya. Nicholas kemudian merebahkan Caroline di ranjang. "Kau harus berganti pakaian. Ini kotor." ucap Nicholas sambil duduk di sisi ranjang. "Hmm," Dan hanya dehaman yang menyahut. Saat Caroline akan melepas kausnya, tampak kesusahan. "Bantu aku." lanjutnya kemudian. Nicholas akhirnya membantu menarik kaus itu dari tubuh Caroline ya
Satu jam kemudian. Setelah tiga puluh menit sebelumnya yang hanya dipakai untuk tidur kembali akhirnya Caroline telah segar juga setelah membersihkan seluruh badannya yang terasa lengket dan kotor. Dan sekarang wanita itu sudah rapi dengan style yang biasa sehari-hari di rumah.Caroline berencana hari ini tidak akan keluar dari rumah. Karena kejadian semalam dia jadi over terlebih juga tubuhnya dalam keadaan tidak baik sekarang."Sudah bangun."Memasuki dapurnya Caroline disambut oleh sang adik."Masak apa?" tanya Caroline."Stake sederhana dari bahan tanpe ala Indonesia." Sahut Carles."Ohya. Kelihatannya lezat." ucap Caroline.Carles terkekeh. "Tentu saja."Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Caroline menatap lapar hidangan lezat di hadapannya. "Eumm.... Ini enak sekali. Carles, kau pintar sekali dalam urusan dapur!" Kata Caroline terus melahap makanannya.Carles terkekeh. "Tentu saja masakanku enak. Bahkan kakakku saja kalah dengan cita rasa yang selalu aku hidangkan," katany
Di kediaman mewah dengan kesan klasik. Setelah malam malam menakjubkan yang di laluinya bersama wanita itu, tanpa di sangka ketertarikan menyambangi kehidupan asmara Nicholas.Tentu bukan lah hal pertama baginya, tapi setelah sekian tahun Nicholas mulai bebas dari bayang-bayang masalalu.Dan wanita itu— Caroline William namanya, seolah menarik dirinya sendiri untuk berhadapan dengannya, dengan cara yang tidak elegan, berawal dirinya yang menyelamatkan tubuh wanita itu saat akan jatuh malah berakhir dia yang menderita karena tembakan yang di lepas wanita itu. Dan saat itu, saat mereka bertatapan, kepala Nicholas terus saja dibayangi wajah cantik Caroline, membuatnya tanpa sadar tersenyum sendiri.''Tuan!''"Ya, aku mendengarnya." Nicholas mengangkat wajahnya dengan raut datar khasnya.''Maaf karena meninggikan suara, sebab tuan sedari tadi tidak menyahut panggilan saya." beritahu Rolan dengan sopan."Hmm." Dan hanya dehaman sebagai sahutan dari sang tuan."Tuan, Anda tidak apa-apa?" ta
FlashbackTerlihat Caroline menggandeng tangan mungil Raquel memasuki cafe tempatnya bekerja. Yaa, Caroline memutuskan membawa Raquel ke tempat kerjanya, toh juga ibunya masih bersama Alardo."Aunty." Caroline menghentikan langkahnya saat Raquel berhenti dan memanggilnya. "Ada apa sayang?" tanyanya menatap Raquel. "Itu," Telunjuk mungil Raquel menunjuk seorang bocah pria sebayanya yang lumayan jauh dari dirinya berdiri, tapi tak sampai menyeberang jalan. Reo, bocah itu tengah duduk di sebuah bangku dengan seorang perempuan cantik di sebelahnya, mata birunya terlihat menatap ke arah Raquel sembari tersenyum, tangannya melambai mengisyaratkan agar bocah sebayanya itu mendekatinya. "REO!" pekiknya girang sambil melompat-lompat. Caroline terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Raquel, dan Reo adalah anak dari NASYA—yea, perempuan yang duduk di sebelah Reo adalah ibu kandungnya. "Aunty... Raquel mau ke Reo." Beritahu Raquel menatap Caroline dengan puppyeyesnya—memoho
"Hm?'' Ucap Nicholas pada seseorang di seberang telepon."Tuan polisi datang!"Damnit!Nicholas mengumpat. Ada tamu tidak di undang datang dan akan sangat menjengkelkan jika orang-orang itu mengobrak abrik kediamannya."Tangani mereka dan jangan sampai masuk, aku akan segera ke sana.'' Dan sambungan pun terputus, Nicholas kemudian menyalakan mobilnya.Beberapa menit kemudian. Sesampainya di tempat tujuan, Nicholas melihat beberapa orang berkerumun di depan mansionnya. Lelaki itu membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar."Selamat sore semuanya." Nicholas tersenyum pada para polisi itu. Dan kemudian tatapannya bertubrukan dengan salah seorang polisi yang ternyata Jack."Maaf sebelumnya, saya ingin bertanya soal penembakan seminggu yang lalu, tuan Anthony. Kami sudah mencari-cari anda dari beberapa hari yang lalu tapi anda susah sekali untuk ditemui." jelas Jack dengan tatapan tajamnya.***Beberapa menit kemudian.Nicholas memasuki mansionnya setelah tiga puluh menit mengobrol dengan
Di perjalanan, Nicholas menggeram kesal, tangannya yang tengah mengendalikan setir sekali-kali memukul setirnya kuat, beberapa kali juga menekan klakson membuat suara nyaring yang tidak mengenakan.Tidak sesuai bayangannya, Nicholas sedikit lama, padahal beberapa kilo meter lagi akan sampai tapi kemacetan kembali menyerang yang otomatos membuat jalanan macet, karena ternyata ada kecelakaan di depan sana.Dan itu membuat Nicholas marah juga kesal. Ohh bukan dia tidak simpati—ah whatever Dia sudah harus sampai dalam beberapa menit lagi. Sial! "Oh c'mon gods aku tidak mau melewatkan kesempatan yang telah diberikan istriku."Nicholas melirik arlojinya, sudah tiga puluh tujuh menit dari waktu yang diberikan Caroline tapi ternyata Nicholas terlambat.Lima belas menit kemudian, akhirnya Nicholas bebas dari kemacetan. Lelaki itu dengan tidak peduli menambah pedal gas kecepatan mobilnya di atas rata-rata, mengemudi seperti orang kesetanan, bahkan lelaki itu sampai harus banting stir karena be
"Caroline?"Satu detik Tidak ada jawaban!Sepuluh detik.Masih tidak ada jawaban."Caroline?" ulang Nicholas dengan nada sedikit tinggi saat tidak juga mendapat respon."1 jam."Kerutan di dahi Nicholas terlihat—bertanda lelaki itu bingung dengan ucapan sang istri. Apa maksudnya? "Maksudnya?""Temui aku dalam waktu 1 jam atau tidak sama sekali."Seketika Nicholas merasa jantungnya berdetak kencang, kehangatan menjalar di hatinya hanya karena ucapan dari Caroline yang termakna sebuah kesempatan.Ya, tentu saja akan dia lakukan apa saja untuk bisa bertemu dalam waktu 1 jam itu."Kami memberiku kesempatan,""Temui aku di airport, Hilton International London Heathrow Airport di 1 jam itu pesawatku akan lepas landas."Dan TutPanggilan di putus secara sepihak.Nicholas memandang ponselnya yang telah terputus sambungannya, dan tanpa berpikir panjang lagi pria itu langsung bergegas pergi.1 jam? Menuju lokasi yang diberitahu Caroline, kira-kira ia akan sampai dalam 40 menit.Apa akan tep
"Aku tidak peduli, yang penting sekarang—" Nicholas menggantungkan ucapannya dan menyeret Alice pada meja yang telah disediakan kemudian tanpa memandang balas kasih lelaki itu menekan kepala sang wanita ke meja."Katakan yang sejujurnya apa yang terjadi dari kau masuk ke kamarku dan menggodaku!" ucap Nicholas, tangan satunya yang bebas kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi nomor istrinya. Dan sampai panggilan keempat, Caroline tidak juga mengangkatnya membuat Nicholas menghela napas putus asa. Tidak punya pilihan lain Lelaki itu mengetikan sebuah pesan dan mengirimnya langsung.Sedangkan di tempat lain. Caroline mencoba tidak tergoda untuk mengangkat panggilan suami berengseknya."Sayang, itu teleponnya." Elina yang mendengar panggilan itu menghela napas. Wanita paruh baya itu menoleh melihat siapa penelepon."Nicholas?" ucap sang paruh baya dengan pelan, tau sekali putrinya sedang tidak dalam mood baik."Aku tidak mau mengangkatnya." ucap Caroline datar."Mungkin penting. Jan
''Ya ampun sayang," Elina yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut dengan kedatangan putrinya yang tampaknya tidak baik-baik saja. "Ada apa denganmu. Kenapa menangis?" tanyanya menghampiri cepat putrinya yang sudah meluruh di dinding pintu."Mom..." Caroline langsung memeluk Elina menumpahkan rasa sakitnya dalam pelukan sang Momny."Itu Nicholas, pintunya—""Tidak tidak, biarkan saja." Caroline menggelengkan kepala menatap sang Mommy dengan tatapan kesakitan. Membuat Elina tidak tega."Menangislah sepuasnya. Nanti cerita pada Mom." ucapnya sambil memeluk sang putri, tak lupa tangannya menepuk-nepuk pelan punggungnya mencoba menyalurkan ketenangan.Beberapa menit kemudian gedoran di pintu sudah menghilang begitu pun Caroline yang mulai tenang. Wanita itu melepaskan pelukannya kemudian menatap Elina."Aku mau pergi,""Pergi?"Caroline mengangguk. "Ikut Mommy kemana pun."Elina mengerutkan keningnya, tapi selang detik setelahnya menghembuskan nafas pelan. Kemudian mengangguk. "T
Keesokan harinya. Di atas sebuah sofa Caroline tengah duduk manis dan tampak sibuk mengotak-atik ponsel di tangannya. Ahya, beberapa saat lalu Caroline memang keluar untuk berbelanja bersama Elina, membeli beberapa pakaian, makeup, dan salah satunya ponsel yang saat ini di mainkannya. Sebenarnya dia menolak untuk keluar apa lagi berbelanja dengan nominal yang besar tapi karena sang ibu memaksa Caroline tidak bisa menolak. Tapi yang jelas Caroline masih asing dengan kehidupannya sekarang. Sangat berubah 90 sederajat. Siapa sangka ternyata dia merupakan anak dari seorang pemilik The big mall dan sangat berpengaruh dengan cabang yang meraja rela di dunia."Akhirnya ketemu." Kata Caroline tampak senang saat berhasil menemukan akun sahabatnya—Rachel.Setelah apa yang terjadi padanya selama setahun ini. Ia rindu adik dan sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana keadaanmu Raquel? Semoga saja Putri menggemaskan dari sahabatnya itu selamat dan baik-baik saja.Caroline benar-benar kehilangan info se
S2 CHAPTER 62 "Nak?"Dengan panik Elina mendekati Caroline yang tiba-tiba memasuki kamar—kepanikannya muncul saat melihat kedua mata putrinya berkaca-kaca bahkan air mata telah membasahi pipinya."Mom..." Caroline langsung menghambur kepelukan sang ibu."Kenapa sayang?" tanya Elina merasa cemas."Nic—Nicholas ternyata mempunyai istri lain—Dia menikah lagi!?!" Beritahu Caroline dengan penuh emosi kesedihan pada sang ibu yang sebenarnya sudah di mengetahui fakta tersebut. Mengela napasnya wanita paruh baya itu tak menyangka akan secepat ini fakta itu sampai pada putrinya. "Untuk lebih jelasnya kamu bisa meminta penjelasan suamimu—"Caroline menatap tak percaya mendengar itu, langsung memotong. "Mommy sudah tau,"Seketika Elina menggeleng tapi menggangguk kemudian. Mencoba tenang sebelum kemudian mejelaskan. "Bukan Mom berpihak pada suamimu, tapi karena mom tau ada sesuatu." Rahasia sebesar ini disembunyikan hanya untuknya. Hebat sekali Nicholas Matteow.Dan sesuatu apa? "Sorry honey
Elina, Caroline, Nicholas turun dari mobil tepat di depan pekarangan Mansion Albert. Ketiganya berjalan memasuki mansion tersebut.Sesampainya—menginjakkan kakinya di lantai utama, mereka telah disambut oleh tiga orang yang tidak lain, Albert, istri kedua dan anak perempuanya."Woah ibu peri dan putrinya yang buta telah kembali." Alice—anak ke tiga Albert mengejek dengan angkuhnya pada Elina dan Caroline.Alice maju selangkah hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Elina dan Caroline. Dengan menatap sinis dua orang itu, Alice berani mengangkat tangannya—menunjuk-nunjuk Elina dan Caroline tak sopan."Kenapa kalian harus kembali ke sini hm? Parasit tidak berguna tidak dibutuhkan di sini!" ucapnya sinis.Caroline yang sedari tadi mengepalkan tangannya ingin sekali menampar bulak balik bibir seenaknya itu. Tapi tenang—Caroline berusaha tenang. Bukan saatnya.Well, sedari awal masuk dia sudah menebak lelaki yang beberapa jarak di hadapannya itu adalah ayah kandungnya dan dua wanita yang t
Keesokan harinya. Pukul 06.30 PM. Caroline sudah bangun dari tidurnya. "Nicholas belum datang?" Tanyanya pada sang ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.Elina menggeleng sebagai jawaban. "Belum."Caroline menghela nafasnya dengan bibir maju sedikit. "Padahal aku sangat berharap kala aku bangun lelaki itu sudah di sini. Waktunya sedikit lagi," lirih Caroline kecewa."Jangan sedih sayang. Kita telepon saja suamimu ya?" Elina yang menemani memutuskan untuk menghubungi menantunya itu untuk mengurangi kesedihan dan kekecewaan putrinya."Mungkin dia memang sibuk Mom." ucap Caroline saat tau sang suami tidak menerima panggilannya."Jangan salah sangka beauty. Aku di sini," suara bas Nicholas dari arah pintu menyahut Caroline. Lelaki itu ternyata sudah berada di rumah sakit."Nic!" sahut Caroline berubah ceria. Terlihat bahagia."Kau benar-benar akan menemaniku?" Tanya wanita itu untuk kesekian kali, membuat Nicholas melengkungkan bibirnya sambil berjalan mendekati Caroline, lalu mem
Beberapa jam kemudian, Caroline sudah kembali ke kamar rawatnya dan jadwal operasi sudah di tetapkan.Beberapa pemeriksaan sudah di lakukan—tadi, dan berjalan lancar dan dirinya besok benar-benar bisa melakukan operasi donor matanya."Caroline."Caroline tersentak saat mendengar suara berat itu.Caroline kemudian menetralkan wajahnya menjadi datar. "Untuk apa Anda ke sini?" tanyanya dingin.Meski tidak bisa melihat seperti apa rupa sosok lelaki yang katanya–Ayah kandungnya, Caroline hanya memperlihatkan raut datarnya setelah fakta yang di dengarnya—kekejaman ayahnya, terutama pada ibunya. Lelaki paruh baya itu mendekati Caroline sembari berkata. "Maafkan Daddy Caroline,"Sontak Caroline terkekeh sinis mendengarnya. "Ayah? Seingat saya... Saya tidak punya Ayah." cetusnya dengan begitu dingin.Menolak mentah-mentah Albert Ryson sebagai Ayah kandungnya.Albert merasa dadanya tertusuk beribu-ribu jerami tajam—sangat sakit saat mendengar putrinya sendiri tak mengakuinya. Bahkan dari nad