"Pakai ini?" Perintah Rachel menyerahkan paper bag di tangannya pada Caroline.
Caroline mengambil dan membukanya dan langsung melotot saat melihat gaun merah cantik yang sayangnya begitu terbuka pada bagian punggung.
"Kau menyuruhku memakai gaun kurang bahan ini?" desisnya tak percaya dan Rachel hanya mengangguk tanpa ragu menghiraukan tanggapan tidak suka dari sahabatnya itu.
Tidak punya pilihan lain, Caroline akhirnya pasrah memasuki satu bilik kamar mandi. Menit selanjutnya Caroline akhirnya keluar dengan penampilan memukau.
"Kau cantik dan sexy, Car, pasti cocok." komentar Rachel menatap takjub sahabatnya yang benar-benar cantik dengan gaun terbukanya.
"Sebenarnya apa yang akan aku lakukan?" tanya Caroline tak sabar dengan apa yang akan ia kerjakan.
"Aku akan memberi tahu mu nanti, sekarang ikut aku." Rachel menyeret Caroline keluar toilet.
"Lihat dia." Rachel menunjuk seorang pria. Caroline melihat pria yang ditunjukan Rachel dan merasa sudah pernah melihatnya, tapi di mana?
"Jeremy," ucap Rachel.
"Jeremy, ah aku ingat, aku pernah mendengar nama itu beberapa hari yang lalu karena skandal pembunuhan serta narkotika, tapi aku tidak tahu pasti. Kau tidak menyuruhku untuk mendatangi pria itu kan?" ucapnya dengan tatap memicing di akhir kalimat.
Rachel meringis. "Caroline, aku minta maaf, karena mungkin permintaanku sedikit berbahaya tapi apa boleh buat, bantu aku, ya?" Rachel menatap memelas sahabatnya itu yang selama beberapa detik tidak merespons.
Caroline menghela napas untuk ke sekian kalinya. "Oke fine!"
Rachel tersenyum senang. Wanita itu lalu mendekati Caroline dan membisikan sesuatu, yang entah apa itu, karena selanjutnya mata Caroline membulat tak percaya.
"Kau gila!'' Desis Caroline melotot pada Rachel yang langsung nyengir kuda.
"Kalau kau berniat membantu, ya itu yang harus kau lakukan," katanya. "Kau niat tidak membantu sahabatmu ini. Hanya sekali saja aku–"
"Stt... Cerewet!'' Caroline memotong ucapan Rachel.
"Dan ini," Rachel menyerahkan sebuah pistol pada Caroline. "Gunakan sebagai senjatamu."
***
Dengan anggun, Caroline berjalan menghampiri pria bernama Jeremy itu.
"Hai, Baby!'' rasanya Caroline ingin muntah saat mulutnya mengatakan kata baby.
Caroline yang duduk di samping Jeremy harus menahan umpatan dan geramannya dalam hati saat tangan kurang ajar pria itu menyentuh dan mengusap-usap pahanya yang dibaluti kain tipis berwarna merah.
Beberapa saat kemudian, tampaknya Jeremy telah terpengaruh alkohol.
"Kau sepertinya sudah mabuk." Ucap Caroline.
"Ohya, kalau begitu ayo kita pergi." Kata pria itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya bermaksud menyingkirkan pengaruh alkohol yang belum seberapa merampas kesadarannya.
"Kemana-" belum juga Caroline bertanya pria itu sudah merangkulnya dan membawanya beriringan memasuki sebuah lorong berujung sebuah ruangan khusus.
Saat pintu ruangan dibuka ternyata ruangan itu adalah tempat pesta ilegal, dilihatnya banyak sekali orang yang berpesta narkoba, dan ada juga semacam perjudian serta transaksi barang-barang ilegal. Caroline ternganga melihat pemandangan di hadapannya ini-benar-benar pesta yang melanggar hukum.
Dia harus segera menghubungi Rachel sekarang juga!
Saat akan pergi dari sana, Caroline tersentak kecil saat tubuhnya malah ditarik oleh Jeremy.
"Mau ke mana?''
"Toilet, aku butuh toilet sekarang juga." Caroline merasa tak nyaman dengan posisinya sekarang karena pria gila yang bersamanya ini dengan kurang ajar menyimpan kepala botaknya di ceruk lehernya.
Double shit! Batin Caroline menjerit karena tubuhnya terus menjadi sasaran kurang ajar pria itu.
"Toilet? Ayo, sekalian aku temani," pria itu menawarkan mengantar dengan tidak tahu dirinya dan sukses membuat kedua mata Caroline membulat.
Dasar gila!
"Tidak perlu, tunggu saja di sini." Caroline dengan paksa mendorong tubuh pria menjijikkan itu dan tanpa basa-basi lagi langsung pergi dari sana. Tubuhnya bahkan merinding efek ditempeli makhluk astral itu.
Caroline melirik sekeliling dan bergumam kecil. "Aku harus melaporkan pesta ilegal ini!''
"Akkhhhh!!"
Caroline memekik saat merasakan tubuhnya melayang akibat dari kakinya yang tiba-tiba terpeleset karena mungkin efek dari Heel-nya yang tinggi-well sangat-sangat tinggi menurutnya, 12 cm maybe. Tapi untungnya sebuah tangan kekar menarik pinggangnya dan menyelamatkannya dari keterjatuhan yang akan sangat memalukan.
"Terima kasih." Ucap Caroline dengan tatapan tertuju lurus pada dada bidang pria penyelamatnya. Posisinya sekarang berada di pelukan pria itu. Mengakibatkan Caroline bisa mencium aroma maskulin pria itu.
Di tiga detik kemudian, Caroline mulai mengangkat kepalanya bermaksud melihat wajah si penolongnya. Dan seketika tatapannya dengan tatapan pria di hadapannya bertemu.
Deg
Caroline langsung terpaku melihat ketampanan pria di hadapannya ini.
Apa malaikat turun ke bumi? Batinnya tak lepas memandang dan memuji wajah tampan di hadapannya ini.
"Tampan!'' Tanpa sadar kalimat itu terlontar lancang dari mulutnya membuat si pria mengangkat alisnya.
"Tampan?''
Caroline kelabakan, dan langsung merutuki mulutnya yang lancang. Ohh.. Mulut kenapa kau lancang sekali?!!
"Ah... Tidak, tidak! Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu kalau tidak aku akan benar-benar jatuh," sahut Caroline sambil mengibas-ngibaskan tangannya di ke depan.
"Oke. Sama-sama."
Saat si pria akan beranjak pergi, Caroline entah sadar atau tidak malah menarik tangan si pria membuat sang empu menatapnya dengan pandangan seolah berkata 'kenapa'.
"Siapa namamu?'' pertanyaan itu tanpa dipikirkan terlebih dulu langsung keluar dari mulut Caroline dengan mulusnya.
Caroline bodoh, kenapa kau menanyakannya! Caroline merutuk dalam hati karena mulutnya kembali berbicara tanpa persetujuan dari hatinya.
Sedangkan si pria mulai kembali menghadapkan tubuhnya dengan Caroline, kemudian maju selangkah mendekati-mengikis jarak antara mereka berdua.
"Kenapa kau ingin tahu namaku?'' tanyanya dengan suara yang mampu membuat jantung Caroline berdetak tidak karuan.
Caroline mengangkat tangannya dan menggerak-gerakannya. "Akhhh.... Tidak tidak, lupakan pertanyaan bodohku!'' saat akan pergi Caroline malah merasakan tubuhnya tertahan. Dan di belakangnya tepat di samping daun telinganya dia merasakan napas hangat menyapa halus di sana.
"Namaku Nicholas, beautiful."
Setelahnya si pria bernama Nicholas itu pergi—benar-benar pergi meninggalkan Caroline yang keterpakuannya di tempat.
"Apa katanya tadi?" bisik Caroline dengan pipi yang memunculkan rona merah kentara seperti kepiting rebus. Entah kenapa hanya karena satu kalimat akhir yang diucapkan pria itu membuat Caroline salah tingkah.
"Beautiful!"
***
Beberapa menit sebelumnya di kediaman Nicholas.Nicholas terlihat berjalan di lorong panjang yang beberapa waktu lalu dilewati Caroline, di samping kanan kiri tengah belakang lelaki itu ada Rolan dan beberapa anak buahnya yang mengikuti.
Tepat para rombongan Nicholas berdiri di hadapan pintu raksasa di hadapannya seorang yang memang telah ditugaskan menjaga pintu itu membukakan pintunya.
"Selamat datang Tuan," sapa mereka membungkuk hormat.
Dan Nicholas disambut oleh hal-hal menakjubkan di dalamnya, semua yang berhubungan di dalam ruangan ini Ilegal, ada banyak yang berpesta narkoba sambil bertransaksi antar pengguna, bahkan ada yang berjudi. Tapi Nicholas tak tampak terkejut, pria itu malah melangkah santai memasuki ruangan luas dan megah itu. Tiba-tiba seorang pria berusia lima puluh tahun mendatanginya dengan dua wanita di kanan kirinya yang merupakan istri lelaki tua bangka itu.
"Selamat datang tuan, apa Anda perwakilan Mr. Matthew," tanyanya.
Nicholas sejenak terdiam memperhatikan pria setengah baya di depannya itu lalu menganggukkan kepalanya-mengiyakan ucapan pria itu."Kalau begitu selamat datang, saya Arthur yang mengadakan semua ini," ucap Arthur menjulurkan tangannya sembari tersenyum.
Nicholas mengangguk, "Saya Anthony Frenzy." Nicholas membalas uluran tangan pria paruh baya itu.
Selama beberapa menit kemudian, Arthur terus berceloteh tentang Nicholas, tentang kemisteriusan lelaki itu, tentang identitasnya yang rahasia sekali. "Sebenarnya ada banyak yang ingin saya tanyakan tentang Mr. Matthew-kenapa tidak langsung menghadiri pesta ini-"
Nicholas menatap Rolan dengan isyarat sesuatu, lelaki itu sepertinya tidak nyaman terus mendengar coletahan tak penting Arthur. Lelaki itu mengisyaratkan agar menyingkirkan pria tua itu dari hadapannya.
***
Setelah selesai dengan teleponnya, Caroline berniat keluar dari toilet tapi suara percakapan yang menarik perhatianmu membuatnya mengurungkan niat keluarnya.
"Kau tahu, madam Ressa telah melakukan transaksi besar-besaran?" tanya si wanita dengan gaun pinknya yang sangat tipis."Aku tahu dan lebih parahnya, wanita tua itu mengambil seorang wanita desa dari negeri apa, aku lupa. Untuk dijadikan tambang emasnya dan kau tahu wanita itu sangatlah cantik," sahut si gaun hitam dengan tangan yang tengah memoleskan lipstick pada bibir tebalnya.
"Kau pernah melihat wanita itu?" tanya si gaun pink.
"Pernah sekali, dan gadis itu masih di bawah umur, dan yang kutahu akhir-akhir ada seorang polisi bermain peran, tengah mengintai mereka secara halus tanpa diketahui siapa pun. Jadi kau sebaiknya sedikit menjauh dari madam Ressa." Jawab si gaun hitam.
"What, bagaimana kau tahu?" tanya si pink.
"Well, pak tua itu yang memberitahuku," jawab si gaun hitam.
Detik setelahnya, mereka berdua keluar meninggalkan Caroline. Wanita itu terlihat berpikir. Rachel pernah bercerita padanya, mengenai kasus klub dan nama madam Ressa itu juga pernah disebutkan sahabatnya.
Nanti saja aku tanyakan. Batinnya.
Lalu Caroline keluar dari kamar mandi dan matanya terbelalak melihat kekacauan di depannya, dan ia melihat Jack tengah menahan seorang pria, dan ada juga beberapa orang berkelahi dan berlarian. Dan yang membuat Caroline ngeri adalah suara tembakkan beruntun yang terdengar di telinganya.
"Akh, lepaskan." Pekik Caroline saat seorang pria tiba-tiba menyergapnya.
"Jack," seru Caroline saat melihat Jack yang mengisyaratkan sesuatu padanya dan ia mengerti akan hal itu.Caroline langsung mengangkat tangan pria itu di lehernya lalu memilinnya hingga pria itu meringis kesakitan, tapi sedetik kemudian Caroline langsung kesakitan saat pria itu memukul kepalanya sedikit keras.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jack, sedetik kemudian setelah menyingkirkan pria yang berulah dengan Caroline.
"Aku hanya pusing sedikit," jawab Caroline sembari menyentuh kepalanya yang berdenyut.
Hingga, di beberapa menit kemudian Caroline tiba-tiba mengeluarkan pistolnya saat melihat pria di depannya tengah menyodorkan pistolnya pada pria yang Ia kenal beberapa waktu lalu.
Dor
Dan yang terjadi selanjutnya di luar dugaan.
Mata Caroline terbelalak tak percaya. Bukan dirinya yang menembak atau pun si pria bermasker dan bertopi hitam yang tengah menatap datar Nicholas, melainkan pistol yang diacungkan Jack yang berbunyi dan pelurunya tersarang pada si pria bermasker. Tubuh pria itu limbung seketika tapi sepertinya masih bisa menyeimbangi agar tidak terjatuh, dan kembali mengacungkan pistolnya pada Nicholas sebelum polisi berhasil menyergapnya. Misinya harus terselesaikan dengan tuntas. Caroline semakin terbelalak saat pria di depannya kembali mengacung pistolnya pada Nicholas. Dor "Aah!'' Nicholas meringis saat sebuah peluru kecil menyerang di bagian perut kanannya. Tubuh lelaki itu langsung limbung ke lantai. "Tuan." Rolan langsung berjongkok dengan panik."Ahhh perempuan itu!!'' Geram Nicholas menatap tajam Caroline yang terlihat panik dengan tangan menutup mulutnya sedangkan bisa Nicholas lihat sebuah pistol tergeletak manis di samping kaki kanan perempuan itu. Sedangkan Caroline sendiri terbelal
Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya. "Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur. Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!" Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya. "Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu." Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya. "Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya. Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh. "Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah dat
Wade William, adalah wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayah angkatnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline.Yeah, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sang kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya.Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena.Anak pembawa sial! Dirinya?Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya?"Bibi he
"Hai, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" desis Caroline meronta mencoba lepas dari rengkuhan tangan Nicholas di pinggangnya."Caroline William," belum reda keterkejutan Caroline akan perlakuan tiba-tiba Nicholas, wanita itu di buat merinding akan ucapan yang mampir di telinganya. "Kau harus menjadi milikku!""What are you say? kau mengigau ya!" Merasa amat heran, Caroline menyahut Nicholas dengan pertanyaan.Nicholas tersenyum tipis. Kemudian membalik tubuh Carolinemenghadapnya. "You're beautiful, smart and seem to have a cheerful, brave soul, and this-" Jamari Nicholas mampir di bibir Caroline-menyentuh dan mengelus lembut bibir itu dengan sensual. "Aku suka. Kau mempunyai mulut yang tidak bisa diam tapi anehnya itu membuatku suka, hal baru yang ada pada dirimu membuatku tertarik. And yea, you must be mine!"Kedua mata Caroline melotot mendengar ucapan terakhir lelaki di hadapannya itu. "No, I'm not yours!""Apa yang menjadi perintahku tidak bisa di tolak, beauty."Caroline mengg
"Alar, Alardo!"Rachel mengerutkan alisnya saat pria di depannya itu tak menyahut dan malah terfokus pada sesuatu di belakangnya. Tertarik, Rachel menoleh dan tersenyum tipis-mengerti objek di belakangnya menarik perhatian Alardo."Sepertinya aku harus pergi." katanya tiba-tiba, membuat pria di hadapannya melotot."Hah. Kenapa?" tanya Alardo."Tidak ada. Hanya aku berpikir kita telah selesai berbicara kan?" jawab Rachel."Kau janji akan menemaniku malam ini." Kata Alardo membuat Rachel terdiam sesaat."Sepertinya lebih baik lain kali."Alardo menghela napas. "Tapi aku mau sekarang. Kalau begitu ayo kita pergi." Alardo ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Rachel dan pemandangan itu tak lepas dari pandangan wanita yang tidak lain Crystal.Rachel protes. "Tapi-"Alardo menggeleng-tidak menerima bantahan. "Tidak ada penolakan."
"Di mana kamarmu?" tanya Nicholas setelah berhasil memasuki rumah Caroline yang tampak sederhana. "Arah barat pintu cokelat dengan atasnya ada tulisan namaku." jawab Caroline lelah, kesadarannya telah berada di angka 50 persen. Mendengar jawaban itu, Nicholas segera bergerak mencari kamar yang disebutkan wanita di gendongannya. "Emmm... Nic. Jangan membuat suara aku tidak ingin membangunkan orang rumah." Kata Caroline dalam setelah perjalanan mencari kamarnya. "Oke."Lima belas detik kemudian. Nicholas tepat berdiri di depan pintu kamar dengan tulisan Caroline William. Lelaki itu bergerak membuka knop pintu, memasuki kamar dan menutup kembali pintunya. Nicholas kemudian merebahkan Caroline di ranjang. "Kau harus berganti pakaian. Ini kotor." ucap Nicholas sambil duduk di sisi ranjang. "Hmm," Dan hanya dehaman yang menyahut. Saat Caroline akan melepas kausnya, tampak kesusahan. "Bantu aku." lanjutnya kemudian. Nicholas akhirnya membantu menarik kaus itu dari tubuh Caroline ya
Satu jam kemudian. Setelah tiga puluh menit sebelumnya yang hanya dipakai untuk tidur kembali akhirnya Caroline telah segar juga setelah membersihkan seluruh badannya yang terasa lengket dan kotor. Dan sekarang wanita itu sudah rapi dengan style yang biasa sehari-hari di rumah.Caroline berencana hari ini tidak akan keluar dari rumah. Karena kejadian semalam dia jadi over terlebih juga tubuhnya dalam keadaan tidak baik sekarang."Sudah bangun."Memasuki dapurnya Caroline disambut oleh sang adik."Masak apa?" tanya Caroline."Stake sederhana dari bahan tanpe ala Indonesia." Sahut Carles."Ohya. Kelihatannya lezat." ucap Caroline.Carles terkekeh. "Tentu saja."Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Caroline menatap lapar hidangan lezat di hadapannya. "Eumm.... Ini enak sekali. Carles, kau pintar sekali dalam urusan dapur!" Kata Caroline terus melahap makanannya.Carles terkekeh. "Tentu saja masakanku enak. Bahkan kakakku saja kalah dengan cita rasa yang selalu aku hidangkan," katany
Di kediaman mewah dengan kesan klasik. Setelah malam malam menakjubkan yang di laluinya bersama wanita itu, tanpa di sangka ketertarikan menyambangi kehidupan asmara Nicholas.Tentu bukan lah hal pertama baginya, tapi setelah sekian tahun Nicholas mulai bebas dari bayang-bayang masalalu.Dan wanita itu— Caroline William namanya, seolah menarik dirinya sendiri untuk berhadapan dengannya, dengan cara yang tidak elegan, berawal dirinya yang menyelamatkan tubuh wanita itu saat akan jatuh malah berakhir dia yang menderita karena tembakan yang di lepas wanita itu. Dan saat itu, saat mereka bertatapan, kepala Nicholas terus saja dibayangi wajah cantik Caroline, membuatnya tanpa sadar tersenyum sendiri.''Tuan!''"Ya, aku mendengarnya." Nicholas mengangkat wajahnya dengan raut datar khasnya.''Maaf karena meninggikan suara, sebab tuan sedari tadi tidak menyahut panggilan saya." beritahu Rolan dengan sopan."Hmm." Dan hanya dehaman sebagai sahutan dari sang tuan."Tuan, Anda tidak apa-apa?" ta