Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai, menyelimuti kamar dengan cahaya yang lembut.
Astoria terbangun lebih dulu, rasa kantuk masih melingkupi matanya, namun ia segera sadar bahwa ini bukan kamarnya yang biasa.la mengingat tempatnya berada, kediaman orang tua Mikhail, mansion megah yang begitu asing baginya.Dia bangkit dari tempat tidur, merapikan kemeja Mikhail yang masih membalut tubuhnya. Kemeja itu begitu besar, panjangnya hanya sampai di atas pahanya, namun justru karena itu, ia merasa sedikit terlindungi daripada memakai gaunt tidur tipis yang di siapkan kemarin malam oleh kepala pelayan. Tanpa pikir panjang, Astoria melangkah ke meja rias di sudut ruangan. Ia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya yang tergerai, sambil berdiri memunggungi tempat tidur.Sementara itu, Mikhail terbangun perlahan, matanya yang setengah terbuka menangkap sosok Astoria di depan cermin.Dia terdiam sejenak, matanya foMikhail menatap Astoria dengan mata yang penuh gelora, sebuah ekspresi yang tak biasa terlihat dari dirinya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terbakar ketika melihat setengah punggung Astoria terbuka tanpa busana. Tanpa berpikir panjang, dia mendorong tubuh Astoria ke ranjang, membuat wanita itu tersentak kaget. Astoria nyaris berteriak, namun sebelum suara itu bisa keluar, Mikhail dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan yang lembut namun tegas. "Ssst ... jangan berteriak!" bisiknya dengan nada rendah, nyaris seperti sebuah peringatan. Mata coklat gelapnya menatap dalam ke mata Astoria yang terbelalak. "Apa yang kau lakukan?" tanya Mikhail. Astoria mengerang pelan, tubuhnya tegang di bawah berat Mikhail. Dia mencoba bersuara, namun suaranya teredam di balik genggaman tangan Mikhail yang masih menutup mulutnya. Sensasi kehangatan dari kulitnya membuat napasnya memburu, sementara pikiran-pikirannya berputar tak
Mikhail dan Astoria akhirnya turun dari kamar mereka. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, mempersiapkan diri untuk menghadapi pagi ini di hadapan keluarga Bloom. Ketika mereka sampai di lantai satu, ruang makan megah sudah tampak di depan mata. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela besar, memantulkan cahaya lembut ke perabotan antik yang mewah. Suasana yang hangat namun tetap formal menyelimuti ruangan itu. Di meja makan, Tuan dan Nyonya Bloom telah duduk dengan anggun. Senyum mereka terhampar hangat, mengundang rasa nyaman sekaligus gugup bagi Astoria. "Bagaimana malamnya?" tanya Nyonya Bloom dengan nada yang ramah, matanya menatap lembut ke arah pasangan muda itu. "Baik, Bu," jawab Mikhail singkat, suaranya terdengar tegas meski tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan perasaan yang terjadi semalam. Dia mengambil tempat duduk di sebelah Astoria. "Tidur kami nyenyak Nyonya," jawab Astoria yang melawan ra
Astoria tak membalas pesan dari Jerry. Dengan sedikit gemetar, ia menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya, seolah menyingkirkan masalah yang baru saja menghampirinya. Pikiran itu masih mengganggunya, namun di depan orang tua Mikhail, ia berusaha menampilkan wajah yang tenang. Mikhail kemudian pamit pada ayah dan ibunya di ambang pintu rumah besar itu. Astoria mengikuti di belakangnya, mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan dengan senyum sopan. Begitu mereka sampai di mobil, suasana berubah menjadi sunyi. Mikhail duduk di kursi pengemudi, sementara Astoria berada di sampingnya. Sebelum Mikhail menyalakan mesin mobil, dia berhenti sejenak. Tatapannya terfokus pada Astoria melalui spion depan, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi. "Pesan dari siapa tadi?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar namun penuh makna. Astoria menoleh seketika, sedikit terkejut. Rasanya seperti dirinya baru saja tertang
Setibanya di hotel, suasana langsung berubah. Setiap langkah mereka memasuki lobi disambut dengan salam hormat dari para karyawan.Mikhail, dengan gaya khasnya, hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa banyak kata. Ada dingin yang tak tersembunyi di wajahnya, sebuah jarak yang tak terjangkau oleh siapa pun.Berbeda dengan Astoria, yang meskipun hatinya sedang dilanda kekalutan, tetap membalas sapaan-sapaan itu dengan senyuman dan perhatian."Selamat pagi, Nyonya Astoria," sapa seorang karyawan dengan semangat."Pagi! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Astoria lembut."Baik, Bu. Terima kasih sudah menanyakan."Senyuman manis dari Astoria terasa seperti cahaya yang menerangi pagi para karyawan berbanding terbalik dengan CEO-nya itu yang seperti membawa awan gelap ketika ia datang.Namun, saat Astoria dan Mikhail melangkah lebih jauh ke dalam lobi, suasana itu seketika berubah. Dari balik meja resepsionis, Jhein menatap A
Setelah jam kerja usai, kantor perlahan mulai sepi. Lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, hanya menyisakan kerlipan cahaya redup yang memantul dari permukaan meja-meja di sekitar. Mikhail berjalan mendekati meja Astoria dengan langkah yang mantap, wajahnya serius seperti biasanya."Aku akan pulang larut hari ini, kau pulang duluan saja," ujar Mikhail dengan nada datar, seolah memberi tahu hal yang sepele.Astoria hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Mikhail kemudian pergi, meninggalkan jejak keheningan yang kerap menyertai kepergiannya.Namun, hanya beberapa saat setelah Mikhail menghilang di balik pintu, Jerry muncul dengan senyum hangat. "Ayo, kita juga pergi sekarang," ajaknya. Ada nada ajakan yang lebih dari sekadar rutinitas di kalimatnya.Mereka berdua kemudian beranjak pergi, meninggalkan gedung hotel yang megah di dalam malam yang dingin. Jerry sudah menyiapkan sebuah rencana yang sederhana namun bermakna, makan malam
Malam itu, suasana di restoran terasa damai, dengan alunan musik klasik yang mengiringi percakapan santai antara Mikhail dan Tuan Chriss.Mereka duduk di meja yang strategis, memberikan pemandangan indah ke luar jendela, langsung ke arah taman.Mikhail sesekali melirik ke luar, menikmati pemandangan, tapi tetap fokus pada perbincangan bisnis yang sedang berlangsung.Namun, takdir sepertinya bermain malam itu. Saat Mikhail memutuskan untuk sejenak pergi ke toilet, ia tidak menyangka bahwa pandangannya akan tertuju pada pemandangan yang mengusik hatinya.Keluar dari pintu toilet, langkah Mikhail terhenti ketika matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya, Astoria. Dia tidak sendirian. Di kejauhan, di tengah-tengah taman yang diterangi cahaya lampu taman, Astoria sedang bersama Jerry.Detik-detik berlalu, namun terasa seperti lambat. Mikhail menyaksikan bagaimana Jerry perlahan mendekat, tatapan matanya tak bisa salah ... Jerry hendak men
'Apa dia menungguku?' batin Astoria.Mikhail berdiri dari sofanya tanpa menunggu jawaban Astoria. Tanpa sepatah kata lagi, dia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Astoria berdiri terpaku di ruang tamu.Langkah Mikhail yang tenang dan tak tergesa-gesa seolah menjadi penutup dari percakapan yang belum sempat terucap sepenuhnya, membawa serta semua ketidakpastian yang menghantui benak mereka berdua.Astoria hanya bisa menghela napas panjang, lalu perlahan masuk ke kamarnya sendiri, ia duduk di meja riasnya menghapus make up yang masih menempel di sana, lalu ia teringat menyimpan liontin di lacinya.Ia buka laci itu, menggenggam liontin yang akhirnya kembali lagi padanya, menggenggam satu-satunya kenangan bersama ayahnya yang entah di mana, dan Mikhail lah yang menjaga liontin ini bertahun-tahun.'Seharusnya aku lebih berterima kasih lagi pada Mikhail, meski dia menyebalkan dan dingin padaku, ternyata ia punya sisi lain juga yang lembut,'
Mikhail menyerahkan berkas terakhir ke atas meja Jerry, kali ini isinya adalah gambar jam tangan yang sangat dikenal oleh Mikhail. Jam itu milik Jerry, sebuah benda yang ia ingat dengan jelas karena desainnya yang unik. Di samping gambar, ada catatan yang dibuat oleh Mikhail sendiri, merinci setiap detail dari jam tersebut, bahkan dari ukiran kecil. "Saat kecelakaan, yang aku lihat hanya jam itu," ujar Mikhail dengan suara yang sedikit gemetar menahan amarahnya. Jerry menatap berkas itu, wajahnya semakin pucat. Tapi dia tahu, tak ada gunanya lagi berbohong atau berpura-pura. Semua bukti telah ada di depan matanya, mengungkapkan kejahatannya yang selama ini tersembunyi. Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Jerry berdiri dari kursinya dengan perlahan, lalu menghampiri Mikhail dengan langkah tegas. Wajahnya berubah, dari yang tadinya terkejut menjadi dingin, penuh dengan ketegasan yang aneh. Tatapan Jerry beradu dengan Mikhai