Setibanya di hotel, suasana langsung berubah. Setiap langkah mereka memasuki lobi disambut dengan salam hormat dari para karyawan.
Mikhail, dengan gaya khasnya, hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa banyak kata. Ada dingin yang tak tersembunyi di wajahnya, sebuah jarak yang tak terjangkau oleh siapa pun.Berbeda dengan Astoria, yang meskipun hatinya sedang dilanda kekalutan, tetap membalas sapaan-sapaan itu dengan senyuman dan perhatian."Selamat pagi, Nyonya Astoria," sapa seorang karyawan dengan semangat."Pagi! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Astoria lembut."Baik, Bu. Terima kasih sudah menanyakan."Senyuman manis dari Astoria terasa seperti cahaya yang menerangi pagi para karyawan berbanding terbalik dengan CEO-nya itu yang seperti membawa awan gelap ketika ia datang.Namun, saat Astoria dan Mikhail melangkah lebih jauh ke dalam lobi, suasana itu seketika berubah. Dari balik meja resepsionis, Jhein menatap ASetelah jam kerja usai, kantor perlahan mulai sepi. Lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, hanya menyisakan kerlipan cahaya redup yang memantul dari permukaan meja-meja di sekitar. Mikhail berjalan mendekati meja Astoria dengan langkah yang mantap, wajahnya serius seperti biasanya."Aku akan pulang larut hari ini, kau pulang duluan saja," ujar Mikhail dengan nada datar, seolah memberi tahu hal yang sepele.Astoria hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Mikhail kemudian pergi, meninggalkan jejak keheningan yang kerap menyertai kepergiannya.Namun, hanya beberapa saat setelah Mikhail menghilang di balik pintu, Jerry muncul dengan senyum hangat. "Ayo, kita juga pergi sekarang," ajaknya. Ada nada ajakan yang lebih dari sekadar rutinitas di kalimatnya.Mereka berdua kemudian beranjak pergi, meninggalkan gedung hotel yang megah di dalam malam yang dingin. Jerry sudah menyiapkan sebuah rencana yang sederhana namun bermakna, makan malam
Malam itu, suasana di restoran terasa damai, dengan alunan musik klasik yang mengiringi percakapan santai antara Mikhail dan Tuan Chriss.Mereka duduk di meja yang strategis, memberikan pemandangan indah ke luar jendela, langsung ke arah taman.Mikhail sesekali melirik ke luar, menikmati pemandangan, tapi tetap fokus pada perbincangan bisnis yang sedang berlangsung.Namun, takdir sepertinya bermain malam itu. Saat Mikhail memutuskan untuk sejenak pergi ke toilet, ia tidak menyangka bahwa pandangannya akan tertuju pada pemandangan yang mengusik hatinya.Keluar dari pintu toilet, langkah Mikhail terhenti ketika matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya, Astoria. Dia tidak sendirian. Di kejauhan, di tengah-tengah taman yang diterangi cahaya lampu taman, Astoria sedang bersama Jerry.Detik-detik berlalu, namun terasa seperti lambat. Mikhail menyaksikan bagaimana Jerry perlahan mendekat, tatapan matanya tak bisa salah ... Jerry hendak men
'Apa dia menungguku?' batin Astoria.Mikhail berdiri dari sofanya tanpa menunggu jawaban Astoria. Tanpa sepatah kata lagi, dia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Astoria berdiri terpaku di ruang tamu.Langkah Mikhail yang tenang dan tak tergesa-gesa seolah menjadi penutup dari percakapan yang belum sempat terucap sepenuhnya, membawa serta semua ketidakpastian yang menghantui benak mereka berdua.Astoria hanya bisa menghela napas panjang, lalu perlahan masuk ke kamarnya sendiri, ia duduk di meja riasnya menghapus make up yang masih menempel di sana, lalu ia teringat menyimpan liontin di lacinya.Ia buka laci itu, menggenggam liontin yang akhirnya kembali lagi padanya, menggenggam satu-satunya kenangan bersama ayahnya yang entah di mana, dan Mikhail lah yang menjaga liontin ini bertahun-tahun.'Seharusnya aku lebih berterima kasih lagi pada Mikhail, meski dia menyebalkan dan dingin padaku, ternyata ia punya sisi lain juga yang lembut,'
Mikhail menyerahkan berkas terakhir ke atas meja Jerry, kali ini isinya adalah gambar jam tangan yang sangat dikenal oleh Mikhail. Jam itu milik Jerry, sebuah benda yang ia ingat dengan jelas karena desainnya yang unik. Di samping gambar, ada catatan yang dibuat oleh Mikhail sendiri, merinci setiap detail dari jam tersebut, bahkan dari ukiran kecil. "Saat kecelakaan, yang aku lihat hanya jam itu," ujar Mikhail dengan suara yang sedikit gemetar menahan amarahnya. Jerry menatap berkas itu, wajahnya semakin pucat. Tapi dia tahu, tak ada gunanya lagi berbohong atau berpura-pura. Semua bukti telah ada di depan matanya, mengungkapkan kejahatannya yang selama ini tersembunyi. Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Jerry berdiri dari kursinya dengan perlahan, lalu menghampiri Mikhail dengan langkah tegas. Wajahnya berubah, dari yang tadinya terkejut menjadi dingin, penuh dengan ketegasan yang aneh. Tatapan Jerry beradu dengan Mikhai
Astoria menyaksikan Mikhail keluar dari ruangan Jerry dengan langkah cepat, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Sejenak, dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Aura dingin yang menyelimuti Mikhail saat melintas di hadapannya membuat tubuhnya menegang.Jantungnya berdebar karena ikut tegang. Dia menggenggam berkas di tangannya, yang tadinya hendak diserahkan kepada Mikhail, namun sekarang tangannya bergetar.Setengah hati, Astoria mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Mikhail, tapi bayangan amarah di wajah suaminya itu membuat langkahnya tertahan. Dengan perasaan tidak menentu, seperti ada badai yang siap menghantam kapan saja.Astoria berdiri di depan pintu kantor Mikhail, jantungnya berdegup kencang. Pekerjaan yang harus diselesaikan ini terlalu penting untuk ditunda, meskipun bayangan wajah marah Mikhail masih terpatri jelas di benaknya. Dengan napas yang sedikit tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk masuk. Ketika dia membuka pi
Astoria sedikit heran sekaligus kaget dengan ajakan Mikhail yang tiba-tiba untuk pulang di saat jam kerja. Rasanya aneh dan tak biasa. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, perhatiannya tersedot oleh sesuatu yang lain, genggaman tangan Mikhail yang masih menempel di lengannya.Sentuhan itu terasa panas, seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menyusup ke setiap urat nadinya.Mikhail akhirnya melepas tangannya dari lengan Astoria dengan lembut, seolah tak ingin membuatnya merasa canggung.Tapi, bagi Astoria, sentuhan itu sudah meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan. Dia mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan."Ba-baik. Kita akan pulang dan panggil dokter Felix," ujarnya, suaranya sedikit gemetar.Mikhail mengangguk lemah, kemudian bersandar di kursinya dengan mata terpejam. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa rasa sakit di kepalanya belum benar-benar mereda."P
Jerry sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda canggung atau gentar di hadapan Mikhail. Malah, dengan sikap santai dan penuh percaya diri, dia melepaskan pelukan dari pinggang Astoria secara perlahan.Senyum tipis muncul di wajahnya, penuh dengan niat untuk memancing reaksi dari Mikhail. "Lain kali lebih berhati-hatilah," bisik Jerry lembut, suaranya terdengar begitu dekat di telinga Astoria, sengaja membuat Mikhail semakin terbakar api cemburu. "Untung ada aku yang selalu ada untukmu."Astoria, yang merasa terganggu oleh kedekatan yang berlebihan itu, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum melangkah mundur. "Terima kasih," ucapnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Tanpa menunggu respon dari Jerry, Astoria segera berpaling dan berjalan ke arah Mikhail.Mikhail tetap bergeming di tempatnya, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Jerry, seolah mencoba menelusuri setiap niat tersembunyi di balik sikap santainya.
Setelah Dr. Felix pamit, meninggalkan penthouse dalam keheningan, Mikhail tetap duduk di sofa, tubuhnya tampak lebih rileks, namun pikirannya jauh dari tenang.Astoria duduk di seberang Mikhail, hendak membereskan cangkir teh yang ia sajikan untuk dokter Felix dan Mikhail.Mikhail memperhatikan Astoria dengan lebih seksama. Tatapannya turun, melihat kalung liontin yang menggantung di leher istrinya itu, sebuah benda kecil, tapi penuh arti. Ada rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik tatapannya yang dingin. Ia tidak terbiasa menunjukkan perasaan, tetapi sesuatu dalam diri Astoria selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak."Kemana ayahmu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya tetap rendah dan datar, seolah ini hanyalah pertanyaan biasa.Astoria terdiam sejenak, menghentikan aktivitasnya membereskan cangkir-cangkir itu, lalu menatap Mikhail dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya."Ayah pergi sete
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera