Theo terdiam. Dia belum pernah mendengar cerita ini. Dia ingat pernah melihat Paman Francis hampir menampar Bibi Herta, namun ditahan oleh ayahnya. Hal itu membuat Theo membenci pamannya dan menganggapnya sebagai musuh. Tiba-tiba Theo teringat, Bibi Herta yang mengajaknya pergi ke restoran tempat ibunya bertemu dengan laki-laki itu. Bibinya juga memintanya menceritakan kepada ayahnya betapa mesranya sang ibu dengan pria itu. Padahal setelah Theo mengingatnya lagi, mereka tidak bermesraan, mereka hanya berbicara seperti biasa sambil makan siang bersama.Theo menggenggam erat tangannya, menahan rasa marah dan penyesalan karena kekerasan kepalanya selama ini. Dia tidak mengerti apa yang membuat mengeraskan hatinya selama ini. Rekaman Tommy baru berjalan setengah tapi matanya sudah terbuka dan sudut pandangnya berubah. Puluhan tahun dia membenci ibunya yang tidak layak untuk dia benci. "Aku juga punya satu kabar lagi. Aku mengidap penyakit yang sama seperti mama. Umurku mungkin tidak la
"Halo, halo! Apa yang terjadi? Halo!" teriak Theo yang panik. Tidak ada seorangpun yang menjawabnya. Theo terus memanggil dengan panik, hingga akhirnya seseorang menyadari kalau telepon Tommy masih menyala. "Halo," ucap seseorang. "Halo, apa yang terjadi dengan adik saya?" tanya Theo cepat. Orang itu tidak menjawab namun langsung mematikan teleponnya. "Apa ... apa yang terjadi?" guman Theo sambil menatap telepon genggamnya. Theo segera menghubungi Derick, memintanya menyiapkan pesawat pribadi untuk berangkat ke negara Tommy malam ini juga. Dia harus tahu apa yang terjadi. "Apa aku harus mengajak Sarah?" tanya Theo setelah selesai memasukkan barang-barang yang harus dia bawa ke dalam sebuah tas kecil. Theo segera menghubungi Sarah dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dia juga memberitahu Sarah kalau malam ini dia akan terbang untuk mengunjungi Tommy. "Apakah aku boleh ikut?" tanya Sarah sebelum Theo sempat mengajaknya. "Tentu saja. Bersiaplah, bawa paspormu. Aku akan
"Apa yang terjadi?" tanya Theo dan Sarah bersamaan."Aku akan memeriksa ke dalam," ucap Theo cepat lalu segera masuk ke dalam ruang ICU.Perasaan Sarah tidak enak. Dia tahu akan mendapatkan kabar buruk setelah Theo keluar."Duduklah, suami Mona pasti sudah meninggal," panggil ibu Mona santai.Sarah hanya membalikkan kepalanya untuk melirik ibu Mona."Tidak usah, aku suka berdiri," jawab Sarah lalu kembali mengintip ke dalam ICU.Tidak berapa lama kemudian Theo keluar dengan wajah merah dan mendekati Sarah lalu menjatuhkan kepalanya ke pundak Sarah."Ada apa?" tanya Sarah lembut sambil menepuk-nepuk punggung Theo."Dia pergi. Adikku meninggal dunia."Sarah terkejut mendengarnya meski sudah menduganya. Tidak berapa lama kemudian Mona keluar dari ruang ICU dan menangis sambil menjerit-jerit. Sarah melirik ibu Mona yang terus duduk sambil memeriksa telepon genggamnya tanpa peduli melihat putrinya yang sedang berduka."Ibu yang aneh," guman Sarah sambil menatap Mona yang meraung di lantai.
"Theo, apa maksudmu?" tanya Sarah tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Aku setuju untuk bertanggung jawab atas hidup Mona dan anak-anaknya. Untuk itu, aku akan membawa mereka kembali ke negaraku sekaligus membawa jenazah adikku untuk dikuburkan di sisi kedua orangtuaku," ucap Theo tanpa memandang Sarah yang masih terkejut, hingga tidak dapat berkata apa-apa."Theo, apa kau tidak mendengarkan aku?" tanya Sarah sekali lagi."Baiklah kalau begitu. Mengingat dia akan memiliki hidup yang baru di sana, maka tidak berlebihan rasanya kalau kami meminta rumah dan harta peninggalan almarhum untuk kami," lanjut ibu Mona sambil tersenyum bahagia.Sarah masih berdiri membeku. Dia bagai bayangan yang tidak terlihat dan diperhatikan oleh siapapun. Tidak seorangpun menjawabnya terutama Theo yang seakan-akan tidak mendengarkannya."Semua terserah Mona. Karena itu bukan milikku," jawab Theo sopan."Theo!" teriak Sarah yang sudah tidak tahan lagi. "Apa maksud semua ini? Bisa-bisanya kau bersedi
'Maksudmu kau tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan?' batin Sarah namun menahan mulutnya. "Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu, sebelum aku dan Theo-" "Tidak usah. Lakukan saja apa yang harus kalian lakukan. Aku baik-baik saja," potong Sarah lalu segera meninggalkan pemakaman. Dia tidak sanggup mendengar kata-kata Mona selanjutnya. Mereka mau menikah atau melakukan apapun, itu bukan urusannya lagi. Untuk apa bersusah payah menjelaskan hal yang sudah jelas akan menyakiti Sarah bagaimanapun caranya dijelaskan. Sarah tidak pulang ke rumah. Dia pergi mengunjungi kuburan kedua orangtuanya dan Grace. Sarah membeli tiga buket bunga sebelum masuk ke pemakaman. "Ma, Pa, apa kabar?" sapa Sarah sambil membersihkan rumput-rumput tinggi yang tumbuh di sisi kuburan kedua orangtuanya. "Hidupku terasa sangat melelahkan. terutama karena kalian tidak ada di sisiku, Pa, Ma." Sarah meletakkan dua buket bunga disana. Lalu menatap nisan yang beruliskan nama kedua orangtuanya. "Kalau aku
"Maksudmu?" tanya Sarah panik.Apa ini yang dia maksud dengan bertanggung jawab? Apakah Theo akan tinggal di sana bersama Mona dan kedua anaknya? Sarah tidak bisa membayangkan mereka tinggal bersama sebagai keluarga. Dia banyak membaca buku dan menonton film, dimana cinta bisa bertumbuh diantara pria dan wanita yang sering bersama. Apalagi ada anak-anak di antara mereka."Seseorang harus tinggal bersama Mona dan anak-anak di negara asing itu, sampai mereka terbiasa.""Jadi maksudmu kau akan pindah kesana bersama Mona dan anak-anaknya?" tanya Sarah dengan mata membesar."Tidak, bukan aku," jawab Theo tegas.Sarah langsung membuang napas lega, dia merasa tenang karena ternyata Theo tidak akan tinggal bersama Mona. "Lalu siapa yang akan menemani kalian?" tanya Sarah kepada Mona kembali menegang. Dia khawatir jangan-jangan Theo akan memintanya untuk pergi.Sarah tidak ingin hidup di negara asing bersama Mona dan anak-anaknya. Dia tidak akan bersedia, bagaimanapun caranya Theo membujuknya
Theo tiba-tiba tidak bisa lagi menahan tubuhnya dan langsung terjatuh ke lantai. Nadine tersenyum senang karena ibunya benar. Obat itu akan segera bereaksi, jadi dia tidak perlu khawatir.Nadine segera membantu Theo untuk duduk kembali di kursinya. Theo menatap Nadine dengan marah. Dia sadar tapi sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Dia berusaha keras untuk menggerakkan tubuhnya tapi sama sekali tidak berhasil. Theo bahkan tidak dapat menggerakkan mulutnya."Jangan khawatir tuan. Anda hanya akan lumpuh untuk sementara. Aku minta maaf karena harus bertindak sejauh ini. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan masa depan saya," ucap Nadine sambil memperbaiki posisi duduk Theo, sampai sesuai dengan yang dia inginkan.Dia lalu berdiri di hadapan Theo dengan senyum senang karena sepertinya rencananya berhasil."Ibuku memang ahli strategi yang hebat. Dan aku adalah eksekutor yang luar biasa. Anda pasti bahagia apabila memiliki istri dan ibu mertua seperti kami. Sayangn
"Apa? Tidak ada gambarnya? Apa maksudnya tidak ada gambar?" tanya Theo panik. Itu adalah satu-satunya alat bukti yang dapat menyelamatkan Theo. Kalau itu tidak ada maka dia tidak punya pilihan lain kecuali memberikan 10 milyar yang diminta Nadine."Sepertinya seseorang merusaknya, Tuan." "Merusaknya? Apakah para petugas di ruang pengawasan tidak menyadari kalau kameranya rusak?" tanya Theo marah."Sepertinya tidak, Tuan.""Brengsek! Kapan kameranya rusak?" bentak Theo yang tidak percaya dengan kinerja para pegawainya."Gambar terakhir yang terekam adalah gambar tadi pagi, Tuan," jawab asisten Theo ketakutan."Siapa yang terakhir masuk ke ruanganku sebelum kameranya rusak?""Saya ... saya tidak memeriksanya, Tuan.""Pergi dan periksa sekarang!" perintah Theo dengan nada tinggi.Di saat-saat seperti ini, Theo benar-benar membutuhkan Derick. Asistennya yang satu itu benar-benar tahu apa yang harus diperbuat. Theo selalu merasa bahwa Derick bisa membaca pikirannya. Selain itu, Derick ju
"Aku memikirkan perkataan Derick tadi," ucap Theo saat dia dan Sarah sudah selesai membersihkan diri. Malam ini adalah malam pertama mereka. Kemarin mereka kelelahan setelah pesta yang diadakan hingga lewat tengah malam. Mereka segera tidur dan menyiapkan fisik untuk pesta hari ini. Sarah dan Theo duduk berdampingan di atas tempat tidur besar milik Theo. "Kenapa? Apa kau tidak ingin punya anak?" tanya Sarah berhati-hati. "Memiliki anak terasa seperti mimpi buruk bagiku," desah Theo lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Sarah mendekati Theo lalu memeluknya perlahan. "Apa karena Grace?" "Ya, karena aku takut kehilanganmu. Bagaimana kalau kau juga mengalami hal yang sama dengan Grace?" Sarah terdiam. Ternyata Theo khawatir dengan dirinya. Dia khawatir melahirkan seorang anak bisa mencabut nyawa Sarah. Sementara Sarah memiliki kekhawatiran yang berbeda. Dia takut akan melahirkan anak seperti Grace. Dia takut akan melahirkan anak yang harus berjuang lebih keras dari orang lai
"Kau tidak anti pernikahan?" tanya Theo lagi untuk memastikan."Aku? Anti pernikahan? Tidak mungkin. Aku selalu menginginkan pernikahan," jawab Sarah tanpa penjelasan lebih jauh.Dia tidak ingin membuat Theo menjauhinya karena terlalu bersemangat membicarakan pernikahan."Tadi katamu ingin minuman hangat. Mau ke kafe sebentar?" ajak Theo sambil menunjuk sebuah kafe yang ada di depan mereka."Ayo," jawab Sarah berpura-pura bersemangat.Dia kecewa karena Theo tidak menanggapi perkataannya. Dia tahu Theo pasti kecewa dan merasa tertekan karena ternyata Sarah menginginkan pernikahan."Masuklah duluan, aku harus menelepon seseorang. Aku akan menyusul," ucap Theo setelah mereka keluar dari mobil.Sarah masuk ke dalam kafe yang sepi. Dia duduk di pojok dan mulai memeriksa buku menu yang diberikan pelayan. Sarah memesan coklat hangat dan sepotong kue manis. Tidak berapa lama kemudian Theo masuk sambil tersenyum."Maaf, ada beberapa pekerjaan penting yang cukup mendesak," ucap Theo lalu memes
"Apa? Menikah sekarang? Tapi Tuan-""Kalau kau tidak mau menikah sekarang, maka sebaiknya kalian berhenti berhubungan." Theo memotong perkataan Derick dengan perintah yang jelas. Derick dan Mona saling bertatapan dengan bingung. Mereka sama sekali belum merencanakan hubungan yang sejauh itu. Tapi Theo malah memaksa mereka menikah."Mengapa kami harus menikah sekarang, Tuan?" tanya Derick yang tidak mengerti dengan pikiran Theo."Aku tidak mau keponakanku bingung. Kau sudah terlalu dekat dengan mereka tapi mereka tidak bisa mengatakan bahwa kau ayahnya di hadapan teman-temannya. Kau akan selalu menjadi teman ibunya, yang bersikap seperti ayahnya. Lebih baik kalau kalian menikah dan kau menjadi ayah mereka.""Tapi aku memang bukan ayah mereka. Bagaimanapun juga, Tuan Tommy adalah ayah mereka.""Aku tahu itu! Tapi apa kau bisa berhubungan dengan Mona dan tidak berinteraksi dengan si kembar?"Derick menggelengkan kepalanya."Atau bisakah kau memperlakukan mereka seperti anak-anak lain? K
Derick mengangkat kepalanya perlahan. Dia menatap Mona dan Theo bergantian. Lalu berdiri dan menatap Theo dengan berani."Tuan, saya minta maaf.""Minta maaf untuk apa?" tanya Theo yang sepertinya sudah bisa menduga kemana arah pembicaraan Derick."Saya dan Mona saling jatuh cinta. Sebenarnya kami kemari untuk meminta restu Tuan untuk hubungan kami," jawab Derick yakin dengan suara yang hampir berbisik."Apa?" teriak Theo tidak percaya.Sarah menutup mulut menganganya dengan tangan. Dia juga tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Tuan, tolong maafkan saya. Saya juga tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini," jelas Derick mencoba menenangkan tuannya.Sementara Mona hanya bisa diam menatap lelaki yang dicintainya memohon di hadapan kakak iparnya yang juga atasan kekasihnya."Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?" tanya Theo mencoba menenangkan pikirannya.Theo tidak percaya bagaimana bisa adik iparnya berhubungan dengan Derick. Bukan karena derajat atau pekerjaan Deri
Theo yang sebenarnya tidak suka Sarah bekerja dengan orang dewasa, tidak bisa berbuat apa-apa ketika Sarah ingin melakukannya. Dia tidak punya alasan yang masuk akal selain tidak suka Sarah berinteraksi dengan pria lain. Membayangkannya membuat Theo cemburu dan kesal. Tapi Sarah akan menganggap dia picik jika terus memaksanya untuk menolak pekerjaan yang berhubungan dengan orang dewasa. Karena itu Theo akhirnya tidak punya pilihan selain menerima dengan pikiran terbuka. Lagipula Sarah sama sekali tidak meminta izinnya, dia hanya memberitahu Theo bahwa dia menerima pekerjaan mengajar di salah satu instansi pemerintahan.Sarah memberitahu Theo bahwa dia hanya akan mengajar sampai sebelum jam makan siang. Karena itu, Theo ingin memberikan kejutan dengan mendatangi tempat Sarah mengajar dan mengajaknya makan siang.Theo sengaja menunggu di luar gedung, dia tahu Sarah harus keluar dari pintu depan karena dia akan naik taksi. Dia ingin mengejutkan kekasihnya itu di hari pertama dia kembali
"Ada apa? Kenapa kau tampak marah?" tanya Theo bingung.Dia hanya berusaha membuat Sarah yakin kalau dia akan selalu ada di sisi Sarah apapun pilihan Sarah. Kalau Sarah tidak mau menikah, maka Theo akan mendukungnya meski dia sangat menginginkan Sarah menjadi istrinya."Ayo kita sapa Frank dan Claudia lalu pulang," sahut Sarah tidak menjawab pertanyaan Theo.Sarah tahu Theo tidak mau menikah, tetapi mengapa dia harus sesenang itu hidup tanpa ikatan dengan Sarah. Apakah Sarah tampak seperti wanita yang tidak perlu diperjuangkan, dijaga dan dimiliki selamanya.Sarah benar-benar marah dan kali ini dia tidak dapat menyembunyikannya."Baik, kalau itu maumu," jawab Theo yang masih bingung.Mereka berjalan ke arah pengantin tanpa memperhatikan apa yang sedang terjadi. Sarah dan Theo kaget karena tiba-tiba sebuah buket bunga muncul dari langit dan jatuh tepat di dada Sarah. Secara otomatis Sarah menangkapnya. Seluruh ruangan bertepuk tangan sambil tertawa bahagia.Sarah menatap Theo heran dan
"Nadine, bagaimana ini?" bisik Angel yang juga terkejut melihat rekaman yang ditunjukkan asisten Theo."Itu pasti rekaman palsu!" teriak Nadine panik, meski dia tahu rekaman itu asli."Kalau begitu mari kita buktikan di kantor polisi," ajak Theo santai."Kan ... kantor polisi? Tuan Theo saya rasa anda tidak perlu bertindak sejauh itu," ucap Angel dengan gugup."Kenapa tidak? Kalian sudah menjebak dan mengancam saya. Itu adalah tindak pidana!" bentak Theo yang sudah tidak tahan lagi."Sarah, Sarah, aku mohon bujuklah Tuan Theo untuk tidak memperpanjang masalah ini. Kami tidak bermaksud seperti itu," mohon Angel kepada Sarah yang langsung menyingkirkan tangan Angel.Sementara Nadine hanya berdiri dengan tegang. Dia tidak tahu harus bertindak apa. Semua rencananya sudah sempurna. Dia sudah merusak kamera pengawas dan bersandiwara di hadapan seluruh rekan kantornya. Siapa yang tahu kalau ada kamera pengawas lain di ruangan Theo? Itu benar-benar mengacaukan semuanya."Ayo mama, kita pergi
"Ada apa?" tanya Sarah penasaran melihat wajah Theo yang berseri-seri."Ayo, ikut aku kembali ke kantor," ajak Theo sambil menarik tangan Sarah.Theo segera menghentikan taksi dan memberitahu alamat tujuannya."Apa kau tidak mau memberitahuku, ada apa?" tanya Sarah sekali lagi."Nanti juga kau akan tahu," jawab Theo sambil mencubit pipi Sarah dengan lembut.Setibanya di kantor Theo langsung menghubungi asistennya dan memintanya menemui Theo di ruangannya."Panggilkan kepala pengawas keamanan gedung ini!" perintah Theo kepada asistennya."Tapi tuan, hari ini dia tidak bertugas-""Suruh dia datang ke kantor sekarang!" bentak Theo yang kesal mendengar jawaban asistennya."Baik, Tuan," jawab asisten Theo sambil berlari keluar.Sarah hanya duduk di sofa tamu, memperhatikan Theo yang tampak sangat bersemangat sekaligus emosional."Dia benar-benar berbeda dengan Derick," guman Theo sambil menatap Sarah."Mana ada orang yang sama di dunia ini. Kalau kau tidak bisa hidup tanpa Derick sebaiknya
"Apa? Tidak ada gambarnya? Apa maksudnya tidak ada gambar?" tanya Theo panik. Itu adalah satu-satunya alat bukti yang dapat menyelamatkan Theo. Kalau itu tidak ada maka dia tidak punya pilihan lain kecuali memberikan 10 milyar yang diminta Nadine."Sepertinya seseorang merusaknya, Tuan." "Merusaknya? Apakah para petugas di ruang pengawasan tidak menyadari kalau kameranya rusak?" tanya Theo marah."Sepertinya tidak, Tuan.""Brengsek! Kapan kameranya rusak?" bentak Theo yang tidak percaya dengan kinerja para pegawainya."Gambar terakhir yang terekam adalah gambar tadi pagi, Tuan," jawab asisten Theo ketakutan."Siapa yang terakhir masuk ke ruanganku sebelum kameranya rusak?""Saya ... saya tidak memeriksanya, Tuan.""Pergi dan periksa sekarang!" perintah Theo dengan nada tinggi.Di saat-saat seperti ini, Theo benar-benar membutuhkan Derick. Asistennya yang satu itu benar-benar tahu apa yang harus diperbuat. Theo selalu merasa bahwa Derick bisa membaca pikirannya. Selain itu, Derick ju