Amel membujuk Dimas dengan lembut.Dimas langsung mengabaikan hal-hal lain yang dikatakan Amel seolah-olah yang didengarnya hanyalah pujian Amel saja."Aku sudah jelas-jelas mengatakan kepadamu kalau aku ini cemburu. Tapi, kamu malah memujinya. Kalau dia orang yang sangat baik, kenapa kamu nggak bersamanya saja sejak dulu?" Dimas mendengus dingin dan berpura-pura marah.Begitu Amel mendengar hal tersebut, senyum di wajahnya langsung menghilang. Diam-diam dia menatap keluar jendela dengan ekspresi rumit.Dimas menyadari jika kata-katanya barusan memang agak berlebihan. Dia pun mengerutkan kening tanpa kentara."Maafkan aku, Sayang. Aku hanya asal mengatakannya saja. Nggak ada maksud apa-apa." Sikap Dimas langsung melunak."Kita berdua ini sudah menikah. Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Apalagi, aku dan dia hanya teman sekelas saja waktu SMA," tegas Amel dengan wajah serius."Aku tahu. Kita berdua jangan bertengkar lagi ya, Sayang, oke?" bujuk Dimas sambil tersenyum tipis.Amel m
Tanggapan Dimas membuat Amel merasa agak terkejut. Dia tidak menyangka jika pria pencemburu ini akan langsung menyetujuinya."Memangnya kamu nggak cemburu, Sayang?" tanya Amel dengan manja sambil mengedipkan matanya dengan genit dan memeluk leher Dimas."Tentu saja nggak. Aku percaya sama istriku." Dimas menempelkan hidungnya ke hidung Amel dengan penuh kasih."Sudah, sekarang cepatlah mandi."Amel pun melepaskan pelukannya. Setelah selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, Amel tidak melihat Dimas. Amel menduga Dimas pasti sedang berada di ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaannya.Amel pun membuka lemari pakaiannya dan melihat-lihat pakaian di dalamnya. Dia sedikit bingung karena tidak tahu harus mengenakan apa saat menghadiri acara reuni nanti. Jika mengenakan pakaian yang terlalu sederhana, Amel pasti akan dipandang rendah oleh mereka. Amel ingin berdandan dengan gaya yang lebih berkelas. Namun, dia tidak punya banyak pakaian bagus.Amel menghela napas dan merasa agak cemas. "Kal
Entah kenapa, Amel merasa sedikit gelisah, tapi dia tidak sempat berpikir terlalu banyak. Dia mengenakan pakaian kerja, lalu fokus bekerja.Sekitar pukul sepuluh, semua kue sudah selesai dibuat. Amel memasukkan semua kue ke dalam toples kecil dengan bantuan Sarah."Kak Amel, sekarang sudah jam setengah sepuluh. Ayo kita antar kuenya sekarang." Clara melihat jam, lalu mengingatkan Amel. Jika mereka menundanya lebih lama lagi, mereka mungkin akan terlambat."Oke, kalau begitu kita akan mengantarkannya sekarang. Sarah, kamu tolong jaga tokonya. Kami akan segera kembali setelah mengantarkan kue.""Kak Amel, tenang saja. Kalian cepatlah pergi."Amel memanggil taksi di depan toko, lalu langsung pergi ke Grup Angkasa bersama Clara. Kali ini, perjalanan mereka jelas jauh lebih cepat dari kemarin, jalanan juga tidak macet. Mereka tiba di Grup Angkasa pada pukul 11.50. Setelah itu, keduanya masuk sambil membawa kuenya.Saat ini, begitu Hardi keluar dari lift, dia kebetulan melihat Amel yang berj
"Terima kasih untuk kuenya. Aku akan menerimanya." Amel tidak enak hati menerima kebaikan ini begitu saja. Jadi, Irfan tidak punya pilihan selain menerima kuenya untuk membuat hati Amel merasa lebih baik.Setelah mengantarkan kue ke Grup Angkasa, Amel dan Clara segera pergi. Sementara itu, Hardi berdiri di tempat dengan ekspresi canggung. Dia tidak hanya menyinggung perasaan Pak Irfan, tapi juga sudah meninggalkan kesan bahwa dirinya adalah orang yang berpikiran sempit di perusahaan."Pak Irfan, izinkan aku membantumu membawa kue-kue ini ke atas." Hardi menggosok tangannya, mencoba merayu Irfan.Irfan melirik Hardi dengan tatapan dingin sambil berkata, "Nggak perlu, seseorang akan datang untuk membawanya nanti." Setelah mengatakan itu, Irfan berbalik, lalu berjalan menuju lift. Hardi berdiri di tempatnya dengan canggung, merasa bahwa dia telah dipermalukan.Lisa, sang resepsionis di meja depan, menundukkan kepala sambil menahan senyum di wajahnya. Melihat ini, Hardi memelototi Lisa sam
"Oke, aku akan membelinya. Kebetulan aku membawa uangnya ke sini hari ini. Aku akan bayar uang mukanya dulu," kata Lili sambil mengeluarkan kartu ATM dari tasnya."Bibi, bukankah kamu bilang kamu mau membeli rumah untuk putramu? Kenapa dia nggak ikut datang?" tanya Jefri dengan ragu."Nggak, dia terlalu sibuk bekerja, jadi nggak bisa datang. Rumah itu akan ditulis atas namaku dulu. Kemudian, aku akan memberikan padanya saat dia menikah nanti.""Jadi begitu. Total harga rumah ini adalah 3 miliar. Uang mukanya adalah 20% dari total harga, jadi 600 juta."Mendengar itu, Lili mengangguk. Sebelumnya dia memang sudah memperkirakan anggaran sekitar 600 juta. Angka ini masih dapat diterima olehnya."Bibi, karena kamu sudah yakin, aku akan membuatkan kontraknya untukmu. Apa kamu sudah membawa KTP dan Kartu Keluarga?""Iya," kata Lili sambil mengeluarkan KTP dan Kartu Keluarga dari dalam tasnya."Baiklah, kalau begitu tunggu di sini sebentar. Aku akan menggandakannya, lalu menyiapkan kontraknya.
Setelah menyelesaikan urusan di lokasi konstruksi, Dimas langsung menuju pusat perbelanjaan terbesar dan termewah di Kota Nataya.Mengenai pakaian apa yang paling cocok untuk Amel kenakan saat menghadiri reuni kelas, Dimas sudah secara khusus bertanya pada Yunita. Atas rekomendasi Yunita, Dimas masuk ke toko LX. LX adalah merek internasional yang terkenal. Semua pakaian di dalamnya adalah pakaian kustom dan hanya ada satu potong pakaian untuk setiap modelnya. Mereka melakukan ini agar menghindari pembelinya mengenakan pakaian yang sama."Halo, Pak. Apa ada yang bisa dibantu?" sambut pramuniaga dengan antusias sambil tersenyum."Apa kalian punya baju ini di sini?" tanya Dimas sambil menunjukkan foto yang dikirimkan Yunita padanya ke pramuniaga."Ada, baju ini adalah model terbaru yang baru saja tiba. Silakan ikut denganku. Baju ini digantung di depan." Setelah pramuniaga selesai berbicara, dia membawa Dimas ke dalam toko.Dimas melihat mantel yang tergantung di depannya, lalu mengangguk
Setelah sampai, kebetulan sekali Dimas bertemu dengan Amel yang baru saja selesai bekerja. Dia pun berkata, "Sayang, aku datang untuk menjemputmu. Ayo cepat masuk ke mobil."Dimas membuka pintu mobil dengan gembira."Kenapa kamu nggak memberitahuku sebelumnya kalau kamu akan datang menjemputku hari ini? Untung saja kita bertemu di pintu toko. Kalau aku pergi lima menit lebih awal, kamu nggak akan bertemu denganku," kata Amel sambil mengerutkan bibirnya."Aku hanya ingin memberimu sedikit kejutan. Ayo cepat masuk ke mobil," kata Dimas sambil membuka pintu mobil bagai seorang pria sejati."Sayang, besok kamu akan menghadiri reuni kelas. Apa kamu mau membeli tas baru?"Amel segera menggelengkan kepala, lalu menjawab, "Nggak, nggak. Yunita sudah memberiku begitu banyak tas dari merek terkenal sebelumnya. Aku bisa memilih salah satunya, nggak perlu mengeluarkan uang untuk membeli tas lagi."Amel tidak rela membawa tas-tas dari merek terkenal itu untuk dipakai sehari-hari. Dia hanya akan men
Mendengar itu, Amel tiba-tiba berubah muram. Jika Dimas sudah berkata begitu, uang ibunya mungkin akan terbuang percuma.Dimas memperhatikan perubahan di wajah Amel, jadi dia bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa?"Amel menggelengkan kepala sembari berujar, "Nggak ... nggak apa-apa."Dalam perjalanan pulang, Amel terus berpikir apakah dia harus memberi tahu Lili tentang hal ini atau tidak. Namun, dia khawatir ibunya tidak akan mampu menanggungnya. Bagaimanapun juga, uang 600 juta bukanlah jumlah yang kecil untuk keluarga mereka.Amel merasa sangat bingung. Jika ternyata Amarilis tidak dapat diandalkan seperti yang dikatakan Dimas, mereka mungkin tidak bisa mendapatkan uangnya kembali meski mengetahui ini."Sayang, apa yang kamu pikirkan? Kenapa aku merasa kamu tampak aneh hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Dimas. Dia jelas menyadari ada yang tidak beres dengan Amel hari ini.Ketika Amel hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia melihat bahwa itu adalah pangg