Mendengar itu, Amel tiba-tiba berubah muram. Jika Dimas sudah berkata begitu, uang ibunya mungkin akan terbuang percuma.Dimas memperhatikan perubahan di wajah Amel, jadi dia bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa?"Amel menggelengkan kepala sembari berujar, "Nggak ... nggak apa-apa."Dalam perjalanan pulang, Amel terus berpikir apakah dia harus memberi tahu Lili tentang hal ini atau tidak. Namun, dia khawatir ibunya tidak akan mampu menanggungnya. Bagaimanapun juga, uang 600 juta bukanlah jumlah yang kecil untuk keluarga mereka.Amel merasa sangat bingung. Jika ternyata Amarilis tidak dapat diandalkan seperti yang dikatakan Dimas, mereka mungkin tidak bisa mendapatkan uangnya kembali meski mengetahui ini."Sayang, apa yang kamu pikirkan? Kenapa aku merasa kamu tampak aneh hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Dimas. Dia jelas menyadari ada yang tidak beres dengan Amel hari ini.Ketika Amel hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia melihat bahwa itu adalah pangg
"Baiklah kalau begitu." Dimas sedikit ragu. Sejak masih kecil dia belum pernah menyentuh sepeda listrik, apalagi mengendarainya. Terlebih lagi, jari Amel terluka, jadi dia tidak bisa membiarkan Amel menyetir sepeda listrik itu.Dimas tidak punya pilihan selain mengambil kunci sepeda listrik. Namun, sepeda listrik itu ternyata tidak sesulit yang dia bayangkan. Dia bisa mengendarainya tanpa masalah, seolah-olah dia telah menemukan dunia baru."Sayang, pelan-pelan saja menyetirnya." Amel yang duduk di belakang tanpa bisa ditahan mengingatkan Dimas.Dimas melambatkan kecepatannya. Saat mengendarai sepeda listrik, entah kenapa dia merasa sangat bebas.Setelah berkendara selama dua puluh menit, Dimas memarkir sepeda listrik di depan depot mi. Ketika Amel hendak memasuki depot mi sambil bergandengan tangan dengan Dimas, dia tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya."Amel, apakah itu kamu?"Mendengar suara itu, Amel pun menoleh. Dia melihat seorang wanita paruh baya berkacamata, berusia seki
"Bibi Mirna, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Amel sambil melihat sekantong besar buah di tangan Mirna."Ibumu memanggilku untuk makan malam bersama. Kebetulan ada yang mengirimkan banyak buah ke perusahaan kami. Kami nggak bisa menghabiskan semuanya, jadi aku membawanya ke sini," jelas Mirna."Kenapa kalian berdua berdiri saja di sini? Nggak kembali ke rumah orang tuamu?" lanjut Mirna."Nggak. Bibi Mirna, kami pulang dulu." Setelah mengatakan ini, Amel meraih tangan Dimas, lalu pergi.Amel merasa sedikit panik. Dia takut Mirna akan secara tidak sengaja memberi tahu masalah ibunya yang membeli rumah."Sayang, karena kita sudah ada di dekat rumah sekarang, kenapa kita nggak sekalian pergi menemui Ayah dan Ibu?" saran Dimas.Amel menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Lupakan saja. Kita ke sana kapan-kapan saja. Aku agak lelah, ingin pulang, lalu istirahat."Amel berpura-pura mengantuk dan menguap."Kalau begitu, ayo pergi." Melihat ini, Dimas tidak punya pilihan selain pergi bersa
"Baiklah, Ibu mengerti. Ibu sedang mengobrol dengan Bibi Mirna. Ibu tutup dulu teleponnya," ujar Lili, lalu menutup teleponnya dengan cepat.Setelah melakukan panggilan telepon, Amel merasa sedikit lebih tenang.Setelah Amel selesai mandi, dia tiba-tiba teringat bahwa Dimas belum menyerahkan pakaian pesta yang sudah Dimas siapkan untuknya. Amel ingin bertanya, tetapi takut mengganggu pekerjaan Dimas, jadi dia berencana menunggu sampai besok pagi baru bertanya pada pria itu.Setelah mengeringkan rambutnya, Amel berbaring di tempat tidur dan segera tertidur.Dimas sibuk sampai larut malam. Dia bangun sambil mengusap keningnya yang nyeri, kemudian melihat bahwa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi.Amel mudah terbangun. Dimas khawatir akan mengganggu tidur Amel, jadi dia pun langsung pergi ke kamar tamu.Keesokan harinya.Amel bangun dan tanpa sadar menyentuh ruang kosong di sebelahnya. Kemudian, dia langsung terperanjat. Bantal di sebelahnya masih sama seperti saat dia tidur tadi mala
"Dasar anak nakal, kapan kamu akan membawa cucu menantuku pulang?" tanya Salma dengan nada marah dari ujung telepon."Nenek, aku masih terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Amel juga sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang masih belum waktunya. Aku akan membawanya bertemu dengan Nenek saat waktunya sudah tepat," jawab Dimas seraya tertawa pelan."Huh, terakhir kali kamu juga bilang seperti itu. Pada akhirnya, tetap nggak ada pergerakan. Kalau Nenek nggak meneleponmu, kamu pasti sudah lupa punya Nenek!" cerca Salma sambil mendengus dingin. Saat berbicara, dia makin marah karena cucu kesayangannya itu bahkan tidak meneleponnya untuk sekadar menyapanya."Nenek, apa yang kamu katakan? Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Cucu menantu Nenek itu masih belum mengetahui keadaan keluarga kita yang sebenarnya. Dia masih mengira aku cuma pekerja biasa. Kalau membawanya pulang secara tiba-tiba, dia pasti akan terkejut!" jelas Dimas sambil merendahkan suaranya."Baiklah, Nenek akan memberimu waktu lagi.
"Sudahlah, berhentilah memujiku, aku akan jadi sombong kalau kamu memujiku lagi," gumam Amel malu-malu."Sayang, kualitas baju ini bagus sekali. Pasti nggak murah, ya?" tanya Amel yang menarik kembali senyumannya.Dimas berhenti sejenak, kemudian menyahut, "Satu set pakaian ini harganya sekitar dua juta. Nggak terlalu mahal.""Mungkin benar kalau satu set pakaian, ditambah dengan sepatu ini harganya dua juta, tapi kalau mantel yang lebih bagus harganya nggak mungkin cuma dua juta," gumam Amel."Benar, aku kenal seorang teman. Kerabatnya sering menjual beberapa pakaian yang dibawa keluar dari pusat perbelanjaan, jadi harganya relatif lebih murah," sahut Dimas dengan cepat. Sebelum Amel sempat bertanya kenapa pakaian itu harganya murah, dia langsung menjelaskan terlebih dahulu."Ternyata begitu, karena pakaian ini memang nggak kelihatan seharga beberapa ratus ribu saja.""Sayang, jangan khawatirkan lagi tentang harga bajunya. Sebaiknya kamu pergi dan lihat dulu tas mana yang lebih cocok
"Bukankah kamu yang bilang kalau sekarang Amel menjalankan toko kue kecil-kecilan? Tapi pakaiannya terlihat mahal," bisik Cheryl yang sedang duduk di sebelah Jeny."Dilihat sekilas juga tahu kalau itu palsu," sahut Jeny dengan kesal."Amel, kamu makin cantik. Kenapa dulu aku nggak menyadarinya!" sahut seorang pria berbadan gemuk.Sebagian besar siswa di kelas Amel sekarang menjalani hidup lebih baik. Ada yang sudah menjadi bos, ada yang sudah memiliki karier yang stabil dan penghasilan tetap, hanya ada sebagian kecil dari mereka yang hidup di lapisan masyarakat terbawah. Namun, orang-orang seperti itu pada dasarnya selalu diabaikan.Jika bukan karena kegigihan Lidya, Amel juga tidak akan menghadiri reuni ini. Baginya, reuni ini juga tidak mempunyai keuntungan apa pun."Amel, apa pekerjaanmu sekarang? Pakaianmu kelihatannya nggak murah," kata Cheryl dengan sengaja sambil melihat Amel dengan tatapan mengejek.Amel menjawab dengan tenang, "Aku membuka toko kue sendiri.""Sekarang sangat s
"Ehm, kalau begitu aku yang salah dengar. Amel, aku dengar ibuku bilang kalau Bibi Lili membeli rumah?" tanya Lidya. Dia mengganti topik pembicaraan dengan cepat."Iya, sudah beli. Uang mukanya 600 juta.""Hei, nona-nona. Apa yang sedang kalian bicarakan? Kami juga mau mendengarkan!" tanya Zaki Alfred, seorang pria kaya baru yang mengenakan kalung rantai emas besar di lehernya. Dia menatap Amel dan Lidya sambil tersenyum."Bukan apa-apa, Zaki. Kalung rantai emas besarmu sangat bagus!" goda Lidya."Biasa saja," sahut Zaki sambil melambaikan tangannya, berpura-pura rendah hati."Kita sudah bertahun-tahun nggak bertemu. Sekarang kita semua berkumpul bersama lagi. Aku akan bersulang untuk kalian!" kata Richard sebagai mantan ketua kelas sambil berdiri dari duduknya."Kalau kamu nggak bisa minum alkohol, jangan ikut minum. Minum minuman ringan saja," saran Lidya pada Amel.Sejak masih kecil, Amel sudah menjadi anak yang penurut dan bijaksana. Dia tidak pernah menyentuh setetes anggur pun se