Setelah menyelesaikan urusan di lokasi konstruksi, Dimas langsung menuju pusat perbelanjaan terbesar dan termewah di Kota Nataya.Mengenai pakaian apa yang paling cocok untuk Amel kenakan saat menghadiri reuni kelas, Dimas sudah secara khusus bertanya pada Yunita. Atas rekomendasi Yunita, Dimas masuk ke toko LX. LX adalah merek internasional yang terkenal. Semua pakaian di dalamnya adalah pakaian kustom dan hanya ada satu potong pakaian untuk setiap modelnya. Mereka melakukan ini agar menghindari pembelinya mengenakan pakaian yang sama."Halo, Pak. Apa ada yang bisa dibantu?" sambut pramuniaga dengan antusias sambil tersenyum."Apa kalian punya baju ini di sini?" tanya Dimas sambil menunjukkan foto yang dikirimkan Yunita padanya ke pramuniaga."Ada, baju ini adalah model terbaru yang baru saja tiba. Silakan ikut denganku. Baju ini digantung di depan." Setelah pramuniaga selesai berbicara, dia membawa Dimas ke dalam toko.Dimas melihat mantel yang tergantung di depannya, lalu mengangguk
Setelah sampai, kebetulan sekali Dimas bertemu dengan Amel yang baru saja selesai bekerja. Dia pun berkata, "Sayang, aku datang untuk menjemputmu. Ayo cepat masuk ke mobil."Dimas membuka pintu mobil dengan gembira."Kenapa kamu nggak memberitahuku sebelumnya kalau kamu akan datang menjemputku hari ini? Untung saja kita bertemu di pintu toko. Kalau aku pergi lima menit lebih awal, kamu nggak akan bertemu denganku," kata Amel sambil mengerutkan bibirnya."Aku hanya ingin memberimu sedikit kejutan. Ayo cepat masuk ke mobil," kata Dimas sambil membuka pintu mobil bagai seorang pria sejati."Sayang, besok kamu akan menghadiri reuni kelas. Apa kamu mau membeli tas baru?"Amel segera menggelengkan kepala, lalu menjawab, "Nggak, nggak. Yunita sudah memberiku begitu banyak tas dari merek terkenal sebelumnya. Aku bisa memilih salah satunya, nggak perlu mengeluarkan uang untuk membeli tas lagi."Amel tidak rela membawa tas-tas dari merek terkenal itu untuk dipakai sehari-hari. Dia hanya akan men
Mendengar itu, Amel tiba-tiba berubah muram. Jika Dimas sudah berkata begitu, uang ibunya mungkin akan terbuang percuma.Dimas memperhatikan perubahan di wajah Amel, jadi dia bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa?"Amel menggelengkan kepala sembari berujar, "Nggak ... nggak apa-apa."Dalam perjalanan pulang, Amel terus berpikir apakah dia harus memberi tahu Lili tentang hal ini atau tidak. Namun, dia khawatir ibunya tidak akan mampu menanggungnya. Bagaimanapun juga, uang 600 juta bukanlah jumlah yang kecil untuk keluarga mereka.Amel merasa sangat bingung. Jika ternyata Amarilis tidak dapat diandalkan seperti yang dikatakan Dimas, mereka mungkin tidak bisa mendapatkan uangnya kembali meski mengetahui ini."Sayang, apa yang kamu pikirkan? Kenapa aku merasa kamu tampak aneh hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Dimas. Dia jelas menyadari ada yang tidak beres dengan Amel hari ini.Ketika Amel hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia melihat bahwa itu adalah pangg
"Baiklah kalau begitu." Dimas sedikit ragu. Sejak masih kecil dia belum pernah menyentuh sepeda listrik, apalagi mengendarainya. Terlebih lagi, jari Amel terluka, jadi dia tidak bisa membiarkan Amel menyetir sepeda listrik itu.Dimas tidak punya pilihan selain mengambil kunci sepeda listrik. Namun, sepeda listrik itu ternyata tidak sesulit yang dia bayangkan. Dia bisa mengendarainya tanpa masalah, seolah-olah dia telah menemukan dunia baru."Sayang, pelan-pelan saja menyetirnya." Amel yang duduk di belakang tanpa bisa ditahan mengingatkan Dimas.Dimas melambatkan kecepatannya. Saat mengendarai sepeda listrik, entah kenapa dia merasa sangat bebas.Setelah berkendara selama dua puluh menit, Dimas memarkir sepeda listrik di depan depot mi. Ketika Amel hendak memasuki depot mi sambil bergandengan tangan dengan Dimas, dia tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya."Amel, apakah itu kamu?"Mendengar suara itu, Amel pun menoleh. Dia melihat seorang wanita paruh baya berkacamata, berusia seki
"Bibi Mirna, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Amel sambil melihat sekantong besar buah di tangan Mirna."Ibumu memanggilku untuk makan malam bersama. Kebetulan ada yang mengirimkan banyak buah ke perusahaan kami. Kami nggak bisa menghabiskan semuanya, jadi aku membawanya ke sini," jelas Mirna."Kenapa kalian berdua berdiri saja di sini? Nggak kembali ke rumah orang tuamu?" lanjut Mirna."Nggak. Bibi Mirna, kami pulang dulu." Setelah mengatakan ini, Amel meraih tangan Dimas, lalu pergi.Amel merasa sedikit panik. Dia takut Mirna akan secara tidak sengaja memberi tahu masalah ibunya yang membeli rumah."Sayang, karena kita sudah ada di dekat rumah sekarang, kenapa kita nggak sekalian pergi menemui Ayah dan Ibu?" saran Dimas.Amel menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Lupakan saja. Kita ke sana kapan-kapan saja. Aku agak lelah, ingin pulang, lalu istirahat."Amel berpura-pura mengantuk dan menguap."Kalau begitu, ayo pergi." Melihat ini, Dimas tidak punya pilihan selain pergi bersa
"Baiklah, Ibu mengerti. Ibu sedang mengobrol dengan Bibi Mirna. Ibu tutup dulu teleponnya," ujar Lili, lalu menutup teleponnya dengan cepat.Setelah melakukan panggilan telepon, Amel merasa sedikit lebih tenang.Setelah Amel selesai mandi, dia tiba-tiba teringat bahwa Dimas belum menyerahkan pakaian pesta yang sudah Dimas siapkan untuknya. Amel ingin bertanya, tetapi takut mengganggu pekerjaan Dimas, jadi dia berencana menunggu sampai besok pagi baru bertanya pada pria itu.Setelah mengeringkan rambutnya, Amel berbaring di tempat tidur dan segera tertidur.Dimas sibuk sampai larut malam. Dia bangun sambil mengusap keningnya yang nyeri, kemudian melihat bahwa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi.Amel mudah terbangun. Dimas khawatir akan mengganggu tidur Amel, jadi dia pun langsung pergi ke kamar tamu.Keesokan harinya.Amel bangun dan tanpa sadar menyentuh ruang kosong di sebelahnya. Kemudian, dia langsung terperanjat. Bantal di sebelahnya masih sama seperti saat dia tidur tadi mala
"Dasar anak nakal, kapan kamu akan membawa cucu menantuku pulang?" tanya Salma dengan nada marah dari ujung telepon."Nenek, aku masih terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Amel juga sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang masih belum waktunya. Aku akan membawanya bertemu dengan Nenek saat waktunya sudah tepat," jawab Dimas seraya tertawa pelan."Huh, terakhir kali kamu juga bilang seperti itu. Pada akhirnya, tetap nggak ada pergerakan. Kalau Nenek nggak meneleponmu, kamu pasti sudah lupa punya Nenek!" cerca Salma sambil mendengus dingin. Saat berbicara, dia makin marah karena cucu kesayangannya itu bahkan tidak meneleponnya untuk sekadar menyapanya."Nenek, apa yang kamu katakan? Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Cucu menantu Nenek itu masih belum mengetahui keadaan keluarga kita yang sebenarnya. Dia masih mengira aku cuma pekerja biasa. Kalau membawanya pulang secara tiba-tiba, dia pasti akan terkejut!" jelas Dimas sambil merendahkan suaranya."Baiklah, Nenek akan memberimu waktu lagi.
"Sudahlah, berhentilah memujiku, aku akan jadi sombong kalau kamu memujiku lagi," gumam Amel malu-malu."Sayang, kualitas baju ini bagus sekali. Pasti nggak murah, ya?" tanya Amel yang menarik kembali senyumannya.Dimas berhenti sejenak, kemudian menyahut, "Satu set pakaian ini harganya sekitar dua juta. Nggak terlalu mahal.""Mungkin benar kalau satu set pakaian, ditambah dengan sepatu ini harganya dua juta, tapi kalau mantel yang lebih bagus harganya nggak mungkin cuma dua juta," gumam Amel."Benar, aku kenal seorang teman. Kerabatnya sering menjual beberapa pakaian yang dibawa keluar dari pusat perbelanjaan, jadi harganya relatif lebih murah," sahut Dimas dengan cepat. Sebelum Amel sempat bertanya kenapa pakaian itu harganya murah, dia langsung menjelaskan terlebih dahulu."Ternyata begitu, karena pakaian ini memang nggak kelihatan seharga beberapa ratus ribu saja.""Sayang, jangan khawatirkan lagi tentang harga bajunya. Sebaiknya kamu pergi dan lihat dulu tas mana yang lebih cocok