"Bibi, kalau begitu kapan ayahku pulang?" tanya Riska seraya memandang Amel dengan polos."Bibi juga nggak tahu. Mungkin ayahmu baru pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya," jawab Amel setelah terdiam sesaat. Amel tidak tahu bagaimana kondisi Sandi sekarang di rumah sakit, dia juga tidak berani menjanjikan apa pun pada Riska."Bibi, aku nggak mau ke mana-mana, aku mau menunggu di sini sampai Ayah pulang," sahut Riska dengan sedikit keras kepala sambil mengangkat kepala kecilnya tinggi-tinggi."Sudahlah, Kak Amel. Karena anak ini nggak mau pergi bersamamu, biarkan saja dia tinggal di sini. Anak ini biasanya sangat pengertian. Meskipun ayahnya nggak ada di sini, kami bisa membantu untuk menjaganya. Kakak nggak perlu khawatir," ujar beberapa pekerja yang memiliki hubungan dekat dengan Sandi."Baiklah kalau begitu. Karena anak ini akan merepotkan kalian, terimalah uang ini. Uangnya bisa kalian gunakan untuk membelikan sesuatu untuknya," balas Amel sambil mengeluarkan beberapa lembar uan
Begitu memasuki pintu perusahaan, Dimas kebetulan bertemu dengan Hardi."Kenapa manajer dari Departemen Teknik datang ke perusahaan lagi?" tanya Hardi dengan nada menghina sambil memandang Dimas dari ujung kepala sampai ujung kaki."Memang apa hubungannya denganmu kalau aku kembali ke perusahaan atau nggak?" sahut Dimas sambil menatap Hardi dengan dingin. Sekarang rumah sakit masih menunggu bantuan, jadi Dimas terlalu malas membuang waktunya untuk berdebat dengan orang itu. Dimas pun langsung pergi ke kantor Soni.Dimas mengetuk pintu perlahan, lalu membuka pintu setelah mendapat izin masuk dari dalam."Hei, ada apa kamu ke sini?" tanya Soni dengan nada bercanda setelah mendongak dan melihat bahwa orang yang masuk adalah Dimas. Pria itu segera meletakkan dokumen di tangannya."Kudengar kalau mau mengajukan biaya kompensasi, harus mencarimu. Hari ini ada seorang pekerja di lokasi konstruksi yang terpeleset dan jatuh dari lantai 13. Sekarang dia masih berada di rumah sakit. Aku datang ke
"Buang semuanya. Buang semua peralatan yang ada bagian rusaknya, lalu ganti dengan yang baru."Dimas tidak ingin terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya lagi. Demi menghindari terjadinya kecelakaan, masalah harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya."Pak Dimas."Dimas sibuk menyelesaikan pekerjaan di lokasi konstruksi dan hari sudah sangat larut ketika waktunya pulang kerja. Dimas mengeluarkan ponselnya, kemudian melihat dua panggilan tidak terjawab dari Amel.Dimas menepuk keningnya dengan frustrasi. Karena sibuk bekerja, dia tidak sengaja lupa waktu dan tidak menjemput Amel pulang kerja. Dia pun segera mengambil kunci mobil di atas meja dan bergegas menuju mobilnya.Dalam perjalanan ke toko makanan penutup, Dimas menerima pesan teks dari Amel."Kupikir sekarang pekerjaanmu pasti belum selesai. Kalau begitu, aku nggak menunggumu dan pulang lebih dulu."Dimas segera menelepon Amel kembali."Sayang, aku benar-benar minta maaf. Hari ini aku sibuk sampai lupa melihat jam, jadi aku lupa
"Tentu saja bisa. Mengendarai sepeda listrik itu sangat mudah dan sama sekali nggak menyulitkanku. Apa kamu nggak tahu, sejak SMP aku sudah bersepeda saat berangkat dan pulang sekolah? Aku masih bisa melakukannya dengan baik sampai sekarang.""Baiklah kalau begitu, besok sepulang bekerja aku akan menjemputmu, kemudian kita pergi membeli sepeda listrik bersama," setuju Dimas."Omong-omong, bagaimana kabar ayahnya Riska sekarang?" tanya Amel dengan cemas sambil menahan senyum di wajahnya."Bagaimana kamu tahu tentang ini?""Siang hari ini, aku pergi ke lokasi konstruksi untuk mencarimu. Setelah menunggu lama dan nggak kunjung melihatmu kembali, aku berpikir untuk pergi keluar mencarimu, tapi aku nggak sengaja mendengar percakapan para pekerja," jawab Amel dengan jujur."Ternyata begitu, keadaannya nggak terlalu baik. Meski berhasil selamat, dia masih belum melewati masa kritis. Bisa bertahan atau nggak, itu tergantung pada keberuntungannya sendiri," kata Dimas sambil menghela napas berat
Tubuh Andi menegang sesaat. Kemudian, dia mendongak dan berkata dengan sorot mata mematikan, "Nggak, aku datang untuk mengunjungi kakakku."Namun, tatapan penuh makna Dimas telah menunjukkan bahwa dia memahami segalanya.Andi yang tidak ingin berbicara dengan Dimas lagi, berdiri dan berjalan ke dapur. Dia bertanya, "Kak, kamu sedang masak apa?""Andi, kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?""Aku ke sini untuk menemuimu. Bukankah ini sudah waktunya makan malam? Aku datang untuk menumpang makan," kata Andi seraya tertawa main-main."Baguslah. Hari ini aku pergi ke supermarket dan membeli banyak sayuran. Aku akan membuatkan dua hidangan favoritmu nanti. Keluarlah dulu dan bersantai dengan Kak Dimas saja."Andi menggelengkan kepalanya, lalu menyahut, "Aku nggak mau keluar untuk beristirahat. Kak, siapa suruh adikmu ini sangat menyayangimu? Kakak sudah bekerja seharian, pasti capek. Aku akan mencuci sayuran di dapur dan membantumu."Andi sengaja bicara dengan berteriak ke arah ruang tamu.Di
"Kak, nggak perlu. Lagi pula, malam ini aku nggak akan pulang ke tempatnya. Besok hari Sabtu dan aku libur. Aku ingin pulang menemani Ayah dan Ibu.""Baiklah, kalau begitu Lidya nggak bisa makan makanan buatanku."Setelah makan malam, Andi tidak pergi ke tempat Lidya lagi, melainkan pulang ke rumah orang tuanya."Kenapa aku merasa kalau hari ini Andi terlihat sedang banyak pikiran? Apakah menurutmu terjadi sesuatu padanya?" gumam Amel pada Dimas dengan nada cemas."Seharusnya nggak. Aku rasa meskipun Andi masih muda, dia selalu tampak tenang. Mungkin dia sedang bertengkar dengan pacarnya," jawab Dimas memberi isyarat secara tidak langsung."Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dia punya pacar? Sebenarnya, adikku itu selalu menjadi murid yang baik sejak dia masih kecil. Dia bahkan nggak pernah mencari pacar selama masa remajanya.""Bukankah dia sama denganmu?""Hei, aku berbeda dengannya. Sekarang aku sudah menikah, tapi dia masih jomblo."Setelah mandi, Amel melilitkan handuk di badann
"Astaga, bagaimana aku akan menghadapinya nanti?" gumam Amel dengan frustrasi. Dia seharusnya mengganti pakaian dulu sebelum keluar.Memikirkan kejadian tadi, Amel merasa sangat malu sampai rasanya ingin menguburkan diri.Meskipun keduanya sudah menikah selama beberapa waktu, mereka tidak pernah melakukan apa-apa. Amel juga tidak pernah terbuka di depan Dimas.Setelah memakai piama, Amel menyesuaikan emosinya dan mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu kamar mandi.Dimas duduk di tempat tidur sambil menatap Amel dengan penuh minat. Wajah kecil Amel masih memerah, dia berkata dengan terbata-bata, "Aku ... aku sudah selesai mandi. Cepat mandilah."Gadis itu menghindari tatapan Dimas dengan malu-malu, kemudian masuk ke dalam selimut dengan kepala tertunduk dan membalikkan punggungnya.Saat melihat itu, Dimas tertawa kecil, lalu berkata, "Sayang, jangan terlalu memikirkannya. Lagi pula, kita berdua juga sudah menikah, 'kan?"Dimas tahu bahwa Amel pasti masih merasa malu dengan apa yang
Sebelum Amel selesai berbicara, Dimas mengangguk dengan berat.Amel menghela napas dengan sedih, lalu berkata, "Biarkan aku menemanimu menjemput Riska di lokasi konstruksi. Dia masih kecil, aku khawatir kamu nggak akan sanggup melakukannya sendiri.""Baiklah," jawab Dimas. Mereka berdua tidak berani menunda barang sejenak dan segera bangkit dari tempat tidur. Setelah berganti pakaian, mereka pun berangkat ke lokasi konstruksi.Ketika tiba di lokasi konstruksi, sudah ada pekerja yang sedang menunggu di depan pintu bersama Riska."Paman dan Bibi mau membawaku ke mana?" tanya Riska sambil mengusap matanya yang mengantuk.Amel memeluk Riska sambil menjawab, "Paman dan Bibi akan membawamu bertemu dengan ayahmu, oke?"Begitu mendengar bahwa akan dibawa bertemu dengan ayahnya, Riska tiba-tiba tidak merasa mengantuk dan berkata, "Baiklah, sudah seharian aku nggak ketemu Ayah. Aku kangen sekali dengan Ayah."Amel tidak bisa menahan perasaan sedih, matanya sedikit merah, tetapi dia menahan air m