"Tentu saja bisa. Mengendarai sepeda listrik itu sangat mudah dan sama sekali nggak menyulitkanku. Apa kamu nggak tahu, sejak SMP aku sudah bersepeda saat berangkat dan pulang sekolah? Aku masih bisa melakukannya dengan baik sampai sekarang.""Baiklah kalau begitu, besok sepulang bekerja aku akan menjemputmu, kemudian kita pergi membeli sepeda listrik bersama," setuju Dimas."Omong-omong, bagaimana kabar ayahnya Riska sekarang?" tanya Amel dengan cemas sambil menahan senyum di wajahnya."Bagaimana kamu tahu tentang ini?""Siang hari ini, aku pergi ke lokasi konstruksi untuk mencarimu. Setelah menunggu lama dan nggak kunjung melihatmu kembali, aku berpikir untuk pergi keluar mencarimu, tapi aku nggak sengaja mendengar percakapan para pekerja," jawab Amel dengan jujur."Ternyata begitu, keadaannya nggak terlalu baik. Meski berhasil selamat, dia masih belum melewati masa kritis. Bisa bertahan atau nggak, itu tergantung pada keberuntungannya sendiri," kata Dimas sambil menghela napas berat
Tubuh Andi menegang sesaat. Kemudian, dia mendongak dan berkata dengan sorot mata mematikan, "Nggak, aku datang untuk mengunjungi kakakku."Namun, tatapan penuh makna Dimas telah menunjukkan bahwa dia memahami segalanya.Andi yang tidak ingin berbicara dengan Dimas lagi, berdiri dan berjalan ke dapur. Dia bertanya, "Kak, kamu sedang masak apa?""Andi, kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?""Aku ke sini untuk menemuimu. Bukankah ini sudah waktunya makan malam? Aku datang untuk menumpang makan," kata Andi seraya tertawa main-main."Baguslah. Hari ini aku pergi ke supermarket dan membeli banyak sayuran. Aku akan membuatkan dua hidangan favoritmu nanti. Keluarlah dulu dan bersantai dengan Kak Dimas saja."Andi menggelengkan kepalanya, lalu menyahut, "Aku nggak mau keluar untuk beristirahat. Kak, siapa suruh adikmu ini sangat menyayangimu? Kakak sudah bekerja seharian, pasti capek. Aku akan mencuci sayuran di dapur dan membantumu."Andi sengaja bicara dengan berteriak ke arah ruang tamu.Di
"Kak, nggak perlu. Lagi pula, malam ini aku nggak akan pulang ke tempatnya. Besok hari Sabtu dan aku libur. Aku ingin pulang menemani Ayah dan Ibu.""Baiklah, kalau begitu Lidya nggak bisa makan makanan buatanku."Setelah makan malam, Andi tidak pergi ke tempat Lidya lagi, melainkan pulang ke rumah orang tuanya."Kenapa aku merasa kalau hari ini Andi terlihat sedang banyak pikiran? Apakah menurutmu terjadi sesuatu padanya?" gumam Amel pada Dimas dengan nada cemas."Seharusnya nggak. Aku rasa meskipun Andi masih muda, dia selalu tampak tenang. Mungkin dia sedang bertengkar dengan pacarnya," jawab Dimas memberi isyarat secara tidak langsung."Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dia punya pacar? Sebenarnya, adikku itu selalu menjadi murid yang baik sejak dia masih kecil. Dia bahkan nggak pernah mencari pacar selama masa remajanya.""Bukankah dia sama denganmu?""Hei, aku berbeda dengannya. Sekarang aku sudah menikah, tapi dia masih jomblo."Setelah mandi, Amel melilitkan handuk di badann
"Astaga, bagaimana aku akan menghadapinya nanti?" gumam Amel dengan frustrasi. Dia seharusnya mengganti pakaian dulu sebelum keluar.Memikirkan kejadian tadi, Amel merasa sangat malu sampai rasanya ingin menguburkan diri.Meskipun keduanya sudah menikah selama beberapa waktu, mereka tidak pernah melakukan apa-apa. Amel juga tidak pernah terbuka di depan Dimas.Setelah memakai piama, Amel menyesuaikan emosinya dan mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu kamar mandi.Dimas duduk di tempat tidur sambil menatap Amel dengan penuh minat. Wajah kecil Amel masih memerah, dia berkata dengan terbata-bata, "Aku ... aku sudah selesai mandi. Cepat mandilah."Gadis itu menghindari tatapan Dimas dengan malu-malu, kemudian masuk ke dalam selimut dengan kepala tertunduk dan membalikkan punggungnya.Saat melihat itu, Dimas tertawa kecil, lalu berkata, "Sayang, jangan terlalu memikirkannya. Lagi pula, kita berdua juga sudah menikah, 'kan?"Dimas tahu bahwa Amel pasti masih merasa malu dengan apa yang
Sebelum Amel selesai berbicara, Dimas mengangguk dengan berat.Amel menghela napas dengan sedih, lalu berkata, "Biarkan aku menemanimu menjemput Riska di lokasi konstruksi. Dia masih kecil, aku khawatir kamu nggak akan sanggup melakukannya sendiri.""Baiklah," jawab Dimas. Mereka berdua tidak berani menunda barang sejenak dan segera bangkit dari tempat tidur. Setelah berganti pakaian, mereka pun berangkat ke lokasi konstruksi.Ketika tiba di lokasi konstruksi, sudah ada pekerja yang sedang menunggu di depan pintu bersama Riska."Paman dan Bibi mau membawaku ke mana?" tanya Riska sambil mengusap matanya yang mengantuk.Amel memeluk Riska sambil menjawab, "Paman dan Bibi akan membawamu bertemu dengan ayahmu, oke?"Begitu mendengar bahwa akan dibawa bertemu dengan ayahnya, Riska tiba-tiba tidak merasa mengantuk dan berkata, "Baiklah, sudah seharian aku nggak ketemu Ayah. Aku kangen sekali dengan Ayah."Amel tidak bisa menahan perasaan sedih, matanya sedikit merah, tetapi dia menahan air m
Sebelum Dimas masuk ke dalam kamar, Amel sudah keluar."Ibu, Bibi Mirna, kenapa kalian berdua ada di sini?" tanya Amel seraya memandang mereka berdua dengan bingung."Amel, apakah kamu dan Dimas baik-baik saja? Ada tetangga kita yang bilang kalau dia melihatmu dan Dimas di rumah sakit pagi ini. Dia juga bilang kalau suasana hati kalian berdua agak aneh. Ibu dan bibimu merasa khawatir, jadi kami segera datang kemari.""Bu, Bibi Mirna ... kami baik-baik saja."Saat mendengar itu, Mirna merasa sedikit cemas. Dia pun berkata, "Amel, kalau ada sesuatu yang terjadi pada kalian berdua, jangan menyembunyikannya dari kami. Kalau kalian berdua memang baik-baik saja, kenapa kalian terlihat begitu tertekan di rumah sakit pagi tadi? Beri tahu kami sebenarnya apa yang terjadi?"Melihat ini, Amel tidak punya pilihan selain duduk di sebelah mereka dan menjelaskan dengan sabar, "Bu, Bibi Mirna, ada seorang pekerja di lokasi konstruksi Dimas yang meninggal tadi malam. Selain putrinya yang baru berusia e
Amel menghabiskan satu hari penuh untuk mengunjungi semua panti asuhan di Kota Nataya dan pada akhirnya dia menemukan panti asuhan yang cukup bagus. Sebelum mengirim Riska ke panti asuhan, dia dan Dimas membawa gadis kecil itu ke pusat perbelanjaan dan membeli banyak barang yang dia pakai sekarang, serta beberapa kebutuhan sehari-hari."Paman dan Bibi, terima kasih sudah membelikan barang-barang ini untukku.""Sama-sama, Riska. Bibi sudah menulis nomor ponsel Bibi di kertas ini. Masukkan kertas ini ke dalam sakumu. Sebaiknya kamu menghafal nomor ponsel Bibi, jadi kalau di kemudian hari kamu merindukan Bibi atau membutuhkan sesuatu, kamu bisa menelepon Bibi kapan saja," jelas Amel sambil memasukkan kertas berisi nomor ponselnya ke dalam saku Riska."Aku mengerti, Bibi."Ketika Amel melihat guru dari panti asuhan membawa Riska masuk, air matanya kembali jatuh tidak terkendali.Dimas memeluk bahu istrinya sambil berkata, "Lebih baik dia tinggal di sini daripada ikut bersama kita. Ayo perg
"Maaf, maaf, aku nggak sengaja," ucap Amel segera meminta maaf.Barusan Amel melamun saat menunggu lampu lalu lintas dan tidak sengaja menabrak mobil ini."Memangnya bisa selesai hanya dengan kalimat nggak sengaja? Apa kamu tahu mobil jenis apa ini? Kalau mengalami kecelakaan seperti ini, butuh biaya puluhan juta untuk memperbaikinya."Meskipun Amel siap membayar kompensasi, ketika sopirnya berkata demikian, Amel pun tanpa bisa ditahan bergidik ngeri.Amel mungkin harus menggunakan gajinya satu tahun untuk membayar kompensasi ini. Ini adalah pertama kalinya Amel mengalami kecelakaan yang tidak terduga dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, jadi dia harus mengambil risiko dan menelepon Dimas."Sayang, apakah kamu sudah sampai di lokasi konstruksi?" tanya Amel dengan hati-hati."Hampir sampai. Ada apa?" sahut Dimas yang dapat mendengar dengan cermat bahwa ada yang tidak beres dengan suara Amel."Aku nggak sengaja menabrak mobil seseorang. Mobilnya Rolls-Royce," jawab Amel denga