"Oh."Amel mengerang sambil membuka matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas di pinggangnya dan anehnya itu terasa sangat menyakitkan."Kamu sudah bangun?"Amel mengulurkan tangan dan menguap. Dia tidak bisa menahan diri untuk meregangkan tubuhnya."Hmm, kamu nggak mau tidur lagi?" Dimas mengalihkan pandangannya. Tersirat nada dingin yang tidak disadari Dimas dalam suaranya.Amel tidak tahu apa yang terjadi pada Dimas. Dia langsung menghentikan gerakan meregangkan tubuhnya. Kemudian, dia duduk dengan tegak dan menatap Dimas dengan heran.Mereka berdua tidur lebih awal semalam. Amel ingat dia masih bergumam pada dirinya sendiri untuk memperkenalkan Billy dan langsung pergi tidur. Belum waktunya bagi Amel untuk bangun. Namun, Amel sudah tidak berniat untuk melanjutkan tidurnya lagi.Selain itu, Amel juga tidak melakukan sesuatu yang membuat Dimas marah.Amel mengerutkan kening. Dia bangun dan bersiap-siap pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kemudian, dia bertanya, "Aku nggak mau ti
Kemarin, setelah berteman dengan Billy di WhatsApp, awalnya Amel ingin memperkenalkan Billy kepada Lidya. Namun, setelah Dimas pulang, Amel sibuk dengan urusan toko dan lupa untuk melakukannya. Malam sebelum tidur, Amel masih sempat menggumamkan masalah perkenalan tersebut. Namun, Amel akhirnya ketiduran.Amel dan Billy hanya mengobrol mengenai desain interior dan tidak membahas topik yang lainnya.Amel mengerutkan kening sambil menjelaskan, "Nggak ada privasi di WhatsApp milikku ini. Kamu bisa melihatnya kapan saja. Dia ini hanya mahasiswa ayahku. Dia juga kakak kelasku. Semalam aku sudah bilang padamu, dia orang yang ingin kukenalkan pada Lidya."Dikenalkan pada Lidya.Dasar gadis konyol. Mungkin Lidya sama sekali tidak mau menerimanya. Kalau saja bocah bernama Andi itu tahu, mungkin akan terjadi banyak hal menarik lainnya.Ternyata, Amel jauh lebih ceroboh dibanding yang dikira Dimas sebelumnya.Melihat istrinya menjelaskan dengan serius, tiba-tiba saja Dimas tidak merasa cemburu la
"Aku ...." Tanpa sadar, Amel menarik tangannya kembali, tapi Dimas menggenggam tangannya dengan sangat kuat. Dia dapat merasakan dada Dimas yang sangat panas.Amel tidak bisa menatap Dimas karena malu, sehingga dia menundukkan kepalanya dan tidak tahu harus berkata apa.Dimas memegang kepala Amel dan berbicara dengan serius, "Sayang, aku tahu kalau kamu belum memercayaiku sepenuhnya, kamu juga belum yakin kalau hubungan kita akan menjadi semakin dekat hanya dengan interaksi selama belasan hari. Lebih tepatnya, rasa tanggung jawabmu padaku saat ini lebih besar dari rasa cintamu. Tapi, nggak masalah, kita bisa pelan-pelan. Aku akan menggunakan waktu dan proses untuk memberitahumu kalau aku ingin terus bersamamu.""Moto Keluarga Cahyadi adalah setia, aku padamu juga sama."Amel menatap Dimas dengan polos, entah kenapa dia merasa seperti diterawang oleh Dimas.Memang rasa tanggung jawabnya pada Dimas jauh lebih besar dari rasa cintanya, karena mereka belum lama saling mengenal. Dia mengaku
"Kenapa? Kamu nggak mau bantu? Aku nggak bisa menyelesaikannya sendiri. Seharusnya kita mengerjakan pekerjaan rumah bersama, bagaimana menurutmu?"Amel menggigit bibirnya, tampak sangat kasihan.Amel mengangkat ember dan bersiap untuk ke teras, tapi dia pun tersadar melihat Dimas yang masih tidak bergerak.Mungkin para pria tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, kebiasaan seperti itu harus dihilangkan setelah berkeluarga."Hm, ucapanmu benar. Tapi, aku nggak mau kamu mengerjakannya, biar aku saja." Dimas tersadar. Dia menggertakkan gigi, lalu mengangkat ember ke teras.Hanya mengelap debu saja, memangnya hal seperti ini akan menyulitkannya?Melihat hal tersebut, Amel tidak menyetujuinya, dia berkata sambil tersenyum, "Kita bagi dua supaya cepat selesai."Sambil bicara, mereka berdua pun mulai bekerja.Debunya memang banyak, tapi cukup mudah untuk dibersihkan. Setengah jam kemudian, Amel pun menghela napas dan menyeka keringat di dahinya. Dia berniat untuk menghampiri Dimas.Nam
"Hah?" Amel pun mengenyit. Dia bergegas memapah Dimas dan menenangkan pria itu, "Kamu duduk dulu, jangan panik, tarik napas. Bagaimana kalau kamu istirahat dulu? Kalau masih nggak sembuh, aku akan membawamu ke rumah sakit."Dimas bersandar di sofa sambil memijat keningnya, tampak sangat lelah, "Nggak perlu ke rumah sakit. Sebelumnya aku juga pernah begini, aku hanya perlu istirahat.""Apakah kamu bisa menemaniku istirahat sebentar?"Dia menyipitkan matanya, tampak sangat kasihan, seperti anak anjing yang sedang sakit.Hati Amel pun langsung melunak. Dia langsung mengangguk dan duduk di samping Dimas, dia juga menyandarkan kepala Dimas ke bahu pria itu."Baiklah, kalau kamu merasa nggak nyaman, bilang padaku, ya.""Ya."Dimas mengangguk dan bersandar di bahu Amel sambil bernapas dengan tenang.Dari tubuh Amel tercium aroma manis yang samar, aromanya sangat enak sampai membuat orang agak mabuk.Begitulah, rencana Amel untuk mengajak Lidya dan seniornya untuk makan pun batal karena Dimas.
Pria itu memiliki tinggi 180 cm, mengenakan kemeja putih dan celana bahan. Dia memiliki mata yang indah. Ketika dia tersenyum, akan muncul lesung pipi, tampak agak imut.Yah, meskipun dia memakai pakaian orang dewasa, model rambutnya juga cukup biasa, semua itu tetap tidak bisa menutupi usianya yang masih muda.Dia seperti anak kecil yang memakai pakaian orang dewasa, agak tidak cocok.Tampaknya, Lidya menyukai pria yang lebih muda darinya.Dimas tersenyum dan duduk di samping Amel."Sudah kubilang 'kan dia sangat tampan, selera Lidya memang bagus!"Lili langsung memujinya.Mirna tersenyum lebar dan sangat puas dengan pria itu, dia sangat menyukainya. "Seleranya biasa saja."Kemudian, dia bicara lagi pada Lidya, "Semuanya sudah tiba, sekarang kamu bisa memperkenalkannya, jangan duduk saja. Kalian para anak muda 'kan pandai mengobrol, ayo banyak mengobrol."Lidya tersenyum dengan canggung, tampak kelabakan."Itu ... dia, namanya ...." Wajahnya memerah, seketika pikirannya menjadi kosong
Hanya saja, setelah memperkenalkan Kelvin, Amel tidak memperhatikan tatapan Dimas yang terlihat terkejut.Dia? Dia adalah ayahnya Lidya?Tidak disangka ada kebetulan seperti ini di dunia. Dimas mengernyit, hari itu mereka bertemu di klub, penerangannya sangat redup. Dimas sengaja tidak memperlihatkan wajahnya dengan jelas, mungkin wajahnya memang tidak bisa diingat, tapi suara seseorang tidak bisa diubah.Saat sedang termenung, Dimas mendengar suara Mirna yang berbicara dengan sangat tidak senang, "Akhirnya kamu pulang juga, bisa-bisanya kamu sesibuk ini saat putrimu membawa pacarnya pulang! Ayah macam apa kamu!"Bukan sekali dua kali Mirna mengomel seperti itu. Hubungan Kelvin dan Mirna biasa-biasa saja, jadi Kelvin pun mengernyit begitu mendengar omelan Mirna."Bukannya aku sudah bilang mau membicarakan sebuah proyek? Lagi pula, kalau aku nggak peduli dengan Lidya, untuk apa aku pulang? Hari ini aku sudah menolak dua proyek, kamu mau apa lagi? Kamu mau bertengkar di depan anak?""Kam
Benar-benar keras kepala!"Dimas, apa-apaan ini?" tanya Amel dengan muram dan nada menginterogasi.Dimas diam-diam menggertakkan giginya dan memancarkan tatapan tidak sabar.Kenapa si Kelvin ini banyak masalah sekali? Apakah Kelvin tidak bisa melihat calon menantunya saja? Untuk apa Kelvin menatapnya?Meskipun demikian, Dimas tetap menjelaskan dengan tenang, "Kurasa Paman Kelvin salah kenal. Meskipun margaku Cahyadi dan memang bisa dihitung sebagai anggota keluarga Grup Angkasa, tapi sekarang keluarga kami sudah terpisah. Beberapa tahun ini Keluarga Cahyadi sudah nggak banyak berhubungan dengan anggota keluarga yang mengurus Grup Angkasa. Kalau mau dibilang punya hubungan, mungkin wajahku saja yang agak mirip, karena itu Paman jadi salah mengenali orang."Dimas pun menghela napas dan berkata, "Sebenarnya agak memalukan, marga kami sama, tapi Keluarga Cahyadi sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan anggota keluarga Grup Angkasa. Kalau aku adalah orang dari Grup Angkasa, aku pasti bis